KONSEP DIRI ANAK LAKI-LAKI PERTAMA JAWA

KONSEP DIRI ANAK LAKI-LAKI PERTAMA JAWA

  

SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  Program Studi Psikologi Oleh

  Gregoria Rosarheina Kusuma NIM : 049114008

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  

Gregoria Rosarheina Kusuma

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran konsep diri dari anak laki-laki

pertama suku Jawa. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode wawancara

etnografi. Lima belas orang subyek didapatkan dari pemilihan menggunakan snowball sampling,

dengan karakteristik yaitu anak laki-laki yang lahir pertama dalam sebuah keluarga Jawa, berada

pada usia 19-25 tahun, berdomisili di D.I. Yogyakarta, diasuh oleh dua orang tua suku Jawa asli,

dan memiliki lingkungan tempat tinggal yang terdiri sebagian besar orang-orang Jawa. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki pertama Jawa memiliki konsep diri yang positif dalam

dimensi internal dan eksternalnya. Respon positif dimensi internal, terdapat pada respon seluruh

subyek dalam subdimensi diri identitas, serta sebagian besar pada subdimensi diri penilaian dan diri

pelaku. Di sisi lain, dimensi eksternal menunjukkan respon positif seluruhnya pada subdimensi diri

fisik, dan diri etik moral, serta pada sebagian besar subdimensi diri personal, diri keluarga, diri

sosial, dan diri akademi / kerja. Konsep pengasuhan Jawa yang menanamkan rasa wedi, isin dan

sungkan memberikan pengaruh pada konsep diri, sehingga subyek berperilaku sesuai sosok ideal

pemimpin Jawa. Selain itu, subyek menjadi tidak bersedia menganggap diri lebih rendah daripada

orang lain (andhap asor) ketika hasil kerjanya mendapat pengakuan. Hal ini bertentangan dengan

konsep pribadi Jawa yang andhap asor, sehingga tampak terjadi kerancuan kepribadian.

  Kata kunci: konsep diri, anak laki-laki pertama Jawa

  

JAVANESE ELDEST SON’S SELF CONCEPT

Gregoria Rosarheina Kusuma

  

ABSTRACT

The purpose of this research is to do the description about the Javanese eldest son’s self

concept. It is a qualitative descriptive research. The method applied in this qualitative description

research is ethnographical interview method. Fifteen subjects were selected using snowball

sampling method. The selection was refered to subject’s characters criteria. The criteria are as

follows: they are the eldest son of Javanese families, 19-25 years of age, staying in Yogyakarta,

grown by pure Javanese parents, and their life circumstances are dominated by Javanese tradition.

The result of this research shows that the subjects have positive self concept, both in internal and

external dimension. In internal dimension, all positive responses identified in identity-self

subdimension, and also in most part of self-judgement and acting subdimensions. In the other hands,

external dimension shows all positive responses in phisically-self and ethic morally-self

subdimensions. It also appeared in most part of personal-self, family-self, social-self, and academy /

working-self subdimensions. Javanese parenting concepts “wedi (afraid), “isin (shame), and

sungkan (not easy manner) contribute influence to the self concept, that brings the impact on

subjects to act as a Javanese ideal leader. On the other hand, the subjects do not want to be humble

(andhap asor) when their job accomplished with high appreciation. Hence dual personality appears.

  Key word: self concept, Javanese eldest son

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Gregoria Rosarheina Kusuma Nomor Mahasiswa : 049114008

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

Konsep Diri Anak Laki-laki Pertama Jawa

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 30 September 2010 Yang menyatakan, (Gregoria Rosarheina Kusuma)

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................... v

ABSTRACT ................................................................................................... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA.............................. vii

DAFTAR ISI................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ x

DAFTAR GRAFIK............................................................................. ......... xi

  

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................

  1 B. Rumusan Masalah ........................................................................

  5 C. Tujuan Penelitian..........................................................................

  5 D. Manfaat Penelitian .......................................................................

  5 BAB II. LANDASAN TEORI ..................................................................... 7 A. Konsep Diri ..................................................................................

  7 1. Pengertian Konsep Diri ...........................................................

  7 2. Dimensi dan Subdimensi Konsep Diri. ...................................

  9 3. Jenis-jenis Konsep Diri............................................................

  12

  

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................ 27

A. Desain Penelitian .........................................................................

  27 B. Subyek.......................................................................................... 28 C. Alat Pengumpul Data..................................................... ..............

  29

  1. Variabel Penelitian................................................................... 29 2. Definisi Operasional ................................................................

  29 3. Alat Pengumpul Data...............................................................

  39 4. Keabsahan Data Penelitian. .....................................................

  44

  5. Analisis Data............................................................................ 45

  

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 47

A. Proses Penelitian ..........................................................................

  47 B. Pelaksanaan Penelitian................................................................. 48 C. Hasil Penelitian ............................................................................

  51

  1. Orientasi Kancah. .................................................................... 51 2. Hasil Penelitian Tiap Subyek ..................................................

  55 D. Analisis Hasil Respon .................................................................. 154

  E. Analisis Antar Subyek.................................................. ............... 175

  

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN.................. 188

A. Kesimpulan ................................................................................. 188 B. Keterbatasan Penelitian................................................................ 190 C. Saran ............................................................................................ 190

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 192

  DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Indikasi Jenis Konsep Diri .............................................................

  33 Tabel 3.2 Panduan Wawancara Konsep Diri. ................................................

  41 Tabel 4.1 Data Demografi Subyek Penelitian................................................

  53 Tabel 4.2 Data Kedudukan Subyek dalam Keluarga. ....................................

  54

  Grafik 5.1 Data Hasil Respon Positif Dimensi Internal Subyek……………… 189 Grafik 5.2 Data Hasil Respon Positif Dimensi Eksternal Subyek……………. 189 menarik dalam sebuah keluarga Jawa. Suatu hal yang tampak menonjol dari sikap seorang anak laki-laki pertama Jawa ialah ia bertindak seperti “putera mahkota”. Sebagai anak laki-laki pertama, ia merasa lebih berkuasa daripada saudara-saudaranya yang lain. Hal ini misalnya tampak dari perilaku yang berusaha menyingkirkan saudara-saudaranya dengan memberi cap buruk, yaitu sebagai orang-orang yang lebih rendah dari dirinya. Anak laki-laki pertama Jawa memandang bahwa dirinya adalah anak yang utama dan terbaik, sehingga berhak mengatur segalanya karena berpatokan pada paham bahwa tindakannya adalah tindakan yang lebih benar daripada tindakan saudara yang lain. Begitu juga dalam lingkungan masyarakat, anak laki-laki pertama Jawa sering bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, dan juga menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin yang hebat. John Kinch (dalam Tarakanita, 2001) berpendapat bahwa interaksi individu dengan lingkungan sosialnya sangat tergantung dan dipengaruhi konsep diri.

  Konsep diri menurut Fitts (dalam Tarakanita, 2001) ialah bagaimana perilaku seseorang dalam interaksi dengan orang lain. Konsep diri ini terdiri dari dimensi internal dan dimensi eksternal. Yang dimaksud dengan konsep diri internal adalah keseluruhan penghayatan pribadi sebagai kesatuan yang unik. Penilaian diri berdasarkan dimensi internal meliputi penilaian seseorang terhadap diri identitas, diri penilaian, dan perilakunya. Konsep diri eksternal adalah persepsi diri yang timbul dalam interaksi individu dengan dunia luarnya, khususnya dalam hubungan interpersonal. Dimensi eksternal ini terdiri dari enam bagian yang berhubungan dengan diri, yaitu diri fisik, diri etik-moral, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan diri akademi atau kerja. Dari uraian tersebut, maka diduga perilaku dari anak laki-laki pertama Jawa disebabkan oleh nilai konsep dirinya yang terlalu positif.

  Harre (dalam Tarakanita, 2001) berpendapat bahwa konsep diri remaja akan mengalami peningkatan sesuai dengan siklus kehidupan individu. Hal ini berkaitan erat dengan faktor-faktor intrapsikis, kognitif, dan kultur (budaya) yang meliputi dunia internal dan eksternal individu.

  Ketiga hal ini akan bergabung menjadi satu dan membentuk konsep diri individu.

  Budaya Jawa yang bersistem patrilineal menuntut keutamaan dari seorang pria. Hal ini tentunya juga berlaku dalam hal keturunan. Dalam budaya Jawa, anak laki-laki dianggap sebagai penerus keluarga, ia diharapkan dapat menyerupai figur ayah yaitu sebagai seorang pemimpin. anak perempuan, dimana anak laki-laki cenderung mendapat perhatian yang lebih dari orang tua daripada pada anak perempuan.

  Pada anak laki-laki, orang tua Jawa cenderung membedakan mereka sesuai urutan kelahiran. Hal ini berkaitan dengan pandangan manusia Jawa mengenai usia (Taruna, 1987) yaitu usia adalah tolok ukur dan panutan moralitas. Anak laki-laki yang tertua diharapkan akan mampu menjadi contoh bagi saudara-saudaranya, laki-laki yang lebih muda dan saudara- saudaranya yang perempuan. Anak laki-laki tertua akan menjadi titik-kuat moralitas keluarga, maka orang tua Jawa akan cenderung lebih mengutamakan anak laki-laki tertua daripada anak laki-lakinya yang lain.

  Tentunya kondisi budaya yang seperti ini akan mempengaruhi pembentukan konsep diri anak. Anak laki-laki tertua yang amat dihargai mungkin menjadi pribadi dengan konsep diri yang tinggi, sedangkan anak- anak perempuan merasa kurang berharga dalam keluarga sehingga mereka memiliki konsep diri yang rendah.

  Selain hal yang berkaitan dengan budaya, penelitian mengenai konsep diri sejauh ini kebanyakan dilakukan pada bidang psikologi pendidikan, perkembangan, atau industri-organisasi. Misalnya, dalam bidang psikologi perkembangan terdapat penelitian mengenai pengaruh konsep diri terhadap kompetensi interpersonal pada remaja putra dan putri. Penelitian ini dilakukan di SMUN 3 Salatiga oleh Hilda Anastasia (2004). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah konsep diri mempengaruhi organisasi berjudul Kesesuaian antara Konsep Diri Nyata dan Ideal dengan Kemampuan Manajemen Diri pada Mahasiswa Pelaku Organisasi, menunjukkan bahwa ada hubungan antara kesesuaian konsep diri nyata dan ideal dengan kemampuan manajemen diri pada mahasiswa pelaku organisasi.

  Selama ini tampaknya belum begitu banyak penelitian mengenai konsep diri dengan latar belakang budaya, terlebih lagi budaya Jawa.

  Penelitian konsep diri dengan latar belakang budaya Indonesia cukup banyak diteliti, tetapi bukan berlatar belakang budaya Jawa melainkan budaya suku lain seperti Dayak, Batak, Cina atau Bali. Misalnya, penelitian konsep diri dengan latar belakang budaya Cina dan Sunda dengan judul Hubungan Status Identitas Etnik dengan Konsep Diri Mahasiswa (Studi pada Kelompok Remaja Akhir Etnik Sunda dan Etnik Cina di Universitas Kristen Maranatha Bandung). Penulis penelitian ini adalah Irene Tarakanita (2001). Kesimpulan yang dapat diambil yaitu tidak ditemukan hubungan antara status identitas etnik dengan konsep diri pada kelompok mahasiswa etnik Sunda, sedangkan pada mahasiswa etnik Cina ditemukan adanya hubungan antara identitas etnik dengan konsep diri.

  Berdasarkan fenomena budaya dan penelitian konsep diri dengan latar belakang budaya Jawa yang masih jarang, maka menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui lebih jauh mengenai konsep diri anak laki-laki pertama dari suku Jawa. B. Rumusan Masalah Permasalahan pokok pada penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui seperti apakah konsep diri pada anak laki-laki pertama dari suku Jawa

  C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai konsep diri pada anak laki-laki pertama dari suku Jawa.

  D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi :

  • Subyek penelitian; akan mampu menyadari seperti apa konsep dirinya, sehingga subyek penelitian dapat mengembangkan diri dengan tepat.
  • Orang tua subyek; akan memperoleh gambaran yang jelas mengenai konsep diri pada anak laki-laki pertamanya, sehingga diharapkan orang tua mampu menerapkan pola asuh yang sesuai.
  • Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya, menambah kepustakaan dalam bidang psikologi pada
diri. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya.

  • Bagi penulis, penelitian ini merupakan kesempatan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan dapat membantu kita memahami konsep diri, serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Pengertian Konsep Diri Menurut Fitts (dalam Tarakanita, 2001) konsep diri adalah suatu konstruk sentral untuk mengenal dan mengerti manusia. Konsep diri bersifat fenomenologis, yaitu terdapat prinsip dasar bahwa manusia bereaksi terhadap dunia fenomenalnya sesuai dengan persepsinya tentang dunia itu. Dalam dunia fenomenal seseorang, aspek yang memegang peranan penting adalah diri sendiri, yaitu bagaimana diri diamati, dipersepsi, dan dialami oleh individu.

  Ketika seseorang mengamati tentang dirinya, maka dalam hal ini terdapat unsur penilaian (Derlega dan Janda dalam Tarakanita, 2001) Selain unsur penilaian, konsep diri juga mempunyai unsur yang mempengaruhi tingkah laku orang tersebut.

  Menurut Rakhmat (1996), konsep diri yaitu pandangan dan perasaan tentang diri kita sendiri. Persepsi bersifat psikologis, sosial, dan fisik.

  Konsep diri bukan sekedar gambaran deskripsi saja, tapi juga merupakan penilaian seseorang tentang dirinya. Jadi, konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri individu itu sendiri. Dengan

  Hurlock (1989) mengungkapkan bahwa konsep diri meliputi dua hal, yaitu konsep diri sebenarnya dan konsep diri ideal. Konsep diri sebenarnya adalah konsep seseorang dari siapa dan apa dia itu. Dirinya sebagai bayangan cermin, ditentukan sebagian besar oleh perasaan dan hubungan dengan orang lain, serta reaksi orang lain terhadapnya. Sedangkan konsep diri ideal adalah gambaran seseorang mengenai penampilan dan kepribadian yang didambakannya. Setiap macam konsep diri ini memiliki aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik terdiri dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Aspek psikologis yaitu konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya, dan hubungan dengan orang lain.

  Seperti yang diungkapkan Hurlock, Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1993), juga mengemukakan pengertian konsep diri sebagai gestalt konseptual yang terorganisir dan konsisten yang terdiri dari persepsi- persepsi tentang sifat dari “diri subyek” dan persepsi-persepsi tentang hubungan antara diri subyek dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat. Di samping “diri” juga terdapat suatu diri ideal, yaitu apa yang diinginkan orang tentang dirinya. Apabila perbedaan antara diri dan diri ideal besar, maka orang akan merasa cemas, tidak puas, bertingkah laku defensif, dan tidak dapat menyesuaikan diri. pada dirinya sendiri. Konsep diri tersebut merupakan organisasi dari persepsi mengenai dirinya sendiri sehingga individu akan terlihat siapakah dirinya itu. Konsep diri ini tersusun dari ribuan persepsi yang berisi bermacam-macam keterangan, kebenaran, dan kepentingan seseorang.

  Persepsi-persepsi tersebut dibentuk oleh pengalaman-pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama dipengaruhi oleh penguatan- penguatan, penilaian orang lain, dan atribut seseorang bagi tingkah lakunya

  (Shavelson dan Roger, dalam Suharmeni, 1988).

  Dari uraian di atas maka pengertian konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya. Konsep diri memberikan gambaran penampilan dan kepribadian yang didambakan orang tersebut, memiliki komponen kognitif dan afektif, serta memiliki aspek fisik dan psikologis.

  2. Dimensi dan Subdimensi Konsep Diri Konsep diri terdiri dari dua dimensi (Fitts dalam Tarakanita, 2001) yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.

  a. Dimensi Internal Dimensi internal adalah keseluruhan penghayatan pribadi sebagai kesatuan yang unik. Dimensi ini berfokus pada diri sendiri, dimana pribadi seseorang digambarkan seperti apa dirinya itu melalui pengamatan, lalu hasil pengamatan tersebut dinilai dimana standar- bertindak. Dimensi ini mencakup tiga subdimensi, yaitu subdimensi diri identitas, diri penilaian, dan diri pelaku.

  • Diri Identitas Merupakan kumpulan label dan simbol yang dipergunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya, dan dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan dengan diri sendiri. Misalnya seseorang menggambarkan diri sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun, maka ia merasa dirinya tidak berguna dan malu jika harus berinteraksi dengan lingkungan.
  • Diri Penilaian Mempunyai fungsi mengamati dan menilai, memberikan standar, serta memberikan perbandingan terhadap dirinya. Misal, orang yang merasa diri tidak mampu melakukan apapun tersebut kemudian mengamati dirinya. Di sini ia mengamati apa saja kemampuan yang ada pada dirinya, dan ia membandingkan kemampuan-kemampuannya itu, dan menilai bahwa ia memiliki satu kemampuannya cukup berharga.
  • Diri Pelaku Merupakan persepsi seseorang terhadap tingkahlakunya atau caranya bertindak.
mempersepsikan bahwa tingkah lakunya yang dulu adalah kurang benar. Seharusnya ia tidak perlu merasa dirinya tidak berguna dan tidak takut jika harus berinteraksi dengan lingkungan.

  b. Dimensi Eksternal Dimensi eksternal adalah persepsi diri yang timbul dalam interaksi individu dengan dunia luarnya, khususnya dalam hubungan interpersonal. Dimensi eksternal ini berbeda dengan dimensi internal yang benar-benar fokus dan berdasar pada diri sendiri, dimana dunia luar hanya dilihat sebagai hal yang dikenai dampak, bukan sebagai hal yang turut andil membentuk konsep diri internal tersebut. Sedangkan dalam dimensi eksternal, interaksi individu dengan dunia luarnya memiliki peranan dan memberikan pengaruh bagi individu tersebut dalam mempersepsi dirinya.

  Dimensi ini meliputi subdimensi diri fisik, diri etik-moral, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan diri akademi atau kerja.

  • Diri Fisik Persepsi seseorang terhadap keadaan fisik. yaitu kesehatan, penampilan diri, dan gerakan motoriknya.
  • Diri Etik-Moral

  Persepsi individu tentang dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika.

  • Diri Personal Perasaan individu terhadap nilai-nilai perbedaan, terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan orang lain dan sejauhmana individu merasa adekuat sebagai pribadi.
  • Diri Keluarga Perasaan dan harga diri individu sebagai anggota keluarga dan teman-teman dekatnya.
  • Diri Sosial Penilaian individu terhadap dirinya dalam interaksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas.
  • Diri Akademi/Kerja

  Penilaian yang berkaitan dengan penilaian ketrampilan dan prestasi akademik.

  3. Jenis-Jenis Konsep Diri Menurut Calhoun and Acocella (dalam Rakhmat, 1996), terdapat dua macam konsep diri, yaitu konsep diri positif dan negatif.

  a. Konsep diri positif Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif mampu untuk menerima diri apa adanya dan ia akan terus berusaha memperbaiki diri.

  Ia mampu menampung seluruh pengalaman mental, melakukan evaluasi diri apa adanya, mampu mengenali diri secara jelas dan menyeluruh, pengalaman negatif, misalnya ejekan, atau kegagalan. Hal-hal seperti ini dipandang sebagai sumber informasi baru dari luar sehingga tidak akan menimbulkan kecemasan, memiliki perasaan lebih optimis, percaya diri, dan bersikap positif.

  William (dalam Rakhmat, 1996) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif memiliki keyakinan akan kemampuan mengatasi masalah, berusaha menghadapi sesuatu dengan maksimal, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, mampu memperbaiki diri karena ia sanggup mengungkapkan aspek- aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

  Halmacheck (dalam Rakhmat, 1996) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif akan meyakini betul nilai- nilai dan prinsip-prinsip tertentu, bersedia mempertahankannya walau menghadapi tantangan, berani mengubah prinsip apabila pengalaman dan bukti salah. Ia bertindak berdasar penilaian yang baik, yakin pada kemampuan mengatasi persoalan, dan dapat menerima diri seperti apa adanya. Selain itu ia juga mampu menikmati hidup secara utuh dalam berbagai kegiatan, misalnya pekerjaan, permainan, atau persahabatan.

  b. Konsep diri negatif Konsep diri ini bertolak belakang dengan konsep diri yang positif.

  Konsep diri negatif dibedakan menjadi dua, yaitu pandangan diri seseorang yang benar-benar tidak teratur dan pandangan diri yang

  Pandangan tentang diri benar-benar tidak teratur, di mana seseorang tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Ia tidak tahu siapa dirinya, tidak tahu kekuatan dan kelemahan atau apa yang berharga dalam hidupnya. Konsep diri negatif yang terlalu stabil dan terlalu teratur (kaku) dapat terlihat dari individu yang menciptakan batasan diri, yaitu ia tidak menyimpang dari seperangkat aturan ketat dalam pikirannya. Hal ini yang dianggap cara hidup yang tepat. Seseorang yang memiliki konsep diri ini dapat mengalami kecemasan dan depresi karena tidak dapat menerima informasi negatif tentang dirinya.

  B. Keluarga Jawa Suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang–orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari. Suku bangsa ini berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Herusatoto dalam Harmini, 2004). Menurut Marbangun Hardjowirogo (dalam Harmini, 2004), semua orang Jawa berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti nenek moyang mereka di Jawa dengan daerah Solo dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan. Masyarakat Jawa memiliki penghayatan hidup budaya yang nilai-nilainya berorientasi ke arah daerah Solo dan Yogyakarta. terdiri dari sebagian massa petani di desa dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. Golongan kedua yaitu kaum Priyayi dimana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Golongan ketiga yaitu kaum Ningrat (ndara), kelompok ini jumlahnya kecil tetapi mempunyai posisi derajat khusus yang cukup tinggi karena adanya faktor keturunan raja atau keluarga raja.

  Dalam suatu masyarakat Jawa (Harmini, 2004), membentuk keluarga atau somah diawali dengan suatu perkawinan sah menurut agama yang dianutnya, dan berlandaskan rasa cinta kasih (tresna). Membentuk keluarga ini bertujuan untuk mendapatkan keluarga yang bahagia, tentram, dan sejahtera. Walaupun ada juga suatu perkawinan yang dijodohkan oleh orangtua (ayah-ibu yang mengasuh) tetapi rasa cinta kasih tersebut lambat laun akan tumbuh dengan sendirinya (tresna jalaran saka kulina).

  Keluarga merupakan satuan moral dan basis dari identitas sosial dari semua orang (Handayani & Novianto, 2004). Moral adalah formasi tersendiri dari kognisi yang membentuk pengertian mengenai benar dan salah (Kohlberg, dalam Zimbardo, 2003). Kohlberg (dalam Zimbardo, 2003) juga mengungkapkan bahwa moral memiliki arti penting dalam kehidupan dimana hal ini memiliki hubungan erat dengan kemampuan individu untuk mampu hidup bersama dengan orang lain. Dalam kosmologi Jawa, keluarga melebihi dunia moral yang diberi ciri saling memiliki kewajiban. Kewajiban tersebut adalah tidak sama antar individu. Kewajiban tua, guru, dan khususnya ayah-ibu adalah pribadi yang sangat dihormati, menjadi pepundhen, dimana hal ini merupakan suatu kedudukan yang layak bagi mereka karena perhatian, perlindungan, dan ajarannya sebagai pengatur dan wakil kehidupan. Orangtua (ayah-ibu) memegang kedudukan setengah religius yang dihiasi oleh ide bahwa menentang mereka merupakan dosa (duraka, juga memberontak), dan akan dihukum oleh sanksi gaib yang tidak terelakkan (kuwalat).

  Bagi setiap orang Jawa, keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak-anak, merupakan orang-orang yang paling penting. Dalam keluarga, ayah berperan sebagai kepala keluarga yang bijaksana dan merupakan pelindung yang kokoh bagi isteri dan anak-anaknya. Ayah bertugas bertanggung jawab untuk mencukupi penghidupan keluarga, baik secara moril maupun materiil. Sedangkan ibu pada umumnya memegang keuangan (ekonomi) rumah tangga, yaitu ia bertanggung jawab mengelola dan mengusahakan uang tersebut supaya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, serta ia yang bertanggungjawab mengasuh anak-anak. Pembagian peran dalam rumah tangga tidak mewajibkan seorang suami membantu tugas-tugas isteri di rumah, sedangkan seorang isteri wajib menjadi ibu rumah tangga, tetapi tidak wajib bekerja atau berkarier. Jadi, citra ideal suami adalah sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab dan seorang isteri adalah pemeran ganda (Uyun, 2002). Pola-pola kerjasama antara suami-isteri dalam rumah tangga dapat dibedakan sebagai berikut (Harmini, 2004) :

  2. Suami dan isteri bekerja bersama-sama dan bantu-membantu, yang lazim dilakukan kaum tani.

  3. Suami bekerja dan isteri usaha kecil-kecilan di rumah.

  4. Suami dan isteri bekerja dan pendapatannya dijadikan satu.

  5. Suami dan isteri sama-sama bekerja, biasanya di kalangan pedagang.

  Ayah dan ibu bagi anak berperan memberikan kesejahteraan jasmani dan rohani. Mereka memberikan bimbingan moral, membantu mengenal segala macam kebaikan, juga untuk memperoleh kedudukan dalam masyarakat. Ayah-ibu memberikan cinta kasih yang tulus kepada anak-anaknya dan memberikan segala apa yang dibutuhkannya tanpa menghitung dan tanpa prasyarat apapun. Orangtua (ayah-ibu) dalam konsep Jawa memberikan perasaan aman dan terlindungi, juga selalu membuka pintu maaf bagi kenakalan anak-anaknya. Peran ibu selalu berusaha untuk melidungi anak dari rasa frustasi, dimana dalam keluarga orang tidak perlu merasa malu (isin) mengungkapkan masalah yang dihadapinya, berterus terang tanpa menyembunyikan perasaan gembira atau sedih, agar mendapat dukungan dari keluarga.

  Hubungan antar anggota keluarga dituntut berdasarkan perasaan cinta, sehingga suasana keakraban dalam keluarga benar-benar tampak (Harmini, 2004). Sikap-sikap moral dasar masyarakat Jawa terutama sikap hormat, berkembang dimulai dari lingkungan keluarga ini. Sikap hormat ini dikembangkan oleh orang Jawa melalui pendidikan dalam keluarga.

  Menurut Hildred Geertz (dalam Harmini, 2004), anak dalam keluarga Jawa dididik melalui tiga perasaan yang dipelajari dalam situasi yang menuntut sikap hormat yaitu wedi, isin dan sungkan. Wedi berarti takut, takut baik terhadap ancaman fisik maupun akibat tindakan yang kurang wajar. Mula-mula anak belajar untuk merasa wedi pada orang-orang yang dihormati, selanjutnya dididik isin. Isin berarti malu, merasa bersalah.

  

Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan, karena orang akan merasa

  malu bila tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat pada orang yang patut dihormati. Selanjutnya adalah sungkan, sungkan adalah malu dalam arti yang positif, yaitu rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal.

  Sesuai dengan konsep Jawa, Greetz (dalam Harmini, 2004), juga mengungkapkan bahwa anak diajari untuk bersedia menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain (andhapasor) dan hendaknya selalu sadar akan batas-batasnya dan akan situasi keseluruhan di dalam seseorang bergerak (tepa selira). Anak nantinya diharapkan untuk dapat mikul dhuwur

  

mendhem jero terhadap kedua orangtuanya (Mulder, 1996). Mikul dhuwur

  yaitu “memikul tinggi-tinggi” nama baik dan moral yang tak tercela dari ayah-ibu mereka, dengan memuji kebaikan orangtua (ayah-ibu) dan keserasian dalam kehidupan keluarga. Mendhem jero yaitu “menanam dalam-dalam” segala sesuatu yang bisa menimbulkan ketidakselarasan, perasaan agresif, atau apa saja yang dirasakan sebagai kekurangan dipertunjukkan kepada umum. Di pihak yang positif, anggota keluarga harus bersikap rukun, yaitu menumbuhkan hubungan yang serasi dan melaksanakan seni minta dan memberi, kompromi, sedangkan ia secara spontan juga mengorbankan dorongan-dorongan pribadinya (pamrih) untuk dapat menikmati kesejahteraan (slamet) yang timbul dari hubungan- hubungan yang serasi.

  Anak-anak dalam keluarga Jawa memiliki arti yang berbeda menurut jenis kelaminnya (Uyun, 2002). Anak lelaki cenderung memiliki arti yang berhubungan dengan martabat, perlindungan, dan tumpuan harapan keluarga di masa depan, sehingga anak laki-laki memiliki tanggungjawab yang lebih besar daripada anak perempuan. Anak perempuan mempunyai arti yang berhubungan dengan kepraktisan, dalam arti kehadirannya bermanfaat untuk memperlancar kegiatan beres-beres urusan rumah tangga, sedangkan anak laki-laki dianggap tabu melakukan tugas-tugas rumah tangga.

  Orangtua (ayah-ibu) keluarga Jawa mengenalkan norma peran gender pada anak-anaknya dimulai dari pemberian nama pada anaknya (Uyun, 2002). Nama-nama feminin diperuntukkan bagi anak perempuan dan nama-nama maskulin untuk anak laki-laki. Pada perkembangan selanjutnya, pengenalan ini bertambah seiring dengan pertambahan umur anak. Misalnya anak perempuan diberitahu agar tidak suka ngeyel (melakukan sesuatu hal tidak sesuai dengan perintah), dan anak laki-laki sedangkan anak laki-laki sering dilarang bermain boneka karena ayah-ibu anak laki-laki khawatir anaknya akan menjadi seperti perempuan.

  Ketika anak beranjak dewasa, orangtua Jawa biasanya memberikan larangan yang lebih banyak bagi remaja perempuan (Uyun, 2002). Misalnya mereka selalu diingatkan untuk menjaga kehormatan, atau tidak boleh keluar rumah sendirian pada malam hari. Sedangkan larangan untuk anak laki-laki tidak seketat larangan untuk anak perempuan. Anak laki-laki lebih bebas bergaul, atau mereka boleh keluar sendirian pada malam hari.

  Anak-anak hidup bersama dengan keluarga dan ayah-ibu bertanggung jawab akan biaya kebutuhan-kebutuhan hidupnya sampai anak mendapat pekerjaan atau sampai anak perempuan menikah, karena anak perempuan yang telah menikah akan keluar dari rumah mengikuti suami dan hidupnya menjadi tanggung jawab suami.

  C. Konsep Diri Anak Laki-Laki Pertama Jawa Sesuai dengan pendapat Harre (dalam Tarakanita, 2001) bahwa peningkatan konsep diri remaja sesuai dengan siklus kehidupan individu, dimana budaya memiliki kaitan yang erat dengan hal tersebut, maka seorang anak yang hidup dalam keluarga berbudaya Jawa, secara otomatis akan mendapat pengaruh budaya Jawa dalam pembentukan konsep dirinya.

  Budaya Jawa seperti juga budaya berbagai suku di Indonesia, dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Sistem patriarkhis masyarakat Jawa pada abad 18, telah melahirkan ungkapan-ungkapan (yang seringkali masih terdengar hingga sekarang) yang menyiratkan inferioritas wanita Jawa (Fananie dalam Uyun, 2002). Ungkapan-ungkapan seperti kanca

  

wingking, swarga nunut neraka katut, wanita hanya mengurus dapur,

  wanita hanya bergantung pada suami, menegaskan bahwa wanita Jawa tampak menduduki struktur bawah.

  Sistem patriarkhis yang menganggap laki-laki lebih tinggi daripada perempuan ini menempatkan hanya laki-lakilah yang pantas sebagai pemimpin. Hal ini tidak terkecuali dalam keluarga dimana ayah yang menjadi kepala keluarga. Fungsi ayah dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga yang bijaksana, mampu mencukupi, dan melindung anggota keluarga yang lain. Melihat dari gambaran peran ayah yang demikian, maka seorang anak laki-laki Jawa yang dikemudian hari juga akan menjadi kepala keluarga diharapkan mampu menjadi seorang figur yang mampu memimpin seperti ayahnya.

  Figur pemimpin Jawa seperti yang diungkapkan oleh Keeler (dalam Handayani & Novianto, 2004) harus memenuhi citra ideal sebagai sosok teladan, yaitu pemimpin yang berjiwa kuat, memikat, bertanggung jawab, dan penuh sifat baik. Kekuasaan pemimpin di Jawa tergantung bukan hanya pada kekuasaan yang dipaksakan dan birokratis, melainkan yang penting justru pada bagaimana pemimpin memenuhi citra idealnya tersebut. Tukiran, dalam Uyun, 2002) yaitu sebagai lelananging jagad yang sakti, tampan, dan banyak isteri, seperti Arjuna tokoh Pandawa dalam pewayangan yang selalu menang di setiap medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi. Di sisi lain, anak perempuan harus dapat

  

nrimo , pasrah, halus, sabar, setia, dan berbakti, karena posisi perempuan

  adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana), turonggo (kendaraan), kukilo (burung atau binatang piaraan), dan pusoko (senjata, kesaktian). Penguasaan terhadap perempuan (wanito) merupakan simbol kejantanan bagi seorang laki-laki. Sebaliknya, ketundukan, ketergantungan dan kepasrahan perempuan kepada laki-laki adalah gambaran kemuliaan hati seorang perempuan Jawa.

  Taruna (1987) mengungkapkan pandangan manusia Jawa mengenai usia, bahwa usia adalah tolok ukur dan panutan moralitas. Seorang Jawa akan berpedoman bahwa orang yang berusia lebih tua memiliki moral lebih unggul daripada orang yang lebih muda. Hal ini dimunculkan oleh kemampuan mereka untuk mempertimbangkan benar dan salah yang jauh lebih matang daripada kemampuan orang-orang yang lebih muda. Sesuai dengan pandangan Jawa, sudah seharusnya seorang berusia lebih muda menaruh hormat kepada orang-orang yang memiliki usia lebih tua. Ayah- ibu sebagai wakil kehidupan dan tatanannya berhak atas kehormatan tertinggi dan anak-anak harus ngabekti (berbakti), yaitu suatu bentuk penghormatan dan kebaktian pada orangtua sebagai suatu cara setengah

  Lebih jauh Mulder (1996) mengungkapkan bahwa menghormati keunggulan moral mereka berarti menghormati hidup, yang sering kali diuraikan dalam gagasan bahwa menghormati saudara kandung yang lebih tua, ayah-ibu, guru, dan raja adalah sama seperti menghormati “Tuhan”.

  Toer (2003) dalam bukunya menggambarkan tentang penghormatan terhadap keunggulan moral ini dengan mengutip puisi tradisional yang berbunyi demikian :

  Metrum Sinom : Wedi asih ing wong tuwa Satria tuhu ing Sang Aji Ratu ingkah angreh praja Nuhormi sakersa neki Smujud lahir lan batin Iku sajatining elmu Dedasaring kasatrian

  Artinya : Takut sayang terhadap orangtua Setia tulus kepada Sri Baginda Raja yang memerintah negeri Laksanakan segala kehendaknya Bersujud lahir dan batin Itulah ilmu yang sejati Dasar dari kesatriaan

  Penggambaran ini juga digambarkan dengan baik oleh R.A. Kartini melalui surat yang ia tulis pada 18 Agustus 1899, kepada Estelle Zeehandelaar (Toer, 2003) :

  Mengejutkan adat kami orang Jawa. Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh jalan melewati aku, atau kalau toh harus melewati aku, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncurkan diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. Terhadap aku, adik-adikku tidak boleh ber-aku-ber-kau; dan pada setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya harus mereka tutup dengan sembah.

  Kalau adik-adikku, tak peduli lelaki atau wanita, bicara dengan orang-orang lain tentang diriku, mereka harus pergunakan bahasa tinggi segala apa yang berhubungan dengan diriku, misalnya pakaian, tempat duduk, tangan, kaki, mata, pendeknya apa saja milikku.

  Kepalaku yang terhormat ini tiada boleh mereka menyentuhnya tanpa izin istimewa dari aku dan itu pun sesudah diupacarai dengan beberapa kali sembah.

  Kalau ada penganan di meja, bocah-bocah kecil itu tak boleh menghampir, sebelum aku berkenan mengambil barang sedikit.

  Duh, Stella, kau harus lihat, bagaimana di kabupaten- kabupaten lain saudari dan saudara itu bergaul! Mereka itu saudara, hanya karena mereka anak dari orangtua yang sama; tak ada ikatan lain yang menghubungkan mereka terkecuali darah. Saudara-saudara itu hidup berdampingan seperti orang- orang asing satu terhadap yang lain, cuma persamaan raut muka, yang kadang-kadang pun tak nampak, yang jadi tanda kesaudaraan mereka.

  Hal ini menunjukkan konsep hirarki dari tatanan Jawa, bahwa yang lebih bawah harus menghormati semua yang lebih dekat kepada sumber kehidupan, kebijaksanaan moral dan kekuasaan. Menurut falsafah Jawa, seseorang yang hidup serasi dengan hal yang lebih besar dari dirinya merupakan tingkah laku moral yang sangat terpuji.

  Sistem patriarkhis yang menganggap laki-laki lebih tinggi daripada perempuan menempatkan hanya laki-lakilah yang pantas sebagai pemimpin, sehingga tak mengherankan apabila dalam sebuah keluarga Jawa anak laki-laki lebih mendapat perhatian dan prioritas yang lebih daripada anak perempuan. Terlebih lagi anak laki-laki yang tertua, ia cenderung mendapatkan perlakuan yang “istimewa” dibandingkan dengan saudaranya yang lain dikarenakan pandangan Jawa mengenai usia sebagai tolok ukur dan panutan moralitas menempatkan anak laki-laki tertua ini pada kedudukan moral yang lebih tinggi (lebih unggul) daripada orang yang lebih muda, sehingga sudah seharusnya adik-adiknya sebagai orang yang berusia lebih muda menaruh hormat kepadanya. Hal ini sesuai dengan konsep hirarki dari tatanan Jawa, bahwa yang lebih bawah (orang yang lebih muda) harus menghormati semua yang lebih dekat kepada sumber kehidupan, kebijaksanaan moral dan kekuasaan (orang yang lebih tua).

  Dengan menghormati saudara yang lebih tua, maka seorang anak dapat dikatakan hidup serasi dengan hal yang lebih besar dari dirinya, sebagai cerminan dari tingkah laku moral orang Jawa yang sangat terpuji.

  Perlakuan yang didapatkan anak laki-laki tertua ini berpeluang menjadikannya terbuai, sehingga ia mungkin dapat tumbuh menjadi pribadi yang berbeda dari saudara-saudaranya. Jika mula-mula anak lain belajar untuk merasa wedi, isin, dan sungkan pada orang-orang yang dihormati, maka anak laki-laki pertama kurang dapat mempelajari hal itu karena ia

  Disebabkan oleh posisinya yang istimewa, maka ia akan sulit untuk bersedia menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain

  

(andhapasor) . Keadaan ini juga berdampak pada kurangnya kesadaran akan

  batas-batas, sehingga ia berbuat sekehendak hatinya sendiri. Situasi “tidak ikut merasakan” yang tidak terbiasa terasah sejak kecil, tidak mendukungnya untuk menjadi orang yang tepa selira.

  Sebagai seorang laki-laki dengan kedudukan istimewa dalam keluarga, ia dituntut untuk menjadi sesosok anak utama yang harus seperti Arjuna. Di antara saudara-saudaranya, ia memacu diri dengan sangat keras untuk dapat memberikan gambaran sebagai anak yang paling “sakti” karena

  

pusoko (senjata, kesaktian) miliknyalah yang paling ampuh, ia adalah anak

  paling “tampan” sehingga paling disukai wanita, memiliki bondo (harta) yang paling banyak, memiliki griyo (istana) yang paling mewah, memiliki

  

turonggo (kendaraan), dan kukilo (burung atau binatang piaraan) yang

paling banyak dan mahal.