BAB 1 PENDAHULUAN - KEKUATAN MENGIKAT SURAT HIBAH MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT BALI (Studi Di Kecamatan Mataram) - Repository UNRAM
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki aneka ragam suku bangsa, adat-istiadat,
dan agama serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan potensi adanya keanekaragaman hukum. Oleh karena itu, Indonesia memiliki sistem hukum yang bersifat majemuk yang di dalamnya berlaku berbagai sistem hukum yang memiliki corak dan susunan sendiri, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum barat (perdata).
Mengenai adat-istiadat sangat erat kaitannya dengan berbagai masalah yang sering timbul dikalangan masyarakat, seperti permasalahan harta warisan, perkawinan, anak dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia pasti menghadapi masalah-masalah seperti itu. Hukum di Indonesia biasanya sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat, dan budaya setempat terutama dengan agama yang dianut, seperti hukum waris.
Hubungan kekerabatan yang ada di negara kita sangat dekat, maka harta diprioritaskan untuk diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan kita. Seperti suami, anak-anak kandung, saudara kandung dan saudara dari garis keturunan orang tua. Banyak sekali cara untuk memberikan harta peninggalan tergantung dari bagaimana sistem adat, budaya dan agama yang dianut, seperti dengan wasiat, hibah, dan apabila seseorang tidak mengangkat seorang anak untuk meneruskan keturunannya. Perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi sangat bermasalah dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi masyarakat yang masih sangat memegang teguh adat-istiadatnya. Adat-istiadat adalah suatu kaidah atau kebiasaan yang sudah ada sejak turun- temurun dari leluhur dan harus dipatuhi, jika melanggar ketentuan adat-istiadat maka akan diberikan sanksi oleh masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hukum bagi masyarakat di dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka untuk menyusun hukum nasional yang senantiasa mengikuti dinamika perkembangan zaman diperlukan konsep-konsep dan sumber-sumber dari hukum adat dan dasar-dasar hukum lainnya. Adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana harus ditaati oleh anggota masyarakatnya dan mempunyai sanksi. Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Tiap-tiap hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia, yaitu manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya. Adanya manusia dalam pergaulan hidup tergantung pada adanya manusia yang hidup bersama dan dengan adanya pergaulan hidup itu terdapatlah hukum.
Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata barat bahwa setiap manusia itu merupakan orang pembawa hak (dapat menerima warisan, menerima hibah, dan sebagainya) dan dapat melimpahkan kewajiban. Tetapi karena usia atau kejadian- kejadian tertentu dapat membuat seseorang mengalihkan hak dan kewajibannya tersebut pada orang lain atau orang terdekatnya saat ia masih hidup ataupun setelah ia meninggal dunia.
Para orang tua pasti menginginkan kehidupan yang lebih layak untuk anggota keluarganya terutama kepada anak-anaknya. Setiap orang pasti mempunyai kekayaan dengan hasil kerja keras. Harta kekayaan ataupun harta benda yang diperoleh dari hasil keringatnya digunakan sebagai bekal materiil
Ada kalanya seseorang melakukan atau membagi harta miliknya pada masa ia masih hidup kepada anak cucunya dan keluarga lainnya. Tidak jarang orang tua memberikan hibah kepada anak kandungnya karena anaknya bukanlah sebagai ahli waris yang sah atau kepada orang lain yang menurutnya lebih pantas mendapatkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya yang didasari dengan rasa kepercayaan.
Memang banyak orang yang ingin sekali mewariskan hartanya kepada orang terdekat seperti suami atau isteri dan anak-anak kandungnya, tetapi di mata keluarga dan menurut adat seseorang itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak seperti yang ditentukan dalam adat. Oleh karena itulah, si pewaris dapat memberikan harta kekayaannya kepada orang yang sangat dicintai semasa hidupnya dengan cara menghibahkannya.
1 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk
Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Cet.1, (Surabaya: Laksbang Justitia, 2011),
Hibah berkaitan dengan hukum waris dan hukum keluarga karena hibah sangat erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan dalam sebuah hubungan keluarga. Hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Masalah harta merupakan permasalahan yang sangat pelik. Bagi sebagian kalangan persoalan harta ini bahkan dapat menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah dalam keluarga. Untuk itu perlu pengaturan masalah harta agar terdapat kepastian hukum bagi orang yang akan memberikan hartanya kepada anak dan suami atau isteri.
Bagi sebagian kalangan yang tidak mempunyai keturunan atau pun yang mempunyai keturunan tetapi dalam adat tidak diperbolehkan menjadi ahli waris yang sah, dapat memberikan harta dari hasil jerih payahnya sendiri dengan cara hibah.
Hibah sudah sangat dikenal sejak dulu, namun dalam prakteknya sangat sedikit yang dapat memahami hibah secara lebih mendalam. Hibah tidak dibuat sendiri, melainkan dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu notaris. Oleh karena itu surat hibah yang dibuat oleh notaris dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hibah diatur dalam Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 Kitab Undang- undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa, “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Hibah biasanya terjadi setelah adanya perkawinan. Karena dalam sebuah perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan keluarga yang tidak hanya mencakup keluarga kecil melainkan juga dengan keluarga besar dari masing- masing pihak. Tidak hanya itu, dalam perkawinan itu pula akan menimbulkan berbagai hak dan kewajiban serta tidak jarang terjadi konflik dalam keluarga. Konflik-konflik yang biasa terjadi saat ini sebagian besar tidak lain adalah mengenai persoalan kepemilikan harta dan harta peninggalan atau harta warisan.
Harta yang boleh dihibahkan hanya harta yang diperoleh sejak saat perkawinan berlangsung, bukan harta yang diberikan oleh orang tua atau yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung. Apabila harta tersebut merupakan harta bawaan sebelum terjadinya perkawinan, maka harta tersebut merupakan harta warisan dari orang tua. Harta warisan tidak dapat dihibahkan, tetapi hanya dapat diwariskan turun-temurun kepada garis keturunan yang paling dekat dengan orang tua.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Salah satu tujuan seseorang melakukan perkawinan karena ingin mempunyai keturunan atau anak. Yang dapat meneruskan hak dan kewajiban orang tuanya kelak adalah anak dari hasil perkawinannya sendiri. Tetapi bagaimana dengan sepasang suami istri yang tidak mempunyai keturunan ataupun sepasang suami isteri yang mempunyai keturunan tapi tidak sesuai dengan meneruskan hak, kewajiban dan pemilik dari harta kekayaannya kelak? Itulah mengapa hibah saling berkaitan dengan harta, perkawinan dan keluarga.
Berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai hal tersebut khususnya mengenai hibah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan mengikat surat hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali?
2. Adakah perbedaan-perbedaan mendasar mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana kekuatan mengikat dari surat hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali serta untuk mengetahui perbedaan-perbedaan mendasar mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali kepada khalayak umum. Dengan dilakukannya penelitian ini penulis juga dapat mengetahui lebih dalam lagi mengenai hibah berdasarkan dari pengalaman orang lain maupun dari berbagai literatur-literatur.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1). Sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca oleh masyarakat pada umumnya dan dipelajari lebih lanjut oleh kalangan hukum lainnya. 2). Menjadi suatu sarana dalam memperluas dan mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
b. Manfaat praktis Dapat menjadi bahan informasi, penjelasan, dan masukan yang lebih mendalam bagi masyarakat yang berkecimpung dalam hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusannya, serta untuk menjaga agar tidak menimbulkan penafsiran yang terlalu luas mengenai permasalahan yang dibahas, maka perlu diberikan pembatasan-pembatasan yang dapat membatasi ruang lingkup kajiannya. Adapun ruang lingkup kajian ini khusus dititik beratkan pada masalah kekuatan mengikat surat hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali dan letak perbedaan-perbedaan yang mendasar mengenai hibah menurut KUH Perdata dan hukum adat Bali.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan dan Harta Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan adalah perjanjian hidup bersama antara dua jenis kelamin yang berbeda untuk membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia, tidak hanya semata-mata kepada masalah biologis, melainkan adanya suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat sehingga terciptalah rumah tangga yang
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungan perdata dan tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum melakukan perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil. Menurut perundangan yang tegas dinyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perkawinan hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Ini jelas bertentangan dengan falsafah Negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segala-galanya. Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat dengan agama/ kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/
jasmani, tetapi juga unsur bathin/rohani Perkawinan dianggap sah apabila : (1) telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan (2) dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Tujuannya untuk menghindari konflik hukum antara hukum 2 Zulfa Djoko Basuki, Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional HAM RI, 2009), hal.19 3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
adat, hukum agama, hukum antar golongan, menjadikan peristiwa perkawinan
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam sebuah perkawinan akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang tua dan anak, dan hal ini tidak terlepas dari persoalan harta, karena dari perkawinan akan timbul beberapa hukum seperti hukum waris. “Hukum waris merupakan bagian dari
hukum kekayaan dan erat kaitannya dengan hukum keluarga Hak dan kedudukan suami isteri adalah sama di dalam peraturan perundangan. Dalam perkawinan harta dapat dibedakan menjadi dua yaitu harta bersama dan harta bawaan. “Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing
suami isteri sebagai hadiah atau warisa Harta bersama meliputi hasil pendapatan suami, hasil pendapatan isteri, serta hasil dan pendapatan dari harta pribadi masing-masing suami-isteri selama perkawinan, meskipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, suatu harta benda perkawinan
4 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 64 5 6 hukum.kompasiana.com , diakses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 18.31 WITA Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hal. 75 7 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang
Harta bawaan tersebut dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri (harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian/hadiah) :
a. Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawa suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua.
b. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari warisan orang tua.
c. Harta hibah/wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat.
d. Harta pemberian/hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para anggota kerabat atau mungkin juga dari orang
Harta benda pribadi masing-masing suami-isteri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan (Harta Hibahan) adalah tetap berada dibawah kekuasaan masing-masing. Terhadap harta bawaan tersebut masing-masing suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas hartanya
Dalam hal tersebut diatas, si pemberi hibah atau pewaris melalui suatu hibah wasiat, dapat menentukan suatu syarat bahwa harta yang akan diberikan baik sebagai hibah atau warisan tidak boleh menjadi harta bersama, namun tetap harus menjadi harta pribadi si penerima hibah/ warisan. Ketentuan dan syarat demikian adalah wajar dan dibenarkan secara hukum karena selaku pemilik barang si penghibah atau pewaris dapat menentukan bahwa harta yang kelak akan diberikan kepada penerima hibah/warisan adalah untuk kepentingan dan keuntungan pribadi 8 dari si penerima hibah/warisan, bukan untuk orang lain, termasuk tidak
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cet. VI, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003) , hal.157 9 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang
boleh dimiliki atau diambil keuntungan oleh suami-isteri dari penerima
Sedangkan menurut hukum Hindu ”perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual
menurut agama Hindu Weda Smrti Dalam hal ini, keturunan yang paling diutamakan adalah anak laki-laki karena dialah yang akan meneruskan hak dan kewajiban orang tuanya dikala orang tuanya sudah meninggal. Anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka
Pelaksanaan perkawinan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, disamping antara adat dan agama Hindu sulit dipisahkan, hukum perkawinan juga sangat
Di dalam awig-awig desa pakraman, perkawinan (Pawiwahan) didefinisikan sebagai “…patemoning purusa kelawan pradana melarapan antuk
panunggalan kayun suka cita, kadulurin upasaksi sekala niskala”. Konsep sekala
niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang religius, senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara 10 11 Ibid, hal 63 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Cet. II, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 12 12 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas HUkum Universitas Udayana, 2006), hal. 94 13 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I, dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar), tetapi juga berurusan dengan roh leluhur yang bersemayam di sanggah atau
merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan yaitu :
a. Perkawinan biasa (nganten biasa), pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya.
Keseluruhan aktivitas perkawinan, menjadi tanggung jawab keluarga laki-laki.
b. Perkawinan nyentana atau nyeburin, dalam bentuk perkawinan nyeburin pihak laki-laki yang meawak luh (berstatus seperti wanita atau predana) dan meninggalkan keluarga istrerinya yang meawak
muani (berstatus sebagai laki-laki atau purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat perkawinan dilangsungkan.
Wanita yang dikawini secara nyeburin berstatus sebagai sentana rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya
Perkawinan yang sah pada masyarakat Hindu adalah perkawinan yang
telah diupacarakan menurut adat agama yang sering disebut dengan mewidi wedhana (meperagat) yang merupakan upacara terbesar dalam perkawinan.
Menurut Arthayasa bahwa sahnya perkawinan menurut hukum Hindu harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Suatu perkawinan menurut Hindu sah jikalau dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.
b. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta/Pinandita. 14 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar :
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hal. 84 c. Suatu perkawinan hanya dapat disahkan menurut hokum Hindu jikalau kedua mempelai telah menganut agama Hindu. Ini berarti kalau kedua mempelai atau salah satunya belum beragama Hindu, maka perkawinan tidak dapat disahkan. Untuk mengesahkan seseorang masuk agama Hindu harus di sudhiwadani terlebih dahul
Cara perkawinan yang dilakukan sangat menentukan status hukum suami
isteri dan anak-anak dalam keluarga. Ada tiga cara perkawinan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat Bali, yaitu : a. Perkawinan dengan cara memadik (meminang).
b. Perkawinan dengan cara ngrorod (lari bersama).
c. Perkawinan dengan cara melegandang (membawa paksa untuk kawi
17 Memadik (meminang) adalah lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan setelah melewati masa pengenalan dengan membawa sarana satu stel pakaian perempuan dan perlengkapan lainnya yang diberikan kepada pihak gadis yang disebut dengan istilah basan pupur, penangsek, paweweh yang semuanya bermakna pemberian.
Ngerorod (lari bersama) yaitu calon mempelai lari bersama menuju ke
suatu tempat yang telah dipersiapkan yang disebut dengan tempat persembunyian tanpa ada paksaan dari kedua calon mempelai. Menurut A.A.Ngurah Kaleran, perkawinan ini harus dilakukan pada malam hari, ini mengandung makna kesungguhan hati dari calon suami isteri dan didasarkan atas kehendak bersama. 16 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I,
(Denpasar : Udayana University Press, 2012), hal. 39
Melegandang (membawa paksa untuk kawin) adalah suatu cara
perkawinan dimana laki-laki dengan cara memaksa sang gadis untuk di ajak kawin. Pada zaman sekarang cara perkawinan ini sudah ditinggalkan karena masyarakat mengalami perkembangan dan ini juga tidak sesuai dengan hukum
Pada masyarakat Bali, menurut adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa) maka perkawinan sedapat mungkin dilakukan diantara warga seklen atau setidak-tidaknya antara orang-
Perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan antara saudara perempuan suami dengan saudara perempuan istri (maka dengan ngad), karena perkawinan itu dianggap mendatangkan malapetaka (panes). Perkawinan pantang yang dianggap sebagai perbuatan sumbang yang besar (agamiagamena) adalah perkawinan antara seseorang dengan anaknya, antara seseorang dengan saudara sekandung atau saudara tirinya, dan antara seseorang dengan anak dari saudara
Dalam adat Bali, perkawinan yang terjadi sangat mempengaruhi kedudukan suami dan isteri yang mengakibatkan hak dan kedudukan suami dan
18 Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. 1, (Denpasar : Udayana University Press, 2012), hal. 24-30 19 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1983), hal. 222 20 21 Ibid Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Demikian halnya mengenai kewajiban suami dan isteri baik dalam undang-undang maupun dalam adat Bali adalah berbeda sesuai dengan porsinya masing-masing dalam rumah tangga. Hanya saja suami isteri wajib saling mencintai, saling hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
Bagi masyarakat hukum adat Bali, keturunan dari satu pihak, yaitu pihak bapak disebut dengan istilah “tunggal dadia”, “tunggal sanggah”, atau “tunggal kawitan”, maksudnya mempunyai satu atau ketunggalan leluhur yang dilacak tidak hanya dari satu generasi melainkan berpuluh-puluh generasi ke atas yang akan melanjutkan kewajiban-kewajiban keagamaan, persembahyangan tertentu yang dilakukan oleh keturunan laki-laki. Apabila hanya mempunyai anak perempuan, maka harus melakukan perkawinan nyentana agar dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dilakukan oleh anak laki-laki dan dapat menjadi ahli waris. Dengan diakuinya perkawinan nyentana, maka sistem
Pewarisan menurut hukum Hindu adalah salah satu cara untuk memperoleh hak atas harta benda yang disebut dengan warisan.
“Dalam adat Bali yang bersifat patrilineal, semua harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama yang dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga/rumah tangga. Semua perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus disetujui suami, isteri tidak boleh 22 bertindak sendiri atas harta bawaannya tanpa persetujuan suami, bahkan 23 Ibid, hal. 114
Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan, Cet. I, (Denpasar : Udayana harta bawaan yang bernilai adat bukan hanya suami yang menguasai tetapi
juga termasuk kerabat bersangkuta Dalam masyarakat Bali harta bersama disebut dengan istilah druwe gabro,
arok sekaya, yang lazim digunakan dalam awig-awig desa adat adalah
Harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Anak wanita bukanlah ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut adat Bali wanita hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang tuanya
B. Hukum Waris
1. Pengertian Hukum Waris “Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal
dunia
24 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. II, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 124 25 Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. I, (Denpasar :
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hal.106
26 27 Ibid Effendi Perangin, Hukum Waris, Cet. 10, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011),Pada asasnya, yang dapat diwariskan hanya hak-hak dan kewajiban
dibidang hukum kekayaan sajaifat hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu menganut : a. Sistem pribadi, ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris.
b. Sistem bilateral, mewaris dari pihak ibu maupun bapak.
c. Sistem perderajatan, ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si
Dalam sebuah perkawinan menurut KUH Perdata, sistem pembagian harta dilakukan dengan sistem pembagian waris berdasarkan individual. Harta warisan dibagi berdasarkan jumlah ahli waris, laki-laki dan perempuan mendapat bagian
Prinsip pembagian waris dalam Pasal 1066 KUH Perdata, yaitu :
a. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak dipaksa membiarkan harta bendanya itu tetap dibagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
b. Pembagian harta benda selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
c. Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi
28 Sedangkan prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku secara umum, yaitu :
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika
Aditama, 2012), hal. 3 29 30 Efendi Perangin, op.cit, hal. 4 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2010), hal. 94 a. Adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan.
b. Adanya pewaris, orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya.
Lain halnya dengan prinsip pewarisan dalam hukum adat, yaitu :
a. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun maka harta warisan dilakukan secara keatas atau ke samping.
b. Tidak selamanya harta peninggalan pewaris dapat langsung dibagi diantara para ahli waris. Atas harta peninggalan, terkadang ada harta yang sifat pembagiannya harus ditangguhkan dan ada kalanya tidak dapat dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.
c. Hukum adat mengenal prinsip ahli waris pengganti. Seorang anak dapt bertindak sebagai ahli waris pengganti dari ayahnya.
d. Hukum adat tidak menentukan waktu harta warisan itu akan dibagi atau waktu diadakannya pembagian.
e. Apabila terjadi konflik (perselisihan), diupayakan terlebih dahulu melalui musyawarah. Apabila gagal, baru meminta bantuan dan
Ketika pewaris meninggal dunia maka segala harta benda miliknya langsung dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dimungkinkan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat dari lima
32 33 Ibid, hal.92 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010), hal. 96 34 NM. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Cet. I, (Jakarta :
Dalam hukum waris BW terdapat unsur paksaan, misalnya ketentuan yang memberikan hak mutlak kepada ahli waris tertentu atas sejumlah tertentu dari harta warisan atau ketentuan yang melarang pewaris sewaktu hidupnya untuk membuat ketetapan terhadap sejumlah tertentu dari hartanya
Ada 2 golongan ahli waris dalam hukum waris KUH Perdata, yaitu :
a. Ahli waris menurut UU / ahli waris tanpa wasiat (ahli bwaris ab
intestate), yang termasuk dalam golongan ini ialah : 1) Suami atau isteri (duda atau janda) dari si pewaris (almarhum).
2) Keluarga sedarah yang sah dari si pewaris. 3) Keluarga sedarah alami dari si pewaris.
b. Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair), termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahli waris
2. Syarat Pewarisan Berbicara tentang hukum waris tidak terlepas dari hal membicarakan orang yang meninggal dunia yaitu orang yang yang meninggalkan harta arisan. Secara umum syarat pokok dari orang yang meninggalkan warisan adalah orang yang bebas, mereka untuk menentukan kemauannya
Dari Pasal 895 BW, untuk membuat suatu hibah wasiat haruslah orang
yang sehat pikirannya, dengan demikian orang ini bukanlah orang gila dan bukan
35 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 3, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2 36 NM. Wahyu Kuncoro, Loc.cit., 37 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika pula orang yang sedang sakit hingga mengigau (ijlende koorts), dan bukan pula orang yang sedang mabuk karena minuman keras
Jika seseorang yang dalam keadaan tidak sehat membuat hibah wasiat
dapat ditentang keabsahannya oleh keluarga, maupun orang lain yang berkepentinga
39 Syarat-syarat ahli waris yaitu sebagai berikut :
a. Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris yang timbul karena : 1) Hubungan darah (Pasal 832 BW) 2) Karena wasiat (Pasal 874 BW).
b. Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari Pasal 2 BW, yang menyatakan anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir jika kepentingan si anak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka dianggap tidak pernah ada.
c. Ahli waris harus patut mewaris atau onwaardig.
d. Orang yang menolak harta warisa
Namun dalam Pasal 838 KUH Perdata menyebutkan bahwa “yang
dianggap tidak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah : a. Mereka yang telah di hukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau, mencoba membunuh si yang meninggal; b. Mereka yang dengan keputusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya dan hukuman yang lebih berat; 38 Ibid 39 Ibid
c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.” Sedangkan menurut hukum adat Bali, ahli waris adalah anak kandung laki- laki yang diatur dalam hukum Hindu, dengan syarat-syarat seorang ahli waris sebagai berikut :
a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik karena ahli waris merupakan keturunannya, maupun karena berdasarkan undang-undang atau ketentuan lain.
b. Anak itu harus laki-laki.
c. Bila tidak ada anak, barulah jatuh pada anak yang bukan sedarah karena hukum ia berhak mewaris, misalnya anak angkat.
d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya yang memenuhi syarat menurut hukum
3. Wasiat Atau Testamen Dalam Pasal 875 KUH Perdata menyebutkan bahwa “ada pun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.” Dari pengertian tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa cirri-ciri surat wasiat adalah : 41 a. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali.
Ni Nyoman Sukerti, Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Hukum Adat Bali, Cet. I, b. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum
Hukum waris testamen timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang berhak atau bebas untuk berbuat apa saja terhadap harta bendanya dan bebas untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang di inginkan walaupun masih
juga ada batas-batas yang di izinkan oleh undang-undaDalam pembuatan surat wasiat diperlukan campur tangan notaris dan dihadapan para saksi.
Syarat-syarat saksi dalam pembuatan surat wasiat : a. Sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
b. Penduduk Indonesia.
c. Mengerti bahasa yang digunakan oleh pewaris dan yang digunakan
Menurut Pasal 874 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa :
a. Dengan surat wasiat si pewaris dapat mengangkat seseorang atau beberapa orang ahli waris.
b. Terdapat suatu kemungkinan bahwa harta warisan tersebut yang merupakan peninggalan seseorang dibagi berdasar undang-undang (sebagian) dan selebihnya berdasar surat wasiat.
c. Ahli waris yang berdasarkan testamen lebih diutamakan daripada ahli
42 waris menurut undang-unda
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. I, (Bandung : PT Refika
Aditama, 2012), hal. 51 43 44 Ibid, hal. 50Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cet. 1, (Bandung : PT Refika
Aditama, 2012), hal. 54C. Hibah
Dalam KUH Perdata Pasal 1666 menyebutkan bahwa, “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan Cuma- Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.” Maksud tidak dapat ditarik kembali adalah bahwa pemberian yang telah diberikan oleh si pemberi hibah tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dari penerima hibah, dengan pengecualian yaitu jika si penerima hibah melanggar persyaratan-persyaratan yang telah diberikan oleh pemberi hibah dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangka
46 Pada dasarnya perjanjian hibah merupakan perjanjian sepihak, karena yang
paling aktif untuk melakukan perbuatan hukum adalah si penghibah, sedangkan si penerima hibah adalah pihak yang pasif. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian hibah, yaitu :
a. Adanya pemberi dan penerima hibah,
b. Pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah dengan cuma-cuma, dan c. Pemberian itu tidak dapat ditarik kembali
Harta yang dapat dihibahkan yaitu harta berwujud yang sudah ada. Jika
hibah mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan menjadi batal hanya sekedar barang-barang yang belum ada
idalam hibah tidak ada unsur 46 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar grafika, 2003), hal. 75 47 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori 7 Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 75 48 akses pada tanggal 31 Oktober 2012, jam 17.50 kontra prestasi, sehingga pembentuk undang-undang membuat aturan yang mewajibkan penerima hibah untuk memasukkan kembali semua harta yang telah diterimanya itu ke dalam harta warisan pemberi hibah untuk diperhitungkan kembali. Apabila harta yang diterima dari pemberi hibah tidak melanggar hak mutlak ahli waris, penerima hibah tidak berkewajiban mengembalikan harta
Dalam pasal 1676 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu.” Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua orang berhak menerima hibah. Artinya ada orang-orang tertentu yang tidak berhak menerima hibah seperti anak zinah atau suami atau isteri yang hidup terlama. Jika ternyata pewaris sewaktu masuh hidup telah memberikan hibah kepada orang-orang
Sedangkan dalam hukum adat Bali, menurut Gde Pudja, MA,S.H., mengemukakan bahwa “hibah itu adalah penyerahan hak seseorang atas harta benda yang dimiliki sebagai haknya kepada orang lain yang menerima hak itu atas
harta benda yang akan dihadiahkan tanpa mempertimbangkan nilainya. Hibah diperuntukkan kepada anak perempuan sebab anak perempuan yang
sudah kawin mengikuti suaminyaHibah atau jiwadana (sebutan dalam 49 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,
Cet. 2, (Jakarta : Rajawalin Pers, 2001), hal. 70 50 51 Ibid, hal. 72
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cet.3, (Denpasar : Pustaka Bali Post, 2003), hal. 138 52 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Cet. I, (Surabaya : Laksbang masyarakat Bali) yaitu pemberian harta yang diberikan orang tua semasih
Hibah merupakan perbuatan hukum waris sebagai kebalikan dari ketentuan hukum adat yang mengatur tenteng harta peninggalan yang tidak dapat
dibagi-bagiibah dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan terhadap hukum adat waris yang berlaku pada masyarakat Bali (Patrilineal). Harta benda (pusaka) hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki, tetapi dengan hibah si
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif
empiris, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatif dan empirisnya.
Agar memenuhi kriteria ilmiah dan mendekati kebenaran guna memperoleh bahan hukum dan data mengenai tersebut di atas, maka menggunakan pendekatan yang terdiri dari :
1. Penelitian Yuridis Normatif 53 Gde Panetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Cet.3, (Denpasar : CV.
Kayumas Agung, 2004), hal. 105 54 Dominikus Rato, op.cit., hal. 207
Adalah penelitian yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat peraturan yang bersifat normatif (law in book). Pendekatan ini
2. Penelitian Empiris / Sosiologis Pada pendekatan empiris / sosiologis, mengkaji hukum dalam realitasnya di masyarakat, yang tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh sub sistem seperti ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain.
B. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis asas-asas hukum, norma-norma hukum dan pendapat para sarjana dengan menggunakan metode pendekatan :
1. Undang-undang (Statute approach)
Yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji perundang- undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
2. Pendekatan konsep (Conceptual approach)
Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep dan pandangan para ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
3. Pendekatan komparatif (Comparative approach)
Yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan objek penelitian berdasarkan aspek-aspek tertentu sehingga diperoleh persamaan dan perbedaan dari masalah yang dibahas.
C. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data a. Data Kepustakaan Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari analisis berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari : 1). Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 2). Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum serta hasil-hasil symposium atau seminar-seminar yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Data Lapangan Data lapangan adalah data yang diperoleh langsung dari para narasumber atau informan, yaitu orang yang karena pengetahuan dan pengalamannya, mengetahui dan memahami tentang masalah dalam penelitian ini, maka alat pengumpul datanya terdiri dari wawancara (interview).
2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini, yaitu :
a. Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber atau informan sebagai sumber utama, yaitu orang-orang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan terkait dengan permaslahan yang dibahas.
b. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literature-literatur, jurnal hasil-hasil penelitian dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan maslah yang diangkat dalam penulisan ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan teknik studi dokumen yaitu mengumpulkan data-data melalui bahan-bahan bacaan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, literature serta karya-karya tulis yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan wawancara, yakni situasi antar pribadi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban yang pasti dengan maslah penelitian kepada narasumber, baik dilakukan secara bertatap muka atau secara langsung maupun melalui via telepon.
E. Analisis Data
Seluruh data yang telah diperoleh disusun untuk selanjutnya dianalisis secara yuridis. Dalam menganalisis data dipergunakan metode deskriptif kualitatif analisis, yaitu memaparkan data yang ditafsirkan, disusun, dijabarkan, serta dianalisis untuk memperoleh jawaban dan kesimpulan atas masalah yang diteliti.
Adapun metode atau cara penyimpulan data dilakukan secara deduktif yaitu menyimpulkan dan mengkaji berbagai referensi baik peraturan perundang- undangan maupun buku-buku / literatur-literatur yang selanjutnya dianalisis kembali secara spesifik dan mendalam guna memperoleh norma-norma hukum yang ada relevansinya dengan permaslahan yang diangkat (kajian dari umum ke khusus).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Dalam KUH Perdata Dan Hukum Adat Bali
1. Kekuatan Mengikat Surat Hibah Menurut KUH Perdata Dalam Pasal 1666 KUH Perdata, “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.” Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa perjanjian yang terjadi dalam suatu penghibahan adalah dilakukan dengan cuma-cuma. Hal ini termasuk dalam perjanjian sepihak karena dalam pelaksanaannya hanya ada prestasi dari satu pihak saja sedangkan pihak lain tidak perlu memberikan prestasinya sebagai imbalan.
Walaupun penghibahan dilakukan dengan cuma-cuma, akan tetapi penghibahan yang diakui oleh undang-undang adalah penghibahan yang dilakukan antara orang-orang yang masih hidup. Namun pada kenyataannya dalam kehidupan di masyarakat sering terjadi penghibahan melalui surat wasiat.
Pada dasarnya ada dua cara pelaksanaan hibah, yakni :