BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum - HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kecemasan berbicara di depan umum merupakan keadaan tidak nyaman

  yang sifatnya tidak menetap pada individu. Keadaan tidak nyaman tersebut dialami ketika membayangkan akan tampil berbicara di depan umum, saat menjelang berbicara di depan umum dan pada saat sedang melaksanakan berbicara di depan orang banyak. Dalam kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) menjelaskan pengertian kecemasan sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Pendapat lain menurut Menurut Daradjat (dalam Muslimin, 2013), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik).

  Nevid (1997) menganggap kecemasan sebagai keadaan takut atau perasaan tidak enak yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kesehatan individu, hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah, masalah pekerjaan, hubungan internal dan lingkungan sekitar. Selain itu juga, Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial. Abdurachman (dalam Muslimin, 2013) mengartikan berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Kemudian Muslimin (2013) memberikan pernyataan bahwa berbicara di depan umum sendiri memiliki pengertian sebuah metode komunikasi yang dilakukan oleh seseorang baik secara perseorangan maupun dengan kelompok orang.

  Menurut Rogers (2008) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa. Pada konsteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog).

  Apollo (dalam Wahyuni, 2015) menyebut kecemasan berbicara di depan umum dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi karena adanya ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis. di depan umum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi masing-masing gejala saling berhubungan. Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum akan mengalami gejala pada psikologisnya, akan mempengaruhi fisiologis dan kognitifnya semua gejala tersebut saling timbal balik satu dengan yang lainnya.

  Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) yang ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di depan umum di sini seperti melakukan presentasi di depan kelas, menjadi presenter, atau menjadi pembicara dalam suatu kegiatan perkuliahan.

2. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum

  Rogers (2004) memaparkan beberapa dari aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum, antara lain: a.

  Aspek Fisik Komponen fisik biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan.

  Gejala fisik tersebut dapat berbeda pada tiap orang. Gejala-gejala fisik tersebut diantaranya jantung berdebar-debar, suara yang bergetar, kaki gemetar, kejang perut, dan sulit untuk bernafas.

  b.

  Aspek Mental Aspek mental memiliki gejala seperti sering mengulang kata atau kalimat, tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.

  c.

  Aspek Emosional Gejala-gejala yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan rasa malu setelah berakhir pembicaraan. Ada pendapat lain dari Burgoon (1994) yang memaparkan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum sebagai berikut: a.

  Unwillingness

  Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di

  depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan kegiatan tersebut.

  b.

  Unrewarding

  Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuman

  atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di muka umum lagi.

  c.

  Uncontrol

  Uncontrol adalah ketidakmampuan individu melakukan kontrol terhadap

  Menurut Rogers (2004) ada tiga aspek-aspek kecemasan antara lain aspek fisik, aspek mental dan aspek emosional. Burgoon (2994) mengungkapkan bahwa aspek-aspek kecemasan dibagi juga menjadi tiga antara lain Unwillingness,

  

unrewarding dan uncontrol. Dari dua pendapat ahli tersebut yang diacu untuk

  menjelaskan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dalam penelitian ini adalah pendapat dari Rogers (2004). Teori tersebut dipilih karena aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dijabarkan secara jelas dan lebih terperinci.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum

  Kecemasan berbicara di depan umum disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor yang berasal dari luar diri individu (eksternal) dan faktor yang terdapat dalam diri individu (internal), yang dapat dipaparkan sebagai berikut: 1)

  Faktor Eksternal a.

  Lingkungan yang baru Pada saat individu masuk dalam lingkungan yang baru, tidak jarang mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Misalkan saja seorang mahasiswa yang baru saja diterima di perguruan tinggi, secara tidak langsung akan muncul perasaan cemas dan sulit untuk berbicara dengan orang lain, baik yang bersifat formal maupun informal dengan satu orang ataupun kelompok (Muslimin, 2013). Suasana yang baru, tim pengajar yang berbeda, jumlah kelas dan teman yang lebih banyak serta beragam, mempengaruhi partisipasi mahasiswa dalam hal berbicara khususnya berbiacara di depan umum.

  Penelitian dari Vevea (2010) juga menunjukkan bahwa adanya masa transisi dari lingkungan sekolah ke lingkungan perkuliahan membuat mahasiswa merasa gugup. Suasana yang baru membuat mahasiswa harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut.

  b.

  Budaya Penelitian McCroskey dan Richmond (dalam Powel, 2010) menunjukkan bahwa pelajar di pedesaan memiliki kecenderungan kecemasan berbicara di depan kelas lebih tinggi dibandingkan pelajar di perkotaan. Samovar (2007) mengungkapkan bahwa budaya memiliki efek terhadap kecemasan berbicara pada individu sebab budaya dalam masyarakat sangat menentukan proses berpikir, persepsi serta tindakan individu terhadap suatu situasi.

  Pendapat kedua ahli tersebut dapat dimaknai bahwa kecemasan berbicara pada invidu yang tinggal di pedesaan dapat disebabkan oleh lingkungan pedesaan yang relatif lebih kecil dan homogen serta kuatnya budaya untuk selalu patuh terhadap peraturan dan guru serta adanya budaya malu pada diri individu. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya frekuensi siswa di pedesaan untuk berbicara, sehingga menyebabkan keterampilan berbicara dan keberanian pelajar untuk berbicara di depan umum di daerah pedesaan kurang terasah berbeda dengan daerah perkotaan yang lebih terampil McCroskey dan Richmond (dalam Powel, 2010).

  c.

  Komunikasi dalam keluarga Hasibuan (2011) menyatakan bahwa perkembangan kecemasan berbicara pada individu mulai terjadi sejak usia kanak-kanak dan berkembang hingga usia dewasa. Keluarga adalah lingkungan pertama dalam kehidupan individu, tempat individu belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Rothlisberg (dalam Rice, 2002) mengungkapkan bahwa interaksi yang berkualitas antara anggota keluarga berpengaruh terhadap kesuksesan individu dalam tumbuh kembangnya. Individu yang terbiasa direspon dengan baik dalam keluarga akan menunjukkan perilaku yang lebih positif seperti pencapaian prestasi yang tinggi, konsep diri yang positif, moral yang baik, serta mampu berkomunikasi secara efektif.

  2) Faktor Internal a.

  Pola pikir Pola pikir sangat berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik dan akan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang.

  Perubahan dalam perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana individu tersebut berpikir dan juga terhadap bagaimana individu tersebut merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola pikir seseorang sangat membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati (mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan,

  Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang mempunyai pola pikir yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.

  Albrecth (2009) menyatakan bahwa individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi permasalahan.

  Pola pikir seseorang dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya. Seseorang yang sering mengalami musibah kebanyakan berpola pikir takut musibah, selalu cemas atau selalu memikirkan kecelakaan. Sebaliknya, orang yang selalu bergembira memiliki pola pikir positif, mampu melihat kebaikan dalam setiap peristiwa, tidak ada kecenderungan menyakiti diri sendiri dan orang lain (Elfiky, 2009).

  Begitu juga dengan kecemasan berbicara di depan umum, saat seseorang berpikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam

  kecenderungan individu

  interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki

  untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir optimis terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat membantu individu dalam mengatasi masalahnya (William, 2004).

  b.

  Keterampilan komunikasi Manusia dalam kehidupan sosial tidak dapat terlepas dari proses interaksi dengan orang lain. Sifat sosial manusia adalah membutuhkan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Hubungan timbal balik membutuhkan komunikasi verbal dan non verbal.

  Keterampilan komunikasi yang baik cenderung mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum yang dimaksud peneliti adalah kecemasan yang terjadi pada individu ketika tampil berbicara di depan publik, menjadi presenter, menjadi MC, menjadi

  • announcer (penyiar radio), sebagai negosiator dalam melaksanakan nego

  siasi dengan orang lain, pada saat melaksanakan praktik profesi di semester enam, kuliah kerja nyata ataupun terjun ke masyarakat secara langsung (Wahyuni, 2015). c.

  Pengalaman individu Burgoon (1994) menyebutkan bahwa satu faktor yang menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum yaitu kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan perasaan yang negatif terhadap dirinya dan kemudian menghindar untuk berbicara di depan umum. Individu meyakini bahwa kejadian yang buruk akan terjadi.

  d.

  Kepercayaan diri Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan.

  Menurut Rakhmat (2009), apabila orang merasa rendah diri, ia akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan gagasannya pada orang lain, dan menghindar untuk berbicara di depan umum, karena takut orang lain menyalahkannya. kecemasan dalam interaksi sosial lebih sering dikarenakan adanya pikiran-pikiran negatif dalam diri individu. Individu perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan status sosial, status ekonomi dan tingkat pendidikan. Kepercayaan diri mahasiswa diasumsikan dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam berbicara di depan umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri yang memadai akan dapat meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri mereka saat mengadakan sebuah presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat menyikapi sebuah proses presentasi dengan respon yang positif.

  e.

  Efikasi diri Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (2006) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut seseorang untuk berperilaku secara mantap dan efektif.

  Bandura (1997) menyatakan bahwa sebagai keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif adalah efikasi diri. Sejalan dengan hal tersebut, Sarafino (1994) mengungkapkan bahwa kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal yang dapat dijabarkan masing-masing. Faktor eksternal meliputi lingkungan yang baru, budaya dan komunikasi dalam keluarga. Sedangkan faktor internal meliputi pola pikir, keterampilan komunikasi, pengalaman individu, kepercayaan diri dan efikasi diri.

  Mapes (2006) menyatakan bahwa pola pikir berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik dan akan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang. Perubahan dalam perilaku individu tersebut akan mempengaruhi cara individu berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun emosional. Pola pikir terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Individu yang mempunyai pola pikir yang positif akan dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati, misalnya mampu mengatasi perasaan cemas/panik, mengatasi rasa bersalah dan malu yang pada akhirnya dapat membantu individu tersebut dalam interaksi sosialnya (Peale (2001). Sehingga individu yang mampu berpikir positif akan mampu untuk mengurangi kecemasan saat berbicara di depan umum. Penelitian dari Rahayu (2006) menemukan adanya hubungan negatif antara pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Semakin tinggi tingkat berpikir positif, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah tingkat berpikir positif, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

  Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997) menyatakan bahwa keyakinan akan kemampuan dalam diri individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif disebut efikasi diri. Dengan keyakinan akan kemampuan tersebut, individu akan berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai hasil yang baik. Saat individu mendapatkan tugas (khususnya berbicara di depan umum), maka ia akan berusaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga rasa cemas yang muncul saat harus berbicara di depan umum akan dapat dikendalikan oleh individu. Penelitian dari Djayanti (2015) menemukan adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Semakin tinggi tingkat efikasi diri, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah tingkat efikasi diri, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

  Dua faktor berpikir positif dan dan efikasi diri kemudian dipilih berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya. Selain itu juga peneliti ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana faktor dari dalam diri (internal) yang meliputi berpikir positif dan efikasi diri mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

B. Berpikir Positif 1. Pengertian Berpikir Positif

  Ada beberapa konsep dari berpikir diantaranya yaitu thinking, thought, and mind (Chaplin, 2008). Konsep berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah thinking. Thinking atau Berpikir didefiniskan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Walgito (2003) menjelaskan bahwa berpikir merupakan kemampuan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar sehingga dapat dikatakan bahwa individu berpikir apabila menghadapi permasalahan atau persoalan. Bono (1990) menyatakan bahwa berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan.

  Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Seseorang yang mempunyai pola pikir positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.

  Albrecth (2009) mengemukakan bahwa berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan pikiran-pikirannya. Individu yang berpikir positif tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi permasalahan.

  Peale (2001) menyebutkan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

  Dengan berpikir positif akan melihatkan sesuatu pengetahuan bahwa akan ada yang baik dan yang buruk dalam kehidupan, tetapi hal ini lebih ditekankan pada yang baik. Berpikir positif membawa banyak keuntungan bagi kesehatan tubuh. Selain itu juga berpikir positif saat mengalami keadaan yang buruk akan memberikan kekuatan pada diri untuk terus berpikir mencari jalan keluar.

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir positif memiliki pengertian bentuk dari pemikiran mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dengan menunjukkan pikiran-pikirannya serta selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

2. Aspek-aspek Berpikir Positif

  Menurut Albrecth (2009) aspek-aspek dari berpikir positif adalah sebagai berikut: a.

  Pernyataan yang tidak memihak (non judgment talking) Pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai keadaan. seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaian yang negatif. Aspek ini sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung negatif.

  b.

  Harapan yang positif (positive expectation) Melakukan sesuatu dengan memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimis, pemecahan masalah yang menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan dengan menggunakan kata-kata yang mengandung harapan.

  c.

  Penyesuaian diri yang realistis (realistic adaptation) Mengakui kenyataan dan segera berusaha menyesuaikan diri dan menjauhkan diri dari penyesalan, frustasi, kasihan diri dan menyalahkan diri sendiri.

  d.

  Afirmasi diri (self affirmative) Memusatkan perhatian pada kekuatan diri dan melihat secara lebih positif dengan dasar pikiran bahwa setiap individu sama berartinya dengan individu lain. Selain itu ada pendapat lain dari Ubaedy (dalam Elfiky, 2009) yang menyatakan bahwa dimensi-dimensi dari berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut: a.

  Muatan pikiran Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan muatan positif untuk pikiran adalah berbagai bentuk pemikiran yang memiliki kriteria: benar (tidak melanggar nilai-nilai kebenaran), baik (bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna).

  b.

  Penggunaan pikiran Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.

  c.

  Pengawasan pikiran Dimensi ketiga dari berpikir positif adalah pengawasan pikiran. Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu dilakukan tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan tersebut.

  Menurut Albrecth (2009) terdapat empat aspek berpikir positif yaitu pernyataan yang tidak memihak, harapan yang positif, penyesuaian diri yang realistis, dan afirmasi diri. Sedangkan Ubaedy (dalam Elfiky, 2009) menjabarkan dimensi-dimensi berpikir positif menjadi tiga yaitu muatan pikiran, penggunaan pikiran dan pengawasan pikiran. Teori yang digunakan dalam penelitian ini dalam teori Albrecth (2009) lebih mendetail untuk menjelaskan dan mewakili masalah yang ada.

C. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri

  Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu merasa, berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, individu merasa mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya. Keyakinan pada seluruh kemampuan meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan. Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan.

  Selain itu juga Schultz (1994) mendefiniskan efikasi diri sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

  Efikasi diri adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari hasil kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1997). Dalam teori sosial kognitif (Bandura, 1997), dinyatakan bahwa efikasi diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakup kehidupan mereka.

  Baron & Byrne (2000) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan Feist & Feist (2000) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

  Efikasi diri memiliki keefektifan yaitu individu mampu menilai dirinya memiliki kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Tingginya efikasi diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak secara tepat dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak meyenangkan. Efikasi diri selalu berhubungan dan berdampak pada pemilihan perilaku, motivasi dan keteguhan individu dalam menghadapi setiap persoalan (Bandura, 1997).

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi untuk memperoleh hasil yang positif secara kecukupan dan efisien dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

2. Aspek-aspek Efikasi Diri

  Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek-aspek dari efikasi diri, yaitu: a. Level

  Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu mengatasinya. Tingkat efikasi diri seseorang berbeda satu sama lain.

  Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan menentukan efikasi diri. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai efikasi diri yang tinggi pada permasalahan ini.

  b.

  Generality Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan . pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas c. Strength

  Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari efikasi diri seseorang ketika berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Efikasi diri yang lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang menggelisahkan ketika menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan bertekun pada usahanya meskipun pada tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.

  Ada pendapat lain dari Corsini (1994) yang membagi aspek-aspek efikasi diri menjadi empat yaitu: a.

  Kognitif Kognitif merupakan keyakinan seseorang untuk memikirkan cara-cara yang dapat digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah semakin efektif keyakinan seseorang dalam berpikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya, maka akan mendukung seseorang untuk bertindak dengan tepat guna mencapai tujuan yang diharapkan.

  b.

  Motivasi Motivasi merupakan keyakinan seseorang dalam memotivasi diri melalui pikirannya untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap orang berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinannya pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Motivasi dalam efikasi diri digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan seseorang.

  c.

  Afeksi Afeksi merupakan keyakinan untuk mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.

  d.

  Seleksi Seleksi merupakan keyakinan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

  Seleksi tingkah laku mempengaruhi perkembangan personal. Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat seseorang tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi situasi sulit.

  Pada penelitian ini yang dipakai untuk mendukung teori efikasi diri adalah teori dari Bandura (1997) dengan pertimbangan keterangan dari aspek-aspek yang diungkapkan lebih sesuai digunakan untuk penelitian ini.

  

D. Hubungan antara Berpikir Positif dengan Kecemasan Berbicara di

Depan Umum pada Mahasiswa

  Pola pikir berpengaruh terhadap suasana hati, reaksi fisik dan akan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang. Perubahan dalam perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana individu tersebut berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola pikir seseorang sangat membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati (mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan, kecemburuan, rasa bersalah dan rasa malu (Mapes, 2006).

  Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumnya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang mempunyai pola pikir yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.

  Meskipun berpikir positif bukanlah solusi terhadap berbagai masalah kehidupan, tetapi pemikiran akan membantu menentukan suasana hati yang dialami dalam situasi tertentu. Begitu individu mengalami suasana hati tertentu, suasana hati tersebut akan disertai dengan pemikiran lain yang mendukung dan memperkuat suasana hati.

  Miller & Tesser (1990) mengungkapkan bahwa pikiran memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku. Sikap terdiri dari komponen kognitif dan afektif.

  Pikiran menekankan komponen afektif untuk menghasilkan penilaian dan perkiraan mengenai perwujudan perilaku (afektif menggerakkan perilaku). Di sisi lain, pikiran menekankan komponen kognitif untuk menghasilkan penilaian dan perkiraan mengenai perilaku (kognitif menggerakkan perilaku). Pikiran positif akan menghasilkan sikap mental yang positif yang akan membantu individu membangun harapan serta mengatasi keputusasaan dan ketidakberanian (Hills, 2009).

  Menurut Opt & Loffredo (2000) individu yang menggunakan pola pikir positif mempunyai kecemasan yang lebih rendah daripada individu yang berpola sisi positif, suka bekerja keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum, sehingga kecemasan saat berbicara di depan umum dalam diri seseorang rendah. Individu dengan pola pikir negatif lebih menggunakan perasaaanya, lebih mudah stress dan mengekspresikan kecemasan karena selalu fokus pada pendapatnya sendiri. Bertentangan dengan pola pikir positif, kecemasan berbicara di depan umum pada seseorang dengan pola pikir negatif akan tinggi.

  Devito (1995) menyatakan kecemasan berbicara di muka umum dapat terjadi karena individu memiliki pola pikir negatif sehingga komunikasi yang dilakukan memberikan hasil negatif. Sebagai contoh dalam sebuah diskusi kelompok umumnya siswa diminta untuk maju dan berbicara di depan kelas, saat ujian, dan ketika berlatih bicara dengan orang asing. Pada saat diminta untuk berbicara di depan kelas, sebagian besar siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa kaget dan ragu-ragu. Pada saat mereka telah selesai berbicara dan melakukan suatu kesalahan, mereka akan merasa malu dan takut dimana hal tersebut karena adanya kekhawatiran terjadinya penilaian sosial yang negatif terhadap mereka dan disebabkan karena adanya ketakutan akan gagal.

  Spielberger, dkk (dalam Ghufron 2012) menyatakan bahwa kecemasan berbicara saat presentasi yang dialami individu tersebut didefinisikan sebagai konsep yang terdiri dari dua dimensi utama, yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf otomatik yang timbul akibat atau suatu objek tertentu. Hal tersebut juga buruk yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.

  Menurut Bandura (1997), kognisi adalah proses berpikir individu tentang situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana individu merasa dan berbuat (Corsini, 1994). Dengan kata lain, cara individu memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku (Ayres, 1992).

  Suasana hati tergantung dari perasaan yang diasosiasikan terhadap peristiwa atau situasi tertentu (Wolpe, 2001). Asosiasi terhadap situasi tertentu dipelajari berdasarkan observasi dan pengalaman (Hergenhahn & Olson, 2001). Sebagai contoh, jika seseorang pernah dihujani kritik dan ejekan pada saat berbicara di depan umum, maka ia akan mengasosiasikan situasi tersebut sebagai suatu hukuman, sehingga rasa takut dipermalukan dapat menjadi penghambat untuk berbicara di depan umum (Ayres, 2002).

  Opt & Loffredo (2000) memaparkan hasil penelitiannya, bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Peale (2001) menyatakan bahwa seseorang yang berpikir positif akan memandang segala persoalan yang muncul dari sudut pandangan yang positif. Individu yang berpikir positif akan menanggapi dan mengatasi persoalan secara lebih optimis dan mengarahkan pikirannya pada hari depan yang gemilang.

  Hasil penelitian dari Rahayu (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa dengan tingkat berpikir positif yang rendah, maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan tinggi. Sebaliknya jika tingkat berpikir positif tinggi, maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan rendah. Dengan demikian bila individu berada dalam masa-masa penuh kesulitan, sehingga individu akan mempunyai sikap untuk selalu menanggapi dan mengatasi persoalannya secara optimis maka sikap yang demikian itu telah membantu mengubah saat-saat gelap menjadi lebih cerah, produktif dan kreatif. Kecemasan berbicara di depan umum diharapkan dapat berkurang jika individu atau mahasiswa selalu berpikir positif, karena dalam berpikir positif mahasiswa tidak hanya dapat membebaskan diri dari berbagai perasaan negatif seperti takut salah atau ditertawakan, malu, merasa tidak bisa dan rendah diri dan lain sebagainya.

  Rogers (2004) mengemukakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah pola pikiran yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan umum merasa bahwa dirinya sedang diadili, merasa penampilan dan gerak gerik serta ucapannya sedang menjadi perhatian khalayak. Atau dengan kata lain hal tersebut dikarenakan pikiran-pikiran yang negatif dan tidak rasional. Reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional.

  Albrecht (2009) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkan, meskipun lingkungan sekitarnya tifak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka maka akan timbul hambatan dalam diri individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkungan disekitarnya tidak mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama dengan mahasiswa.

  Mahasiswa yang memiliki pikiran positif akan memiliki kemampuan yang baik dalam mengolah kecemasan saat berbicara di depan umum agar hal tersebut tidak akan mengganggu performanya.

  Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi maka kecemasan berbicara di depan umum akan rendah. Apabila seseorang memiliki tingkat akan tinggi. Hal ini menandakan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.

E. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan

  

Umum pada Mahasiswa

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi memegang peranan penting dalam kegiatan pendidikan. Beberapa bentuk komunikasi seperti bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi kelompok yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa tidak hanya berinteraksi dengan dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat, ide-idenya secara lisan di depan banyak orang (Elliot, 2000). Ada harapan-harapan yang diberikan kepada mahasiswa sebagai kelompok yang mengeyam pendidikan tinggi untuk memiliki kompetensi yang lebih baik dalam hal ini kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara di depan umum sebagai bekal mahasiswa di kehidupan masyarakat. Faktanya di lapangan kecemasan muncul saat mahasiswa ditunjuk untuk berbicara di depan umum (Wahyuni, 2015).

  Sarafino (1994) menyatakan bahwa penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan efikasi diri. Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas,

  Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997) menyatakan bahwa keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif disebut efikasi diri.

  Efikasi diri mempengaruhi bagaimana perasaan individu, cara berfikir, memotivasi diri, dan bagaimana individu bertingkah laku. Efikasi diri juga mempengaruhi individu dalam penelitian tugas, kegigihan dalam usaha meraih prestasi. Efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, maka akan mengalami kecemasan yang tinggi (Bandura, 1997). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2002) yang menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka kecenderungannya mereka mempunyai tingkat efikasi diri yang rendah. Sementara mereka yang memiliki efikasi diri yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

  Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut di pandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali efikasi diri mereka ketika menghadapi kegagalan (Suryabrata, 2010).

  Individu yang menghadapi situasi menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka efikasi diri akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Tingginya efikasi diri yang dimiliki akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertidak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang hendak di capai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan prestasi dan performasi individu tersebut.

  Menurut Prakosa (2006) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang untuk berperilaku secara mantap dan efektif. Sehingga mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi akan memiliki performa yang baik jika ia ditunjuk untuk berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan fungsi rendahnya efikasi diri. Efikasi diri berperan menentukan bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan. Pada saat merasa takut dan cemas, biasanya individu mempunyai efikasi diri rendah. Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi, merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman . sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari

  Penelitian Djayanti (2015) menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum, yang berarti bahwa apabila efikasi diri tinggi maka kecemasan berbicara di depan umum rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila efikasi diri rendah maka kecemasan berbicara di depan umum tinggi. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Wahyuni (2015) yang menunjukkan ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

17 169 81

Hubungan Self-Effecacy dan Keterampilan Komunikasi dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum

0 0 32

HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS PADA MAHASISWA DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK KELAS AANVULLEN STIKES ‘AISYIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan Kelas pada Mahasiswa

0 0 5

Pengaruh Kecemasan Berbicara di Depan Umum Peserta Didik terhadap Motivasi Belajar dalam Pembelajaran Bidang Studi Biologi di Kelas XI MA Madani Alauddin Paopao - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 150

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kecemasan - Nur Najmiyatul Kholifah BAB II

0 0 23

HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN KOMUNIKASI, KEPERCAYAAN DIRI DAN SELF EFFICACY DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA KEPERAWATAN S1 ANGKATAN 2010 DI UNVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM 1. Pengertian Kecemasan Berbicara - HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN KOMUNIKASI, KEPERCAYAAN DIRI DAN SELF EFFICACY DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM P ADA MAHASISWA KEPERAWATAN S1 ANGKATAN 2

0 1 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Menopause 1. Kecemasan a. Pengertian - Ofie Abriyanti BAB II

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kecemasan - BAB II Ratna Trisnawati

0 4 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian - Nur Asni BAB II

0 0 24