Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

(1)

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN

KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA

MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ASTRID INDI DWISTY ANWAR

051301007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

Hubungan antara Self-efficacy dengan Kecemasan Berbicara Di depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Univeristas Sumatera Utara

Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W. ABSTRAK

Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh manusia. Kecemasan ini menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya aspek akademis. Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuannya yang disebut self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997)

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

Sampel penelitian ini adalah 184 orang mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Penelitian ini menggunakan dua buah skala sebagai alat ukur, yaitu Skala Self-efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum yang disusun sendiri oleh peneliti dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek self-efficacy (Bandura, 1997) dan komponen kecemasan berbicara di depan umum (Rogers, 2004). Skala Self-efficacy nilai reliabilitas (rxx)=0.907 dan terdiri dari 39 aitem,

sedangkan Skala Kecemasan Berbicara Di Depan Umum nilai reliabilitas (rxx)=0.948 dan terdiri dari 52 aitem.

Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan nilai r = -0,670, (0,01). Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat kecemasannya berbicara di depan umum, dan sebaliknya, semakin rendah self-efficacy mahasiswa maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan semakin tinggi.


(3)

Relationship between self-efficacy and public speaking anxiety among students in Psychology Faculty of North Sumatera University

Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W. ABSTRACT

Public speaking anxiety is one of greater fear that human faced. This anxiety causes the negative influence for some aspects of life, one of them is academic aspect. The handling of the anxiety is different between one person to others depends on their individual assessment of their ability called self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy will affect their way reacting to pressured situation (Bandura, 1997).

This research is a correlational research that aims to understand the correlation between self-efficacy and public speaking anxiety among student in Faculty of Psychology of Norh Sumatera University.

The subjects of this research were 184 students in Psychology Faculty of North Sumatera University. This research using two scale as a measuring tools, namely Self-efficacy Scale and Public Speaking Anxiety Scale organized by researcher based on the aspects that formed Self-efficacy (Bandura, 1997) and Public Speaking Anxiety (Rogers, 2004). The Self-efficacy Scale has a value of reliability (rxx)=0.907 and consist of 39 items, whereas the Public Speaking

Anxiety Scale reliability value is (rxx)=0.948 and consist of 52 items.

The analysed of research data using Pearson Product Moment correlation method. The result showed that there was a negative correlational between self-efficacy and public speaking anxiety with correlation coefficient r = -0,670, (0,01). It means the higher student’s self-efficacy then their public speaking anxiety level becomes lower, and on the contrary, lower student’s self-efficacy then they public speaking anxiety level becomes higher.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah ”Hubungan Antara Self-efficacy dengan KecemasanBerbicara di depan umum PadaMahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara”.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan dan kesabaran untuk menyelesaikannya. Namun disadari, karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling penulis yang telah mendukung dan membantu.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

 Keluarga penulis (Ayah, Mama, Bang Andrie, Ananda) yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

 Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi

 Ibu Rr. Lita H. Wulandari, S.Psi., Psi, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis

 Ibu Dra. Josetta M. R. T., M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesabaran dan bimbingan, serta dukungannya selama ini.

 Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psi, Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd., Ibu Sri Supriyantini, S.Psi., Psi, Bang Tarmidi, M.Psi, Psi , kak Fasti Rola,


(5)

M.Psi, Psi, dan Kak Dian Ulfa Sari, M.Psi, Psi, selaku dosen Departemen Psikologi Pendidikan.

 Untuk dosen-dosen Psikologi USU atas semua ilmu yang telah diberikan, mudah-mudahan ilmu ini dapat berguna dan dapat diterapkan dengan baik.

 Untuk Sevi, Kinan, Roro, Raisa, Enni, Vicky, Mirna, Desti, dan Mitha, yang selalu menemani, memberikan support, masukan, dan memberikan semangat.

 Untuk Teman-teman angkatan 2005 yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan penelitian ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan, serta para pembaca pada umumnya.

Medan, Desember 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Perumusan masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum ... 11

1. Pengertian kecemasan berbicara di depan umum ... 11

2. Komponen kecemasan berbicara di depan umum ... 14

3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum ... 15

B. Self-efficacy ... 18


(7)

3. Tahap perkembangan self-efficacy ... 21

4. Faktor yang mempengaruhi self-efficacy ... 22

5. Aspek-aspek self-efficacy ... 24

C. Mahasiswa ... 25

1. Pengertian mahasiswa ... 25

2. Mahasiswa Fakultas Psikologi USU ... 26

D. Hubungan Self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa fakultas psikologi USU ... 27

E. Hipotesa ... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel ... 30

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30

C. Populasi dan Sampel ... 32

D. Metode pengambilan data ... 35

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan ... 45

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 46

G. Metoda Analisis Data ... 46

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 48


(8)

1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 48

2. Usia Subjek Penelitian ... 49

3. Stambuk Subjek Penelitian... 49

B. Hasil Penelitian ... 50

1. Uji Asumsi... 50

2. Hasil Analisa Data ... 53

C. Hasil Tambahan ... 58

1. Gambaran Skor self-efficacy berdasarkan jenis kelamin ... 58

2. Gambaran Skor Kecemasan berbicara di depan umum Berdasarkan jenis kelamin ... 59

3. Gambaran Skor Kecemasan berbicara di depan umum berdasarkan stambuk ... 60

D. Pembahasan ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara 27

Tabel 2 Blueprint Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum 37

Tabel 3 Blueprint Skala Self-efficacy 38

Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy setelah

uji coba 41

Tabel 5 Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy pada

saat penelitian 42

Tabel 6 Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara

di Depan Umum setelah uji coba 43

Tabel 7 Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara

di Depan Umum pada saat penelitian 44

Tabel 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 48

Tabel 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 49

Tabel 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Stambuk 50

Tabel 11 Normalitas Sebaran Variabel Self-efficacy dan

Kecemasan berbicara di depan umum 51

Tabel 12 Linearitas Hubungan Kedua Variabel 52

Tabel 13 Korelasi Pearson 54

Tabel 14 Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Self-efficacy 55


(10)

Tabel 16 Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Kecemsan

Berbicara di Depan Umum 57

Tabel 17 Kategorisasi Data Empirik Kecemasan Berbicara di

Depan Umum 57

Tabel 18 Gambaran Skor Self-efficacy Berdasarkan Jenis Kelamin 58 Tabel 19 Perbedaan Self-efficacy berdasarkan jenis kelamin 58 Tabel 20 Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Berdasarkan Jenis Kelamin 59

Tabel 21 Perbedaan Kecemasan Berbicara di depan umum

berdasarkan Jenis Kelamin 59

Tabel 22 Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Berdasarkan Stambuk 60

Tabel 23 Perbedaan Kecemasan Berbicara di Depan Umum


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Scatter Plot Self-efficacy dan Kecemasan


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Tidak ada perilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik komunikasi verbal, nonverbal, maupun komunikasi melalui media pembelajaran. Bidang pendidikan tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan komunikasi (Jourdan dalam Yusuf, 1990). Komunikasi menggambarkan bagaimana seseorang memahami, melihat, mendengar, dan merasakan tentang dirinya (sense of self) serta bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan, dari mengumpulkan dan mempresentasikan informasi, hingga menyelesaikan konflik. Berbicara, mendengar, dan kemampuan memahami media (media literacy) merupakan tiga elemen dari komunikasi. Seorang mahasiswa diharapkan dapat menjadi pembicara, pendengar, dan pelaku media (media participant) yang kompeten dalam berbagai setting lingkungan, seperti dalam situasi personal dan sosial, di dalam kelas, di tempat kerja, maupun sebagai anggota masyarakat. Di dalam setting kelas pada khususnya, esensi dari proses belajar mengajar adalah komunikasi, yang terdiri dari transaksi verbal dan nonverbal antara dosen dan mahasiswa maupun antar mahasiswa (Connor, 1996).

Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook & Travers, (2000) menyatakan bahwa komunikasi memegang peranan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku yang diharapkan, hubungan interpersonal antara guru dengan siswa, dan


(13)

penyampaian instruksi, termasuk di dalamnya bertanya, memuji, dan umpan balik individu. Selanjutnya, Arismunandar (2003) mengemukakan bahwa komunikasi dan interaksi di dalam kelas sangat menentukan efektivitas dan mutu pendidikan. Dosen yang menjelaskan, mahasiswa yang bertanya; berbicara dan mendengarkan yang terjadi silih berganti, semuanya itu merupakan bagian penting dari pendidikan.

Bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, melakukan diskusi kelompok, merupakan beberapa bentuk komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa tidak hanya berinteraksi dengan dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan ide-idenya secara lisan di depan orang banyak. Demikian halnya pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU), dimana sebagai calon psikolog, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan berbicara baik dalam situasi personal maupun di depan umum, di samping keahlian mengungkapkan pikirannya secara tertulis. Pada buku Panduan Perkuliahan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (2008) juga disebutkan bahwa salah satu kompetensi lulusan Sarjana Psikologi USU yang diharapkan adalah mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelurusan informasi berdasarkan perubahan yg terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan psikologi seharusnya memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.

Demi memenuhi tuntutan tersebut, metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan sistem diskusi kelompok dan presentasi


(14)

guna membiasakan mahasiswa berbicara di depan umum. Namun, tidak jarang mahasiswa merasa cemas untuk mengungkapkan pikirannya secara lisan, baik pada saat diskusi kelompok, bertanya pada dosen, maupun ketika harus berbicara di depan kelas saat mempresentasikan tugas. Ketiga kegiatan tersebut menuntut mahasiswa untuk berbicara di depan umum, dan ketika mahasiswa merasa cemas saat melakukannya dapat dikatakan mahasiswa tersebut mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang merupakan salah satu bentuk dari hambatan komunikasi (communication apprehension).

Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyatakan communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. McCroskey (dalam Byers dan Weber, 1995) mendefinisikan communication apprehension sebagai tingkat kecemasan individu yang diasosiasikan dengan salah satu komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang diharapkan dengan individu lain maupun dengan orang banyak.

Motley (dalam Byers dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Kecemasan berbicara di depan umum dikatakan sebagai salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh warga Amerika. Motley juga menyatakan bahwa sekitar 85 % dari kita mengalami kecemasan yang tidak menyenangkan berkenaan dengan berbicara di depan umum tersebut. Pada 15 %


(15)

sampai 20 % mahasiswa Amerika, ketakutan ini melemahkan, dan sangat mengganggu pekerjaan individu.

Selain itu, Flax (dalam Tilton, 2002) menegaskan bahwa berdasarkan penelitian terakhir, masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di depan umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton (2002) menambahkan, dalam kenyataannya, banyak individu yang menyatakan lebih takut untuk berbicara di depan umum dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian.

Penelitian mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat kecemasan berbicara yang tinggi biasanya tidak dianggap secara positif oleh orang lain (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995). Mereka dianggap tidak responsif, tidak komunikatif, sulit untuk mengerti, tidak memiliki ketertarikan sosial dan seksual, tidak kompeten, tidak dapat dipercaya, tidak berorientasi pada tugas, tidak suka bergaul, tidak suka menjadi pemimpin dan tidak produktif dalam kehidupan profesionalnya (Merrill; Mulac & Sherman; McCroskey & Richmond, dalam Byers & Weber, 1995). Intinya adalah bahwa kecemasan berbicara menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis, politik, dan sosial individu (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995).

Hal senada juga disampaikan oleh Bandura (1997) bahwa individu yang mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar yang sering mengganggu performansi dalam kehidupan mereka, begitu pula dalam situasi akademis. Lebih lanjut, Elliot, dkk (2000) menyatakan bahwa mahasiswa sering mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian ataupun pada saat harus


(16)

berbicara di depan orang banyak, dan kecemasan tersebut akan mempengaruhi perfomansinya. Ericson dan Gardner (dalam Tussey, 2002) menambahkan bahwa kecemasan terbukti menimbulkan banyak efek yang merugikan terhadap mahasiswa di dalam kelas.

Kecemasan berbicara di depan umum yang terjadi pada diri individu bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasan tersebut dapat bersumber dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk menghadapi situasi yang ada, pola berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi atau diri sendiri. Beberapa penelitian bahkan menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik individu. MacIntyre dan Thivierge misalnya, mereka menemukan bahwa ciri umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektulitas secara signifikan berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum (dalam Roach, 1999).

Ketika merasa cemas ataupun ketika dihadapkan dengan situasi-situasi yang menekan, individu akan mengalami gejala-gejala fisik maupun psikologis. Nevid, dkk. (1997) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum biasanya ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Gitomer dan Plourde (dalam Boyce, dkk. 2007) menambahkan bahwa mual, berkeringat, lutut lemas, dan mulut kering adalah simptom-simptom yang diasosiasikan dengan ketakutan saat berdiri di hadapan publik.


(17)

Di samping itu, kecemasan berbicara di depan umum juga ditandai dengan adanya gejala-gejala psikologis, seperti takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang, dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik (Matindas, 2003). Individu yang merasa cemas baik secara psikis maupun biologis, dalam dirinya akan terjadi gangguan antisipasi atau harapan pada masa yang akan datang. Keadaan ini ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah, dan perasaan akan terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan dan individu menjadi tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap masalahnya (Hurlock, 1997).

Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy (Sarafino, 1994). Bandura (1997) mendefiniskan self-efficacy sebagai keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Penilaian seseorang terhadap self-efficacy memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan.

Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (1996) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut kita berperilaku secara mantap dan efektif.


(18)

Tingginya self-efficacy yang dimiliki akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi dan perfomansi individu tersebut (Bandura, 1997).

Lebih lanjut, Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor, yang berperan penting dalam keterbangkitan kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi.

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Feist & Feist (2002), bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mereka mempunyai self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(19)

B. Identifikasi Permasalahan

Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang psikologi pendidikan mengenai hubungan antara sef-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Pihak fakultas dapat mengetahui tingkat self-efficacy dan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa di Fakultas Psikologi USU. Hal ini berguna dalam memberikan pembinaan pada mahasiswa dalam mengembangkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.


(20)

b. Penelitian ini berguna sebagai input bagi mahasiswa tentang self-efficacy dan kecemasan berbicara di depan umum, sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan diri mahasiswa terutama dalam meningkatkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan umum.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab I terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan Teori

Bagian II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah serta hipotesa. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kecemasan dalam berbicara di depan umum dan teori self-efficacy.

BAB III : Metode Penelitian

Bab III berisi uraian yang menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode


(21)

analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian.

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data

Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, serta saran metodologis dan praktis.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum

1. Pengertian kecemasan berbicara di depan umum

Dalam kamus istilah psikologi, Chaplin (2000) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan campuran berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai rasa-rasa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Daradjat (1969) menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa.

Sementara itu, menurut Lazarus (1976) kecemasan mempunyai dua arti, yaitu:

a. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan tidak menyenangakan serta diikuti dengan suasana gelisah, bingung, khawatir dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan menjadi dua, yaitu:


(23)

(1) State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada.

(2) Trait anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas.

b. Kecemasan sebagai intervening variable, disini kecemasan lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah.

Sementara itu, Nevid, dkk. (1997) menganggap kecemasan sebagai suatu keadaan takut atau perasaan tidak enak yang disebabkan oleh banyak hal seperti kesehatan individu, hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah, masalah pekerjaan, hubungan internal dan lingkungan sekitar. Lebih lanjut, Hudaniah dan Dayakisni (2003) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial.


(24)

Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan dalam hal berkomunikasi. Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) mendefinisikan communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. Pada penelitian kali ini penulis akan menekankan pada kecemasan berbicara di depan umum.

Selanjutnya, McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis

Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in generalized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tapi tidak pada situasi lainnya.

McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara di depan umum berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (Public Speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan umum.

Sejalan dengan itu, Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan berbicara di depan umum dengan istilah “communication apprehension”. Beaty


(25)

menjelaskan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang sebagai hasil dari proses belajar sosial.

Terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa, pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses komunikasi dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Ketakutan dan kecemasan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah dan perasaan tertekan (Rogers, 2004).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Hal ini akan ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis.

2. Komponen kecemasan berbicara di depan umum

Rogers (2004) membagi komponen kecemasan berbicara di depan umum menjadi tiga, yaitu :

a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan. Gejala fisik tersebut dapat berbeda setiap orangnya. Beberapa


(26)

contoh gejala fisik yang dimaksud adalah detak jantung yang semakin cepat, suara yang bergetar, kaki gemetar, kejang perut, sulit untuk bernafas dan hidung berlendir.

b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat, hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.

c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan rasa malu setelah berakhirnya pembicaraan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bawah komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum

Kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Beberapa penelitian menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik kepribadian individu. MacIntyre dan Thivierge (dalam Roach, 1999) misalnya, menemukan bahwa ciri umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektualitas


(27)

secara signifikan berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum. Weaver, Sarget, dan Kiewitz juga menemukan hubungan antara tipe kepribadian (Tipe A dan Tipe B) dengan kecemasan berbicara, dimana dilaporkan bahwa individu Tipe A memiliki tingkat kecemasan berbicara yang lebih rendah dibandingkan dengan individu Tipe B (dalam Roach, 1999).

Rogers (2004) meyakini bahwa yang sangat berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang yang hendak

berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”, merasa bahwa

penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian banyak orang. Sama halnya dengan pendapat Rahayu, dkk (2004) yang menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum bukan disebabkan oleh ketidakmampuan individu, tetapi disebabkan pada pikiran-pikirannya yang negatif dan tidak rasional. Hasil penelitiannya yang dilakukan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Maksudnya semakin tinggi pola pikir positif seseorang maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin rendah pola pikir positifnya maka semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.

Pada bukunya yang berjudul “Human Communication”, Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyebutkan adanya satu faktor yang menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan perasaan yang


(28)

negatif terhadap dirinya dan kemudian menghindari bicara di depan umum. Individu meyakini bahwa kejadian yang buruk akan terjadi. Meskipun pada kenyataannya tidak semua pikirannya akan menjadi kenyataan (McCroskey, 1984).

Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah citra raga individu (Triana, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan pada mahasisiwa Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa semakin positif citra raga individu maka semakin rendah kecemasannya dalam berbicara di depan umum. Sebaliknya semakin negatif citra raga individu, maka kecemasan berbicara di depan umum semakin tinggi.

Sejalan dengan penelitian Triana (2005), Matindas (2003) memandang keyakinan atau kepercayaan diri seseorang sangat berpengaruh terhadap kecemasannya berbicara di depan umum. Ketidakyakinan yang muncul dalam bentuk rasa takut atau cemas menandakan adanya ketegangan yang sangat besar dalam dirinya. Ketegangan inilah yang menyebabkan tersumbatnya memori atau terganggunya kemampuan mengingat, keluar keringat dingin, dan jantung berdebar.

Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasan tersebut dapat bersumber dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk menghadapi situasi yang ada, pola berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi atau diri sendiri.


(29)

Selain faktor-faktor di atas, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus dalam beberapa penelitian mengenai kecemasan berbicara di depan umum. Elliot dan Chong (2004) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum dimana wanita memiliki tingkat kecemasan berbicara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum antara lain adalah pola pikir yang keliru, pengalaman individu, citra diri individu, jenis kelamin, dan keyakinan atau kepercayaan diri seseorang.

B. Self-Efficacy

1. Pengertian self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1977). Dalam teori sosial kognitif, Bandura (1986) menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan


(30)

self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan, Feist & Feist (2002) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadapa pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.

2. Klasifikasi self-efficacy

Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self-efficacy yang tinggi dan self-efficacy yang rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat intrinsik dan ketertarikan yang


(31)

mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self-efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Dari hal-hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Dapat menangani secara efektif situasi yang mereka hadapi. b. Yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan.


(32)

c. Ancaman dipandang sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. d. Gigih dalam berusaha.

e. Percaya pada kemampuan diri yang dimiliki. f. Hanya sedikit menampakkan keragu-raguan. g. Suka mencari situasi baru.

Individu yang memiliki self-efficacy rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacy ketika

menghadapi kegagalan.

b. Tidak yakin dapat menghadapi rintangan.

c. Ancaman dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. d. Mengurangi usaha dan cepat menyerah.

e. Ragu pada kemampuan diri yang dimiliki. f. Tidak suka mencari situasi baru.

g. Aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.

3. Tahap perkembangan self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang secara teratur. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan berbahasa yang hampir secara konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Awal dari pertumbuhan self-efficacy dipusatkan pada orang tua kemudian dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya, dan orang dewasa lainnya.


(33)

Self-efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada masa lanjut usia, sulit terbentuk sebab pada masa ini terjadi penurunan mental dan fisik, pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial.

Berdasarkan hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tahap perkembangan self-efficacy dimulai dari masa bayi, kemudian berkembang hingga masa dewasa sampai pada masa lanjut usia.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy pada diri individu antara lain :

a. Budaya

Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.

b. Gender

Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja. c. Sifat dari tugas yang dihadapi


(34)

Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.

d. Insentif eksternal

Faktor lain yang dapat mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan

Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah. f. Informasi tentang kemampuan diri

Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang


(35)

dihadapi, insentif eksternal, status dan peran individu dalam lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.

5. Aspek-aspek self-efficacy

Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri manusia, yaitu :

a. Tingkatan (Level)

Adanya perbedaan self-efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai perfomansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan memiliki self-efficacy yang tinggi.

b. Keadaan Umum ( Generality)

Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun pada kehidupan mereka.


(36)

c. Kekuatan (Strength)

Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam berusaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek self-efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugas) .

C. Mahasiswa

1. Pengertian mahasiswa

Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Basir, 1992). Menurut Winkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII.

2. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah mereka yang terdaftar dan belajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Dalam buku Panduan Perkuliahan Program Studi Strata 1 (S-1) Fakultas Psikologi


(37)

Universitas Sumatera Utara (2008) ditegaskan bahwa kompetensi lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara yang diharapkan adalah :

a. Mampu menguasai konsep-konsep umum, perspektif umum, hasil-hasil penelitian empiris, dan sebagainya dalam bidang psikologi

b. Mampu menguasai penelitian dasar, memiliki keterampilan wawancara, observasi, desain penelitian mengenai skala, alat ukut psikologi dan sejenisnya, dan mampu melakukan analisis baik dalam bentuk metode kuantitatif maupun kualitatif

c. Mampu menguasai prinsip psikodiagnostik dasar serta mampu melakukan pengamatan secara obyektif dan sistematis mengenai bakat, minat, dan kepribadian

d. Mampu melakukan intervensi dalam bidang non klinis dan pelatihan

e. Mampu membangun hubungan yang konstruktif supaya memiliki

keterampilan dan menjaga hubungan interpersonal dan mengkomunikaskan apa yang dimiliki

f. Mampu beretika dalam memberikan pelayanan kepada individu dan kelompok, memahami perbedaan dan tidak membeda-bedakan

g. Mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah.

Jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi USU saat ini mencapai 515 orang yang terdiri dari dari angkatan 2003 sampai dengan 2009. Perincian jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi USU digambarkan dalam tabel 1 berikut:


(38)

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Angkatan Jumlah

2003 1

2004 20

2005 76

2006 102

2007 116

2008 102

2009 98

TOTAL : 515

Dari pemaparan di atas disebutkan bahwa seorang lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara yang diharapkan salah satunya adalah yang mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan psikologi diharapkan memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.

D. Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Sebagai calon lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara dan sebagai calon psikolog, setiap mahasiswa diharapkan mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan, baik dalam komunikasi antar pribadi, komunikasi di


(39)

metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan sistem diskusi kelompok dan presentasi guna membiasakan mahasiswa berbicara di depan umum. Namun, tidak jarang mahasiswa merasa cemas untuk mengungkapkan pikirannya secara lisan, baik pada saat diskusi kelompok, bertanya pada dosen, maupun ketika harus berbicara di depan kelas saat mempresentasikan tugas. Dalam hal penanganan kecemasan ini, antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy (Sarafino, 1994)

Ketika menghadapi situasi yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Menurut Bandura, self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan penting dalam keterbangkitan kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Feist & Feist (2002), bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mereka mempunyai self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang


(40)

tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin tinggi self-efficacy seseorang, maka tingkat kecemasannya ketika berbicara di depan umum semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

Bandura (1997) berasumsi bahwa harapan mengenai kemampuan untuk melakukan tindakan yang diperlukan itu menentukan apakah orang yang bersangkutan akan berusaha untuk melakukannya, seberapa tekun ia melakukannya, dan pada akhirnya akan menentukan seberapa keberhasilan yang akan diperolehnya, jika ia memang memiliki kemampuan insentif yang layak. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Lent (1991) bahwa keyakinan yang kuat dalam diri untuk mencapai performansi yang diharapkan akan memberi dorongan dan kekuatan pada diri individu itu sendiri. Selain itu, Myers (1996) menambahkan bahwa individu dengan self-efficacy yang tinggi tidak mudah mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki pola hidup yang terfokus, sehingga dapat hidup lebih sehat dan sukses dalam bidang akademis.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antara negatif antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Semakin tinggi self-efficacy maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy maka tingkat kecemasan di depan umum semakin tinggi.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Unsur yang paling penting di dalam suatu penelitian adalah metode penelitian, karena melalui proses tersebut dapat ditentukan apakah hasil dari suatu penelitian dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat korelasional, yang bertujuan untuk untuk melihat hubungan antara satu varibel dengan variabel lain. Pembahasan dalam penelitian ini meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, validitas dan reliabilitas, dan metode analisis data.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang digunakan yaitu :

1. Variabel terikat : Kecemasan berbicara di depan umum 2. Variabel bebas : Self-efficacy

B. Definisi Operasional

1. Kecemasan berbicara di depan umum

Kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di


(42)

depan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah kecemasan yang terjadi pada individu ketika melakukan presentasi di depan kelas.

Kecemasan berbicara di depan umum diukur dengan menggunakan skala kecemasan berbicara di depan umum yang disusun berdasarkan komponen-komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (2004), yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional. Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala kecemasan berbicara di depan umum berarti semakin tinggi pula kecemasan berbicara yang dimiliki dan sebaliknya semakin rendah nilai yang diperoleh dari skala kecemasan berbicara di depan umum menunjukkan semakin rendah pula kecemasan berbicara yang dimiliki.

2. Self-efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapinya sehingga dapat mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.

Self-efficacy diukur dengan menggunakan skala self-efficacy yang disusun berdasarkan aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu tingkat (Level/Magnitude), keadaan umum (generality), dan kekuatan (strength). Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy berarti semakin tinggi pula self-efficacy yang dimiliki dan sebaliknya semakin rendah


(43)

nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy menunjukkan semakin rendah pula self-efficacy yang dimiliki.

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Dalam penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Populasi adalah sejumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel merupakan sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sampel sedikitnya harus memiliki satu sifat yang sama dengan populasi (Hadi, 2000). Selain itu, Hadi juga menambahkan bahwa syarat utama agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan maka sebaiknya sampel penelitian harus benar-benar mencerminkan keadaan populasinya atau dengan kata lain harus benar-benar representatif.

Adapun karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Mahasiswa Fakultas Psikologi USU angkatan 2005 s/d 2008

Burgoon dan Ruffner (dalam Dew i & Andrianto, 2003) menyebutkan bahwa pengalaman individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum. Ini dapat berarti bahwa semakin ke atas


(44)

tingkat perkuliahan seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU maka pengalaman berbicara di depan umum (dalam hal ini melakukan presentasi di depan kelas) akan semakin banyak. Dengan kata lain angkatan atau stambuk dapat mewakili pengalaman individu dalam melakukan presentasi. Mengingat mahasiswa angkatan 2009 baru mengikuti kegiatan perkuliahan selama satu semester dimana pengalaman melakukan presentasi di depan kelas belum terlalu banyak, dan untuk menghindari kesenjangan yang terlalu tinggi dengan angkatan-angkatan di atasnya, maka peneliti membatasi subjek penelitiannya hanya dari mahasiswa angkatan 2005 sampai dengan 2008 saja. b. Masih aktif dalam perkuliahan/tidak sedang dalam masa Penundaan Kegiatan

Akademik (PKA)

2. Metode pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling, yaitu teknik pengembilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2007). Teknik nonprobability sampling yang digunakan adalah teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2007). Pada penelitian ini


(45)

peneliti tidak mengambil sampel dari setiap angkatan mahasiswa Fakultas Psikologi USU yang masih aktif yaitu dari angkatan 2003 sampai dengan 2009, namun peneliti hanya mengambil sampel dari angkatan 2005, 2006, 2007, dan 2008 saja. Peneliti mempertimbangkan beberapa hal dalam pengambilan sampel ini. Sampel dari angkatan 2003 dan 2004 tidak diambil karena alasan terlalu sedikitnya jumlah mahasiswa dan kesulitan untuk menemui mahasiswa dari angkatan tersebut. Angkatan 2009 tidak diikutsertakan karena mengingat mahasiswa angkatan 2009 baru mengikuti kegiatan perkuliahan selama satu semester dimana pengalaman melakukan presentasi di depan kelas belum terlalu banyak, dan untuk menghindari kesenjangan yang terlalu tinggi dengan angkatan-angkatan di atasnya, maka peneliti membatasi subjek penelitiannya hanya dari mahasiswa angkatan 2005 sampai dengan 2008 saja.

3. Jumlah sampel penelitian

Azwar (2007) menyatakan bahwa secara tradisional, statistik menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Sampel dalam penelitian ini adalah 184 orang. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada tabel Nomogram Herry King dengan taraf kesalahan 5%. Jumlah mahasiswa dari angkatan 2005 sampai dengan 2008 adalah 416 orang. Taraf kesalahan 5% berarti interval kepercayaannya adalah 95%, sehingga faktor pengalinya adalah 1,195. Dengan melihat nomogram Herry King tersebut, maka dari angka 416 ditarik garis lurus melewati taraf kesalahan 5% dan ditemukan titik angka di atas 40,


(46)

kurang lebih ada di titik 37. Maka jumlah sampel yang diambil adalah 0,37 x 416 x 1,195 = 183,9 dibulatkan menjadi 184 orang.

D. Metode Pengambilan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah melalui metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Menurut Hadi (2002), skala psikologis mendasarkan diri pada laporan– laporan pribadi (self report). Selain itu skala psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dikatakan oleh subjek tentang kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan–pernyataan yang diajukan sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

Selain itu metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar pertimbangan:

1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.

2. Dalam waktu yang relatif singkat dapat dikumpulkan data yang banyak. 3. Metode skala psikologis merupakan metode yang dapat menghemat tenaga


(47)

Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000). Prosedur penskalaan dengan metode Likert didasari oleh dua asumsi yaitu :

1. Setiap pernyataan sikap yang disepakati sebagai pernyataan yang favorable (mendukung) atau yang unfavorable (tidak mendukung).

2. Jawaban dari individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua buah skala, yaitu skala kecemasan berbicara di depan umum dan skala self-efficacy.

1. Skala kecemasan berbicara di depan umum

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecemasan berbicara di depan umum adalah skala kecemasan berbicara di depan umum yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan pada komponen-komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (2004), yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen emosional.

Model skala ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu SL (selalu), SR (sering), KD (kadang), dan TP (tidak pernah). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu : SL = 4, SR = 3, KD


(48)

= 2, TP = 1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu : SL = 1, SR = 2, KD = 3, TP = 4.

Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang berarti semakin tinggi kecemasan yang dimilikinya ketika harus berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai seseorang maka semakin rendah pula tingkat kecemasan yang dimilikinya dalam berbicara di depan umum.

Penyusunan alat ukur ini untuk lebih jelasnya dijabarkan dalam bentuk Blue Print pada tabel berikut ini :

Tabel 2. Blue Print Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum

No Aspek Indikator perilaku Jumlah aitem F

Fav Unfav

1. Komponen

fisik

1. Jantung jantung cepat 2. Suara yang bergetar 3. Kaki gemetar 4. Kejang perut 5. Sulit bernafas 6. Berkeringat 3 3 3 3 3 4 2 2 2 2 2 1 30

2. Komponen

proses mental

1. Sering mengulang kata atau kalimat

2. Sulit untuk mengingat fakta secara tepat

3. Melupakan hal-hal yang penting 4. Tidak tahu apa yang harus

diucapkan selanjutnya 3 3 3 3 2 2 2 2 20

3. Komponen

Emosional

1. Munculnya rasa tidak mampu 2. Munculnya rasa takut

3. Munculnya rasa kehilangan kendali 2 3 3 3 2 15


(49)

2. Skala self-efficacy

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur efficacy adalah skala self-efficacy yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan pada aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level, generality, dan strength.

Model skala ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), STS (sangat tidak sesuai). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu : SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu : SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.

Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang berarti semakin tinggi self-efficacy yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai seseorang berarti semakin rendah self-efficacy yang dimilikinya.

Penyusunan alat ukur ini untuk lebih jelasnya dijabarkan dalam bentuk Blue Print pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Blue Print Skala Self-Efficacy

No Aspek Jumlah Item Total

Fav Unfav

1. Level 10 10 20

2. Generality 10 10 20

3. Strength 10 10 20


(50)

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analis rasional atau lewat professional judgment (Azwar, 2000). Professional jugement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing penelitian ini.

2. Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat yang bersangkutan, bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi atau alat kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukur (Azwar, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan internal consistency (Cronbach’s alpha coefficient) yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi di dalam tes itu sendiri. Teknik ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi (Azwar, 2000).


(51)

3. Daya beda aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok yang memiliki satu atau yang tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2007).

Pengujian daya beda aitem ini menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisen korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2007).

4. Hasil uji coba alat ukur

Uji coba skala self-efficacy dan kecemasan berbicara di depan umum dilakukan terhadap 170 mahasiswa dari beberapa fakultas di USU meliputi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Soasial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, dan Program Studi Keperawatan.


(52)

a. Hasil uji coba skala self-efficacy

Hasil ujicoba skala self-efficacy menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, dimana nilai koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,907 dengan kisaran nilai corrected item total correlation yang bergerak dari 0,305 – 0,570.

Jumlah aitem skala self-efficacy yang di ujicobakan adalah 60 aitem. setelah dilakukan ujicoba jumlah aitem yang baik adalah sebanyak 39 aitem dengan koefisien korelasi rxx minimal 0,300. Jumlah aitem yang baik tersebut didasarkan

pendapat Azwar (2000) yang menyatakan bahwa semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,300, daya pembedanya dianggap memuaskan.

Distribusi aitem yang dipakai pada skala self-efficacy dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy setelah uji coba

No. Aspek Aitem Jlh

F UF

1. Level 2, 13, 14, 25, 26, 37, 38, 50

7, 8, 19, 20, 31, 32, 44, 55

16

2. Generality 3, 4, 16, 27, 28, 39, 51, 52

9, 10, 22, 33, 34, 46, 57 15

3. Strength 5, 29, 41 12, 23, 24, 35, 47 8

Total 19 20 39

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu aitem disusun kembali seperti pada tabel 5.


(53)

Tabel 5. Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy pada saat penelitian

No. Aspek Aitem Jlh

F UF

1. Level 1, 10, 11, 18, 19, 28, 29, 35

5, 6, 13, 14, 23, 24, 32, 38

16

2. Generality 2, 3, 12, 20, 21, 30, 36, 37

7, 18, 15, 25, 26, 33, 39

15

3. Strength 5, 29, 41 12, 23, 24, 35, 47 8

Total 19 20 39

a. Hasil uji coba skala kecemasan berbicara di depan umum

Hasil ujicoba skala kecemasan berbicara di depan umum menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, dimana nilai koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,948 dengan kisaran nilai corrected item total correlation yang bergerak dari 0,324 – 0,669.

Jumlah aitem skala kecemasan berbicara di depan umum yang di ujicobakan adalah 65 aitem. setelah dilakukan ujicoba jumlah aitem yang baik adalah sebanyak 52 aitem dengan koefisien korelasi rxx minimal 0,300. Jumlah aitem

yang baik tersebut didasarkan pendapat Azwar (2000) yang menyatakan bahwa semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,300, daya pembedanya dianggap memuaskan.

Distribusi aitem yang dipakai pada skala kecemasan berbicara di depan umum dapat dilihat pada tabel 6.


(54)

Tabel 6. Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan berbicara di depan umum setelah uji coba

No. Aspek Indikator

perilaku

Aitem Jlh

F UF

1. Komponen

Fisik

Jantung jantung cepat

1, 14, 10 25 4

Suara yang

bergetar

3, 21, 27 8, 15 5

Kaki gemetar 4, 16, 30 9, 26 5

Kejang perut 5, 10, 17 - 3

Sulit bernafas 2, 11, 18 13, 29 5

Berkeringat 7, 19, 23, 28 - 4

2. Komponen

Proses Mental

Sering

mengulang kata atau kalimat

31, 37, 42 34 4

Sulit untuk

mengingat fakta secara tepat

33,44, 48 39, 50 5

Melupakan

hal-hal yang

penting

32, 41, 45 36 4

Tidak tahu apa

yang harus

diucapkan selanjutnya

35, 43, 49 40, 47 5

3. Komponen

Emosional

Munculnya rasa tidak mampu

54, 57 51, 60 4

Munculnya rasa takut

56, 59, 64 - 3

Munculnya rasa kehilangan kendali

52 - 1


(55)

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu aitem disusun kembali seperti pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan berbicara di depan umum pada saat penelitian

No. Aspek Indikator perilaku Aitem Jlh

F UF

1. Komponen

Fisik

Jantung jantung cepat

1, 12, 40 21 4

Suara yang

bergetar

23, 31, 45 7, 13 5

Kaki gemetar 4, 14, 26 33, 38 5

Kejang perut 9, 15, 39 - 3

Sulit bernafas 10, 16, 27 26, 46 5

Berkeringat 17, 24, 44, 52 - 4

2. Komponen

Proses Mental

Sering mengulang kata atau kalimat

2, 22, 48 30 4

Sulit untuk

mengingat fakta secara tepat

5, 29, 42 20, 34 5

Melupakan hal-hal yang penting

18, 36, 51 32 4

Tidak tahu apa

yang harus

diucapkan selanjutnya

8, 19, 43 35, 41 5

3. Komponen

Emosional

Munculnya rasa tidak mampu

47, 49 3, 28 4

Munculnya rasa takut

6, 37, 50 - 3

Munculnya rasa kehilangan

kendali

11 - 1


(56)

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap. Ketiga tahap tersebut yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pengolahan data.

1. Persiapan penelitian

Tahap persiapan penelitian terdiri dari: a. Pembuatan alat ukur

Sebelum alat ukur dibuat maka hal pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan aspek-aspek dari suatu alat ukur. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala self-efficacy dan skala kecemasan berbicara di depan umum. Skala skala self-efficacy disusun berdasarkan pada aspek-aspek efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Skala self-efficacy yang disusun oleh peneliti berjumlah 60 aitem.

Skala kecemasan berbicara di depan umum disusun berdasarkan pada komponen-komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (2004). Skala perilaku diet yang disusun oleh peneliti berjumlah 65 aitem.

b. Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 3 November 2009 sampai 10 Oktober 2009 kepada 170 mahasiswa dari beberapa


(57)

fakultas di USU meliputi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Soasial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, dan Program Studi Keperawatan.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur maka peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala. Setelah diketahui aitem-aitem yang memenuhi validitas dan reliabilitasnya, maka kemudian peneliti menyusun aitem-aitem tersebut ke dalam alat ukur yang digunakan untuk mengambil data penelitian. Skala dibuat dalam bentuk buku dari kertas berukuran A4 yang dibagi dua dengan huruf Times New Roman ukuran 14.

2. Pelaksanaan penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 18 November 2009 sampai dengan 24 November 2009 kepada 184 mahasiswa Fakultas Psikologi USU dari angkatan 2005 sampai dengan 2008.

G. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk melihat hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum adalah dengan menggunakan korelasi Pearson product moment. Cara penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16.0 for windows.

Sebelum dilakukan analisa data terlebih dahulu akan dilakukan uji asumsi terhadap hasil penelitian yang meliputi uji normalitas dan linearitas.


(58)

1. Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari penelitian masing-masing variabel yaitu variabel bebas dan terikat telah menyebar secara normal. Uji Normalitas sebaran dianalisis dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov, dengan bantuan SPSS for windows versi 16.

2. Uji linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian, yaitu variabel bebas (self-efficacy) dan variabel terikat (kecemasan berbicara di depan umum) memiliki hubungan linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan analisa varians (ANAVA) dan Scatter Plot dengan bantuan SPSS for windows versi 15.


(59)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dilanjutkan dengan analisa dan pembahasan hasil penelitian.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2008, 2007, 2006, dan 2005 berjumlah 184 orang.

Dari 184 orang subjek diperoleh gambaran subjek sebagai berikut.

1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel berikut:

Tabel 8.Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Persentase

Perempuan 159 86,4 %

Laki – laki 25 13,6 %


(60)

Berdasarkan data pada tabel 8, diketahui bahwa jumlah subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 159 orang (86,4%), sedangkan subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 orang (13,6 %).

2. Usia Subjek Penelitian

Berdasarkan usia subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel berikut:

Tabel 9.Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia N Persentase

18 10 5,4 %

19 44 23,9 %

20 54 29,3 %

21 42 22,8 %

22 26 14,1 %

23 8 4,3 %

Total 184 100%

Berdasarkan data pada tabel 9, maka subjek yang paling banyak adalah subjek yang berusia 20 tahun sebanyak 54 orang (29,3%), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek yag berusia 23 tahun yakni 8 orang (4,3 %).

3. Stambuk Subjek Penelitian

Berdasarkan stambuk subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel berikut:


(1)

3. Tidak terdapat perbedaan kecemasan berbicara di depan umum yang signifikan baik berdasarkan jenis kelamin maupun stambuk mahasiswa. 4. Sumbangan efektif variabel self-efficacy terhadap kecemasan berbicara di

depan umum sebesar 44,9 %. Hal ini terlihat dari nilai R-square (r²) yang diperoleh dari hubungan antara self-efficacy dan kecemasan berbicara di depan umum sebesar 0,31.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka peneliti akan memberikan saran-saran buat peneliti selanjutnya. Adapun saran-saran-saran-saran tersebut adalah:

1. Saran Metodologis

Untuk peneliti selanjutnya yang ingin membuat penelitian yang sejenis, maka disarankan agar:

a. Mengontrol faktor-faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum maupun self-efficacy.

b. Menggunakan subjek penelitian yang cakupannya lebih luas untuk dibandingkan hasilnya, seperti dari beberapa fakultas lain dari berbagai jurusan.

c. Sebaiknya menggunakan jumlah sampel yang proporsional jumlahnya baik dari segi usia, maupun variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi, agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih representatif.


(2)

2. Saran Praktis

a. Self-efficacy memiliki pengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum. Oleh karena itu, para mahasiswa diharapkan bisa lebih menghargai diri dan yakin akan kemempuan yang dimiliki agar dapat mengurangi tingkat kecemasan saat harus berbicara di depan umum.

b. Kecemasan berbicara di depan umum dapat dikurangi dengan melakukan latihan. Bagi para mahasiswa yang akan melakukan presentasi di depan kelas, diharapkan agar berlatih terlebih dahulu sebelum tampil guna membiasakan diri berbicara di depan umum dan mengurangi kecemasan.

c. Insentif yang diberikan orang lain terhadap keberhasilan individu dalam menghadapi tantangan dapat meningkatkan self-efficacy individu tersebut. Oleh karena itu, suatu insentif baik dari pihak keluarga maupun tenaga pengajar sangat dibutuhkan oleh mahasiswa guna meningktakan self-efficacy-nya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arismunandar, Prof. W. (2003). Makalah Apresiasi Guru Besar Teknik Mesin: Komunikasi dalam Pendidikan. Departemen Teknik Mesin ITB.

Azwar, S. (2000). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya (Edisi Kedua). Yogyakarta : Pustaka Belajar.

--- (2007). Penyusunan Skala Psikologi (Edisi Pertama). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change. Psychology Review, 84, 191-215.

--- (1986). Social Foundation of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

--- (1997). Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman and Company.

Baron, R.A.,& Byrne, P.(1994). Social Psychology : Understanding Human Interaction. Boston : Allyn and Bacon Inc.

Basir, B. (1992). Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Boyce, J. S., Alber-Morgan, S. R., & Riley, J. G. (2007). Fearless Public Speaking: Oral Presentation Activities for the Elementary Classroom. Childhood Education, 83, 142-150.

Byers, P.Y & Weber, C. S. (1995). The Timing of Speech Anxiety Reduction Treatments in the Public Speaking Classroom. The Southern Communication Journal, 60, 246-256.

Chaplin, J. P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(4)

Connor, M. A. (1996). The Importance of Speaking, Listening, and Media Literacy. [On-line]. http://www.scassn.org/K12Stds.htm. Tanggal akses : 11 Januari 2009.

Darajdat, Z. (1969). Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung

Dewi, A. P. & Andrianto, S. (2007). Hubungan Antara Pola Pikir dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas

Keguruan. [On-line].

http://www28.indowebster.com/ac2d8c89734f144a40a1a4f5790e6a83.p hdf. Tanggal Akses: 7 Februari 2009.

Elliot, J. & Chong, J. L.Y. (2004). Presentation Anxiety: A challenge for some student and a pit of despair for others. Curtin University of Technology. Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L., & Travers, J. F. (2000). Educational

Psychology: Effective Teaching, Effective Learning (Third Edition). United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Feist, J. & Feist, G. J. (2002). Theories of Personality (5th ed). Boston: McGraw Hill.

Gunarsa, S. (2000). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: Penerbit PT. BPK Gunung Mulia.

Hadi, S. (2000). Methodology Research (Jilid 1-4). Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hudaniah & Dayakisni, T. (2003). Psikologi Sosial, Edisi Revisi. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah.

Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Lazarus, R. S. (1976). Pattern Of Adjusment and Human Efectivenees. New York : Kogakusha McGraw Hill Book Company.


(5)

Matindas, D. (2003). Psikologi: Menghilangkan Grogi di Depan Umum. [On-line]. http://www.Kompas.com/Kesehatan/news/0302/28/020443.htm. Tanggal akses : 11 Januari 2009.

McCroskey, J. (1984). The Communication Apprehension Perspective. [On-line]. http://www.jamescmccroskey.com/publications/bookchapters/003_1984_ C1.pdf. Tanggal akses : 7 Februari 2009.

Nevid, J. S., Rathus, S. A. and Greene, B. 1(997). Abnormal Psychology in a Changing World (Third Edition). Prentice–Hall, Inc.

Opt, S. K. & Loffredo, D. A. (2000). Rethinking Communication Apprehension: A Myers-Briggs Perspective. The Journal Psychology, 134(5), 556-570.

Panduan Perkuliahan Program Studi Strata 1 (S-1) Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara. (2008). [On-line].

http://www.usu.ac.id/id/files/panduan/psikologi.pdf. Tanggal akses: 9 April 2009.

Prakosa, H. (1996). Cara Penyampaian Hasil Belajar Untuk Meningkatkan Self-efficacy Mahasiswa. Jurnal Psikologi No. 2, 11-22.

Rahayu, I.T., Ardani, T.A. dan Sulistyaningsih. (2004). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, Vol. 1, No. 2, 131-134.

Roach, K. D. (1999). The Influence of Teaching Assistant Willingness to Communicate and Communication Anxiety in the Classroom. Communication quarterly, 47, 166-182.

Sarafino, E. (1994). Health Psychology (2nd ed). New York: John Wiley & Sons.

Schultz, D. & Schultz, E. S. (1994). Theories of Personality (5th ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Sugiyono (2007). Statistika Untuk Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Tilton, J. E. (2002). Adventures in Public Speaking: A Guide for the Beginning Instructor or Public Speaker. FBI Law Enforcement Bulletin, 71, 15-19.


(6)

Triana, Ridha. 2005. Hubungan Antara Citra Raga dengan Kecemasan Berbicara di Muka Umum. [On-line]. http://www.pdf-search-engine.com/berbicara-di-depan-umum-pdf.html. Tanggal akses: 7 Februari 2009.

Tussey, J. (2002). Predicting Communication Anxiety through Students’ Motivational Variables. University of Kentucky.

Winkel, W. S. (1997). Bimbingan & Konseling di Institusi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Wirasarana Indonesia.

Yusuf, P.M. (1990). Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Intruksional. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Dokumen yang terkait

Hubungan antara Self-efficacy dengan Self-regulated Learning pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

10 89 124

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SAAT BERBICARA DIDEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasaan saat Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah S

0 3 13

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SAAT BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasaan saat Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 4 17

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI UJIAN SKRIPSI PADA MAHASISWA PSIKOLOGI Hubungan antara Self-Efficacy dengan Kecemasan Menghadapi Ujian Skripsi pada Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 4 13

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI UJIAN SKRIPSI PADA MAHASISWA PSIKOLOGI Hubungan antara Self-Efficacy dengan Kecemasan Menghadapi Ujian Skripsi pada Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 4 18

HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM Hubungan Antara Berpikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum.

0 2 15

HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM Hubungan Antara Berpikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum.

3 13 13

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA PSIKOLOGI

1 1 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM 1. Pengertian Kecemasan Berbicara - HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN KOMUNIKASI, KEPERCAYAAN DIRI DAN SELF EFFICACY DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM P ADA MAHASISWA KEPERAWATAN S1 ANGKATAN 2

0 1 27

KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM DITINJAU DARI SELF-EFFICACY MAHASISWA BARU UKWMS SKRIPSI

0 0 20