Disfungsi United Nations Population Fund (UNFPA) dalam Mengatasi Gender Sex Selection di Tiongkok

  

D is fu n gs i U n ite d N a tio n s P o p u la tio n Fu n d

( U N FP A) d a la m Me n ga ta s i Ge n d e r S e x S e le ctio n

d i Tio n gko k

  

Ad e ya ka W u ry Aks a n i

  Departem en H ubungan Internasion al, Fakultas Ilm u Sosial dan Ilm u Politik, Universitas Airlan gga

  Em ail: adeya.aksani@gm ail.com

  

Abstract

Un ited N ation s Population an d Fund is a Un ited N ation s agency that w as established on

1969. This organ ization en gaged in the field of population w ith three m an dates; reproductiv e

health, gen der equality , an d population an d dev elopm en t strategies, w hich also aim s to help

coun tries that require assistan ce related to population problem s. UN FPA has assisted China since

1979 w hen China began to im plem en t a con trov ersial population policy called on e child policy .

UN FPA’s assistan ce to Tion gkok con tinued un til 1991 w hen UN FPA has declared itself as the first

in ternation al in stitution to raise the issue of gen der in equality in this coun try . This problem w as

due to the one child policy exacerbates gen der sex selection phen om en on that has long existed in

the coun try . The m ain in dication of gen der sex selection is the gap in the n um ber of sex ratio at

birth (SR B) w hich is far from the n orm al rate. In this thesis, the dy sfunction experien ced by

UN FPA is approached through the in tern ational dy sfun ctional organ ization theory . The m aterial

dim en sion is related to the w eak political bureaucracy of UN FPA an d the Tion gkok pow er

con v ersion of the UN FPA. The cultural dim en sion is related to the UN FPA bureaucratic culture

that does n ot com ply w ith Tion gkok’s society characteristics.

  

K e y w o r d s : UN FPA, gen der sex selection, gen der equality , in ternation al organ ization

dy sfun ction , con fucian ism , patriarchy

Abstrak

  Un ited N ation Population Fun d (UN FPA) m erupakan organ isasi y ang berada dibaw ah

n aungan PBB y ang dibentuk pada tahun 1969. Organisasi ini bergerak di bidang kepen dudukan

dengan tiga m an dat y aitu kesehatan reproduksi, kesetaraan gen der, serta populasi dan strategi

pem bangun an , y an g juga bertujuan un tuk m em ban tu n egara-n egara y an g m em butuhkan

ban tuan terkait den gan perm asalahan kepen dudukan . UN FPA telah m asuk di Tion gkok in i sejak

tahun 1979 di m ana pada tahun tersebut Tiongkok m en erapkan kebijakan kepen dudukan y ang

kon troversial y akn i on e child policy . Ban tuan UN FPA kepada negara ini terus berlan jut hin gga

pada tahun 1991 saat UN FPA m en deklarasikan diri sebagai lem baga in ternasion al pertam a y ang

m en gangkat isu gen der inequality di Tiongkok. Hal tersebut disebabkan karena one child policy

m em perparah fenom ena gen der sex selection y ang sudah lam a ada di n egara tersebut. Indikasi

terjadin y a fen om en a gen der sex selection adalah tim pan gn y a angka sex ratio at birth (SR B) y ang

m an a sudah jauh dari angka n orm al. Pada penelitian ini disfungsi y ang dialam i oleh UN FPA

dilihat m elalui teori disfun gsi organ isasi in ternasional. Pada dim en si m aterial terkait pada

birokrasi politik UN FPA y ang lem ah dan kon versi pow er n egara Tion gkok pada UN FPA. Pada

dim en si kultural terkait den gan kultur birokrasi UN FPA y an g tidak sesuai dengan karakteristik

m asy arakat Tion gkok

K a t a K u n ci: UN FPA, gen der sex selection , kesetaraan gen der, disfungsi dalam organ isasi

in ternasion al, kon fusianism e, patriarki

  1 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017

Adeyaka Wury Aksani

  2 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017 United Nations Population Fun d (UNFPA) m erupakan salah satu organisasi intern asional yang berada dibawah naungan PBB. UNFPA didirikan pada tahun 1969 dan bergerak dalam bidan g populasi dan kependudukan . Tiga area kunci m andat UNFPA m eliputi (1) kesehatan reproduksi, (2) kesetaraan gen der, serta (3) populasi dan strategi pem ban gun an.Organisasi ini berdiri den gan tujuan un tuk m em berikan sebuahkon disi dim ana setiap keham ilan diinginkan , setiap persalinan am an , dan potensi setiap orang m uda terpenuhi.

  Mandat dari UNFPA adalah “delivers a world where every pregn ancy is wan ted, every birth is safe, every young person's potential is fulfilled.” Pada dasarnya UNFPA m enyadari bahwa di n egara berkem bang yang m erupakan tem pat m ayoritas aktifitas UNFPA dilakukan, ketim pangan gender m asih banyak terjadi dim ana m asih ada kecenderungan untuk m em berikan satu peluang yang lebih besar dari segi ekonom i, sosial, dan budaya untuk salah satu gen der tertentu. Sehingga untuk m encapai tujuan dibentuknya organisasi ini, UNFPA m em iliki beberapa m andat dengan m en gusun g nilai seperti kesetaraan gen der. Kesetaraan gen der m erupakan hak asasi m an usia. Tujuan keseluruhan dari kesetaraan gen der adalah sebuah m asyarakat dim an a perem puan dan laki- laki Adan ya preferen si dalam m em ilih jenis kelam in bayi yang akan dilahirkan ini m encerm inkan diskrim inasi dalam praktik sosial-ekonom i dan juga tradisi. Pada n egara tertentu, hanya anak laki- laki yang akan m ewarisi properti, m ereka juga diharapkan un tuk m erawat oran g tuan ya di m asa tua, m elakukan upacara pem akam an , serta m em bawa n am a keluarga. Disisi lain, anak-anak perem puan dianggap m en jadi sebuah beban, terutam a jika diperlukan m ahar yang m ahal bagi m ereka pada saat m enikah n antinya. Tradisi tersebut kem udian m em un culkan tendensi yang besar bagi wanita untuk m em ilih dan m elahirkan anak laki-laki.Sex selective abortion khususnya telah m enyebabkan krisis nasional di India dan Tion gkok.

  Indikator dari adanya preferensi pem ilihan jenis kelam in dapat diukur m en ggunakan Sex Ratio at Birth (SRB), yakni perbandingan jum lah an ak laki- laki yan g lahir diban dingkan dengan jum lah perem puan yang lahir pada periode terten tu. Rasio jenis kelam in biologis norm al pada saat lahir dapat berkisar dari 10 2-10 6 laki-laki per 10 0 perem puan . Ketika jauh lebih banyak anak laki-laki yang lahir dibandin gkan perem puan m aka hal tersebut m erupakan tandabahwa fenom ena sex selection telah terjadi.

  Sex selection m erupakan upaya untuk m en gontrol jenis kelam in anak untuk m en capai jenis kelam in yang diingin kan. Menurut UNFPA, alasan di balik pem ilihan jenis kelam in disebabkan oleh tiga faktor dan hal tersebut dapat m em berikan pem aham an untuk m en jelaskan adanya ketidakseim bangan rasio jenis kelam in (SRB). Pertam a preferensi untuk lebih m em ilih an ak laki- laki karena adan ya m arginalisasi posisi sosial, ekonom i, dan sim bolik pada perem puan dan wanita sehingga hanya m enikm ati hak yang sedikit diban dingkan laki-laki. Kedua, Perkem ban gan teknologi diagn osis prenatal yang m em ungkinkan oran g tua untuk m en getahui jenis kelam in anak m ereka yang belum lahir. Terakhir, kesuburan yang ren dah yang kem udian m enin gkatkan kebutuhan untuk pem ilihan jenis kelam in den gan m en gurangi kem ungkinan m em iliki anak laki-laki di keluarga yang lebih kecil. Pada suatu negara terten tu, faktor pertam a terlihat lebih m enon jol sebagai salah satu alasan pem ilihan jenis kelam in , di m ana pem ilihan jenis kelam in juga didasarkan atas gender yang berkaitan dengan peran sosial antara laki-laki dan perem puan . Sehingga gender sex selection disini tidak hanya m em ilih berdasarkan jenis kelam in saja tapi juga di dasarkan atas peran apa yang akan dibawa atau di dapatkan oleh calon anak nan ti. Tiongkok m erupakan salah satu n egara yang m endapatkan bantuan dari UNFPA sejak tahun 1979 untuk m enangan i Disfungsi United Nations 3 m asalah kependudukan nya. Seperti yang kita ketahui, Tiongkok m erupakan negara den gan jum lah populasi tertinggi di dunia bahkan hingga saat ini. Data terakhir yan g ada pada tahun 20 14 m ilik World Bank, m enunjukkan jum lah penduduk Tiongkok yan g tercatat sebanyak 1.364 m ilyar..Banyaknya jum lah populasi di Tiongkok juga disertai den gan beragam m asalah kependudukan serta fenom en a seperti gender sex selection yang berujung pada sex selective abortion.Tidak ada data pasti yang m en yebutkan kapan tepatnya fenom ena gender sex selection dim ulai di Tiongkok, nam un diterapkannya kebijakan one child policy pada tahun 198 0 dim un gkinkan sem akin m em perparah fenom en a tersebut. Kebijakan one child policy sen diri m ulai dilem bagakan pada tahun 198 0 , yang pada tahun tersebut sudah terdapat gap sebesar 3,2% antara populasi laki-laki dan perem puan . Pada tahun 1991 UNFPA m ulai m enjadi lem baga in tern asional pertam a untuk m en gan gkat isu gen der inequality di Tiongkok yang pada saat itu m asihm erupakan hal yang tabu untuk dibahas secara luas. Kem udian hal tersebut juga didukung Konferensi Internasion al tentan g Kependudukan dan Pem bangun an (ICPD) pada tahun 1994 dan dalam Program of Actionyang berbunyi:“. . . elim in ate all form s of discrim ination against the girl child and the root causes of son preference, which result in harm ful an d un ethical practices regarding fem ale infanticide an d prenatal sex selection.” Sex selection m erupakan isu yang m enjadi perhatian

  UNFPA dan intervensi program tentan g m asalah ini didasarkan atas Program m e of Action of the International Conference on Population and Developm ent (ICPD) pada tahun 1994 dan UNFPA’s Strategic Plan tahun 20 0 8 -20 13. Rencan a strategis UNFPA didasarkan dari tiga pilar, yakni (1) penduduk untuk pem ban gun an, (2) kesehatan seksual dan reproduksi, serta (3) kesetaraan gen der. Nam un pada kenyataan nya, peran UNFPA sebagai lem baga internasional pertam a yang m engan gkat isu gender inequality di Tiongkok tidak m em berikan ban yak perubahan terhadap kondisi ketim pangan serta gap antara jenis kelam in laki-laki dan perem puan .Bahkan pada tahun 20 11 Tiongkok m erupakan negara dengan rasio jenis kelam in palin g tidak seim ban g di dunia, dengan sex ratio birth sejum lah 117,78 (Golley t.t.). Atas fakta yang disertai den gan data-data tersebut, hal tersebut m enun jukkan bahwa kehadiran UNFPA sebagai lem baga internasional pertam a yang m engan gkat isu gender inequality di Tiongkok tidak m em bawa perubahan yang m am pu m em perbaiki kondisi ketim pangan gen der yang terjadi.

  Dalam pen elitian ini, penulis akan m en ggunakan teori disfungsi m enurut Michael N. Barn ett dan Martha Finnem ore. Disfungsi pada organ isasi intern asional terletak pada dua dim ensi yakni dim ensi m aterial dan kultural, dim an a dim ensi tersebut bersin ggungan den gan kon disi internal dan eksternal dari suatu organisasi internasional (Barnett dan Finnem ore 1999, 716)

  Ta be l 1: Te o ri D is fu n gs i d a la m Orga n is a s i In te rn a s io n a l Internal Eksternal Material

  Bureaucratic politics

Realism/

neoliberal institutionalism Cultural

  Bureucratic culture World polity

model

  Adeyaka Wury Aksani

  4 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017

  Sum ber: Barn ett dan Fin nem ore, 1999

  Terdapat em pat hal yang dapat m em buat suatu organisasi intern asional m en galam i disfungsi. Pada dim en si m aterial, organisasi internasional dihadapkan pada konversi power yang berasal dari aktor lainseperti n egara. Nam un tidak jaran g dalam proses konversi tersebut, sebuah organisasi intern asional m en galam i disfungsi. H al tersebut dapat terjadi karen a dua faktor yakni faktor internal dan faktor ekstern al.

  Pada faktor internal, disfungsi bisa terjadi ketika power birokrasi politik organisasi internasional lem ah ketika dihadapkan dengan lingkungan ekstern alnya. Birokrasi sendiri dapat dapat dim anfaatkan un tuk kepen tingan publik atau m otif politik tertentu, n am un sejatinya birokrasi dalam organisasi intern asional juga m em iliki kelem ahan . Gallarotti m en yebutnya sebagai pathologi dalam organisasi intern asional. Setidaknya terdapat em pat pathologi, yan g pertam a m asalah dalam birokrasi adalah inefisiensi dan kuran g responsif. Kedua, kerap m em buat dan m en gim plem entasikan kebijakan yang kurang sesuai dengan logika rasional. Ketiga, organisasi terkadang berperilaku tidak wajar dalam m en jalan kan m isin ya. Keem pat, organisasi kadan g m en olak perm in taan dari pihak yang secara resm i ada dalam tanggun g jawabnya (Gallarotti 1991 dalam H enn ida 20 15).

  Sedan gkan pada faktor ekstern al, disfungsi terjadi ketika power negara lebih besar diban dingkan power organisasi internasional.Seringkali organisasi internasional dihadapkan pada kebijakan n egara yang kontra den gan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi tersebut. Nam un hal tersebut juga bukan suatu hal yang m en gherankan m engin gat bahwa n egara m em iliki pilihannya sendiri dalam m en jalan kan sebuah kebijakan. H al ini tidak terlepas dari pandangan bahwasan nya tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan n egara, ditam bah den gan kenyataan bahwa organisasi internasional tidak m em iliki tangible power.

  Dalam pandan gan realis, kehadiran organisasi internasional sejatinya tidak begitu berpengaruh terhadap suatu perm asalahan yang dihadapi n egara sebab pem eran utam a dalam m en yeselaikan sebuah m asalah tetaplah negara. H al tersebut terjadi karena negara m em iliki otoritas dalam m en geluarkan kebijakan, sehingga seringkali visi dan m isi sebuah organ isasi intern asional bertolak belakan g den gan kebijakan yang ditetapkan oleh n egara tersebut. Konversi power m erupakan persyaratan yang harus dipatuhi bahwa organisasi internasional harus m en erim a sebuah kon versi kekuasaan yang diakui oleh n egara agar konversi kekuaasaan tersebut m em iliki dam pak yang legal. Selain itu, organisasi internasional tidak bisa sem ata-m ata m engintervensi isu dalam suatu n egara tanpa adanya konversi power yang jelas.

  Dalam hubungan antara n egara den gan aktor non-negara, atau yang dalam hal ini m erupakan organisasi intern asional, sejatinya dibutuhkan konversi power yan g dapat m em berikan sedikit kuasa kepada organisasi intern asional untuk m en gintervensi kebijakan suatu negara dalam rangka m en yelesaikan suatu isu di n egara tersebut. Nam un tentu saja hal tersebut bukanlah suatu hal yang m udah m en gingat power m erupakan sesuatu yang huge sehingga tidak bisa begitu saja dilim pahkan kepada aktor lain . Akan tetapi, tanpa adanya kon versi power dari negara kepada organisasi intern asional akan m em perlam bat bahkan m em persulit sebuah organ isasi intern asional untuk dapat m em bantu m en yelesaikan perm asalahan yang sedang dihadapi sebuah negara. Sehingga dalam hal ini otoritas terbesar tetap dipegang oleh negara, begitu pula den gan kebijakan yang diam bil oleh negara yang m em buat organ isasi intern asional tidak dapat berbuat ban yak dalam m enanggapi kebijakan yang telah diam bil sebuah n egara. Disfungsi United Nations

  5 Pada proses kerjasam a antara UNFPA dengan State Fam ily Plan ning Com ission tersebut, kepentin gan UNFPA akan dihadapkan dengan kepentingan negara Tion gkok yang diwakili oleh State Fam ily Plan ning Com ission. Oleh karena itu, pada kondisi ini UNFPA m en jalan kan proses n egosiasi dengan State Fam ily Planning Com m ission agar kebijakan yang diim plem en tasikan oleh State Fam ily Plan ning Com m ission dapat disesuaikan dengan tujuan UNFPA dalam m isinya secara um um . Apabila kem udian UNFPA kalah dalam proses negosiasi, m aka pada saat itulah UNFPA dikatakan m engalam i disfungsi.

  Berhasil atau tidaknya proses negosiasi tersebut tergantung dari bagaim ana birokrasi politik dalam UNFPA m em perjuangkan kepen tingan nya agar tujuann ya dapat tercapai. Tujuan UNFPA secara um um adalah “delivering a world where every pregn ancy is wan ted, every childbirth is safe and every youn g person's potential is fulfilled”, yang dalam tujuan tersebut juga terdapat nilai-nilai yang bertujuan untuk m en yetarakan gender. Sehingga m en jadi tugas UNFPA un tuk m em bentuk m asyarakat dim an a perem puan dan laki-laki m enikm ati hak, kewajiban, dan kesem patan yang sam a dalam sem ua bidan g kehidupan. Dengan dem ikian hadirnya UNFPA sebagai lem baga in tern asional pertam a yang m en gan gkat isu ketim pangan gen der di Tiongkok bertujuan untuk m em bantu m en yelesaikan isu tersebut. Akan tetapi, lem ahnya birokrasi UNFPA tidak m am pu m em pen garuhi kebijakan pem erintah Tiongkok. Dalam kaitan nya den gan isu gen der sex selection , salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah legalnya aborsi yan g m em buat pasangan suam i istri dapat m engaborsi janin apabila jenis kelam in janin tersebut tidak sesuai dengan keingin an, yang sebagian besar m en gharapkan jenis kelam in laki-laki.

  Dalam situs resm in ya secara jelas UNFPA m engun gkapkan bahwa m ereka tidak m em prom osikan aborsi sebagai salah satu cara Fam ily Plannin g, n am un apabila n egara tersebut m em an g m elegalkan aborsi m aka UNFPA m en gan jurkan agar m em perm udah akses aborsi yang am an. Akan tetapi, aborsi sendiri m erupakan hal yang legal secara hukum di Tiongkok, yan g telah m elegalkan praktekaborsi sejak tahun 1950 an. Nam un hal tersebut tidak m en jadi hal yan g um um hingga pem erintah Tiongkok m en erapkan kebijakan one child policy (Olesen 20 11).

  Sehingga salah satu kebijakan Tion gkok yang tidak m am pu dipengaruhi oleh UNFPA adalah kebijakan m engenai aborsi.

  Dalam hal ini, tujuan UNFPA untuk m en ghapuskan fenom ena gen der sex selection terham bat oleh hukum yang diterapkan di Tiongkok, karena pada saat yang bersam aan, Tiongkok juga m em iliki urgensi untuk m en gurangi jum lah penduduknya yang m ana hal tersebut m erupakan kepentingan n asionalnya. Urgensi untuk m en gurangi jum lah penduduk diim plem en tasikan dalam one child policy yang sudah dilaksanakan oleh pem erintah Tiongkok sejak tahun 1979 (H esketh dan Xing 20 15). Dalam penerapan kebijakan tersebut, pem erintah Tiongkok m enggun akan aborsi sebagai salah satu sanksi yang diberikan kepada m asyarakatnya yang m elan ggar kebijakan tersebut. Aborsi dapat dilakukan apabila terjadi keham ilan yan g tidak direncanakan m aupun keham ilan yang tidak dilaporkan . Dalam hukum pem erintah Tiongkok, aborsi paksa disebut dengan rem edial m easures, yakni konsekuen si yang harus dihadapi bagi pen duduk Tiongkok yang tidak m entaati kebijakan yang telah dilegalkan oleh sistem hukum di Tiongkok (Li 1995). Digunakannya aborsi sebagai salah satu m etode sanksi dalam penerapan on e child policy tidak m un gkin m em buat Tiongkok secara hukum m elaran g praktek tersebut. Sehingga kebijakan yang seharusnya tidak dianjurkan oleh UNFPA justru m en jadi kebijakan yan g dilegalkan di Tiongkok.

  Posisi UNFPA sebagai pendatan g di Tiongkok dengan power yan g tidak

Adeyaka Wury Aksani

  6 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017 sebesar yang dim iliki di Tion gkok m em buat organisasi intern asional tersebut m em iliki kekuatan yan g terbatas untuk m em asukkan nilai-nilai yang dibawa tan pa adanya izin dari n egara penerim a. H al tersebut dikaren akan UNFPA tidak m em iliki pengaruh dan kewenangan untuk m em aksakan , bahkan m em ilih dan m enetapkan kebijakan apa yan g seharusn ya diam bil oleh Tiongkok. Barkin (20 0 6) m en yatakan bahwa perbedaan power yang dim iliki negara den gan power yan g dim iliki organisasi intern asional m en yebabkan adanya asym m etries of interdependence yang diakibatkan oleh suatu kon disi dim an a negara m en jadi aktor utam a yang m engim plem en tasi kebijakan sedangkan organisasi intern asional m enjadi aktor pendukung dari terwujudnya kebijakan tersebut.

  Lebih kuatn ya power yang dim iliki oleh negara ini kem udian dapat m enim bulkan penolakan untuk m en erim a anjuran kebijakan, transfer ilm u, prinsip dan norm a, bahkan kehadiran dari organ isasi intern asional di n egara tersebut.

  Disisi lain, keefektifan sebuah organisasi internasional tergan tun g pada bagaim ana kapasitas negara dalam m en gaplikasikan peraturan , norm a, dan prinsip yan g dibawa oleh organisasi intern asional. H al tersebut terjadi karena dua hal, pertam a karena negara m em iliki keterbatasan kapasitas untuk m en jalan kan norm a dan prinsip tersebut sehingga negara gagal dalam m en erapkan prinsip dan norm a asing tersebut dalam entitas lokal negaranya (Barkin 20 0 6, 19). Kedua, n egara tidak m en erapkan prinsip dan norm a dalam organisasi internasional dim ana ia m en jadi an ggota karen a pada dasarnya negara tersebut m em ang enggan untuk m en erapkan norm a dan prinsip tersebut sehingga bergabungnya n egara dalam organisasi internasional hanya sebatas sim bolik (Tallberg 20 0 2, 611). Men gutip Stanley Fish, Potter (t.t.) m enyatakan bahwa: “It suggest that local im plem en tation of non-local rule regim es depends on the exten t to which their un derlying norm s are received by local interpretative com m unity.”

  Sehingga selective adaptation disini m en jadi penen tu dari bersedia atau tidaknya Tiongkok m en gim plem en tasikan norm a-norm a asing pada kom unitas lokal negara tersebut (Potter t.t., 714).

  Pada kondisi dim an a gender sex selection m ulai terjadi, Tiongkok m asih m en jalan kan one child policy, dan terus berlanjut hingga beberapa tahun kedepan . Apabila Tiongkok m en ghen tikan on e child policy untuk fokus dalam m enyelesaikan fenom en a gen der sex selection , m aka hal tersebut akan m em iliki dam pak pada skala intern asional seperti terham batnya tujuan pem ban gun an dunia dan tujuan dari konferensi populasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 1974. Disisi lain, on e child policy m erupakan kebijakan pengendalian populasi yang didasarkan atas kebutuhan n egara tersebut. Den gan dem ikian urgen si Tiongkok un tuk m engen dalikan populasi penduduk m elalui kebijakan on e child policy lebih tinggi diban dingkan den gan penyelesaian fenom ena gen der sex selection yang dalam m engakhiri fenom ena tersebut, Tiongkok harus m en gorban kan sesuatu yang telah disetujui dalam kon stitusi negaranya.

  Tiongkok sen diri sejatinya m erupakan negara yang m en andatan gani beberapa perjan jian m en genai hak asasi m an usia yang seharusnya m em buat negara tersebut m en jadi patuh dan horm at terhadap hak asasi m anusia. Akan tetapi adan ya fakta- fakta tersebut tidak bisa m en jadi faktor pendukun g bagi UNFPA untuk dapat m em aksa Tiongkok m enghapus m etode aborsi karena m etode tersebut juga m asih digun akan dalam one child policy, baik sebagai bentuk penyelesaian m aupun sebagai sanksi. Sehingga secara tidak langsung keberadaan on e child policy m enjadi faktor pendorong terjadinya fenom ena gen der sex selection karena m udahnya akses aborsi yang m em an g dilegalkan di Tiongkok dem i kepen tingan one child policy. Disfungsi United Nations

  7 Faktor tersebutlah yang kem udian m enyebabkan UNFPA m en galam i disfungsi dalam dim en si m aterial, dim an a nilai-nilai yang dibawa oleh UNFPA tidak diserap oleh Tiongkok karena pem erintah Tiongkok m em utuskan un tuk lebih m em entin gkan kepen tingan nya un tuk m en gurangi populasi dengan m en jalankan one child policy. Dalam hal ini organisasi intern asional bukan lah pihak yang dapat disalahkan, nam un kesalahan justru terletak pada negara (Barn ett dan Finnem ore 1999, 717). Pada kenyataann ya, tidak sem ua n egara m au bersikap sesuai den gan nilai dan norm a yang dibawa oleh organisasi intern asional. H al tersebut disebabkan oleh adanya kecen derungan sebuah negara untuk m em ilih dan m em utuskan suatu hal yang m en urutnya baik, dan m en gabaikan saran yang dianjurkan oleh organisasi internasional. Apabila organisasi intern asional m em berikan ban tuan hal tersebut m erupakan salah satu pendukung dalam proses negara m en capai tujuannya, diluar hal tersebut pilihan dan keputusan m en gen ai kebijakan apa yang diam bil tetap ada di tangan negara (Potter t.t., 714).

  Disfungsi yang dialam i oleh suatu organisasi intern asional, selain diakibatkan oleh dim ensi m aterial juga disebabkan oleh dim ensi kultural. Sam a halnya seperti dim ensi m aterial, disfungsi pada dim ensi kultural juga dapat disebabkan oleh dua faktor yakn i ekstern al dan internal. Meyer dan Rowan m en gungkapkan bahwa pada faktor ekstern al, disfungsi dapat terjadi apabila organisasi intern asional lebih m em entingkan legitim asi dibandingkan den gan efisiensi. Pada dim ensi ini biasanya terdapat dirkursus intern asional yan g m em pengaruhi logika pem ikiran dari sebuah organisasi intern asional sehingga kem udian m em pen garuhi pengam bilan keputusan dan kebijakan dari organisasi intern asional tersebut.

  Sedan gkan pada faktor intern al disfungsi pada organisasi internasional m asih disebabkan oleh birokrasi. Nam un terdapat perbedaan di m an a birokrasi yang dim aksud ialah kultur birokrasinya.Vaughan m enyatakan bahwa Kultur birokrasi sendiri m erupakan pola perilaku yan g dibentuk den gan tujuan supaya kerja organ isasi intern asional lebih efisien. Nam un terkadang kultur birokrasi ini m em bentuk sebuah generalisasi kerja yang tidak sesuai dengan karakteristik dan lingkungan kerja organ isasi intern asional.

  Rutinitas birokrasi yang tidak sesuai den gan lin gkungan ini pada akhirnya m am pu m enghancurkan perilaku dari organisasi internasional sehingga m uncullah sebuah disfungsi. Lingkungan kerja organ isasi intern asional ini dapat dilihat m elalui latar belakang dan karakteristik lapan gan . Sehingga disfungsi pada faktor intern al dapat terjadi apabila organisasi intern asional bekerja m engikuti rutin itas yang telah diben tuk oleh kultur birokrasi tanpa m em pertim ban gan kondisi dan karakteristik lingkun gan kerja.

  Birokrasi dibentuk sebagai m aksud yang rasional un tuk m en capai tujuan kolektif dan m eyebarkan nilai- nilai sosial tertentu. Barnett dan Finnem ore (1999) m en yatakan bahwa: “bureaucracies are created, propagated, and valued in m odern society because of their supposed rationality and effectiveness in carrying out social tasks.” Den gan dem ikian peraturan yan g telah dibuat oleh sebuah organisasi intern asional telah m enjadi standar yang harus dipenuhi oleh aktor tem pat organisasi tersebut beroperasi dalam rangka untuk m en yelesaikan m asalah yang sedan g dihadapi. Peraturan yang dibentuk oleh organisasi internasional ten tu saja telah disesuaikan dengan logika yan g dim iliki, yang selan jutnya terbentuk m en jadi generalisasi aturan. Generalisasi aturan ini kem udian diterapkan pada sem ua n egara yang diban tu oleh organisasi internasional tersebut.

  Dalam proses kerjanya, organisasi internasional akan berusaha

Adeyaka Wury Aksani

  8 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017 untuk m em enuhi hal-hal yan g terdapat dalam generalisasi aturan gun a tercapainya kesuksesan program dari organisasi intern asional tersebut.

  Nam un berjalann ya operasi organisasi intern asional den gan generalisasi aturan terkadang m en ciptakan rutinitas yang dapat m en yebabkan organisasi inten asional m en jadi tidak peka terhadap m asalah yang ditim bulkan oleh rutinitas tersebut (Barnett dan Finnem ore 1999, 718 ). Peraturan yang digen eralisasikan dapat m em buat organisasi internasional m enjadi tidak responsif terhadap lingkungann ya, serta m en jadi terobsesi dengan peraturan pada m isi utam a yan g telah dibuat dan pada akhirnya m enyebabkan perilaku yang tidak efisien di organisasi intern asional tersebut (Barnett dan Finnem ore 1999, 70 0 ).

  Dalam m elaksan akan program kerjanya, UNFPA berm itra dengan pem erintah bersam a den gan badan - badan PBB lainnya, m asyarakat, LSM, yayasan , dan sektor swasta di Tion gkok. Kem itraan yang dilakukan oleh UNFPA terbagi dua tingkat, yakni pada tingkat kebijakan dan pada tingkat intervensi proyek. Pada tin gkat kebijakan , UNFPA bertujuan untuk m en capai perubahan kebijakan yang positif di bidang kepen dudukan dan pem ban gun an , kesehatan reproduksi dan kesetaraan gen der m elalui kerjasam a dengan pem buat kebijakan di berbagai tingkatan m elalui advokasi yang dibuktikan, dialog kebijakan dan dukungan penasihat teknis. Sedangkan pada tingkat intervensi proyek, UNFPA m en dukung keputusan berdasarkan bukti keputusan m elalui upaya pen elitian, m em bantu m en gem ban gkan dan m elaksan akan kegiatan operasional yang bertujuan untuk m em ban gun m odel yang dapat ditiru untuk m enin gkatkan pem erataan akses layan an oleh kelom pok sasaran yang berbeda dari populasi, serta penyediaan jasa konsultasi teknis untuk m em bangun kapasitas kelem bagaan.

  Ta be l 2 : Tim e lin e o f U N FPA’s a s s is ta n ce in Ch in a Periods and goals Highlights of achievements 1979 Signing of MOU and programme start-up

  Led to the formulation of the first Country Programme, prior to which China received no assistance for population activities from any other multilateral, bilateral or NGOs.

  Country Programme 1 (1980-1984) Goal: To assist Governement of China in capacity building in population studies, improvements and provision of maternal and child care services

  National Population and Housing Census: assisted China to do its first modern census Maternal Healthand Family Planning: advanced care facilities and special training in 8 maternal and child hospitals first, and widely disseminated throughout China Demographic training and research: Supported the training of around 200 demographers and public health specialists at masters and PhD levels; Assisted China to establish a national research institute Contraceptives: Increased quality of contraceptives Population information, education and communication: Creation of a modern professional publicity and education network of family planning programme

  Country Programme 2 (1985-1989): Goal: To further strengthen the comprehensive national capapcity in population data collection and analysis, and to assist Government of China to become self-reliant in the field of population

  Maternal Health and Family Planning: Focused 18 pilot maternal health/family planning institutions at different levels which led to decreasing of infant mortality rates. Strengthened maternal health and family planning curricula at medical colleages Contraceptives: Continue to introduce modern and more effective contraceptives into China, improve manufacturing practices and establish standards for quality control.

  Data: Supported the one per cent sample survey of China population in 1987 and assisted China to prepare its second modern census Special programmes on women: Established revolving funds in enterprises in the northwest provinces to start income-generation programmes for women. Disfungsi United Nations

  9 Special programmes on ageing: Started to work with China National Committee on

  Ageing (CNCA) on policy studies on ageing Country Programme 3 (1990-1995): Goal: To assist Government of China to achieve its population and development objectives

  Maternal Health and Family Planning: at grass-roots level in poor and remote areas (305 counties): jointly carried out with UNICEF and supported by WHO.

  World Bank adopted the model of integrating family planning with MCH services and expanded it to 285 counties.

  Contraceptives: Phased out the steel-ring IUD for the safer and more effective copper-T IUD South-south cooperation: Advanced training programmes were utilized for south- south cooperation.

  Interim Period (1996-1997) UNFPA inter-regional project to promote Chinese training facilities to countries in East and Southeast Asia; Negotiate with Government of China on Country Programme 4, the first Country Programe after the International Conference on Population and Development in 1994

  Country Programme 4 (1998-2002) Goal: Countr

  Reproductive Health: Shift from an administrative family planning approach to an integrated, client-oriented reproductive health approach; Targets and quotas were lifted in the 32 countries UNFPA assisted; Government of China incorporated aspects of the client-oriented, quality of care reproductive health approach in additional 827 counties Pilot project on Adolescent Reproductive Healthin Shanghai and Beijing: increased awareness of sexual and reproductive health issues and generated support from local stakeholders, inspired initiatives to provide reproductive health information and services to underserved groups, including youth, migrants and men.

  Capacity building: A MIS system was established, and its use, especially in

generating relevant data for monitoring was increased.

Country Programme 5 (2003-2005) Goal: To assist the Government of China in implementing the International Conference on Populaton and Development Programme of Action (ICPD PoA)

  Reproductive Health: evidence-based advocacy led to the removal of birth-spacing in many UNFPA-supported counties and throughout Hainan province; Quality of care principles being promoted HIV prevention: UNFPA introduced a multisectoral approach to HIV prevention.

  Through supporting China Youth Network, young people participated in HIV prevention efforts.

  Gender: raised awareness of sex ratio imbalance and the critical need for sex- disaggregated data. Ageing: Results generated from ageing studies with UNFPA support were presented at the consultation meeting for drafting the 11 th 5-year Development Plan on Ageing in 2005.

  South-south: three centers of excellence continued to carry out high-quality international training for Asia and Africa.

  Country Programme 6 (2006-2010) Goal: to assist the Government of China in implementing the International Conference on Populaton and Development Programme of Action (ICPD PoA)

  Reproductive Health: The quality of care reproductive health approach which began in Country Programme 4 were extended to more than 800 of China's 2859 counties. Concepts on reproductive rights, informed choice, integrated services, clients-centered were emphasized to the community and service providers.

  Youth Sexual and Reproductive Health: 1). continued to support China Youth Network 2). to design and test youth friendly health promotion models for youth migrants in 4 cities (under UN Joint Programmes supported by Spanish MDG Fund) HIV/AIDS: Supporting Chinese partners to be more effective in HIV prevention for high risk groups, including youth, migrants and female sex workers and general population as part of first UN joint programme on HIV/AIDS Gender: 1).work with All China Women's Federation on campaigns on VAW, sex ratio at birth and male involvement 2). Worked with MOH and Anti Domestic Violence Network (NGO) on VAW under UN joint programme Data for Development: Supported national capacity in generating and utilization of sex-disaggregated data and the monitoring of the implementation of the National Development Plan on Women and Children Urbanization and migration:Started to support national partners to explore policy options for healthy urbanization in the context of massive domestic migration to ensure quitable access to essential social services Ageing: Since 2006, UNFPA has been actively involved in the revision process of the Law of People's Republic of China on the Protection of Rights and Interests of

  Adeyaka Wury Aksani

  10 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017

  the Aged. UNFPA also launched its first pilot project on ageing in 6 pilot counties to explore models leading to healthy and active ageing.

  Culture: support the development of culturally appropriate maternal and child health services among ethnic minorities in 6 counties under UN Joint Programmes supported by Spanish MDG Fund Emergency response: Provision of emergency reproductive health kits in emergency responses and capacity building of national partners in reproductive health and psychosocial support

  Country Programme 7 (2011-2015): Goal: to continue to assist China in implementing the International Conference on Populaton and Development Programme of Action (ICPD PoA)

  Reproductive Health Policy Advocacy: Continued policy advocacy efforts leading to universal access to reproductive health; Advocate for comprehensive policy responses in the context of complex population dynamics; Advocate for inclusion of reproductive health in national emergency response plans; Supported the development of culturally approopriate maternal and child health services among ethnic minorities Youth Sexual and Reproductive Health: Continue to advocate for youth-friendly services and cmprehensive sexuality education for young people; Promote youth participation and leadership HIV/AIDS: Strengthen HIV prevention and integrated reproductive health service among high risk groups, including youth, migrants and female sex workers Data for Development: Continue to support national capacity in generating reliable and disaggregated data to support evidence-based development policies Urbanization and migration:Continue to support national partners to explore policy options and pilot models at cities of varying development levels for a healthy urbanization in China through ensuring equitable access to essential social services Ageing:Continue to improve the capacity of national partners to coordinate and manage the implementation of the national 12th Five-Year Plan on ageing, and to advocate for policy development of families coping with ageing in China Gender: 1).Support policy advocacy and community-based intervention to address sex ratio at birth imbalance 2). Continue to work on policy advocacy and multi- sectoral responses to gender-based violence

  Sum ber: UNFPA China, http:/ / w w w .unfpa.cn/ en/ page/ unfpa-china

  Melalui ketujuh Country Program UNFPA di Tiongkok, dapat diam bil kesim pulan bahwa ban tuan yang diberikan UNFPA dalam m enangani gen der sex section di negara tersebut hanya sebatas pada aktifitas kam panye dan advokasi, tanpa adanya larangan m aupun perubahan kebijakan tertentu. Aktifitas yan g dilakukan UNFPA tersebut ten tu saja telah disesuaikan dengan standar operasi organisasi tersebut, nam un sayan gnya ban tuan yang diberikan UNFPA kepada Tiongkok tidak disesuaikan dengan kondisi budaya di negara tersebut. H al tersebutlah yang kem udian m em buat UNFPA m en galam i disfungsi karena organisasi ini m em buat kebijakan yang m udah diaplikasikan nam un tidak disesuaikan dengan kondisi lapan gan .

  Kebijakan m en genai aborsi yan g diterapkan oleh Tiongkok tidak akan berubah hanya m elalui advokasi dan ban tuan dalam im plem entasi ICPD. Selam a tidak ada perubahan peraturan m en genai aborsi di Tiongkok dalam im plem en tasi kebijakan one child policy ten tu saja gender sex selection tidak akan hilang, sebab kebijakan ini m erupakan salah satu faktor yang m endorong m unculnya fenom ena tersebut. Dalam web resm i UNFPA Tiongkok disebutkan bahwa “UNFPA advocates for policies and program m es that address the distorted sex ratio at birth.” Dengan dem ikian UNFPA m en galam i disfungsi karena gen eralisasi aturan yan g dibuatnya m en yebabkan organisasi ini m en jadi tidak responsif terhadap dam pak sosial sehingga UNFPA tetap m en jalan kan rutinitas yang dianggapnya cukup untuk m enangani perm asalahan gen der sex selection.

  UNFPA bekerja di lebih dari 150 negara dan wilayah. Beragam wilayah lingkungan kerja UNFPA tentu saja m em erlukan program kerja dan penan gan an yang berbeda yang harus disesuaikan den gan karakteristik wilayah-wilayah terten tu. Karakteristik Disfungsi United Nations 11 disini dapat dilihat m elalui budaya m aupun sistem yang dianut oleh m asyarakatnya. Penyesuaian karakteristik wilayah den gan program kerja tentu saja akan m em udahkan suatu organisasi intern asional un tuk penyelesaian sebuah isu. Nam un sebaliknya, apabila program kerja diterapkan dengan cara m en ggen eralisasi m aka akan m em un gkin kan m un culnya disgfungsi karena perten tan gan antara program kerja dan karakteristik di wilayah terten tu. H al tersebutlah yan g m enjadi penyebab disfungsi UNFPA dalam m en angani isu gender sex selection di Tiongkok.

  Dalam hal ini, penulis m elihat ada tiga poin utam a yang m enjadikan Tiongkok m em iliki kondisi tersendiri diban dingkan den gan n egara lain. Pertam a, Tiongkok m erupakan n egara den gan jum lah populasi terbesar di dunia sehingga urgen si negara untuk m en gurangi jum lah populasi juga berpengaruh dalam kebijakan yang diam bil UNFPA. Kedua, Tion gkok m en erapkan kebijakan one child policy, yang m an a hal ini berkaitan dengan jum lah populasi n egara yang ingin dikuran gi dengan cara m engendalikan kelahiran. Ketiga, m asyarakat Tion gkok m en gan ut konfusianism e dan sistem kekerabatan patrarki sehingga cenderung m em ilih dan lebih m en yukai anak laki-laki(son preference).

  Menurut 20 11 World Population Data Sheet (t.t.) saat UNFPA m en deklarasikan posisinya sebagai organisasi internasional pertam a yang m en gan gkat isu gender sex selection di Tiongkok, negara tersebut ten gah m em iliki jum lah penduduk sebesar 1,346 juta pada tahun 20 11. J um lah tersebut m en duduki peringkat pertam a dalam daftar n egara dengan populasi terbesar di dunia. Bahkan jauh sebelum UNFPA m en deklarasikan diri sebagai organisasi intern asional pertam a yang m engan gkat isu gender sex selection di Tiongkok, UNFPA sendiri juga m em bantu Tiongkok dalam m en gatasi isu populasi den gan cara m em bantu pem erintah dalam m enjalankan kebijakan on e child policy. Kebijakan one child policy sen diri m erupakan kebijakan yang hanya m em perbolehkan m em iliki satu orang anak di dalam satu keluarga. Adanya kebijakan tersebut m em buat m asyarakat Tiongkok yang m enganut konfusianism e den gan sistem kekerabatan patriarki cenderung m em ilih untuk m em iliki anak laki-laki.

  Den gan kondisi yan g han ya diperbolehkan m em iliki satu orang anak, ten tu saja m asyarakat Tiongkok akan m em ilih untuk m em iliki putra yang karena dalam sistem kekerabatan patriarki lebih m enguntungkan dan berposisi lebih tinggi dalam sistem sosial diban dingkan dengan anak perem puan . H al tersebut diperkuat den gan pernyataan Chan dan Yip (20 0 2), yakni: “In China, the issue of gender preference was com plicatedby the introduction of the On e Child Policy to control the population …When the couples can have only on e child, m ost of them willnaturally desire for a son.”

  Anak laki-laki dianggap lebih penting karena m ereka m em iliki peran untuk m en jaga properti yang telah dim iliki, m ewarisi tanah, dian ggap lebih ban yak m em iliki kesem patan un tuk m aju dibandingkan dengan anak perem puan , bertugas m erawat oran g tua dihari tua, dan m elakukan tugas serem onial yang pentin g ketika orang tua m enin ggal (H ays t.t.). H al tersebut m en yebabkan pan dan gan pada kalangan orang tua bahwa m em iliki anak laki-laki m erupakan investasi ketika telah pensiun n anti. H al tersebut disebabkan karena tidak ada jam inan sosial yang universal di Tiongkok. Ditam bah lagi ban yak oran g di Tiongkok pedesaan yang tidak m em iliki jam inan pensiun . Melalui kutipan salah satu pen duduk pedesaan Guangdong bernam a Zhen An ban dalam Eckholm (20 0 2), m en yatakan: “people around here depen d on their son s to provide for them in old age because you can't rely on anyon e else.” Sehingga dari anak laki-laki-lah m ereka m en ggantun gkan nasib di hari tua.

Adeyaka Wury Aksani

  12 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 1, Januari 2017 Melalui fakta yan g telah dijabarkan, diketahui kondisi Tion gkok sebagai negara yang m enganut sistem patriarki dan m em egang nilai-nilai konfusianism e yan g kuat karen a telah m en gakar selam a berabad-abad. H al tersebut pada akhirnya juga m em iliki dam pak sosial terutam a pada m asalah yakni adan ya gen der sex selection.

  Mandat UNFPA sebagai lem baga yang m en angani m asalah kependudukan dan populasi juga m encakup reproduksi yang terkait kesejahteraan m an usia. Dengan m andat tersebut bisa dikatakan UNFPA m erupakan lem baga yang m en angani hal-hal paling intim dari eksisten si m an usia seperti reproduksi, gender, seksualitas, dam isu-isu populasi terkait (Karam t.t, 434). H al tersebut ten tu saja tidak dapat dilepaskan dari tan tangan budaya yan g m ungkin m asih dian ggap tabu, sosial, dan ekonom i.

  Oleh sebab itu kem udian dalam m en jalan kan m isinya UNFPA juga harus bekerjasam a den gan faith-based organization (FBOs) yang terintregasi den gan budaya setem pat. UNFPA sendiri m en definisikan budaya sebagai dinam ika yang pada pengaruh dan dam paknya dikaitkan dengan pola pikir, kepercayaan , dan perilaku yan g m enjadi kunci dari pem bangunan. Perubahan sikap, perilaku, dan hukum yang terutam a berkaitan den gan gen der dan kesehatan reproduksi m erupakan tugas jan gka pan jang yang cukup sulit dan m en antang sebab m engubah pola pikir lebih sulit dibandingkan dengan m em berikan layanan . Dalam proses pelaksaan program , dibutuhkan pem aham an pada setiap dinam ika budaya pada m asyarakat di m an a UNFPA bekerja, serta m en antang nilai- nilai budaya, asset, ekspresi, dan kekuasaan struktur (Karam t.t., 435). Den gan dem ikian sudah seharusnya UNFPA bekerja den gan FBOs, m asyarakat adat, dan struktur berbasis m asyarakat lainnya sebagai m itra dalam pem ban gun an dan hak asasi m an usia.