Peran United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India periode Tahun 2010-2012

(1)

PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF)

DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

PERIODE TAHUN 2010-2012

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Nurhayati Inayatul Maula 1110114000023

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa mengenai peran United Nations Children’s

Fund (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India periode

tahun 2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kerjasama antara UNICEF dengan pemerintah India, menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India serta melihat tantangan dan peluang yang di hadapi oleh UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan analisa data sekunder.

Peneliti menemukan bahwa pada tahun 2007, India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia, oleh karena itu, Pemerintah India membuat kebijakan nasional maupun internasional untuk menangani kasus pernikahan anak. Dalam usaha menetapkan kebijakan tersebut, Pemerintah India bekerjasama dengan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

Skripsi ini dianalisa dengan menggunakan kerangka teori organisasi internasional dengan pendekatan rezim dan pendekatan neofungsionalisme. Dari hasil analisa dengan menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1). Kerjasama yang dilakukan antara UNICEF dan pemerintah India mampu menangani faktor-faktor penyebab dari kasus pernikahan anak di India, antara lain pendidikan, budaya, dan persepsi masyarakat mengenai keselamatan anak. 2). UNICEF memiliki peranan yang efektif dalam menangani kasus pernikahan anak di India ditunjukan dengan adanya penurunan angka pernikahan anak di India ditahun 2010 hingga 2012.


(6)

KATA PENGANTAR

مسب

ه

نمحرلا

ميحرلا

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena berkah, rahmat, serta kehadirat-NYA skripsi ini dapat diselesaikan dengan

sebaik-baiknya. Penyusunan skripsi yang berjudul PERAN UNITED NATIONS

CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI KASUS

PERNIKAHAN ANAK DI INDIA PERIODE TAHUN 2010-2012, dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan yang diberikan kepada :

1. Ibu Debbie Affianty, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Athiqah Nur Alami, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia

meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan serta pengarahan yang sangat berharga dalam proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Seluruh Dosen Hubungan Internasional (kelas Internasional) Universitas Islam


(7)

pengetahuan selama penulis kuliah sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Kedua orang tua tercinta dan kaka tersayang yang tak pernah letih

memberikan bantuan moril maupun materil serta doa yang tidak pernah putus hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Sahabat tersayang; Miranti Israni, Septian Maulana Yusuf, Safee Peters,

Aunty Sumaya Peters, Uncle Abduraghman Peters yang selalu memberikan semangat dan support dalam proses penulisan skripsi.

6. Teman-teman kelas HI INTER 2010, yang selalu memberikan semangat

selama ini dan terimakasih atas kerjasamanya selama program perkuliahan berlangsung.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima kritik dan saran yang dapat membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.

Ciputat, 27 November 2014


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI ... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Kerangka Teoritis ... 13

F. Metode Penelitian... 20

G. Sitematika Penulisan ... 22

BAB II PERNIKAHAN ANAK DI INDIA A. Isu Pernikahan Anak di India ... 24

B. Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Anak di India ... 26

C. Dampak Pernikahan Anak di India ... 36

D. Kebijakan Pemerintah India dalam menangani Kasus Pernikahan Anak di India ... 43


(9)

BAB III PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)

A. Tinjauan Umum mengenai United Nations Children’s Fund

UNICEF ... 55 B. Peran UNICEF di India ... 60

C. Efektifitas Peran UNICEF dalam menangani Kasus

Pernikahan Anak di India ... 74

D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam

menangani Kasus Pernikahan Anak di India ... 82

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... xii LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan anak di India ... 44 Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam

menangani kasus pernikahan anak di India ... 52

Tabel III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013 ... 59

Tabel III.C.2. Persentase (%) angka penurunan kasus pernikahan anak


(11)

DAFTAR SINGKATAN

ANMs Auxiliary Nurse Midwifes

ASHA Accredited Social Health Activists

CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women

CRC Convention on the Rights of the Child

DLHS District Level Household and facility Survey

ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights

ICPS Integrated Child Protection Scheme

ICRW International Center for Research on Women

JRM Joint Review Missions

KGBV Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya

MDGs Millennium Development Goals

MS Mahila Samakhya

NCW National Commission for Women

NFHS National Family Health Survey

NPEGEL National Programme for Education of Girls at Elementary

Level

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PCMA Prohibition of Child Marriage Act

RTE Right to Education Act

SOWC State of the World’s Children Report

SSA Sarva Shiksa Abhiyan

UEE Universal Elementary Education

UNFPA United Nations Population Fund


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Pernikahan anak (child marriage) merupakan salah satu fenomena

internasional yang perlu menjadi perhatian, karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi anak. Anak dengan usia di bawah 18 tahun masih belum pantas dinikahi dan belum dapat memenuhi persyaratan untuk menikah baik secara fisik maupun moral. Umumnya, seorang anak yang memiliki usia kurang dari 18 tahun masih dianggap belum mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Di usia yang bisa dibilang masih sangat dini yakni kurang dari 18 tahun, mereka seharusnya duduk di bangku sekolah dengan gelar ‘pelajar’ bukan dengan gelar ‘istri’ atau ‘suami’. 1

Praktek pernikahan anak ini dapat ditemukan di sejumlah wilayah didunia. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 72.000.000 perempuan di dunia yang berusia 24 tahun menikah saat

mereka berusia di bawah 18 tahun.2 Berdasarkan data survey UNICEF tahun

2009, angka pernikahan anak berkisar 46,8% terjadi di Asia Selatan, 37,3% terdapat di Sub-Sahara Afrika, 29% terdapat di Latin America dan Caribbean,

1 Sagade, Jaya, “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights Dimensions”, Oxford University Press, New Delhi:2005, Hal: 12


(13)

17,6% terdapat di Asia Timur dan Pasifik, dan 17,4% terdapat di Timur Tengah

dan Afrika Utara.3

India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak

nomor dua terbesar di dunia yakni berkisar 40%.4 Dalam hasil penelitian UNICEF

India pada tahun 2008, angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 43%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 54%. Sekitar 13.000 anak perempuan di India menikah setiap harinya, sehingga tercatat total

anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih dari 23.000.000.5

Kasus-kasus penikahan anak di India mayoritas dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa mempunyai seorang anak perempuan dianggap berkah yang tak ternilai harganya. Anak perempuan dinilai dapat mengangkat kondisi perekonomian keluarga mereka, melalui pernikahan dengan saudagar kaya. Mereka tidak peduli dengan konsekuensi yang harus diterima oleh anak mereka yang masih di bawah umur. Bahkan, para orang tua di Bihar-India berfikir bahwa pendidikan untuk anak perempuan tidak terlalu penting. Mereka percaya bahwa setiap anak perempuan yang telah menikah di bawah umur akan memperbaiki

status ekonomi orang tua mereka.6

Secara tradisional di India, tanggung jawab perawatan dan perlindungan

anak berada pada keluarga dan masyarakat. Keluarga di India umumnya bersifat patriakal dan memiliki ikatan keluarga yang kuat dalam menjaga anak-anak

3Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013. 4Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty, “Early marriage and its Issues”,

Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, Agustus 2009. Hal: 27

5UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India, http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014 6Ibid


(14)

dengan baik. Akan tetapi, mereka belum memiliki kesadaran bahwa anak adalah individu yang memiliki hak-hak tersendiri. Sedangkan Konstitusi India menjamin hak-hak dasar anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan di usia dini ini juga beresiko bagi sang anak, baik dari sisi psikologi, kesehatan, pendidikan bahkan menyebabkan kematian. Di India, dampak dari pernikahan anak ini mengarah kepada kekerasan, pemaksaan, hingga menimbulkan kematian. Di Bihar dan Jharkhand menemukan bahwa kasus penyiksaan anak lebih sering terjadi pada anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun. Mereka juga sering dipaksa untuk berhubungan seksual tanpa bernegosiasi terlebih dahulu, akibatnya sang anak lebih rentan terjangkit HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain itu anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dua kali lebih beresiko pada saat proses kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan diusia 20-25 tahun. Hasil dari penelitian UNFPA tahun 2010 menemukan angka 66.6% pada anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun yang mengalami

komplikasi pada persalinan.7

Pernikahan anak ini juga tidak jarang terkait dengan perdagangan anak. Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan, penipuan, perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan di perdagangkan. Motif ini biasanya digunakan untuk mengambil keuntungan dari

anak (istri) untuk dijadikan pekerja seks anak (pelacuran anak) atau perburuhan.8

Di Iran, misalnya, tidak jarang orang tua yang menikahi anak mereka dengan

7ibid

8 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, New Delhi, 2001, Hal: 165-168


(15)

laki yang jauh lebih tua kemudian anak mereka “diperdagangkan” dan orang tua mendapatkan imbalan dari hasil “perdagangan” anak mereka.9

Pemerintah India pun bekerja sama dengan UNICEF India untuk mengatasi segala sesuatu yang melanggar hak asasi anak khususnya mengatasi

kasus pernikahan anak di bawah umur di India.10 UNICEF (United Nations

Children’s Fund) merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB yang membantu masalah anak-anak diseluruh dunia, baik yang berkaitan dengan masalah kesehatan, pendidikan, malnutrisi, dan masalah pelanggaran hak asasi anak.

UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF memiliki 15 kantor pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India lainnya terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat, Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal. UNICEF melakukan penelitian secara langsung dan menggunakan data yang berkualitas untuk memahami permasalahan yang terjadi pada anak di India. UNICEF menggunakan pengetahuannya di tingkat masyarakat untuk menerapkan dan memastikan bahwa perempuan dan anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Pada saat yang sama UNICEF juga meninjau langsung ke keluarga untuk membantu mereka dalam memahami apa yang harus mereka

9USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 26 September 2013

10UNICEF. (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”,

http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/India_WFFC5_Report.pdf, Diakses pada tanggal 29 September 2013


(16)

lakukan untuk memastikan anak-anak mereka berkembang. Dalam menangani masalah pada anak, UNICEF menjalin kemitraan dengan badan-badan PBB yang lain, organisasi sukarela yang aktif di tingkat masyarakat, kelompok perempuan dan donor.

UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa setiap anak yang lahir di India mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup,

berkembang dan untuk mengembangkan potensi penuhnya.11 UNICEF bekerja di

India untuk melindungi semua hak anak di India, ini berarti hak untuk setiap anak yang tinggal di India. Program bantuan yang diberikan oleh UNICEF berkaitan erat dengan hak anak seperti layanan kesehatan, layanan pendidikan, program perlindungan anak. Program tersebut diberikan pada dasarnya disesuaikan dengan program yang diberikan oleh pemerintah India. UNICEF memiliki beberapa langkah dalam membahas kasus pernikahan anak di India diantaranya yang

berhubungan dengan perlindungan anak (child protection), dan mempertegas Hak

Asasi seorang anak (children rights).12

Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan di bawah umur di India dan seberapa efektif peran UNICEF tersebut. Data yang digunakan pada penelitian ini di ambil dari tahun 2010 hinga 2012, hal ini dikarenakan adanya peningkatan peran maupun program yang dibentuk oleh UNICEF. Kemudian, terjadi penurunan pada angka pernikahan anak di India. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, diharapkan dapat

11UNICEF, “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their rights remain spread and multiple in nature”,

http://www.unicef.org/india/children_2360.htm, diakses pada tanggal 29 September 2013 12 ibid


(17)

dirumuskan sebuah analisa yang efektif dan tepat sasaran dalam menganalisa kasus pernikahan di bawah umur di India.

B.Pertanyaan Penelitian

Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama di India. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia di bawah umur 18 tahun masih terus berlangsung dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia

muda yang terabaikan. Peraturan seperti The Prohibition of Child Marriage Act,

2006 (PCMA, 2006) seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat

serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.13

Peningkatan yang terus terjadi pada kasus pernikahan di bawah umur 18 tahun di India ini membuat kekhawatiran sendiri bagi masa depan anak di India.

Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit

untuk dirubah.14

13UNPFA(2005) , Child marriage fact sheet,

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm, Diakses pada tanggal 7 Oktober 2013 Pukul 15.02 WIB

14UNICEF (2006), Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical exploration.”, http://www.unicef.org/earlychildhood/files/Guide_to_GC7.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober Pukul 15.17 WIB


(18)

Berangkat dari kasus tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab

pertanyaan: Bagaimana peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak

di India dan seberapa efektif peran tersebut dilakukan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dibuat bertujuan untuk:

1. Mengkaji Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India.

2. Melihat efektifitas peran UNICEF dalam melawan kasus pernikahan anak

di India

3. Melihat tantangan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India

4. Melihat peluang UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India

Kasus pernikahan anak di bawah umur 18 tahun di India sudah menjadi kasus pelanggaran hak asasi anak yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan dapat lebih memaparkan tantangan yang dihadapi oleh UNICEF dalam menangani kasus ini.


(19)

Adapun manfaat yang diberikan dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis dapat menambah wawasan ilmu Hubungan Internasional yang berkaitan dengan bahan yang diteliti, khususnya peran organisasi Internasional (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

b. Manfaat Praktis

1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran UNICEF dalam

menangani kasus pernikahan anak di India

2. Dapat dijadikan informasi bagi phiak terkait dengan masalah yang diteliti

serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk membantu menambah informasi dan menghindari kesamaan pada penulisan skipsi, penulis mengambil beberapa sumber untuk membantu proses penelitian. Sumber pertama berasal dari skripsi yang ditulis oleh Widia Noviyanti, mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Untuk memenuhi gelar S1, Juli 2013 yang berjudul:

Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007:

Tren dan Dampak Pernikahan Dini di Indonesia. Skripsi ini meneliti tentang hasil studi UNICEF (2005) di semua negara, menunjukkan bahwa pernikahan anak paling sering terjadi pada populasi dengan status ekonomi terendah.


(20)

Persentase pernikahan dini di Chad dan Republik Afrika Tengah berturut-turut sebesar 71% dan 57%. Perbedaan angka lebih sedikit pada populasi terkaya yaitu 75% di Chad dan 55% di Republik Afrika Tengah, sedangkan populasi termiskin sebanyak 66% di Chad dan 53% di Afrika Tengah (UNICEF, 2005). Berdasarkan data UNICEF tahun 2012, kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia antara tahun 2000-2010, terdapat 4% dari perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah di bawah 15 tahun, sedangkan sebesar 22% perempuan pada kelompok umur tersebut tersebut menikah di bawah 18 tahun. Tren pernikahan dini di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 1977-1992. Selanjutnya pada tahun 1992, angka pernikahan dini meningkat hingga penelitian ini dilaksanakan.

Dampak pernikahan dini pada penelitian ini meliputi status perkawinan, status ekonomi, fertilitas, mortalitas bayi, dan penggunaan kotrasepsi. Pernikahan dini yang terjadi pada remaja, sering berujung pada ketidakstabilan rumah tangga sehingga meningkatkan angka perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pernikahan dini. Hal ini terjadi karena pada keluarga dengan status ekonomi rendah, orangtua mereka menganggap bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi keluarga. Selain itu, perempuan yang berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah sebagian besar memiliki pendidikan yang rendah. Tidak sedikit dari mereka putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena tidak mampu membayar sekolah atau ingin segera bekerja untuk membantu orang tua.

Sumber kedua berasal dari skripsi yang ditulis oleh Eka Octavia: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, prodi Hubungan Internasional, Universitas


(21)

Komputer Indonesia, 2009. Untuk memenuhi gelar S1 yang berjudul: “Peranan

United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam penanganan pekerja seks

komersial anak di India”. Skripsi ini meneliti tentang UNICEF (United Nation

Children’s Fund) yang termasuk dalam IGO, terbentuk pada tanggal 11 Desember 1946 untuk melindungi jiwa anak-anak dan mengatur segala hal mengenai kesejahteraan anak-anak di dunia dan bernaung di bawah PBB serta bermarkas besar di New York, melihat kenyataan dan tindakan yang telah terjadi terhadap anak-anak di India merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak anak dan hal tersebut harus secepat mungkin ditekan agar kelangsungan hidup anak-anak di India dapat berjalan sebagaimana mestinya anak-anak di dunia. Peranan UNICEF terhadap pekerja seks anak di India sangat membantu bagi pemerintah India dalam mengatasi pekerja seks anak, pengaruh UNICEF secara nyata memberi dukungan kepada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah India terhadap kelangsungan hidup anak-anak.

Sumber ketiga berasal dari buku yang ditulis oleh A.L. Basham, Professor

of Asian Civilization in the Australia National Univercity, Canberra. 3rd Edition,

New Delhi, 2001, yang berjudul: The Wonder that was India: A Survey of the

History and Culture of the Indian sub-continent before the coming of the

Muslims”. Buku ini membahas mengenai kedudukan perempuan di India. Seorang perempuan berdasarkan segi kekuasaanya, selalu rendah dimata hukum. Sebagai seorang gadis kecil dia berada dibawah aturan orang tuanya, sebagai wanita dewasa, dia mengabdi pada suaminya, menjadi ibu dari anak-anaknya, dan sebagai seorang janda. Seorang suami memiliki hak penuh terhadap hak istrinya,


(22)

dia bisa menjual istrinya dalam terhimpit, dan seorang suami bisa mengendalikan isterinya untuk kepentingan pribadi, dan jika isterinya meninggal, suami dapat melakukan hal yang sama kepada anak perempuannya bukan kepada anak laki-lakinya. Pada umumnya wanita tidak dapat memilih tujuan hidup. Perempuan hanya ditakdirkan untuk menikah, kemudian merawat suami dan anak. Seorang istri harus memiliki inisiatif dalam rumah tangga. Tugas utamanya, adalah menunggu suaminya pulang, kemudian melayani suaminya, memijat kaki suaminya, bangun tidur sebelum suaminya terbangun, makan dan tidur setelah suaminya melakukan hal tersebut.

Kevirginitasan perempuan sangatlah penting, karena jika seorang perempuan tidak virgin sebelum menikah maka tidak ada laki-laki yang mau menikahi perempuan itu. Orang tua perempuan memiliki suatu pilihan untuk menghukum dan mengusir puteri mereka yang tidak virgin sebelum menikah, bahkan orang tua dapat menghukumnya dengan menjadikan anaknya seorang pekerja seks komersial.

Sumber keempat berasal dari buku yang dituliskan oleh Jaya Sagade, New

Delhi, 2005, yang berjudul Child Marriage in India: Socio-legal and Human

Rights Dimensions. Buku ini menempatkan pernikahan anak dalam konteks

pelanggarangan hak asasi manusia di tingkat internasional. Buku ini juga menunjukkan bagaimana pernikahan anak melanggar hak asasi manusia khususnya hak asasi anak, hak tersebut seperti: hak atas kesehatan, mendapatkan pendidikan, kesetaraan, kebebasan dan keamanan pribadi dan tentu saja hak untuk memilih pasangan. Buku ini terfokus pada dampak dari pernikahan anak seperti


(23)

pada kesehatan dan perkembangan anak-anak perempuan. Ini menunjukkan bagaimana praktik pernikahan anak memperkuat masalah dasar rendahnya tingkat kesehatan, dan pendidikan di kalangan wanita. Buku ini juga berisi kritik kuat dari negara hukum, dan kurangnya kepekaan gender yang melekat dalam ketentuan berbagai undang-undang yang berhubungan dengan usia perkawinan, usia persetujuan, dan validitas pernikahan.

Dalam buku ini menjelaskan ada delapan tipe pernikahan di India

diantaranya: pertama, Brahma, merupakan pernikahan dimana seorang pria dan

seorang wanita memiliki kasta yang sama. Kedua, Daiva, adalah pernikahan

dimana orang tua memberikan puterinya untuk membayar hutangnya. Ketiga,

Arsa, merupakan pernikahan dimana pernikahan yang sesuai dengan dowry dan

ada harga pengantin yang diukur oleh harga seekor sapi atau banteng. Keempat, Prajapatya, merupakan pernikahan dimana seorang memberikan puterinya tanpa

dowry dan tanpa harga banding. Kelima, Gandharva, merupakan pernikahan yang

harus diadakan dengan dua kali perayaan atas persetujuan kedua belah pihak.

Keenam, Ashura, pernikahan yang terjadi dengan adanya sistem pembelian.

Ketujuh, Raksasa, pernikahan yang terjadi karena penangkapan. Kedelapan,

Paisaca, pernikahan yang terjadi karena rayuan seorang dalam keadaan tidak sadar atau mabuk.

Dari beberapa skripsi dan buku yang tercantum diatas, terdapat persamaan dan perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis. Dilihat dari persamaannya, dari beberapa sumber diatas dengan skripsi yang saya tulis sama-sama menjelaskan tentang UNICEF secara general, kedudukan anak perempuan di India, dan


(24)

membahas mengenai kasus pelanggaran hak asasi anak. Sedangkan apabila dilihat dari perbedaan antara beberapa skripsi dan buku diatas dengan skripsi yang saya tulis, yaitu: Skripsi yang saya tulis lebih fokus kepada peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India (2010-2012), dan seberapa efektif peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Selain itu beberapa sumber diatas tidak fokus kepada peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India dan sumber-sumber di atas lebih menjelaskan mengenai kasus pernikahan anak saja.

E. Kerangka Teoritis

Penulisan skripsi menggunakan teori Organisasi Internasional dengan pendekatan rezim dan neofungsionalisme.

1. Pernikahan Anak

Pernikahan Anak atau Child Marriage adalah pernikahan secara

formal maupun adat dimana salah satu atau kedua pasangannya berada di

bawah usia 18 tahun.15 Dilihat dari sejarahnya, pernikahan anak ini

bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan memperbanyak garis

15 UNFPA. “Child Mariage”. 2010. http://www.unfpa.org/child-marriage. Diakses pada 26 September 2013


(25)

keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu hubungan ekonomi,

politik dan sosial diantara keluarga mereka.16

Pernikahan anak ini juga terkait dengan perdangangan anak. Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan, penipuan, perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak

tersebut akan di perdagangkan.17 Seorang anak umumnya dianggap belum

mampu memberikan persetujuan atau pilihan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Diusia yang masih sangat dini, mereka seharusnya duduk dibangku sekolah dan masih terlalu jauh untuk memikirkan masalah pernikahan. Praktek pernikahan anak ini sifatnya memaksa dan telah terjadi diseluruh daerah, budaya dan agama.

2. Teori Organisasi Internasional

Organisasi Internasional merupakan organisasi yang dibentuk oleh negara-negara dengan persetujuan antara anggotanya dan mempunyai suatu sistem yang tetap yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan

bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara negara anggotanya.18

Dalam arti luas organisasi internasional meliputi organisasi

internasional publik atau public international organization yang

16UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.

http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf. Diakses pada 26 September 2013

17USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 26 September 2013

18 Virally, M, “Definition and Clasification of International Organization: A Legal Approach”, London. 2007, hal: 58


(26)

beranggotakan negara karena itu disebut juga sebagai organisasi antar

pemerintahan atau inter-governmental organization dan organisasi

internasional privat atau private international organization beranggotakan

badan atau lembaga swasta diberbagai negara karena itu disebut sebagai

organisasi non-pemerintahan atau non-governmental organization.19

Menurut Clive Archer dalam bukunya berpendapat bahwa organisasi internasional adalah sebuah organisasi yang memiliki struktur berkesinambungan serta pembentukan organisasi tersebut berdasarkan

pada perjanjian yang telah dibuat oleh anggotanya.20

Organisasi Internasional merupakan salah satu aktor penting dalam hubungan internasional. Banyaknya organisasi internasional yang muncul cenderung sejalan dengan banyaknya tujuan yang hendak dicapai dari organisasi internasional itu sendiri. Anggota organisasi internasional terdiri dari dua atau lebih negara yang berdaulat. Hal ini dimaksudkan agar organisasi tersebut dapat terbentuk untuk mencapai sebuah tujuan yang telah disepakati bersama oleh anggotanya. Organisasi Internasional yang dibentuk oleh negara-negara anggotanya melalui instrumen pokok yang telah disetujui bersama pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme untuk mengadakan kerjasama dalam semua kegiatan diberbagai sektor

kehidupan internasional yang menjadi kepentingan mereka bersama.21

19 Sumaryo, Suryokusumo, “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”, Jakarta: Tatanusa, Juli 2007, hal: 3-5

20Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. 21Ibid


(27)

Menurut Archer peranan organisasi internasional dapat dibagi kedalam tiga kategori, yakni: Kategori Pertama, sebagai instrumen dimana organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. Kedua, sebagai arena dimana organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yang dihadapi dan tidak jarang organisasi internasional digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam wilayahnya, ataupun masalah dalam wilayah negara lain dengan tujuan untuk mendapat perhatian internasional. Kategori ketiga, organisasi internasional dapat

membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh negara.22

Secara sederhana, dapat dirumuskan bahwa teori organisasi internasional merupakan teori yang membahas mengenai suatu organisasi yang pelakunya melintasi batas sebuah negara, berangkat dari kesepakatan masing-masing anggota untuk bekerja sama, memiliki regulasi yang mengikat anggota, dan untuk mewujudkan tujuan internasional tanpa meleburkan tujuan nasional dari masing-masing anggota dari organisasi

internasional yang bersangkutan.23

22 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. hal: 130-147

23 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal: 54-56


(28)

3. Pendekatan Rezim dan Neofungsional dalam Teori Organisasi Internasional

Dalam mempelajari teori organisasi internasional, terdapat dua pendekatan utama yang berkaitan dengan teori organisasi internasional yakni pendekatan rezim dan pendekatan institusional. Selain itu terdapat

dua turunan dari pendekatan institusional yakni pendekatan

neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.24

Pendekatan rezim merupakan pendekatan yang muncul pada tahun 1950an dan mulai kuat kembali pada tahun 1980-1990an. Pendekatan rezim ini menganalisa pengaruh tingkah laku organisasi internasional terhadap aktor-aktor lain terutama negara sebagai sumber politik internasional, melihat efektivitas atau aturan-aturan yang dibuat oleh organisasi internasional dengan kata lain pendekatan ini mencoba menganalisis seberapa efektif keberadaan suatu organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah yang menjadi bidangnya, selain itu pendekatan rezim juga mengetahui apasaja hal-hal yang dihasilkan oleh suatu organisasi internasional dan bagaimana pengaruhnya dalam

mengatasi suatu masalah.25

Pendekatan institutional muncul pada tahun 1950-1960an dan disebut juga sebagai analisis institusi formal. Pendekatan institusional

24 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal: 27-56


(29)

merupakan sebuah pendekatan yang melihat sebuah pendekatan yang melihat suatu organisasi internasional secara internal atau apa yang terjadi dalam organisasi tersebut, selain itu pendekatan institusionalisme ini lebih melihat pada struktur formal, organisasi dan birokrasi hirarki organisasi internasional. Titik awal munculnya pendekatan institusional ini adalah munculnya piagam organisasi dan terjadinya perjanjian internasional. Piagam tersebut akan menjadi dasar tentang kapan dan mengapa organisasi dijalankan serta siapa saja yang bisa menjadi anggotanya. Pendekatan ini juga mengatur struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan, proses keluar-masuk anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi internasional. Terdapat ketidak puasan pada pendekatan institusionalisme sehingga berkembang menjadi dua cabang pendekatan yaitu pendekatan

neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.26

Pendekatan Neofungsionalisme merupakan pendekatan yang menjadi awal dari pendekatan rezim yang berkembang pada tahun 1960an. Pendekatan neofungsionalisme ini tidak hanya melihat hanya pada isu-isu yang ada didalam organisasi internasional tetapi juga agenda internasional organisasi internasional itu sendiri. Pada pendekatan ini kerjasama dalam organisasi internasional lebih mengutamakan aspek politik daripada tuntutan teknis pada integrasi fungsi pemerintahan global. Pendekatan ini membawa politik kembali ke dalam studi organisasi internasional, pendekatan neofungsionalisme lebih fokus pada evolusi pola pemerintahan

26 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York, 2006, hal: 27-56


(30)

dalam suatu struktur kelembagaan dan organisasi yang ada, bukan pada penciptaan bentuk-bentuk organisasi baru.

Pendekatan neoinstitusionalisme mucul pada tahun 1990an, pendekatan ini lebih melihat aturan dan prosedur yang dibuat oleh organisasi internasional untuk mencapai misi formal organisasi internasional itu sendiri, selain itu melihat sejauh mana organisasi tersebut menjaga aturan dan prosedur yang mereka buat dan memiliki perbedaan dalam politik internasional. Pendekatan ini melihat bahwa negara sebagai pelaku utama yang dapat mendorong organisasi internasional untuk

melakukan tugas tertentu untuk mereka.27

Melihat isu yang akan dibahas yakni peran UNICEF dalam kasus pernikahan anak di India, maka penelitian ini menggunakan teori Organisasi Internasional dengan asumsi-asumsi dari pendekatan rezim dan pendekatan neofungsionalisme. Pendekatan rezim ini menganalisa pengaruh tingkah laku organisasi internasional terhadap aktor lain terutama negara dan menganalisa seberapa efektif keberadaan suatu organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah yang menjadi bidangnya di suatu negara, serta mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh organisasi internasional tersebut. Dengan demikian pendekatan rezim membantu dalam menganalisa pengaruh UNICEF terhadap pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak di India, menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya


(31)

pernikahan anak dan mengurangi angka pernikahan anak di India, dan mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

Sedangkan pendekatan neofungsionalisme, pendekatan yang melihat kerja sama suatu organisasi internasional dengan suatu negara dan dalam pendekatan ini organisasi internasional tidak melihat hanya pada isu yang ada pada organisasi internasional, tetapi juga melihat agenda internasional itu sendiri. Dengan demikian, Pendekatan neofungsionalisme ini membantu dalam melihat agenda Internasional dari UNICEF pada kasus pernikahan anak dan melihat relasi atau kerjasama antara UNICEF dan pemerintah India.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan dari

satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.28 Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif analisis, yaitu menggambarkan masalah

kemudian menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan pada

teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan. Ini bertujuan untuk

28Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik” (Jakarta: Bina Aksara 1989), hal 11


(32)

memperdalam pengetahuan mengenai gejala itu dengan maksud untuk

merumuskan masalah secara terperinci atau mengembangkan hipotesis.29 Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk

menghimpun data, info, atau fakta yang berhubungan dan relevan dengan

masalah yang hendak diteliti. Karena adanya beberapa keterbatasan yang

dimiliki dalam melakukan penelitian ini, penulis tidak dapat meninjau

langsung ke negara India dan penulis kesulitan dalam mencari data per daerah

di India. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisa data sekunder

yaitu dengan penelusuran literatur atau data-data dan berbagai informasi

dengan berbagai macam materi melalui studi kepustakaan dan penelusuran

data melalui internet. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen atau

kepustakaan, yakni bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi

dengan bantuan macam- macam material yang terdapat di ruang

perpustakaan, misalnya berupa: buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan,

kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.

Dalam proses penelitian, penulis juga mengirimkan email langsung

kepada Fanspage UNICEF India dan mengunjungi beberapa institusi seperti

Embassy of India in Indonesia, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre di

Jakarta, Kantor UNICEF Indonesia yang membantu menghubungkan kepada

UNICEF India, dan Kemeterian Luar Negeri Republik Indonesia dan penulis

juga mengunjungi beberapa perpustakaan guna membantu jalannya penelitian,

perpustakaan tersebut diantaranya: perpustakaan Universitas Indonesia,

perpustakaan BPPK (Kementrian Luar negeri), perpustakaan FISIP

29 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, “Metode Penelitian Sosial”, PT. Bumi Aksara, hal.4


(33)

Universitas Prof. DR. Moestopo Beragama (UPDMB), Freedom Library, dan

perpustakaan FISIP UIN Jakarta. Data-data kepustakaan yang telah

diperoleh dijadikan fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian di

tengah lapangan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan pembahasan yang dilakukan. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Pada bab I, penulis akan membahas mengenai pertanyaan masalah, pertanyan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Pernikahan Anak di India

Pada bab II ini terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama, penulis akan membahas mengenai isu pernikahan anak di India. Sub bab kedua, penulis akan membahan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pernikahan anak di India. Sub bab ketiga, penulis akan membahas mengenai dampak-dampak yang terjadi pada pernikahan anak di India. Dan sub bab keempat, penulis akan membahas mengenai kebijakan pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak di India


(34)

BAB III: Peran dan Tantangan UNICEF dalam Menangani Kasus Pernikahan di India (2010-2012)

Pada bab III merupakan bab analisa yang terdiri dari empat sub

bab. Sub bab pertama, penulis akan membahas mengenai tinjauan umum UNICEF. Sub bab kedua, penulis menjelaskan peran UNICEF di India. Sub ba ketiga, penulis menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Kemudian Sub bab keempat, penulis akan membahas mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

BAB IV: Penutup

Pada bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan


(35)

BAB II

PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

A. Isu Pernikahan Anak di India

India adalah negara dengan populasi penduduk terbesar kedua di dunia

dengan jumlah 1.270.272.105 jiwa.1 India muncul sebagai kekuatan ekonomi baru

di dunia pada tahun 1990-an.2 Semenjak diakui sebagai kekuatan ekonomi baru,

India terus berkembang sebagai negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang dapat dikatakan tumbuh dengan cepat. Akan tetapi, dibalik kesuksesan India di bidang ekonomi dan di dunia internasional, India menjadi negara yang memiliki catatan panjang atas pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap anak dan perempuan. Berdasarkan enam kategori pelanggaran hak-hak anak yaitu ancaman kesehatan, kekerasan seksual dan non-seksual, praktek-praktek berbahaya dalam budaya, tradisi atau agama seperti pernikahan anak, keterbatasan akses terhadap sumber ekonomi dan perdagangan manusia, India menjadi negara nomor empat yang paling berbahaya bagi anak perempuan dan wanita pada kategori praktek

budaya seperti pernikahan anak.3

Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan dimana usia pengantin laki-laki masih di bawah 21 tahun dan usia pengantin perempuan di bawah 18

1“India’s Population in 2014”. http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014. 16.42

2OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”. December 2013. Hal: 13. http://www.ohchr.org/do

cuments/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.


(36)

tahun.4 Pernikahan anak di India telah telah terjadi semenjak abad pertengahan dan dipengaruhi dengan budaya kasta yang ada di India. Dengan berjalannya waktu, pernikahan anak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak anak, karena jika anak dinikahkan dibawa umur, maka beberapa hak anak akan terhambat atau terbatasi, hak tersebut diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, hak atas perlindungan hukum, dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Mayoritas yang menjadi korban dari pernikahan anak ini adalah anak perempuan. Pengantin anak seringkali harus menghadapi putus sekolah, resiko awal kehamilan dan mengalami kekerasan. Pada tahun 2007 hingga 2010, sekitar 23.000.000 anak perempuan di India menghadapi kenyataan

ini.5 Hal ini memiliki dampak cukup besar tidak hanya pada anak-anak sebagai

individu, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Mayoritas anak perempuan yang menikah di usia dini tidak diperbolehkan untuk menyelesaikan pendidikan dan mereka hanya memiliki sedikit keterampilan untuk bekerja, hal ini dapat meningkatkan angka kemiskinan di India.

Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia yakni 40% atau sekitar 23.000.000 kasus pernikahan anak. Penelitian UNICEF India pada tahun 2008, menemukan bahwa angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 29%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18

4 Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”. http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014

5Ministry Of Women and Child Development, ”National Strategy Document on Prevention of Child Marriage”, 2013, Hal: 1. http://wcd.nic.in/childwelfare/Strategychildmarrige.pdf. Diakses pada 15 Juni


(37)

tahun sekitar 28% dan hampir setengah (43%) perempuan India berusia 20-24 tahun menikah saat mereka masih berusia di bawah 18 tahun. Adapun daerah-daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup tinggi di India adalah Rajasthan, Madhya Pradesh Uttar Pradesh, Bihar, Jharkhand dan Bengal Barat dengan kisaran angka 59% hingga 68 % atau sekitar 15.000.000 kasus pernikahan

anak.6

Pernikahan anak di India merupakan masalah yang cukup kompleks karena berkaitan dengan adat tradisional, agama, dan beberapa masalah sosial di India. Selain itu, pernikahan anak ini menimbulkan dampak yang cukup parah karena pernikahan anak ini merupakan kasus pelanggaran hak asasi anak bahkan sampai menyebabkan kematian. Pernikahan anak ini juga merupakan masalah sosial yang mengancam kehidupan masa depan pemuda India.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Anak di India

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan anak di India, diantaranya: Adat dan budaya tradisional India, persepsi masyarakat mengenai keselamatan anak, faktor pendidikan dan faktor ekonomi. Jika dilihat dari adat dan budaya tradisional India, pernikahan anak di India dilandasi

sejumlah motivasi diantaranya: pernikahan anak dipercaya mampu

mempromosikan kasta dalam kehidupan sehari-hari apabila kedua pasangan menikah dengan kasta yang berbeda, dapat meningkatkan kesuburan dan

6 UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India. http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 16 Juni 2014


(38)

memperbanyak garis keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu

hubungan ekonomi, politik dan sosial diantara keluarga mereka.7 Saat ini di India

khususnya di daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup besar seperti Bihar, Rajashtan, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madya Pardesh, pernikahan anak sudah menjadi tradisi dan telah disalahgunakan oleh sebagian besar penduduk India karena tidak jarang dijadikan pekerja anak maupun diperdagangkan. Pernikahan anak di bawah umur menjadikan, status perempuan di India dipandang rendah oleh kaum laki-laki. Anak perempuan yang belum menikah dianggap sebagai harga terpenting bagi kehormatan keluarga. Pernikahan anak dipercaya sebagai cara untuk memastikan kesucian dan keperawanan pengantin wanita, sehingga para orang tua menikahkan anak perempuannya untuk menjaga

kehormatan keluarganya.8

Selain itu, orang tua di India masih percaya bahwa jika mereka tidak menikahkan anak mereka sebelum masa pubertas, maka mereka akan berdosa. Jika anak perempuan mereka belum menikah hingga anak perempuan mereka mendapat menstruasi maka dosa mereka sama seperti mereka membunuh orang. Dengan adanya kepercayaan tersebut, maka orang tua memilih untuk menikahi

anak mereka sedini mungkin dengan tujuan menghindari dosa9

7Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165

8UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni 2014

9Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition. New Delhi, 2001. Hal:159


(39)

Di Bihar dan Rajashtan, masih banyak orang tua yang berfikir bahwa anak perempuan itu tidak diharuskan untuk bersekolah, karena anak perempuan akan menjadi seorang istri dan mematuhi seorang suami dan memiliki anak perempuan akan melindungi atau membawa berkah bagi keluarga, sehingga mereka menganggap untuk menikahi anak perempuan mereka dengan cepat tanpa melihat

resiko yang ada.10

Saat ini masih ada praktek-praktek pelanggaran hak wanita yang masih terjadi, terutama dikarenakan tradisi dan budaya masyarakat India yang sudah berakar sejak lama dan yang masih berlangsung sampai sekarang. Salah satunya

adalah budaya “Bride Price” atau Dowry, yang menimbulkan efek negatif

terhadap kondisi kehidupan wanita India.11

Dowry adalah pemberian yang dilakukan oleh pihak pengantin wanita

kepada pihak pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya, dowry bisa berupa

uang tunai, barang-barang berharga seperti perhiasan, alat elektronik, furniture

dan lain sebagainya, tergantung permintaan dari pihak laki-laki.12 Terkadang

semakin tinggi status sosial dan pendidikan dari calon pengantin laki-laki, maka

akan semakin tinggi pula jumlah dowry yang diminta.

Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Sonia Dalmia dan Pareena G.

Lawrence, Dowry merupakan hadiah dan tanda bukti kasih sayang dari orang tua

10 Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of Action of Childre,. 2009-2012”. http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada 17 Juni 2014

11Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal: 165-168


(40)

terhadap anak perempuannya ketika memasuki pernikahan. Hadiah itu diberikan kepada pihak laki-laki, sehingga anak perempuan mereka bisa sepenuhnya menjadi anggota keluarga laki-laki dan menikmati kekayaan mereka sendiri

melalui dowry tersebut. Sehingga dowry ini dianggap sebagai kompensasi, karena

anak perempuan tidak mendapatkan hak waris seperti anak laki-laki.13 Akan

tetapi, pandangan tersebut berubah dengan didukung adanya hubungan yang kuat

antara status hirarki dan jumlah dowry dari keluarga wanita kepada pihak

laki-laki, pengantin laki-laki yang berasal dari kasta yang lebih tinggi akan menerima

jumlah dowry yang tinggi pula dibanding dowry bagi pengantin laki-laki dari

kasta yang lebih rendah.14 Seringkali permintaan keluarga pengantin laki-laki ini

tidak berhenti saat awal pernikahan, namun terus berlanjut ketika anak-anak mereka sudah menikah. Pihak perempuan diharuskan memberikan apa yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki jika ingin anak mereka diperlakukan dengan

baik oleh keluarga pihak laki-laki.15

Budaya dowry ini telah menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat

India. Jika pada empat abad yang lalu sistem dowry hanya dijalankan di kalangan

tertentu seperti umat Hindu yaitu pada kelompok kasta kelas atas. Saat ini, tradisi dowry telah menyebar ke dalam kalangan kelas menengah dan bawah masyarakat Hindu, Kristen dan Muslim di India. Di India bagian utara, masyarakat muslim

13Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38 No.2. 2005.

14Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues to Prevai”l. The Jounal of Developing Areas. Vol.38 No.2. 2005.


(41)

mulai mempraktekkan dowry sejak puluhan tahun yang lalu.16 Karena adanya

sistem dowry inilah anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga,

mereka akan membebani keluarga secara finansial di kemudian hari. Dengan

adanya sistem dowry ini para orang tua memilih untuk menikahkan putri mereka

sedini mungkin agar terbebas dari sistem dowry.17

Selain budaya dowry, sejak usia dini, anak-anak diajari tentang peran dan

kedudukan mereka dalam masyarakat, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dan peran perempuan hanya sebagai alat reproduksi atau penghasil keturunan. Tradisi ini diperkuat dengan adanya sistem kasta dan kepercayaan kepada dewa-dewa dan roh yang dianggap berperan penting dan tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Di India memiliki empat sistem kasta yaitu Brahamana yang terdiri golongan tertinggi seperti para ulama atau

pendeta-pendeta, Kesatria yang terdiri dari golongan bangsawan dan tentara, Waisha yang

terdiri dari golongan pedagang dan petani dan Sudra yang terdiri golongan biasa

atau rakyat jelata.18

Setiap kasta di India mengajarkan bahwa hanya pria lah yang lebih bernilai dan dominan di keluarga India. Mereka bertindak sebagai kepala rumah

tangga, pencari nafkah dan para pengambil keputusan.19 Selain mengajarkan

16Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168

17ibid

18 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168

19Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of the Caste System of India”. New Delhi. 2 Des 2012. Hal: 5.


(42)

mengenai kedudukan pria, sistem kasta juga memiliki aturan lain seperti pendidikan hingga usia pasangan yang harus mereka nikahkan.

Dari keempat kasta hanya tiga yang masih memiliki peraturan yang masih

aktif hingga sekarang, yakni: Brahmana memiliki peraturan bahwa anak-anak

wajib mendapatkan pendidikan selama 8 tahun, Kesatria memiliki peraturan

bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 11 tahun dan Waisha

memiliki peraturan bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 12 tahun. Setelah mereka mendapatkan pendidikan sesuai dengan aturan kasta mereka, mereka diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan lebih dalam mengenai kasta yang mereka anut selama 12 tahun. Setelah mereka menyelesaikan pendidikan kasta kemudian mereka harus menikah dengan pasangan yang

memiliki kasta yang sama dan memiliki perbedaan usia 12 tahun lebih muda.20

Hal tersebut yang mendorong para orang tua menikahkan anak perempuan mereka dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih dewasa dan memiliki kesamaan kasta dengan anak perempuan mereka. Kasta sendiri memiliki pengaruh pada

sistem dowry, karena semakin besar kelas kasta semakin tinggi pula jumlah dowry

yang harus diberikan.21

Persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Hasil studi

http://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_12_conf/Papers/MukeshEswaran.pdf. Diakses pada 19 November 204.

20Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New Delhi, hal:165-168


(43)

ICRW tahun 2011 menyatakan banyak orang tua di India sering merasa khawatir tentang keselamatan dan keamanan anak perempuan mereka dari tindakan pelecehan atau kekerasan seksual. Dengan menikahkan anak perempuan mereka

diusia dini mereka merasa dapat menjaga virginitas anak perempuan mereka.22

Pernikahan anak juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan kekayaan dalam keluarga antar kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Beberapa keluarga yang sangat kaya, mempunyai kecenderungan dan juga terdorong oleh kebutuhan untuk melindungi kehormatan anak perempuan mereka dan nama keluarga mereka, dan dengan status kekayaan keluarga. Hal ini membuat mereka menikahi anak perempuan mereka ke keluarga yang memiliki tingkat

perekenomian yang setara.23

Adanya anggapan bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang sifatnya reproduktif sedangkan laki-laki merupakan pekerja yang sifatnya produktif. Sehingga timbul pembagaian pekerjaan dimana perempuan sifatnya lebih diam dirumah atau mengontrol kebutuhan rumah tangga, sedangkan laki-laki sifatnya bekerja diluar dan mencari uang. Hal ini menjadi salah satu penyebab

timbulnya ketidaksetaraan gender di India.24 Karena ketidaksetaraan gender ini

maka perempuan tidak memiliki hak atau tidak bisa mengambil keputusan dan

22USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014

23OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013. hal: 13. http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio n.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.

24Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and The Way Forward”, 2013. hal: 5.

https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014


(44)

tidak bisa bernegosiasi mengenai pendidikan, pekerjaan, masalah keluarga, dan masalah seksualitas sehingga anak perempuan cenderung hanya menerima apa yang diberikan kepadanya. Hal tersebut yang mendorong orang tua untuk menikahkan anak perempuan mereka saat usia mereka masih sangat dini. Untuk kasus pernikahan anak laki-laki tidak sebanyak pernikahan anak perempuan dikarenakan anak laki-laki tidak terbebani oleh sistem dowry dan anak laki-laki tidak memiliki resiko yang dimiliki oleh perempuan. Di India, memiliki anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga, karena memiliki anak perempuan akan menghabiskan dana yang cukup besar untuk kebutuhan hidupnya

termasuk membayar dowry, sehingga tanpa berfikir panjang mereka menikahkan

putrinya tanpa melihat status dan usia.25

Kurangnya pendidikan juga menjadi faktor yang melatar belakangi pernikahan anak di India. Rata-rata, anak yang memiliki pendidikan yang cukup

tinggi biasanya menikah diusia lanjut atau diatas 18 tahun.26 Berdasarkan data

dari National Family Health Survey (NFHS India), 40% anak perempuan yang

memiliki pendidikan tinggi di India menikah diusia 20-24 tahun.27 Hal ini

25Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage: Working to end Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan International, 2013.

http://www.planbelgie.be/sites/default/files/user_uploads/a_girls_right_to_learn_without_fear._wo rking_to_end_gender-based_violence_at_school_plan_international_-_engelstalig.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014

26Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and The Way Forward”, 2013, hal: 5.

https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014

27 Marcy Hersh, Sunayana Walia and Priya Nanda, ”Solution Exchange for the Gender Community Discussion Summary”, International Center for Research on Women (ICRW), New Delhi, Januari 2010. http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014


(45)

mengindikasikan bahwa seorang anak yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, semakin kecil kemungkinan dia untuk menikah diusia dini.

Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua dan minimnya akses ke sekolah dengan jarak yang cukup jauh yaitu 10 kilometer, khususnya di daerah pedesaan, menjadi penghambat bagi pendidikan anak-anak dan berpotensi sebagai pelaku pernikahan dini. Hasil studi dari ICRW tahun 2011 di India menemukan tidak adanya infastruktur yang memadai, kurangnya akses menuju sekolah dan jarak yang cukup jauh menjadi halangan bagi anak-anak untuk bersekolah. Kebanyakan sekolah menengah didaerah pedesaan India memiliki jarak yang cukup jauh dan sulitnya trasportasi menuju ke sekolah serta tingginya tingkat kejahatan di desa membuat para orang tua semakin khawatir untuk mengirim anak

mereka kesekolah tersebut.28 Hal tersebut juga dirasakan di daerah Andra Pardesh,

berdasarkan DLHS-3 tahun 2010, terdapat hanya 31% anak yang tetap bersekolah dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sehingga menimbulkan mereka

harus putus sekolah diusia 10 hingga 15 tahun.29 Di daerah Rajasthan,

berdasarkan NFHS-3, terdapat 23% anak yang hadir kesekolah.30 Di daerah Bihar,

berdasarkan NFHS-3, 24 % anak yang bersekolah dan kemudian harus berhenti

sekolah saat usi mereka 10 tahun dikarenakan kekhawatiran orang tua mereka.31

28ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asi: Policy Action for Action”, 2012. http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-asia. Diakses pada 21 Juni 2014 29 Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive & Child Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf. Diakses pada: 23 Desember 2014 30 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s

demographic and health policies and programs. http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf. Diakses pada 23 Desember 2014

31Ibid. http://www.rchiips.org/nfhs/NFHS-3%20Data/Bihar_report.pdf Diakses pada 23 Desember 2014


(46)

Selain beberapa faktor diatas, faktor ekonomi merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kasus pernikahan anak ini. Pertimbangan ekonomi pada suatu keluarga sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Hasil penelitian UNICEF tahun 2011 menemukan sekitar 56% pernikahan anak terjadi didaerah pedesaan India dan 29% pernikahan anak terjadi

didaerah perkotaan India.32 Praktek pernikahan anak pada umumnya terjadi di

pedesaan atau di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dengan rata-rata

penghasilan penduduknya sebesar 5 hingga 100 Rupe perbulan.33 Acara

pernikahan di India sedikitnya memerlukan biaya 8000 Rupee, dengan biaya pernikahan yang mahal dan ekonomi yang sangat minim serta terbatas maka setiap keluarga yang memiliki anak perempuan di bawah umur memilih untuk menikahi anak mereka sebelum masa pubertas dalam acara pernikahan masal guna meminimalisir dana pernikahan. Selain itu orang tua memiliki ketergantungan yang tinggi kepada seorang laki-laki atau saudagar kaya untuk menikahi anak perempuan mereka dengan tujuan memperbaiki ekonomi

keluarga.34

Dikarenakan anak perempuan mereka belum cukup umur dan dianggap masih suci, maka dalam pernikahan tersebut pihak laki-laki akan memberikan mas kawin atau mahar berupa uang atau barang mewah yang akan diberikan langsung

32UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni 2014

33

34World Bank, “World Development Report on Gender Equality and Development”, 2012, hal: 154.

http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEARCH/EXTWDRS/EXT WDR2012/0,,menuPK:7778074~pagePK:7778278~piPK:7778320~theSitePK:7778063~contentM DK:22851055,00.html. Diakses pada 24 Juni 2014


(47)

oleh keluarga anak perempuan dan menjadi hak milik keluarga.35 Pengantin anak perempuan memiliki harga yang lebih tinggi, hal ini disebabkan usia yang sangat muda dan dipercaya mampu memberikan kontribusi yang baik untuk suami dan

keluarganya. Disamping itu, anak perempuan di India dianggap sebagai “paraya

dhan” atau properti pernikahan, oleh karena itu anak perempuan dinikahkan

sedini mungkin guna menutup hutang atau mengurangi hutang keluarga.36

Pernikahan anak ini terjadi tidak hanya dikalangan ekonomi rendah tetapi juga dikalangan ekonomi tinggi. Untuk keluarga kaya, banyak orang tua yang menikahi anaknya kepada keluarga kaya juga demi menjaga garis warisan dan

kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya.37

C. Dampak Pernikahan Anak di India

Pernikahan anak memiliki dampak yang negatif bagi sang anak sendiri, baik dari sisi psikologi, kesehatan, dan pendidikan. Secara psikologis, anak yang menikah di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selain itu akan mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk bertanggung jawab dan berperan sebagai isteri atau ibu, sehingga jelas bahwa

35International Center for Research on Women, “Too Young to Wed”, 2003, hal: 6. http://www.icrw.org/publications/too-young-wed-0. Diakses pada 22 Juni 2014 36Ibid, hal: 6

37OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013, hal: 13. http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio n.pdf. Diakses pada: 20 Juni 2014.


(48)

pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap kondisi psikologis serta

perkembangan kepribadian mereka.38

Disisi kesehatan, Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Faktanya hampir setengah (45%) anak perempuan di India meninggal di bawah usia 20 tahun dan 15% diantaranya meninggal pada saat kehamilan dan proses persalinan di usia yang sangat muda. Di India, anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga

dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula.39

Data dari UNFPA India tahun 2006 menemukan bahwa dari 957 penderita obstetric fistula di India 78% mengalami persalinan diusia 15-21 tahun atau

menikah di usia kurang dari 15 tahun dan penderita obstetric fistula sering

ditemukan di daerah Uttar Pradesh, Punjab, Assam, Orissa, Bihar, Jharkhand,

Madhya Pradesh dan Rajasthan.40 berdasarkan data NFHS-3, dari 50.000 hingga

38UNFPA, “Child Marriage Fact Sheet”, 2005.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 23 Juni 2014

39USAID, “Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health”, 2006. http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pdaci387.pdf. Diakses pada 23 Juni 2014

40UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New Delhi. 2006.

http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India% 20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014


(49)

100.000 anak perempuan yang melahirkan per tahunnya tercatat 22% penderita obstetric fistula terdapat di Rajasthan, Punjab, dan Uttar Pardesh, 20% terdapat di

Orrisa, Bihar dan Jharkhand, 18% terdapat di Orissa, 18% di Madhya Pradesh.41

Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun

sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula

akibat hubungan seksual di usia dini. 42

Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak anak perempuan yang menikah dini yang berhenti sekolah saat mereka terikat dalam pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi dan tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dalam menggunakan alat

kontrasepsi, sehingga dengan mudah mereka terinfeksi HIV.43 Berdasarkan data

kementerian kesehatan India tahun 2009-2011, tercatat sekitar 116.000 perempuan

yang terjangkit HIV/AIDS, 14.500 diantaranya adalah anak-anak.44 Tidak hanya

itu, pernikahan anak ini juga berdampak pada bayi yang dilahirkan, berdasarkan

data dari The State of the Worlds Children Report (SOWC) India 2007, sekitar

41 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s demographic and health policies and programs.

http://www.rchiips.org/nfhs/urban_health_report_for_website_18sep09.pdf. Diakses pada 23 Desember 2014

42UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New Delhi. 2006.

http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India% 20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014

43IPPF, “Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action”, 2006.

http://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2006/endchildmarriage.p df. Diakses pada 25 Juni 2014

44 Government of India, Press Information Bureau.


(50)

1000 bayi yang lahir per tahunnya 19% bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah

17 tahun adalah prematur.45

Jika dilihat dari sisi pendidikan, dengan adanya pernikahan anak ini maka anak yang dinikahkan mau tidak mau harus putus sekolah dan mengurus pekerjaan rumah, sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Di daerah seperti Bihar, Mizoram, Rajasthan dan Uttar Pradesh terdapat lebih dari 60% anak perempuan yang keluar dari sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan dasar mereka dan kemudian menikah diusia kurang

dari 18 tahun.46 Semakin dini anak perempuan menikah maka semakin rendah

pendidikannya, sehingga menimbulkan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. pelecehan seksual, dan ketergantungan ekonomi. Akibatnya, terjadilah ketidaksetaraan di rumah tangga serta menimbulkan diskriminasi dan

rendahnya status seorang perempuan.47

Biasanya anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga ini juga cenderung tidak melakukan perlawanan dan mereka biasanya dikhususkan untuk pekerjaan rumah tangga dengan pengetahuan yang terbatas. Hal itu yang menyebabkan anak perempuan (istri) tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dan pihak laki-laki (suami) cenderung mengontrol dan membatasi akses perempuan terhadap kehidupannya. Dikarenakan wanita atau anak

45CSR India. “A Study on” Child Marriage in India: Situational Analysis in Three States”. http://www.csrindia.org/images/download/case-studies/Child-Marriage-Report.pdf. Diunduh pada Jumat, 14 November 2014

46 UNICEF, Statistics of India (2004), http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html. Diakses pada 15 November 2014

47UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 1.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 26 Juni 2014


(51)

perempuan tidak memiliki daya dan keterampilan untuk negosiasi, maka sering sekali mereka dipaksa untuk menetap dirumah dan melakukan segala bentuk pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak (bagi yang memiliki anak), dan tidak bisa bersosialisasi dengan baik sebagaimana biasanya seorang ibu rumah tangga. Meskipun ada yang berbeda pendapat, tetapi pada kenyataannya pernikahan anak

ini juga termasuk dalam perdangangan anak.48 Tidak menutup kemungkinan

dengan adanya pernikahan anak maka akan menimbulkan sifat pemaksaan, kekerasan, penipuan, perbudakan dan bahkan sampai anak tersebut akan di perdagangkan dan digunakan dalam prostitusi.

Pada tahun 2006, tercatat 76% kasus perdagangan anak yang terjadi di daerah Tamil Nadu, Karnataka, Andhra Pradesh dan Kerala karena dinikahkan secara

dini,49 Dengan menikahi seorang anak maka anak ini akan digunakan untuk

mengambil keuntungan dari anak (istri) untuk dijadikan tanaga seks anak

(pelacuran anak) atau perburuhan.50 Anak-anak perempuan di Bengal Barat, India

menjadi korban perdagangan anak yang terjadi akibat pernikahan anak, anak-anak perempuan di Bengal dikirim ke daerah kecil seperti kashmir. Mereka dijadikan

pekerja seks dan dipaksa menikah dengan pria yang usianya jauh lebih tua.51

48Shulman, Juliana, “Child Marriage In India”. JShulman@uchicago.edu. Diakses pada 27 Juni 2014

49 2006, National Crime Record Bureau, Govt of India, New Delhi. http://ncrb.gov.in/. Diakses pada 26 Desember 2014

50USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 27 Juni 2014


(52)

Di Selatan India Perdagangan dan pelacuran anak ini juga didukung

dengan adanya budaya “Devadasi”. Sebagian besar perempuan yang mengalami

devadasi ini mencari nafkah mereka dengan menyediakan layanan seksual kepada

anggota kuil dan masyarakat yang datang ke kuil.52 Pada tahun 2006 hingga 2010,

tercatat hampir 25.000 anak perempuan yang menjadi korban devadasi terdapat di daerah Karnataka, Bengal, pada tahun 2007, terdapat 17.000 Jogini di Andhra

Pradesh, Maharashtra, dan Orissa.53 Sistem Devadasi adalah praktek keagamaan

yang masih dianut dibeberapa daerah di India selatan, dimana orang tua menikahi anak perempuannya dengan Tuhan atau roh-roh leluhur mereka dikuil tempat mereka berdoa untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh leluhur mereka, kemudian sang anak akan menetap di kuil tempat mereka menikah. Biasanya hal ini terjadi sebelum anak perempuan mereka mencapai masa pubertas. Gadis yang

mengalami devadasi disebut sebagai Jogini dan Jogini dilarang melakukan

pernikahan yang sesungguhnya.54

Dampak terakhir dari kasus pernikahan anak di India ini adalah terjadinya kasus perceraian dan timbulnya status janda pada anak. Pada tahun 2007, India memiliki 7.000 kasus perceraian dari pernikahan anak yang tersebar di daerah Rajasthan, Bengal Barat, Bihar, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madhya Pardesh. Biasanya kasus perceraian ini banyak terjadi di daerah pedesaan India

52 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19 http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18 November 2014.

53Menon, Ramesh. “Devadasi in a role play performance on child marriage”. 26 April 2011 http://www.wunrn.com/news/2011/05_07/05_07_07/051407_india.htm Diunduh pada: 22 Desember 2014

54 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19 http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18 November 2014.


(53)

dibandingkan dengan daerah perkotaan.55 Daerah yang memiliki anak perempuan

berstatus janda terbanyak di India adalah Bengal Barat yakni 74%.56 Janda-janda

kecil ini biasanya mengalami diskriminasi yang menyebabkan timbulnya rasa minder dan krisis kepercayaan diri sehingga membatasi ruang lingkup dirinya sendiri.

Pernikahan semestinya dilakukan atas persetujuan penuh dari kedua pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan anak di India, persetujuan menikah seringkali merupakan paksaan atau tekanan orang tua, sehingga anak setuju untuk menikah dan seringkali merupakan bentuk bakti dan hormat pada orang tua. Orang tua beranggapan bahwa menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan

kehilangan kebebasan dalam memilih.57

Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan dari pernikahan anak baik dampak psikologis, kesehatan dan pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka praktek pernikahan anak seharusnya dihindari dan pemerintah perlu melakukan tindakan untuk mengendalikan angka pernikahan anak di India.

55Rohit Parihar, “Wedowed Children in India”, 31 Oktober 2008.

http://indiatoday.intoday.in/story/Widowed+children/1/18934.html. Diakses pada 26Desember 2014

56Suswati Basu, “India’s City of Widow”. Rabu, 30 Juni 2010.

http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/jun/30/india-city-widows-discrimination. Diakses pada 26 Desember 2014

57UNPFA, “Child marriage fact sheet”, 2005.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 29 Juni 2014


(54)

D. Kebijakan Pemerintah India dalam Menangani kasus Pernikahan Anak di India

Pemerintah nasional dan masyarakat internasional semakin menyadari bahwa pernikahan anak telah menjadi tantangan serius, baik sebagai pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak asasi anak dan menghambat perkembangan masa depan anak. Kebudayaan tradisional India tepatnya pada masa perjuangan kemerdekaan, tokoh nasional India, Mahatma Gandhi sudah menyerukan persamaan hak bagi anak perempuan, bahwa tugas pertama pasca kemerdekaan India adalah untuk menyusun konstitusi kepada masyarakat, tanpa ada perbedaan atas dasar jenis kelamin. Seruan ini menjadi dasar bagi pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak, dimana memperhatikan juga mengenai

persamaan hak tanpa melihat jenis kelamin.58

Pemerintah India berusaha menangani kasus pernikahan anak dengan berbagai cara. Secara Nasional Pemerintah India memiliki kebijakan dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Ada beberapa cara yang telah digunakan oleh pemerintah untuk memberdayakan perempuan, mendorong

anak-anak india untuk lanjut sekolah, dan merubah mindset masyarakat India.59 Adapun

kebijakan nasional yang dilakukan oleh pemerintah India diantaranya, (Lihat Tabel II.C.1)

58UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal: 11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-marriage. Diakses pada 29 Juni 2014

59UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal: 11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-marriage. Diakses pada 29 Juni 2014


(55)

Tabel. II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan anak di India

Kebijakan Nasional Ketentuan yang berkaitan tentang

pernikahan anak.

Bal Vivah Virodh Abhiyan Membuat aksi larangan program pernikahan anak

The Compulsory Registration of Marriages Act

Mewajibkan kepada seluruh warga negara India untuk mendaftarkan pernikahannya.

The Prohibition of Child Marriage Act, 2006

Ketentuan usia pernikahan di India yakni perempuan 18 tahun dan laki-laki 21 tahun.

Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV)

Setiap anak di India berhak mendapatkan pendidikan.

Dhanalakshmi Dana tunai yang digunakan untuk asuransi anak di India

Child Protection Scheme (ICPS) Memberikan perawatan dan perlindungan terhadap peningkatan kesejahteraan anak-anak dalam keadaan sulit

Sarva Shiksa Abhiyan ( SSA ) Memberikan pendidikan dasar yang dkhususkan untuk anak berusia 6-14 tahun.

Membantu menangani ketidaksetaraan gender dan kesenjangan sosial terhadap anak-anak.

Rajiv Gandhi Scheme for Empowerment of Adolescent Girls-SABLA

Memberikan informasi mengenai nutrisi dan kesehatan reproduksi.

Jika dilihat pada tabel diatas, pada tahun 2005, the National Commission

for Women (NCW) atau Komisi Perempuan Nasional India mengeluarkan Bal Vivah Virodh Abhiyan atau larangan program pernikahan anak. Program ini merupakan program kesadaran nasional india yang berfungsi untuk meningkatkan kesadaran akan tingkat dan dampak dari pernikahan anak di India. program ini difokuskan untuk daerah-daerah yang memiliki kasus pernikahan anak yang


(56)

cukup tinggi seperti; Rajasthan, Bihar, Chhattisgarh, Madhya Pradesh, Jharkhand, dan Uttar Pradesh. Komisi perempuan India telah menerbitkan sebuah iklan di media nasional untuk membangkitkan kesadaran didaerah-daerah yang difokuskan. Progam ini juga dipercaya dapat membantu meningkatkan derajat anak perempuan di India dan secara tidak langsung dapat meningkatkan target

usia pernikahan.60

Ditahun 2006, Mahkamah Agung di India memutuskan kepada seluruh warga negara India untuk wajib melakukan pendaftaran bagi semua pernikahan.

Selain itu pemerintah India membuat The Compulsory Registration of Marriages

Act atau program aksi wajib daftar nikah. Dalam hal ini menyatakan bahwa setiap

warga negara India wajib mendaftarkan pernikahannya selambat-lambatnya dalam

waktu sepuluh hari sebelum hari pernikahan.61

Pernikahan tidak akan diakui secara resmi kecuali pasangan tersebut memiliki sertifikat yang diperoleh setelah mendaftarkan ke pihak yang berwenang dan pasangan yang telah mendaftarkan pernikahannya telah dipastikan bahwa mereka telah cukup usia untuk menikah. Dalam proses pendaftaran pernikahan, pemerintah juga melakukan pengecekan usia pada tiap pasangan, sehingga pemerintah mengetahui dan dapat mencegah terjadinya praktek pernikahan anak di India.62

60Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three States”, hal: 18-19. http://www.unodc.org/pdf/india/training_manual_police1.pdf. Diakses pada 28 Juni 2014

61 ibid

62HAQ: Centre for Child Rights, ”Child Marriage in India: Achievements, Gaps and Challenges”, New Delhi, India.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)