BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004 2.1. Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia - PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDAN

BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004 2.1. Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia Untuk mempelajari lebih dalam kewenangan Penuntut Umum dalam

  melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing), perlu dipelajari terlebih dahulu latar belakang atau sejarahnya.Pada era sebelum Kolonial Belanda menjajah Indonesia,negeri ini tidaklah mengalami kekosongan hukum dalam masyarakat.Hukum Adat telah eksis dalam tubuh negeri ini.Terdapat pula lembaga-lembaga tata hukum dan negara dalam masyarakat adat.

  Lembaga Jaksa atau Penuntut Umum adalah lembaga baru.Tidak terdapat pada masyarakat primitif.Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran

  37

  lembaga itu. Pada bab sebelumnya,telah penulis jelaskan istilah jaksa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.Di belanda pun dahulu belum dikenal istilah officier

  van justitie .Istilah schout di sana yang khusus menuntut pidana.Begitu pula di

  Inggris,baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut

37 Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Sinar Grafika,

  CPS.Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada

  38 kepentingan raja di dalam perkara.

  Di Indonesia pada era sebelum reformasi,istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada dan dikenal sejak lama di Indonesia. Kerajaan Majapahit mengenal istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta.

  Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang

  39 memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

  Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga

  40 adalah seorang adhyaksa.

  Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang 38 39 Donald J. Newman,Introduction to Criminal Justice,h.190.

  

Kejaksaan Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2014. memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah

  41 langsung dari Residen / Asisten Residen.

  Pada masa itu,terdapat salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 yaitu Inlands Reglement atau disingkat IR.Nama lengkap IR itu ialah Reglement op de uitoefening van de politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en

  Madoera.

  IR dilahirkan dengan bentuk “ordonnatie” (undang-undang dari Gubernur Jenderal) yang bersandarkan pada suatu Firman Raja Belanda tanggal

  16 Mei 1846 (ordonnatie met Koninklijke machtiging),dan termuat dalam Staatsblaad 1848 No.16. sedangkan sebutan Inlands Reglement secara resmi

  42 ditetapkan dalam Firman Raja Belanda dari Staatsblaad 1901 No.15.

  Selanjutnya,dengan adanya Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali perubahan

  IR (Inlands Reglement ) menjadi HIR (Herziene Inlands

  Reglement ).Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR adalah dengan

  perubahan tersebut terbentuklah lembaga openbaar ministerieatau penuntut umum,yang dahulu ditempatkan di bawah pamongpraja.Dengan perubahan ini maka Openbaar Ministerie(OM) atau Parket itu secara bulat dan tidak terpisah-

41 Ibid.

  pisahkan (een en ondeelbaar) berada di bawah Officier van Justitie dan Procureur

43 Generaal.

  Pembentukan badan Penuntut Umum yang berdiri sendiri ini menurut Subekti dalam bukunya,merupakan hadiah dari pemerintah Belanda untuk orang Bumiputera berhubungan dengan keguncangan (Perang Dunia II yang baru pecah)

  44

  di negeri Belanda. Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei

  45 No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada

  semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri).

  “Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :

  1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran

  2. Menuntut Perkara 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.

  46 4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

  ” Pada era pemerintahan Jepang Raad van Justitie dihapuskan sehingga tidak ada lagi perbedaan antara orang bumi putra dengan orang Eropa.Semua warga diadili oleh Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin) sebagai kelanjutan 43 44 Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.54. 45 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, BinaCipta, Jakarta, 1982, h.4.

  Kejaksaan Republik Indonesia,Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,Loc. cit. Landraad.Ketentuan hukum acara pidananya diberlakukan ketentuan yang termuat dalam HIR ( Herziene Inlands Reglement ),Landgerechtsreglement,dan

  47 Rechtsreglement voor de Buitengewesten.

  Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan, maka ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR tetap berlaku.Di indonesia pada waktu itu terdapat dua macam peradilan yaitu “Landrechter” untuk semua orang dan “Appelraad” sebagai pengadilan dalam pemeriksaan tingkat kedua dari perkara-perkara pidana yang

  48 diputus oleh Pengadilan Negeri.

  Kedudukan jaksa merupakan kedudukan yang berdiri sendiri,yang mempunyai wewenang sebagai pengusut (Pasal 39 HIR) dan wewenang menuntut diatur dalam pasal 46 HIR.Pada tanggal 1 Januari 1981 diundangkanlah Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mencabut keseluruhan tentang Hukum Acara Pidana dalam HIR,maka Indonesia pada tahun 1981 memasuki era baru dalam bidang hukum acara pidananya.

  Kejaksaan sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagai penuntut umum yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,perlindungan

47 Ibid.h.180-181.

  kepentingan umum,penegakkan hak asasi manusia,serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

  Mengingat sebelum adanya Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menggantikan Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI yang sebelumnya adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI,menurut Pasal 2 Undang- Undang No. 15 Tahun 1961,tugas pokok kejaksaan sebagai berikut:

  1) a.Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang; b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim Pidana. 2) Menadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara

  3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara 4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.

  Wewenang Jaksa sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 Undang-Undang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan adalah sebagai berikut:

  1) Jaksa untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berwenang :

  a. Mengadakan penggeledahan badan dan penggeledahan tempat- tempat yang dipandang perlu; b. Mengambil tindakan-tindakan lain; a dan b menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum

  Acara Pidana dan/atau lain peraturan negara. 2) Dalam melakukan kewajiban tersebut dalam ayat 1 diperhatikan norma-norma keagamaan,perikemanusiaan,kesopanan dan kesusilaan.

  Penuntut Umum sebagai organ dan wakil penguasa yang memiliki fungsi menuntut dan menetapkan ketentuan pidana yang dikenakan tersangka selanjutnya disusun menjadi surat dakwaan yang akan dilimpahkan ke pengadilan.Didalam KUHAP,wewenang jaksa tidak mendapat pengaturan yang jelas.Yang ada adalah wewenang penuntut umum.Hal ini dikarenakan pengertian jaksa dan penuntut umum memang berbeda,di mana pengertian jaksa menyangkut jabatan,sedangkan pengertian penuntut umum menyangkut fungsi.

  Menurut Pasal 13 KUHAP dinyatakan wewenang Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Selain itu diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 Tahun 1961) menyatakan,Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut Kejaksaan,ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.Menurut Pasal 14 KUHAP,penuntut umum mempunyai wewenang:

  a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat

  (4),dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

  d. Membuat surat dakwaan;

  e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

  f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan;

  h. Menutup perkara demi kepentingan umum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut Undang-Undang; j. Melaksanakan penetapan hakim; Didalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa,yang dimaksud dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka,barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewanang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan.

  Di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang tugas dan kewenangan dari penuntut umum,hanya disebutkan dan diatur tentang tugas dan wewenang kejaksaan dalam Bab III Bagian Kesatu Pasal 30 sampai 34 Undang-Undang

  49 No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

  Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah: 1) Di bidang pidana,kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

  50

  a. Melakukan penuntutan;

  b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

  51

  telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

  c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

  52 49 bersyarat; Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Edisi Pertama, Kencana, Jakarta, 2014, h.96. 50 Ayat (1) Huruf a “Dalam melakukan penuntutan,jaksa dapat melakukan pra- penuntutan.Pra-penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.” 51 Ayat (1) Huruf b “Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.

  Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.” 52 d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

  53

  berdasarkan undang-undang;

  e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

  54 dengan penyidik.

  2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut

  55

  menyelenggarakan kegiatan:

  a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

  b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

  c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

  d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

  Kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan diatur dalam

  Bab XV tentang Penuntutan.Menurut Pasal 137 KUHAP menyatakan penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

  53 Ayat (1) Huruf d “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana

diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

  

Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 54 Ayat (1) Huruf e “Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1) tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;

3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan

Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.” 55 Penjelasan ayat (3).Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat

membantu, turut serta, dan bekerja sama.Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan

  Menurut Pasal 138 KUHAP setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik,haruslah segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

2.2. Proses Penuntutan

  Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Civil Law System.Dalam hal ini hukum acara pidana kita secara garis besar terdapat 5 (lima) tahapan,yaitu:

  1. Tahap penyidikan ( opsporing ) dilaksanakan oleh penyidik;

  2. Tahap penuntutan ( vervolging ) dilaksanakan oleh penuntut umum;

  3. Tahap mengadili ( rechtspraak ) dilaksanakan oleh hakim;

  4. Tahap melaksanakan putusan hakim ( executie ) dilaksanakan oleh jaksa;

  5. Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan

  56 oleh hakim pengadilan negeri.

  Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengkait antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya yang dilaksanakan oleh subyek pelaksana hukum acara pidana,yang akhirnya bermuara pada tahap pemeriksaan

  57 terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili).

  Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan dalam tahap penuntutan ( vervolging ) yang dilaksanakan oleh penuntut umum.Permasalahan yang akan dibahas terkait proses penuntutan yang mana dalam hal penuntut umum 56 Hasibuan, Idris Khalid,Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum

  Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG / PER:PDM – 190 /EP.1/Medan/2007,Skripsi,Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan,2011,h.1 Bab III. melakukan pemisahan berkas perkara dalam delik yang dilakukan oleh beberapa orang pelaku.Dalam sub bab ini akan proses penuntutan dibagi menjadi tahap pra- penuntutan dan tahap penuntutan.

2.2.1 Pra-penuntutan

  Tahap pra-penuntutan terjadi pada saat penyidik melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum.Dalam proses tersebut sangat terlihat hubungan sangat erat antara penuntut umum dan penyidik dalam hal fungsi penegakkan hukum di Indonesia.Berdasarkan Keputusan bersama Jaksa Agung Republik Indonesia dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 6 Oktober 1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana di dalam diktum angka i menyatakan bahwa “meningkatkan kerja sama fungsional dan instansional yang sebaik-baiknya antara Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menyelesaikan perkara-perkara dengan sempurna menurut hukum mulai dari penyidikan sampai kepelaksanaan putusan Hakim.”

  KUHAP telah meyebutkan tentang proses pra-penuntutan,namun tidak memberikan batasan batasan tentang proses pra-penuntutan.Demikian pula dalam Pasal 1 KUHAP yang memberikan definisi bagian hukum acara pidana, seperti penyidikan, penuntutan, dan seterusnya,namun tidak memberikan pengertian

  58 tentang pra-penuntutan.

  Dalam proses pra-penuntutan didefinisikan dalam pasal 14 KUHAP,yakni

  Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan yang dilakukan penyidik menurut pendapat penuntut umum kurang lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (pasal 110 ayat (3) dan pra-penuntutan tidak dapat dilakukan kembali apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (pasal 110 ayat (4)).

  ”Lengkap” artinya bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP.

59 Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri

  Kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP dengan dikaitkan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai pra-penuntutan.Perbedaan Pasal 110 KUHAPa dan 138 KUHAP adalah dalam Pasal 110 KUHAP mengatur wewenang penyidik dan dalam pasal 138 KUHAP mengatur wewenang penuntut umum.

  Dalam tahap pra-penuntutan yang diatur dalam KUHAP ternyata terjadi permasalahan dalam praktiknya.Tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 yang mengatur berapa kali berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut pandangan penuntut umum belum lengkap.

  60 Istilah pra-penuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b

  KUHAP yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam

  59 R.M. Surakhman dan Andi Hamzah,Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.35. 60 Moerad B.M, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.Istilah pra-penuntutan di dalam

  61 HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.

  Selain itu juga di jelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,sebagai berikut : Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.

  Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

2.2.2 Penuntutan (Vervolging)

  Pengertian penuntutan sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHP,bahwa :

  “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

  Wirjono Pradjodikoro memberikan definisi penuntutan, namun perbedaanya bahwa KUHP tidak menyebutkan secara tegas “terdakwa”,sedangkan Wirjono Pradjodikoro disebutkan secara tegas, lebih-lebih lengkapnya, yaitu :

  “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara

  62

  pidana itu terhadap terdakwa.” Singkatnya penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan berkas perkara terdakwa ke pengadilan negeri agar hakim memberikan putusan

  63

  terhadap terdakwa yang bersangkutan. Kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terlihat dalam Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengad ilan yang berwenang mengadili.” Daerah hukumnya dalam pasal diatas Menurut E. Bonn

  • – Sosrodanukusumo, (pendapatnya masih berdasarkan HIR), seorang jaksa mempunyai daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah

  64 hukum kejaksaan negeri di mana dia diangkat.

  Penuntut umum juga berwenang dalam menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap ataukah belum untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.Hal itu terdapat dalam pasal 139 KUHAP yang berisikan “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

  ”

  62 Wirjono Prdjodikoro Prdjodikoro,R.Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983, h.34. 63 Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan Dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.25.

  Jika menurut penuntut umum perkara tersebut sudah cukup bukti dan lengkap,maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan membuat surat dakwaan.Hal tersebut diatur dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berisi “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

  ” Jika menurut pertimbangan penuntut umum perkara tersebut kurang cukup bukti atau perkara tersebut bukan suatu delik pidana,maka penuntut umum membuat suatu ketetapan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP yang berisi

  “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

  ”Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,wajib dibebaskan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir b KUHAP yang berisikan “Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.

  ” Ditentukan selanjutnya bahwa turunan ketetapan tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukum, pejabat rumah tahanan negara,penyidik, dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c KUHAP).Biasanya disebut SP3 (Surat Perintah Penghentian Penuntutan).Kewenangan penuntut umum dalam menutup perkara demi hukum diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76,

  65 77 dan 78 KUHP, ( non bis in idem, terdakwa meninggal, dan lewat waktu).

  Namun menurut pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP bahwa “Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka

  ”.Dalam hal ini bahwa ketetapan penuntut umum untuk menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak

  66 berlaku asas non-bis in idem.

  Selanjutnya Pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat melakukan penggabungan berkas perkara dengan satu surat dakwaan.Penggabungan berkas perkara ( voeging ) dibatasi oleh syarat-syarat yang diatur dalam pasal tersebut.Selain menggabungkan berkas perkara,penuntut umum juga dapat memisahkan berkas perkara ( spitsing ) yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP.Apabila hasil penyidikan oleh penyidik telah diterima oleh penuntut umum,maka menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

  ” Syarat-syarat surat dakwaan diatur dalam Pasal 143 ayat (2)

  KUHAP.Apabila tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan yang diatur dalam

  Pasal 143 ayat (2) butir a akan berakibat dapat dibatalkan.Apabila tidak

65 Pedoman Pelaksanaan KUHAP,dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia, cetakan ke-2,h.88.

  memenuhi syarat materiel surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP akan berakibat batal demi hukum ( Pasal 143 ayat (3) KUHAP).

  Selanjutnya menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP,bahwa Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”

2.3. Surat Dakwaan

  Surat dakwaan menjadi sangat penting dan dianggap sebagai Mahkota dan kunci dari arah persidangan dan putusan berlangsung.Di Sistem peradilan pidana Indonesia,surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan sebagai dasar pengambilan putusan hakim.Surat dakwaan juga akan memperjelas

  67

  aturan-aturan hukum mana yang dilanggar oleh terdakwa .Surat dakwaan bisa dikatakan sebagai filter penyaring aturan hukum yang tepat dikenakan terdakwa.Dengan demikian,hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili

  68 perbuatan pidana yang tidak didakwakan .

  Dalam mengemukakan pengertian surat dakwaan,pada umumnya para ahli hukum,mengkaitkannya dengan hasil penyidikan dan fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.Meskipun banyak definisi yang telah dikemukakan,kita akui memang sulit untuk merumuskan suatu pengertian yang mencakup semua aspek yang bertalian dengan surat dakwaan.Surat dakwaan itu 67 Albert Aries, Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, 3 Mei 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014. sendiri mencakup beberapa aspek,antara lain aspek hukum pidana materiil dan

  69 aspek hukum pidana formiil.

  Dakwaan menjadi sangat penting dikarenakan melalui dakwaan itu pemeriksaan di persidangan dilakukan.Dakwaan menjadi salah satu filter ketentuan hukum yang dikenakan oleh tersangka sebelum persidangan dilakukan.Melalui surat dakwaan pula dalil dalil pembelaan Penasehat Hukum bersumber.Surat dakwaan menjadi arah kemana persidangan akan dibawa dan dikembangkan.

  Menurut H.Hamrat Hamid, S.H. dalam bukunya Pembahasan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi Dalam Bentuk Tanya Jawab menjelaskan fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah: a. Bagi hakim:

  • Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup pemeriksaan sidang;
  • Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa.

  b. Bagi Penuntut Umum :

  • Merupakan dasar pelimpahan perkara;
  • Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis;
  • Merupakan dasar tuntutan pidana; - Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.

  c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya:

  • Merupakan dasar pengajuan eksepsi;
  • Merupakan dasar pembelaan diri,karena itu dakwaan harus cermat,

  70 jelas dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.

  Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.Pemeriksaan didasarkan kepada dakwaan dan menurut 69 H. Hamrat Hamid dan Harun M.Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang

Penuntutan Dan EksekusiDalam Bentuk Tanya Jawab, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.19. Nederburg,pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan

  71 hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.

  Dengan demikian,terdakwa hanya bisa dipidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai yang didakwakan penuntut umum.Apabila penuntut umum salah mendakwa terdakwa maka akan berakibat bebasnya jeratan hukum terdakwa.Disinilah pentingnya surat dakwaan dan penyusunan surat dakwaan oleh penuntut umum.Penuntut umum sebagai wakil negara untuk mendakwa warga negara yang bersalah dan melanggar ketentuan pidana sebagai hukum publik.

  Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP,”Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan

  ”.Dalam hal ini terlihat surat dakwaan sebagai syarat mutlak pelimpahan berkas perkara ke pengadilan agar diadili.

  Terdapat pula syarat-syarat surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP berisikan :

  Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Syarat surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP merupakan syarat formil surat dakwaan,yang mencakup :

  1. Diberi tanggal.

  2. Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:

  a. Nama lengkap;

  b. Tempat lahir,umur/tanggal lahir;

  c. Jenis kelamin;

  d. Kebangsaan;

  e. Tempat tinggal;

  f. Agama;dan

  g. Pekerjaan

  3. Ditandatangani oleh penuntut umum Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum,karena tidak jelas dakwaan ditujukan kepada siapa.Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak

  72 pidana yang sebenarnya (error of subyektum).

  Syarat meteriel menurut Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP,bahwa surat dakwaan harus secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan berisikan waktu ( tempos delicti ) dan tempat ( locus delicti ) tindak pidana tersebut dilakukan.

  Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP ( Syarat materiel ) akan berakibatkan batal demi hukum (sesuai dengan

  Pasal 143 ayat (3) KUHAP).Sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP ( Syarat formil ) akan berakibat dapat dibatalkan.

  Ada dua syarat cara merumuskan surat dakwaan yang harus dipenuhi,yaitu: a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi; b. Dalam lukisan itu harus ternyatakan pula unsur-unsur yuridis dari tindak

  73

  pidana yang didakwakan; Pembuatan surat dakwaan harus jeli dan teliti,baik syarat formil maupun materiilnya.Pembuat surat dakwaan harus terlebih dahulu menganalisis dengan seksama perbuatan yang telah dilakukan,serta menentukan pasal mana yang akan dikenakan.Pembuat surat dakwaan juga harus benar-benar berhati-hati sehingga semua unsur delik mencocoki unsur-unsur pasal yang didakwakan.

  Menurut Ansori Sabuan,S.H.,Sharifuddin Pettanasse,S.H., dan Ruben Achmad,S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, dalam hal teknis penyusunan surat dakwaan dapat dilakukan sebagai berikut: a. Dakwaan tunggal;

  b. Dakwaan alternatif;

  c. Dakwaan subsidair;

  d. Dakwaan kumulatif;

  74

  e. Dakwaan campuran;

2.3.1. Dakwaan tunggal

  Dakawaan secara tunggal dapat digunakan apabila seseorang atau lebih terdakwa melakukan satu macam tindak pidana.Terdakwa didakwakan satu perbuatan saja,tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain.

  Bentuk dakwaan ini biasanya digunakan dalam perkara pidana yang sederhana saja.Karena apabila digunakan dalam perkara pidana yang sifatnya

73 Ansori Sabuan,Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Cetakan ke-1, Angkasa, Bandung, 1990, h.123.

  tidak sederhana,maka akan menimbulkan resiko terdakwa bebas dari tuntutan JPU yang berarti terdakwa dibebaskan.

2.3.2. Dakwaan Alternatif

  Dakwaan secara alternatif,yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu dengan yang lain.Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua telah

  75

  terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama. Ditandai dengan kata “ATAU”... .Dengan menggunakan kata “ATAU” antara dakwaan satu dengan yang lain memberikan arti bahwa dakwaan itu alternatif tidak secara komulatif.Dakwaan secara alternatif bukan kejahatan Perbarengan.

  Dakwaan semacam ini dibuat jika hasil pemeriksaan penuntut umum masih ragu dalam menerapkan pasal dalam surat dakwaannya dikarenakan perbuatan yang dilakukan hampir sama unsur-unsur antara pasal satu dengan pasal yang lain.

  Misalnya penuntut umum yang akan membuat surat dakwaan berdasarkan berita acara Peyidikan ragu-ragu apakah suatu tindak pidana yang akan didakwakan merupakan :  Tindak pidana penipuan atau penggelapan.

   Pembantuan atau turut serta. Konsekwensi dari surat dakwaan alternatif adalah jika salah satu tindak

  76 pidana sudah terbukti maka tindak pidana lainnya harus dikesampingkan.

  2.3.3. Dakwaan Subsidair

  Dakwaan subsidair penuntut umum tidak ragu-ragu tentang jenis tindak pidananya,tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang akan didakwakan apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau

  77 kualifikasi ringan.

  Surat dakwaan disusun dalam bentuk bertingkat mulai dari primer,subsidair, dan seterusnya dengan urutan pasal yang terberat ke pasal yang teringan ancaman pidananya.

  Dalam dakwaan subsidair yang didakwakan pertama adalah yang terberat ancaman pidananya,kemudian apabila dakwaan primernya tidak terbukti,baru membuktikan pada dakwaan subsidair,dan begitu seterusnya pada dakwaan terakhir yang paling ringan ancaman pidananya.

  2.3.4. Dakwaan kumulatif

  Surat dakwaan kumulatif digunakan apabila ada beberapa tindak pidana yang tidak ada hubungan antara tindak pidana satu dengan tindak pidana yang lain dengan kata lain tindak pidananya berdiri sendiri-sendiri.Menurut Dr. Drs. Hendar Soetarna, S.H. dalam bukunya surat dakwaan kumulatif atau kumulasi bertitik

76 Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Op. cit., h.109.

  tolak pada adanya perbarengan (concursus) baik perbarengan tindak pidananya dan ataupun perbarengan pelakunya.

78 Dakwaan kumulatif diatur dalam Pasal

  141 KUHAP bahwa “Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

  b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;

  c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

  Dapat dirumuskan dakwaan kumulatif yaitu:  Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama;  Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut;  Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.

  79 Dalam dakwaan kumulatif hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya

  setiap dakwaan satu demi satu,jika dakwaan yang satu terbukti harus dijatuhi pidana dan kalau dakwaan yang lain tak terbukti harus dibebaskan.Demikian pula kalau satu dari dakwaan tersebut dibatalkan,maka dakwaan mengenai perbuatan lainnya masih berlaku.

  80

2.3.5. Dakwaan campuran/kombinasi/gabungan

  78 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2011, h.35. 79 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.178.

  Dalam dakwaan campuran atau kombinasi atau gabungan lebih didasarkan kepada adanya berbagai bentuk dakwaan dalam satu surat dakwaan.Dalam surat dakwaan kombinasi didakwakan lebih dari satu tindak pidana dan setiap dakwaan berbeda bentuk dari yang lain.Surat dakwaan ini digunakan agar terdakwa tidak lolos dari jeratan hukum.

  Bentuk-bentuk surat dakwaan kombinasi adalah:

  1. Kumulatif subsidair;

  2. Kumulatif alternatif;

  81 3. Subsidair kumulatif.

2.4. Penyertaan (Deelneming)

  Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Adapun Pasal 55 dan 56 KUHP berbunyi:

Pasal 55 KUHP :

  (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

  1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;

  2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. (2)Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya. 81 Pasal 56 KUHP :

  Hari Sasangka, Lily Rosita, August Hadiwijono, Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,Dan Praperadilan , Cetakan Pertama, Dharma Surya Berlian,

  Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

  1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

  2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

  R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal

  menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut

  melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut

  me lakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus

  ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut

  melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.

  Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada

  waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila

  bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.

  Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari

  orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika

  niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

  Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat

  bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di

  82 antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

  83 Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. , sebagaimana kami

  sarikan, menjelaskan menge nai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.

82 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, h.123.

  Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai

  84 tujuan dari pelaku utama.

2.5. Pemisahan dan Penggabungan Berkas Perkara Oleh Pununtut Umum

  Didalam proses penyusunan dan pembuatan surat dakwaan terjadi 2 (dua) kemungkinan yang dilakukan penuntut umum yaitu penggabungan berkas perkara (Voeging) atau pemisahan berkas perakara (Splitsing).Penggabungan atau pemisahan berkas perkara tersebut haruslah didasarkan pada pertimbangan