PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(1)

ABSTRACT

THE ROLE OF PROSECUTOR ON CORRUPTION ERADICATION COMMISSION IN MONEY LAUNDERING CRIME PROSECUTION

By

AGUS DJOKO PRASETYO

Money laundering is done to hide, move, and use the property of a crime, including corruption. Act of Prevention and Combating Money Laundering regulate money laundering investigation conducted by investigators predicate offenses but not specifically about the authority of Corruption Eradication Commission Prosecutor in prosecution on money laundering crime. The problem of this research are: (1) What is the role of Prosecutor on Corruption Eradication Commission in money laundering crime prosecution (2) What is the legal implications on the role of Prosecutor on Corruption Eradication Commission in money laundering crime prosecution against efforts to eradicate corruption?

The approach used in this research is normative juridical and juridical empirical approach. Data were collected through literature study procedures and field studies, then the data were analyzed qualitatively.

Results of research and discussion concluded: (1) The role of Prosecutor on Corruption Eradication Commission in money laundering crime prosecution carried out in accordance with the provisions of Article 75 Prevention and Combating Money Laundering Act, if the predicate offense investigators then combined with money laundering charges. The role of the Commission in demanding is the dimension of justice that should take precedence over certainty, in the absence of explicit regulation of the prosecution authorities in prosecuting money laundering. In addition, this role reflects the judicial process that is fast, simple and low cost and efficient legal process. In addition, Article 6 of the Act provides that the Corruption Court Corruption Court examined three cases, namely corruption, money laundering of corruption and other laws relating to corruption. (2) the legal implications of the role of the prosecutor in the prosecution of money laundering crime in efforts of accordance with the spirit of fighting corruption in Indonesia and reflects the Commission are consistent institutional corruption. Corruption cases are performed in conjunction with money laundering crime, and since the beginning has been handled by Corruption Eradication Commission investigators, the prosecution process conducted by the prosecutor of Corruption Eradication Commission.

This study suggests: (1) It should be immediately repaired or review of legislation which reinforce the role of the prosecutor Commission for the prosecution of money laundering are not criminal origin is corruption. (2) Law enforcement officials should apply criminal sanctions strategy of corruption which coincided by concursus realist with sharpened absorption system.

Keywords: Role, Corruption Eradication Commission Prosecutor, Money Laundering


(2)

ABSTRAK

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh

AGUS DJOKO PRASETYO

Tindak pidana pencucian uang dilakukan untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan harta dari suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatur penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal namun tidak secara spesifik mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam penuntutan perkara TPPU. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peranan JPU KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang? (2) Apakah implikasi hukum peranan JPU KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data dikumpulkan melalui prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan, selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menyimpulkan: (1) Peranan JPU KPK dalam melaksanakan penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU TPPU, yaitu jika penyidik tindak pidana asal TPPU maka dakwaannya digabungkan dengan TPPU. Peranan KPK dalam menuntut TPPU berada dalam dimensi keadilan yang harus didahulukan ketimbang kepastian, karena tidak adanya pengaturan eksplisit mengenai kewenangan jaksa dalam menuntut TPPU. Peranan ini mencerminkan proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta proses hukum yang efisien. Selain itu Pasal 6 Undang-Undang Pengadilan Tipikor mengatur bahwa pengadilan tipikor memeriksa tiga perkara yaitu korupsi, TPPU dari korupsi dan undang-undang lain yang berkaitan dengan korupsi. (2) Implikasi hukum peranan JPU KPK dalam penuntutan perkara TPPU terhadap upaya pemberantasan korupsi adalah sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan mencerminkan kelembagaan KPK yang konsiten memberantas korupsi. Perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan bersamaan dengan TPPU, dan sejak awal sudah ditangani penyidik KPK, maka proses penuntutannya dilakukan oleh JPU KPK.

Penelitian ini menyarankan: (1) Perlu segera dilakukan perbaikan atau peninjauan kembali terhadap peraturan perundang-undangan yang mempertegas peranan JPU KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU yang tidak pidana asalnya adalah korupsi. (2) Aparat penegak hukum hendaknya menerapkan strategi sanksi pidana tindak pidana korupsi yang berbarengan dengan tindak pidana pencucian uang (concursus realis) dengan sistem absorbsi yang dipertajam.


(3)

i

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh

AGUS DJOKO PRASETYO

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKUKTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Tesis)

Oleh

AGUS DJOKO PRASETYO

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Pemikiran ... 10

E. Metode Penelitian ... 21

F. Sistematika Penulisan ... 24

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 26

A. Kajian terhadap Hukum Pidana dan Tindak Pidana ... 26

B. Kajian terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) 41 C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 48

D. Teori Sistem Hukum ... 52

E. Kajian terhadap Positivisme Hukum ... 55

F. Kajian terhadap Progresivisme Hukum ... 61

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

A. Karakteristik Narasumber ... 70

B. Peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam Penuntutan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang ... 71

C. Implikasi Hukum Peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam Penuntutan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi ... 106

IV. PENUTUP ... 138

A. Simpulan ... 138

B. Saran ... 139


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya dengan kasih karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul:

"Peranan Jaksa Penuntut Umum

I(PK

dalam Penuntutan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang', Tesis

ini Cisusun sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada hogram Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum hogram Pascasarjana Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini, mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan

ini

penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

l.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, SH., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Penguji atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis.

Bapak

Dr.

Eddy

Rifai,

S.H.,

M.H.

Ketua Bidang Kekhususan Pidana Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Penguji Utama atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan Tesis.

Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Pernbimbing

[,

atas birnbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan Tesis.

2.

5.

4.


(7)

7.

Seluruh dosen Progmm Pascasarjana hogram Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menernpuh studi, beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

8.

Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Bandar Lampung, Bapak Muhammad Lukman, yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.

9.

Sahabat-satrabatku Ahmad Dedi, Tatang Yuliomo, Yanuar Calliandra dan Encep

Dudi Ginanjar yang telah memberikan semangat untuk menjalani perkuliahan ini dan sahabatku Beni Syahpuha Ginting yang telah setia kuliah bersama-sama. 10. Seluruh Teman-teman Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas persalrabatan dan kebersamaan selama menempuh studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan mtu persatu

Semoga semua karya dan perbuatan baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari sisi Tuhan Yang Maha Esa. A*hirnya Psnulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, 1 5 Januari 2014 Portulis


(8)

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

: Dr. Heni Siswauto, S.H., M.H.

:

Dr.

Eddy

Rif4i,

S.H., M.H.

: Dr. Erna Ilewi, S.H., M.H.

: Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum.

A

l/,,

t.

o

1[/t*t{p

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

-61$'ff%

a'_*="^I,!

il;"**

,i;ffiE#i?l

.i= Hi.Srmf

o

tr-.w

\r

t3+**,o*

Itas Hukum

. Heryandi, S.H., M.S. 2t109 198703

I

003

r.

Sudjarwo, M.S.

530528 198103

I

002


(9)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Fakultas

: Agus Djoko Prasetyo

: fi22411448 : Hukum Pidana : Hukum

MENYETUJUI

Dosen Komisi Pembimbing

NMr'

Dr. Nikmah Rosidaho S.H.o M.H.

NIP 19550106 198003 2 001

Dr.

Ileni

Siswanto, S.H., M.H. NrP 19650204 t990031 004

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarj ana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum

Dr.'Khaidii

Anwar, S.II., M.IIum.

NIP 19s50314 198603 1 001


(10)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

l.

Tesis dengan

judul:

"Peranan Jaksa Penuntut Umum

KPK

dalam Penuntutan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang', adalah karya saya

sendiri dan saya tidak melakukan penjiptakan atau pengtltipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika iltniah yang berlaku dalam masyamkat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kernudian hari temyata ditemukan adanya ketidak benararl saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada mya; saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, 15 Januari 2015


(11)

i

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Tesis ini kepada: Almarhum Bapak dan Ibu tercinta Drs. Sudarto (Alm), dan Ibu Supi Muhajati

Sumber inspirasiku,

yang telah melahirkan dan membesarkanku, mendidik dan membimbingku,

dan senantiasa menjadi tiang doa bagi keberhasilanku Istriku Rr. Venny Anugerah Sari, S.Sos.

Sungguh engkau adalah wanita terindah yang dikirimkan Tuhan kepadaku

Anak-anakku yang kusayangi Theodore Bagas Sihprasetyo dan Renata Christy Sihprasetyo,

yang menjadi sumber motivasi dan obat lelahku Kalian adalah milikku yang paling berharga

Serta kakak dan adik-adikku Drs. G. Sugiarto Wahyu Puji Kristanto, Amd

Dyahratri Kristiningsih, SE

Seluruh saudara dan sahabatku yang telah menjadikan aku lebih baik.

Almamater Tercinta Universitas Lampung


(12)

i

MOTO

"Beginilah firman TUHAN:

Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan yang dari pada-KU dan keadilan-Ku akan dinyatakan"

(Yesaya 56 :1)

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; Carilah, maka kamu akan mendapat; Ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu akan dibukakan"

(Matius 7 :7)

Gantungkan cita-citamu setinggi langit..! Bermimpilah setinggi langit..! Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.

(Ir. Soekarno)


(13)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada 12 Agustus 1972, merupakan anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Bapak Drs. Sudarto (alm), dan Ibu Supi Muhajati. Penulis menempuh Pendidikan SD Negeri 252 Tanah Kali Kedinding, Surabaya diselesaikan pada tahun 1984, SMP Negeri 9 Surabaya diselesaikan pada tahun 1987, SMA Negeri 1 Surabaya diselesaikan pada tahun 1990, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan Program Diploma (STAN/PRODIP) III Keuangan Spesialisasi Bea dan Cukai diselesaikan tahun 1993 dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 2000 di Fakultas Hukum Universitas Jakarta.


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah mengakibatkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu amat singkat di satu sisi memberikan manfaat terhadap kualitas pelayanan jasa keuangan, di sisi lain meningkatkan risiko karena dengan semakin beragamnya instrumen atau produk keuangan menjadi daya tarik para pelaku kejahatan memanfaatkan lembaga keuangan sebagai sarana maupun sasaran kejahatannya. Salah satu jenis tindak pidana yang memanfaatkan teknologi perbankan adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

TPPU ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional, proses pencucian uang oleh pelaku tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam wilayah satu negara tertentu, tetapi dilakukan keluar dari negara di mana uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain.1

Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu ternyata jumlah uang

1

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 2004, hlm. 77.


(15)

yang dicuci sangat besar, ini artinya hasil kejahatan tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya pencucian uang membuat para pelaku kejahatan terutama organized crime untuk mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika dan kejahatan perbankan leluasa menggunakannya sehingga dengan demikian kejahatan-kejahatan tersebut akan semakin marak. 2

Pengaturan mengenai TPPU dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di antaranya diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010:

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010:

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2Ibid


(16)

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010:

(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Sesuai dengan ketentuan pasal-pasal di atas maka diketahui bahwa unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Unsur subyektifnya yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan perolehan atas harta yang berasal dari tindak pidana tersebut.

Praktik pencucian uang berpotensial mengganggu perekonomian baik nasional maupun internasional karena membahayakan operasi yang efektif dari perekonomian dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada negara-negara tertentu. Praktik pencucian uang dapat menyebabkan fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga, selain itu uang hasil dari pencucian uang hasil dari pencucian uang dapat saja beralih dari satu negara yang perekonomian baik ke negara yang perekonomian kurang baik. Sehingga secara perlahan-lahan dapat menghancurkan finansial dan menggurangi kepercayaan publik kepada sistem finansial, yang dapat mendorong kenaikan risiko dan ketidakstabilan dari sistem itu yang berakibat pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.


(17)

Pemicu TPPU sebenamya adalah suatu tindak pidana atau aktivitas kriminal, seperti perdagangan gelap narkotika, korupsi dan penyuapan. Kegiatan pencucian uang ini memungkinkan para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil tindak pidana yang dilakukan. Melalui kegiatan ini pula para pelaku akhimya dapat menikmati dan menggunakan hasil tindak pidananya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah atau legal dan selanjutnya mengembangkan lagi tindak pidana yang dilakukannya. Dengan semakin berkembang hasil tindak pidana dan tindak pidana itu sendiri, mereka dapat mempunyai pengaruh yang kuat di bidang ekonomi atau politik yang sudah tentu dapat merugikan orang banyak.3

Aktivitas pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan harta dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan lain yang merupakan aktivitas tindak pidana. Pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/ kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal.

Mengingat tindak pidana pencucian uang ini merupakan kejahatan yang dapat berdampak pada kerugian keuangan negara yang besar maka diperlukan praktik penegakan hukum secara komprehensif dan terkoordinasi antara satu lembaga penegak hukum dengan yang lainnya dalam kerangka sistem peradilan pidana. Salah satu institusi hukum yang berperan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi.

3

Bismar Nasution, Rezim Anti-Money laundering Di Indonesia, Books Terrace & Library, Bandung, 2008, hlm. 2.


(18)

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ―penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Sesuai dengan dasar hukum tersebut diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memberikan kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan perkara TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi, namun undang-undang ini tidak mengatur secara spesifik kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan perkara TPPU. Fakta hukum inilah yang menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah, sebab meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara TPPU, tetapi pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum KPK dapat melakukan penuntutan dalam perkara TPPU.


(19)

Penuntutan itu membuat dua hakim anggota perkara Luthfi Hasan Ishaaq, I Made Hendra dan Joko Subagyo menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan sela. Keduanya menganggap penuntut umum KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU, sehingga dakwaan TPPU Luthfi Hasan Ishaaq tidak dapat diterima. Mengingat suara kedua hakim hanya minoritas, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melanjutkan pemeriksaan perkara Luthfi dengan agenda pemeriksaan saksi. Pendapat kedua hakim ini menarik karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mengatur secara khusus kewenangan KPK menuntut perkara TPPU, meskipun KPK telah melakukan penuntutan perkara TPPU atas Terdakwa Wa Ode Nurhayati yang sekarang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap. 4 Polemik kewenangan KPK dalam penuntutan perkara TPPU mendapat tanggapan dari mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, yang menyatakan bahwa meski tidak secara spesifik diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK berwenang melakukan penuntutan perkara TPPU sepanjang tindak pidana asalnya adalah korupsi. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang mengatur bahwa dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.

4

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51ec36f9ca010/ahli--kpk-berwenang-menuntut-tppu. Diakses 29 September 2014.


(20)

Apabila KPK dianggap tidak berwenang menuntut perkara TPPU, maka tidak jelas maksud Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang meminta penggabungan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPU. Penuntut umum KPK merupakan penuntut umum yang berasal dari Kejaksaan. Keduanya, sama-sama penegak hukum. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, sangat jelas disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan

Pasal 2 mendefinisikan ―sederhana” sebagai pemeriksaan dan penyelesaian perkara secara efisien dan efektif, sehingga apabila dipisah-pisahkan maka prosesnya menjadi tidak efisien. Padahal sejak awal penyidikan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah mengamanatkan untuk digabungkan, tetapi pada saat tahapan penuntutannya dipecah, korupsinya ke KPK sedangkan TPPU-nya ke Kejaksaan.

Kewenangan KPK menuntut perkara TPPU, dalam menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan, menganut azas bahwa jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan. Jaksa yang boleh menjadi penuntut umum di KPK adalah Jaksa dari Kejaksaan. Perkara TPPU yang sepanjang tindak pidana asalnya adalah korupsi, yang menuntut TPPU-nya adalah penuntut umum yang menuntut tindak pidana korupsinya, jika tindak pidana korupsinya dituntut oleh KPK, maka KPK juga berwenang menuntut TPPU-nya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Sehingga meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak mengatur spesifik, KPK tetap berwenang menuntut perkara TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi. Sama halnya dengan


(21)

Kejaksaan. Saat Kejaksaan melakukan penuntutan terhadap perkara korupsi, Kejaksaan pula yang melakukan penuntutan TPPU tersebut.

Kewenangan KPK dalam hal menuntut perkara TPPU berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam mengadili perkara TPPU. Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, bahwa Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Dengan menerima tuntutan dari Jaksa KPK terhadap perkara korupsi dan TPPU, meski tidak diatur secara eksplisit kewenangan menuntut KPK, Pengadilan Tipikor telah melakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yaitu bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK hingga saat ini sudah diterima oleh Pengadilan Tipikor dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dapat dijadikan yurisprudensi, misalnya perkara Wa Ode Nurhayati mantan anggota Badan Anggaran DPR, dan Djoko Susilo yang diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan Jaksa KPK. Kondisi ini didukung kebijakan Mahkamah Agung dalam menjaga konsistensi putusan melalui sistem kamar, berdasarkan Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/ IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.


(22)

Berdasarkan uraian di atas maka dipandang perlu dilakukan penelitian yang berjudul: Peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam Penuntutan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang?

b. Apakah implikasi hukum peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah hukum pidana, dengan objek tentang kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang dan implikasi hukum peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan data tahun penelitian 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang


(23)

b. Untuk menganalisis implikasi hukum peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah: a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku TPPU yang melakukan kejahatan awal dengan tindak pidana korupsi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku TPPU di masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Alur pikir penelitian hukum terhadap latar belakang masalah yang terjadi, dapat digambarkan sebagai berikut:


(24)

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

UU TP Asal UU TPPU

(UU No. 8 Tahun 2010)

TP Asal & Penyidik Pasal 2 (1)

b. Penyuapan… ….s.d. ….

z. TP lain yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih

Pasal 74

−POLRI

−Kejaksaan

−BNN

−Ditjen Pajak

−Ditjen Bea dan Cukai

Penuntutan oleh JPU KPK

Pendapat Progresif

- Peradilan sederhana, cepat, biaya ringan

- TPPU tidak menunggu dibuktikan TPA

- JPU KPK juga berasal dari Kejaksaan Agung

Pendapat Kepastian Hukum (Positivisme)

- Peran JPU KPK tidak diatur dalam UU

TPPU

- KPK tidak boleh mengintepretasi sendiri

kewenangannya.

a. Korupsi KPK

Pembahasan Tesis

 Peran JPU KPK dalam penuntutan TPPU

 Implikasi hukumnya terhadap pemberantasan korupsi


(25)

2. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Peranan

Teori peranan (role theory) mengemukakan bahwa peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif bebas pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut.5

Peranan adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika seseorang menjalankan peranan tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai keinginan dari lingkungannya.6

Peranan dalam konteks hukum meliputi tugas, fungsi dan wewenang aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sebagai aspek yuridis pelaksanaan peranan tersebut. Peranan menurut Soerjono Sukanto7 terbagi menjadi:

5

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm. 221.

6

Ibid. hlm. 223.

7Ibid.


(26)

a. Peranan normatif adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat

b. Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.

c. Peranan faktual adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa peranan merupakan seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peran. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

b. Teori Positivisme Hukum dan Progresivisme Hukum

Kajian terhadap positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting selain dari pada melihat perdebatan-perdebatan yang berakar pada soal pilihan aliran (teori) hukum mana yang baik atau yang kurang tepat diterapkan di Indonesia. Hal ini setidaknya dikarenakan adanya pandangan yang menyatakan, bahwa di dalam pengaruh paradigma positivisme, para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis,


(27)

hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran

hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori ―legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan ―legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi.8

Upaya untuk mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivisme hukum di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari positivisme hukum itu pada awalnya, bahwa sebelum abad ke-18 pikiran berkenaan dengan positivisme hukum sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara-negara modern. Di sisi lain, pemikiran positivisme hukum juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dari pemikiran hukum kodrat, di mana hukum kodrat disibukkan dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak dan positivisme hukum seringkali dilihat sebagai aliran hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama, antara das solen dengan das sein. Bahkan tidak sedikit pembicaraan terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers), hukum hukum itu identik dengan

8

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat. MuhammadiyahUniversity Press, Surakarta .2005.hlm. 60.


(28)

undang-undang. Positivisme Hukum sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik.9

Secara kebahasaan "positif" diturunkan dari bahasa Latin: ponere-posui-positus yang berarti meletakkan. Maksud lebih jauh dari kata tersebut adalah bahwa urusan salah-benar atau adil-tidak adil bergantung sepenuhnya pada hukum yang telah diletakkan. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: 1) Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada sosiologi, walaupun

perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2) Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme

3) Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan

9Ibid


(29)

sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.10

Positivisme bukan hanya muncul dalam bidang masyarakat, melainkan juga dalam bidang hukum. Aliran ini diberi nama positivisme yuridis untuk membedakannya dengan positivisme sosiologis. Esensi dari positivisme hukum adalah bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial. Positivisme hukum melihat sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Dan positivisme hukum memandang, bahwa penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional atau pun dengan pembuktian alat bukti.11

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan. Soetandyo memaparkan, bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas dalam

10

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ketujuh, Kanisius, Yogyakarta 1993, hlm. 122.

11


(30)

pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji ―prilaku” benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifkan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.12 Meskipun belakangan muncul desakan untuk meninggalkan teori positivisme hukum di Indonesia karena dipandang telah gagal dalam menciptakan kehidupan hukum yang lebih baik. Hal yang harus sulit untuk diingkari, persoalan pembangunan hukum dan problem hukum di Indonesia terkadang dipengaruhi juga oleh pengalaman di negara-negara lain yang pada akhirnya melakukan perubahan paradigma hukum. Sejumlah persoalan dalam kehidupan masyarakat, negara dan pemerintahan di Indonesia juga telah diposisikan sebagai kegagalan hukum mengatasinya. Kegagalan hukum itu kemudian mengarah pada kegagalan penerapan positivisme hukum di Indonesia. Apa yang sudah berkembang di publik atas penilaian kegagalan hukum Indonesia mengatasi masalah masyarakatnya, melahirkan gagasan apa yang dinamakan hukum progresif disekitar tahun 2002 yang digagas atas pemikiran hukum positif (analytical jurisprudence) yang dalam praktiknya dalam realitas empiris di Indonesia tidak memuaskan.13

12

SoetandyoWignjosoebroto, “Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Kritik -kritik terhadap Doktrin Ini” Program Doktor Ilmu Hukum UII, 2007, hlm. 1-2.

13Ibid.


(31)

Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.

Untuk tidak terjerumus dalam pertarungan antara positivisme hukum dengan hukum progresif, kedua pemikiran hukum yang dikemukakan dalam kesempatan ini, hanya ingin memastikan bahwa sebenarnya tidak ada suatu teori hukum yang benar-benar


(32)

ideal dan mampu menjawab keseluruhan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks ini patut dijadikan landasan bagi setiap pemilihan akan teori hukum, yaitu keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. Masing-masing nilai tersebut bisa bertentangan satu sama lain, sehingga timbullah ketegangan antara ketiganya. Hukum bisa saja pasti namun belum tentu adil. Hukum bisa saja memunculkan kepastian tetapi belum tentu adil. Sebaliknya hukum bisa saja adil tetapi belum tentu berkepastian. Hukum bisa saja bermanfaat tetapi belum tentu adil dan berkepastian. Jika hukum diharapkan menyelesaikan konflik atau diharapkan memberikan penyelesaian atas masalah yang dihadapi anggota masyarakat, maka hukum mana yang mampu menyelesaikannya.14

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.15 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif bebas pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut.16

b. Kewenangan adalah kemampuan yuridis yang didasarkan pada hukum publik. Terdapat kewenangan diikatkan pula hak dan kewajiban, yaitu agar kewenangan

14

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif” Program Doktor Ilmu Hukum Universitas. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hlm. 3-5.

15

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm. 63.

16


(33)

tidak semata-mata diartikan sebagai hak berdasarkan hukum publik, tetapi juga kewajiban sebagai hukum publik.17

c. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.18

d. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.19 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 20 e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar

atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.21

f. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, mentitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.22

17

Prajudi Admosudirjo. Teori Kewenangan. PT. Rineka Cipta Jakarta. 2001. hlm. 6.

18

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

19

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

20

Pasal 4 Undang-Undang Nnomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

21

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25.

22

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007, hlm.7.


(34)

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori hukum dan perundang-undangan yang berhubungan permasalahan. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas atau studi kasus.23

2. Sumber dan Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Data lapangan adalah yang diperoleh dari lapangan penelitian, sementara itu data kepustakaan adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.24

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

23

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.7.

24


(35)

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

d) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

f) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia

g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

h) Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu memahami permasalahan, seperti berbagai arsip, dokumen, dan sumber internet.


(36)

b. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan observasi dan wawancara (interview) dengan narasumber penelitian.

3. Narasumber Penelitian

Penelitian ini memerlukan narasumber yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai pokok permasalahan yang dibahas. Narasumber penelitian ini adalah:

a. Penyidik KPK : 1 orang

b. Jaksa Penuntut Umum KPK : 1 orang

c. Hakim TPPU : 1 orang

d. Akademisi Fakultas Hukum : 1 orang+

Jumlah : 4 orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan dengan melakukan wawancara (interview), kepada narasumber penelitian.


(37)

b. Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

1) Seleksi Data, yaitu memeriksa data untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan

2) Klasifikasi Data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat.

3) Penyusunan Data, yaitu menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang terpadu pada pokok bahasan untuk mempermudah interpretasi data penelitian.

5. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Setelah itu dilakukan analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan secara umum yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti. 25

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini disajikan ke dalam empat bab yang saling berkaitan antara satu bab dengan bab lainnya, yaitu sebagai berikut:

25


(38)

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi kajian hukum pidana dan tindak pidana, tindak pidana pencucian uang, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana, teori sistem hukum dan kajian posistivisme hukum.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari análisis kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang dan implikasi hukum peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi.

IV. PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang didasarkan pada analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian ini.


(39)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian terhadap Hukum Pidana dan Tindak Pidana

Hukum pidana sebagai salah satu bagian independen dari hukum publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan)

merupakan ―lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana.

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.1

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa hukum menentukan bagaimana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan, serta

1


(40)

ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.2

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa hukum berfungsi sebagai sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan perundang-undangan.

Roscoe Pound menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Fungsi hukum demikian itu, dalam konteks

2

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 152-153.


(41)

Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.3

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, penegakan hukum itu puncaknya adalah pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu:

1. Faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

2. Faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat.

5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 4

3

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1978. hlm. 11.

4


(42)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa arti penting hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram.

Menurut Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.5

Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan pemidanaan atau pemberian pidana.

5

Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Sinar Harapan, Jakarta, 1988. hlm. 483.


(43)

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, C.F.G. Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial.6

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto) dan pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaan in concreto).

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk Undang-Undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang

6

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991. hlm. 53.


(44)

merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang.7

Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu.

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan.8

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat. Kesalahan pelaku tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro berupa 2 (dua) macam yakni:

a) Kesengajaan (Opzet)

Dalam teori kesengajaan (Opzet) yaitu mengkehendaki dan mengetahui (willens en wettens) perbuatan yang dilakukan terdiri dari 2 (dua) teori yaitu:

(1) Teori kehendak (wilstheorie), adanya kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana dalam UU

7

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-Undangan, Bina Aksara, Jakarta. 1979. hlm. 12.

8


(45)

(2) Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings theorie), pelaku mampu membayangkam akan timbulnya akibat dari perbuatannya.

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai 3 (tiga) macam jenis yaitu:

(1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.

(2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids-Bewustzinj) Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

(3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

b) Culpa

Arti kata culpa adalah ―kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu

pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.9

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan

9

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Jakarta, 2004, hlm. 65-72.


(46)

tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Dalam Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan Pasal 1 angka (2) KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau


(47)

pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia Indonesia (Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulangi kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundangan di luar KUHP baik dalam bentuk Undang-Undang Pidana maupun Undang-Undang Administratif yang bersanksi pidana, sehingga dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.


(48)

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-undang Cukai, Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, atau Pejabat Penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana10

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaraan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan

10

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm.76.


(49)

berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya dalam sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.11

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka

11


(50)

penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 12

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.13

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

12

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

13

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hlm.62.


(51)

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi. Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

Penegakan hukum berkaitan dengan sistem peradilan pidana, yaitu sistem untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 14 Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan

14

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23.


(52)

berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract sistem dalam arti gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. Sistem peradilan pidana mengenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum.

(2) Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

(3) Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. 15

15


(1)

IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam melaksanakan penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya, yaitu jika penyidikan tindak pidana asalnya berupa tindak pidana korupsi maka penututannya digabungkan dengan TPPU. Peranan KPK dalam menuntut TPPU berada dalam dimensi keadilan yang harus didahulukan ketimbang kepastian, karena tidak adanya pengaturan eksplisit mengenai kewenangan jaksa dalam menuntut TPPU. Selain itu peranan ini mencerminkan proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta proses hukum yang efisien. Selain itu Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa pengadilan tipikor memeriksa tiga perkara yaitu korupsi, TPPU dari korupsi dan undang-undang lain yang berkaitan dengan korupsi.

2. Implikasi hukum peranan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang terhadap upaya pemberantasan korupsi adalah sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan mencerminkan kelembagaan KPK yang konsiten memberantas korupsi. Perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan berbararengan dengan tindak pidana pencucian uang,


(2)

139

dan sejak awal sudah ditangani oleh penyidik KPK, maka proses penuntutannya dilakukan oleh Penuntut Umum dari KPK untuk diteruskan persidangannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

A. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu segera dilakukan perbaikan atau peninjauan kembali terhadap peraturan perundang-undangan untuk mempertegas peran Jaksa Penuntut Umum KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU yang tidak pidana asalnya adalah korupsi. Hal ini penting dilakukan agar mekanisme penegakan hukum tindak pidana pidana korupsi yang berbarengan dengan tindak pidana pencucian uang (concursus realis) memiliki kepastian hukum yang kuat, sehingga tidak ada celah bagi pelaku TPPU yang tidak pidana asalnya adalah korupsi untuk mempermasalahkan kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK tersebut.

2. Aparat penegak hukum hendaknya menerapkan strategi sanksi pidana tindak pidana korupsi yang berbarengan dengan tindak pidana pencucian uang (concursus realis) dengan sistem absorbsi yang dipertajam, sehingga akan berdampak pada penjatuhan pidana yang maksimal terhadap pelaku, baik pidana penjara, denda maupun uang pengganti sebagai upaya mengoptimalkan pemberantasan korupsi dan TPPU di Indonesia pada masa yang akan datang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Admosudirjo, Prajudi. Teori Kewenangan. PT. Rineka Cipta Jakarta. 2001. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika. Jakarta. 2010.

Atmasasmita, Romli Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996. Cotterrell, Roger. 1986. The Sociology of Law an Introduction, London:

Butterworths, 1984, dalam Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. 1986. Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004. Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat. Muhammadiyah University Press, Surakarta .2005.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. 1991.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ketujuh, Kanisius, Yogyakarta 1993.

Kusumaatmadja, Mochtar. ungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1978.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997.


(4)

Nasution, Bismar Rezim Anti-Money laundering Di Indonesia, Books Terrace & Library, Bandung, 2008.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.

---, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Sinar Harapan, Jakarta, 1988

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Jakarta, 2004

Rajagukguk, Erman. Rezim Anti Pencucian Uang dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Bahan Semimar. Jakarta 2004.

Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994.

Roestandi, Achmad. Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. Saleh, Roeslan Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-

Undangan, Bina Aksara, Jakarta. 1979.

Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Siahaan, N.H.T Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

Sjahdeini, Sutan Remy. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. ---, Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007. Soekanto, Soerjono Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta, Jakarta 1983


(5)

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Kritik-kritik terhadap Doktrin Ini. Program Doktor Ilmu Hukum UII, 2007.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung

C. Makalah

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Praktek Pencucian Uang dan Kerugian Negara. Makalah.Rabu 16 April 2003.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif” Program Doktor Ilmu Hukum Universitas. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005.

Tim Penyusun, Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia: Perjalanan 5 Tahun, Jakarta, PPATK, 2007


(6)

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang di Indonesia dan Permasalahan Implementasinya. Pelatihan Penerapan Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Memberantas Kegiatan Illegal Logging. Medan, 2010.

D. Internet

http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27926/Menjerat-koruptor-dg-TPPU. Fithriadi0Muslim.pdf.Diakses 30 Nopember 2014.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51ec36f9ca010/ahli--kpk-berwenang- menuntut-tppu. Diakses 29 September 2014.