PENDIDIKAN AKHLAK MTS KELAS VIII SEMESTER GANJIL

NILAI-NILAI KETELADANAN KISAH NABI DAUD A.S. DALAM KITAB

  QAS{AS{UL ANBIYA<’ KARYA IBN KATHI<R DAN RELEVANSINYA DENGAN

  

PENDIDIKAN AKHLAK MTS KELAS VIII SEMESTER GANJIL

SKRIPSI

OLEH

WAWAN HANDRIANTO

NIM: 210311208

  

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

JULI 2018

  

ABSTRAK

Handrianto, Wawan. 2018. Nilai-nilai Keteladanan Kisah Nabi Daud a.s. dalam

  Kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ Karya Ibn Kathi<r dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak MTs Kelas VIII Semester Ganjil. Skripsi, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing: Erwin Yudi Prahara, M.Ag.

  Kata Kunci: Keteladanan Nabi Daud a.s., Qa s{as{ul Anbiya<’, Pendidikan Akhlak.

  Penelitian ini berangkat dari realita yang terjadi dalam kehidupan saat ini. Banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat sehingga perlunya suatu hal yang dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Di sinilah pendidikan menjadi salah suatu ujung tombak yang diandalkan untuk membangun karakter dan menanamkan berbagai nilai-nilai moral kepada anak. Lebih spesifiknya pada pendidikan akhlak yang telah dirumuskan dalam pendidikan agama Islam oleh pemerintah. Dan kisah menjadi begitu penting dipahami, apa lagi bagi seorang pendidik, karena banyak sekali ibrah yang bisa di ambil dari kisah-kisah tersebut. Untuk itu dalam mengatasi problematika kehidupan masyarakat modern saat ini, kisah Nabi Daud a.s. dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r dapat dijadikan salah satu referensi dalam pembelajaran.

  Adapun Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui nilai-nilai keteladanan dalam kisah Nabi Daud a.s. dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r. (2) Untuk mengetahui relevansi keteladanan kisah nabi Daud a.s. dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r dengan pendidikan akhlaq MTs kelas VIII semester ganjil.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dan termasuk penelitian pustaka (library research), sehingga bahan pustaka merupakan sumber data utama. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan. Dan penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode conten

  

analysis yaitu membahas secara mendalam terhadap isi informasi tertulis yang

didapatkan.

  Dari hasil penelitian ini ada sesuatu yang ditemukan: (1) Nilai-nilai keteladanan yang dapat diambil dari kisah nabi Daud a.s. dalam kitab Qas{as{ul Anbiya<’ ini adalah pemberani, amal saleh, istiqamah dalam beribadah, adil dan bijaksana, ikhtiar, syukur, dan qana’ah. (2) Nilai-nilai keteladanan Nabi Daud a.s. yang terdapat dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ relevan dengan pendidikan akhlak MTs kelas VIII semester ganjil, karena sesuai dengan materi akhlak yang dirumuskan dalam pendidikan akhlak MTs kelas VIII semester ganjil itu sendiri. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada arus globalisasi sekarang ini telah merubah dunia ini semakin

  gemerlap dan penuh keindahan. Akan tetapi seiring perkembangan dan kemajuan yang ada, penyimpangan-penyimpangan juga terjadi di berbagai bidang. Di sinilah pendidikan menjadi salah suatu hal yang diandalkan untuk membangun karakter dan menanamkan berbagai nilai-nilai moral kepada anak. Lebih spesifiknya pada pendidikan akhlak yang telah di dirumuskan dalam pendidikan agama Islam oleh pemerintah.

  Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Menurut John Dewey bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya

  1 agar hidup dengan disiplin.

  Dalam hal ini kisah dipandang sebagai salah satu media penting untuk menyampaikan pesan moral, pendidikan, pengajaran, dan pemikiran yang konstruktif. Karena pada umunya, kisah dapat diterima oleh semua lapisan manusia dengan keragaman watak dan karakternya, mulai dari anak-anak, orang dewasa sampai orang tua. Kisah teladan dapat berupa sikap keadilan, kepatuhannya terhadap aturan dan kepedulian terhadap orang-orang miskin dan lemah.

  Sebagai kaum muslimin kita juga mempunyai kewajiban untuk selalu berupaya mengaktualisasikan nilai-nilai sejarah kehidupan dan perjuangan generasi-generasi umat Islam terdahulu, terutama mereka-mereka yang telah terbukti ketulusannya dalam berjuang, apalagi para pahlawan yang telah diabadikan dengan “tinta emas” oleh Allah SWT. dalam kitab suci-Nya Al- Qur‟an. Allah SWT. Berfirman :             

              Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran

  

bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang

dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan

menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum

yang beriman.

  Inilah mengapa kisah menjadi begitu penting dipahami, apa lagi bagi seorang pendidik, karena banyak sekali ibrah yang bisa di ambil dari kisah- kisah tersebut. Rasulullah Saw. merupakan pendidik nomer satu di dunia, pendidik yang unggul dalam membangun peribadi yang insan. Semestinya inilah salah satu kunci keberhasilan beliau, bahwasannya beliau sangat memahami berbagai kisah-kisah terdahulu serta yang terkandung di dalamNya. Allah Swt. Berfirman:             

      Artinya : Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan

  

mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum

(kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum

mengetahui.

  Qas{as{ul Anbiya<’ adalah sebuah karya tulis yang monumental dari seorang ulama besar, Al- Imam Al-Hafizh Abi Al- Fida‟ Isma‟il Bin „Umar

  Ibnu Katsir yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Katsir. Kitab ini dinilai sebagai rujukan sejarah terpenting karena dalam kajian mengenai sejarah kehidupan para nabi dan rasul, serta umat-umat terdahulu yang dalam penuturan kisahnya di dasarkan pada Al-

  Qur‟an dan sabda Rasulullah Saw. Kitab ini juga menjadi sangat penting untuk dijadikan pegangan, utamanya di tengah-tengah krisis public figure, supaya generasi kita tidak salah dalam memilih idola yang patut untuk dijadikan sebagai teladan.

  Dari kisah-kisah yang terhimpun dalam kitab ini, penulis tertarik mengkaji sebuah kisah yang pastinya penuh dengan dengan hikmah dan pelajaran yaitu kisah nabi Daud As. Rasulullah Saw. sendiri sering bersabda kepada sahabat-sahabatnya tentang kemuliaan nabi Daud.

  Dari sinilah yang mengawali penulis untuk mengetahui lebih dalam lagi hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam kisah nabi Daud As. melalui penilitaian dan berupaya menganalisis kisah ini dalam perspektif pendidikan islam dan kemudian menyusunya menjadi sebuah skripsi dengan judul Nilai- nilai Keteladanan Kisah Nabi Daud a.s. dalam Kitab Qas{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlaq MTs Kelas VIII Semester Ganjil.

B. Rumusan Masalah

  Dari latar belakang masalah di atas, permasalahan yang hendak di jawab dengan penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut :

1. Apa saja nilai-nilai keteladanan kisah nabi Daud a.s. dalam kitab Qas{as{ul

  Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r? 2. Bagaimana relevansi keteladanan kisah nabi Daud a.s. dalam kitab

  Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r dengan pendidikan akhlak MTs kelas

  VIII semester ganjil? C.

   Tujuan Penelitian

  Berangkat dari permasalahan yang diungkapkan di atas, tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui nilai-nilai keteladanan kisah nabi Daud a.s. dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r.

  2. Untuk mengetahui relevansi keteladanan kisah nabi Daud a.s. dalam kitab Qa s{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r dengan pendidikan akhlak MTs kelas

  VIII semester ganjil.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Kegunaan Secara Teoretik a.

  Temuan dalam skripsi ini memberi kontribusi baru bagi metode pembelajaran PAI khususnya materi pendidikan akhlak dengan metode bercerita, sekaligus memperkaya khazanah teori pendidikan, khususnya di bidang pengembangan metode pembelajaran. b.

  Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan pembelajaran PAI khususnya, mata pelajaran lain pada umumnya, demi meningkatkan mutu pembelajaran.

2. Kegunaan Secara Praktik a.

  Sebagai bentuk analisis penilitian terhadap kitab Qas{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r .

  b.

  Sebagai masukan berupa koleksi pustaka jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Ponorogo.

E. Telaah Pustaka 1.

  Nama Penyusun : Moch. Wahyu Semin (210308209), Januari 2013.

  Judul : Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al- A‟raq dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter Bangsa.

  Hasil Penelitian : a.

  Pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlaq berpijak pada konsep kejiwaan peserta didik. Pendidikan akhlaq menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan, tanpa membutuhkan pertimbangan dan pemikiran.

  b.

  Konsep pendidikan karakter pada esensinya adalah membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlaq mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semua dijiwai oleh c.

  Relevansi konsep pendidikan akhlaq Ibnu Miskawaih dengan pendidikan karakter bangsa.

  1) Ditinjau dari tujuan, terbentuknya akhlaq mulia. 2) Ditinjau dari metode, menggunakan metode pembiasaan. 3)

  Ibnu Miskawaih mengemukakan beberapa pelajaran yang harus dipelajari oleh seorang murid yaitu pendidikan agama, bahasa, matematika dan sains. Hal ini relevan dengan muatan kurikulum yang ada dalam pendidikan karakter bangsa bahwa isi kurikulum juga harus berkenaan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar yang harus diberikan kepada siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Perbedaan: Pada penelitian ini pendidikan akhlak diarahkan pada karakter Bangsa melalui pembekalan ilmu pada peserta didik. Sedangkan penelitian yang saat ini dilakukan mengharapkan manusia itu mempunyai akhlak yang mulia salah satunya dengan mencontoh orang-orang terdahulu.

2. Nama Penyusun : Afrianti Nurrohmah (210309183), Juni 2013, Jurusan

  Tarbiyah STAIN Ponorogo Judul : Pembentukan kepribadian Anak Melalui Pendidikan Keteladan (Telaah Perspektif Irawati Istadi) Hasil Penelitian : a.

  Konsep pembentukan kepribadian melalui keteladanan menurut Irawati Istadi yaitu menghindarkan anak dari sifat penakut, memberikan contoh kedisiplinan, mengajarkan empati kepada orang lain, bahwa yang kita miliki adalah milik Allah SWT., dan membiarkan anak perempuan dan laki-laki bermain bersama untuk membentuk sifat adrogynous yaitu kepribadian yang seimbang yang dimiliki oleh seseorang.

  b.

  Dalam Islam, menjadikan kepribadian Rasulullah sebagai teladan yang baik pendidik dan generasi muda. Dalam pendidikan Islam bahwa Rasulullah juga mengajarkan anak dalam agar tidak menjadi pengecut, mengajarkan anak agar memiliki sifat dermawan mengajarkan sedekah kepada orang lain. Namun dalam pendidikan Islam tidak mengajarkan anak untuk berbaur antara anak laki-laki dan perempuan. Karena telah diajarkan bahwa anak harus menjaga pandangan dengan menundukkan kepala.

  Perbedaan: penelitian ini menggunakan telaah perspektif Irawati Istadi (teori). Sedangkan pada penelitian yang sedang dilakukan saat ini ialah dengan menyuguhkan kisah Nabi Daud a.s.

F. Metodologi Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah Library

  (kajian kepustakaan). Adalah telaah yang dilaksanakan untuk

  Research

  memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.

2. Pendekatan

  Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan literer, yaitu sumber datanya atau obyek utamanya adalah bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan persoalan yang diteliti. Tahap operasional penelitian pustaka ini penulis mengambil bahan informasi yang berkaitan dengan nilai-nilai keteladanan dan sumber data lain yang mendukung.

  2 3.

  Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dapat dikategorikan sebagai berikut: a.

  Sumber data primer Sumber data primer adalah data yang dapat memberikan data langsung dari tangan pertama. Sumber data primer, kitab yang dikarang langsung oleh Ibn Kathi<r yang berjudul Qas{as{ul Anbiya<’.

  b.

  Sumber data sekunder Data sekunder yaitu data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat, atau mendengarkan. Sumber data sekunder yaitu berbagai macam literatur yang berhubungan dengan nilai-nilai keteladanan baik dari buku seperti : a.

  Ibnu Katsir. Kisah Para Nabi, terj. Moh. Syamsi Hasan.

  b.

  2

A. Fatah Yasin. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam.

  c.

  h.

  5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis adalah suatu usaha

  Meliputi karya sastra Ibn Kathi<r, bahan-bahan tulisan lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan yakni sebagai sumber sekunder serta buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan akhlaq sebagai sumber pelengkap.

  dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan objek pembahasan yang dimaksud.

  3 Maka teknik yang digunakan

  4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu cara mengumpulkan data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.

  Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq.

  Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an.

  Anwar Nurulyamin. Taman Mini Ajaran Islam.

  g.

  Rina Novia & Yoli Hemdi. Kisah-kisah Al-Qur’an.

  f.

  Eko Prasetyo. Kisah-kisah Pembebasan dalam Al-Quran.

  e.

  Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.

  d.

3 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bina

  untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian diusahakan adanya analisis dan penafsiran data.

  Jadi setelah pengumpulan data selesai, maka data tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan metode content analisis yaitu analisis

  

4

tentang isi pesan atau komunikasi.

  Pada tahap ini data yang sudah diperoleh yaitu nilai-nilai keteladanan dalam nabi Daud a.s. dalam kitab Qas{as{ul Anbiya <’ karya Ibn Kathi<r kemudian dianalisis dan dicari relevansinya dengan pendidikan akhlak untuk menjawab rumusan masalah.

G. Sistematika Pembahasan

  Untuk memberikan gambaran pembahasan yang sistematis, maka penulisan skripsi disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam pembahasan ini. Yang dipaparkan secara detail dalam penulisan skripsi ini meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Teori atau Telaah Hasil Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian (Pendekatan Penelitian, Sumber Data Primer dan Sekunder, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data) dan Sistematika Pembahasan.

  Bab II berisi tentang nilai meliputi pengertian nilai, karakteristik 4 nilai serta sumber nilai. Tentang keteladanan meliputi pengertian

  Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indara Grafika, keteladanan, urgensi keteladanan, landasan psikologi keteladanan, serta landasan teori keteladanan. Tentang pendidikan akhlaq meliputi pengertian pendidikan akhlaq, dasar pendidikan akhlaq, serta tujuan pendidikan akhlaq.

  Bab III berisi tentang biografi pengarang kitab yaitu Ibnu Katsir, dan karya-karya Ibnu Katsir. Bab IV berisi tentang sifat-sifat Nabi Daud yang dapat diteladani dalam kitab Qas{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r serta analisis penulis terhadap nilai-nilai keteladanan kisah nabi Daud a.s. dan relevansi terhadap pendidikan akhlak MTS kelas VIII semester ganjil dalam kitab Qas{as{ul Anbiya<’ karya Ibn Kathi<r.

  BAB V. Adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian, kemudian saran-saran yang diberikan penulis yang berkaitan dengan judul penelitian. Dan diakhiri dengan kata penutup.

BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai 1. Pengertian Nilai Nilai orang-orang barat menyebutnya dengan kata value, berasal

  dari bahasa Latin valere atau bahasa Prancis Kuno valoir (Encyclopedia

  of Real EstaleTerms, 2002). Sebatas arti denotatifnya, valere, valoir, value atau nilai yang dapat dimaknai sebagai harga. Dalam sebuah

  laporan yang ditulis oleh A Club of Rome (UNESCO, 1993), nilai diuraikan dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di suatu sisi, nilai dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan, dan harga dengan penghargaan yang begitu tinggi pada hal yang bersifat material. Sementara di lain hal, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak ini antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, persamaan. Nilai-nilai ini bersumber dari agama maupun dari

  1 tradisi humanistik.

  Pada saat dewasa ini banyak sekali definisi dari nila yang dirumuskan dengan konsep yang berbeda-beda. Antara lain pendapat Young yang dikutib oleh Muhaimin Abdul Mujib, nilai diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak yang sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan hal-hal yang penting. Sedangkan Woods menyatakan bahwa nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan

  2 sehari-hari.

  Nilai bersifat ideal, abstrak, dan tidak dapat disentuh oleh pancaindra, sedangkan yang dapat ditangkap hanya barang atau tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan dan konkret. Oleh karena itu, masalah nilai bukan soal benar dan salah, tetapi soal dikehendaki atau tidak, disenangi atu

  

3

tidak, sehingga bersifat subjektif.

  Dan Sidi Gazalba seperti yang dikutib Chabib Thoha, mendefinisikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang

  4 dikehendaki.

  Saya sendiri sebagai penulis menyimpulkan bahwasanya nilai adalah suatu identitas yang telah diyakini melekat dari suatu benda atau makhluk, bukan sekedar benar atau salah melainkan semua yang ada dan 2 melekat diobjek itu sendiri.

  Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung : Trigenda Karya, 1993), 110. 3 Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 110 4 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

  Islam datang dengan struktur nilai yang lebih banyak memberi ruang gerak yang lebih luas kepada muslim dalam pilihan dan laku-

  5

  perbuatannya. Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua katagori arti dilihat dari segi normatif, yaitu baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, diridhai dan dikutuk oleh Allah SWT. Sedang dilihat dari segi operatif nilai tersebut mengandung lima pengertian kategori yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu sebagai berikut.

  a.

  Wajib (Fardhu), adalah jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa atau siksa.

  b.

  Sunat (mustahab), adalah jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapat dosa atau siksa.

  c.

  Mubah (jaiz), adalah jika dikerjakan tidak mendapat dosa atau siksa dan jika ditinggalkan tidak pula mendapat dosa atau siksa.

  d.

  Makruh, adalah jika dikerjakan tidak mendapat dosa atau siksa, hanya saja tidak disukai oleh Allah SWT. dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala.

  e.

  Haram, adalah jika dikerjakan akan mendapat dosa atau siksa dan jika

  6 ditinggalkan akan mendapat pahala.

2. Karakteristik Nilai

  Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai (the theory of value).

5 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 124.

  a.

  Nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penelitian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.

  b.

  Nilai absolute atau relatif. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun setatus sosial.

  7 Dengan demikian saya menyimpulkan bahwa nilai itu bisa menjadi

  empat bentuk atau karakteristik, objektif atau subjektif dan absolute atau relatif tergantung dari mana nilai itu terbentuk dan bersumber.

3. Sumber Nilai Nilai sendiri memeiliki sumber, yaitu darimana nilai itu tercipta.

  Adapun sumber nilai itu sendiri ada dua, yaitu: a.

  „Aqal, berpangkal pada manusia, melalui filsafat. „Aqal itu berbeda- beda dan nisbi, karena itu nilai berbeda-beda pula sejalan dengan perbedaan filsafat.

  b.

  Naqal, berpangkal dari Tuhan, melalui agama. Naqal itu satu dan serba tetap, karena itu mutlak membatasi ruang dan waktu. Dalam Islam naqal ini bersumber dari Al- Qur‟an dan Al-Hadist.

  8

7 Ali Maksum, Dkk. Pengantar Filsafat (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 97.

  Dengan demikian nilai itu bersumber dari dua sumber yaitu

  „aqal

  yang berpangkal pada manusia melalui akal dan perasaan yang melalui sebuah perenungan dan naqal yang berpangkal dari wahyu dan ketetapan Allah SWT.

B. Keteladanan 1. Pengertian Keteladanan

  Bila dicermati secara historis pendidikan di zaman Rasulullah Saw dapat dipahami bahwa, salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilan adalah keteladanan. Keteladan Rasulullah memiliki pengaruh yang amat besar dalam membantu kaum muslimin mengenal Islam secara teori dan praktek, serta meneladaninnya dalam berbagai masalah kecil maupun besar, baik dalam hal ibadah, muamalat,

  9 atau amal-amal harian.

  Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “keteladanan” kata dasarnya adalah “teladan” yaitu: “(perbuatan atau barang dan

  10 Oleh karena itu keteladanan

  sebagainya) yang patut ditiru dan dicontoh.” adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Dalam bahasa Arab keteladanan diungkapkan dengan kata uswah dan qudwah. Kata uswah terbentuk dari huruf-huruf: hamzah, as-sin, dan al-wau. Secara etimologi setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki

  9 10 M. Munir, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2003), 199.

  M. Andre Martin dan F.V. Bhaskarra, Kamus Bahasa Indonesia Millenium (Surabaya:

  11

  persamaan arti yaitu pengobatan dan perbaikan. Sedangkan secara terminologi, kata al-uswah berarti orang yang ditiru, bentuk jama‟nya

  12 adalah usan.

  Dalam Al- Qur‟an kalimat qudwah diungkapkan dengan istilah uswah. Istilah ini terdapat tiga kali dalam Al-

  Qur‟an yaitu QS Al-Ahzab:

  

13

21, QS Al-Mumtahanah: 4 dan 6.

  Menurut Al-Ashfahani al-uswah dan al-iswah sebagaimana kata al- qudwah dan al-qidwah berarti “suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan”. Senada dengan Al-Ashfahani, Ibn Zakaria mendefinisikan, bahwa uswah berarti qudwah yang artinya ikutan, mengikuti yang

  14

  diikuti. Dari dua definisi di atas dinyatakan bahwa keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan yang baik, sebagaimana pengertian

  uswah pada surat Al-Ahzab ayat 21,                  

  Artinya:

  “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat

  15 Allah dan hari akhir, dan dia banyak mengingat Allah”

11 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 117.

  12 13 M. Munir, Metode Dakwah...., 199.

  Ulil Amri Syahri, Pendidikan Karakter Berbasis Al- Qur‟an(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 140. 14 Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan....., 117.

  Dalam diri Rasulullah, Allah menyusun suatu bentuk metodelogi pendidikan Islam yang sempurna, suatu bentuk yang hidup dan abadi selama sejarah berlangsung. Berkenaan dengan itu, Aisyah ra. pernah ditanya tentang pribadi Rasulullah saw., beliau menjawab bahwa pribadi Rasulullah adalah Al-

  Qur‟an. Sebuah jawaban yang sangat ringkas tetapi

  16 mempunyai pengertian yang sangat dalam, luas dan mengagumkan.

  Dengan demikian, penulis menyimpulkan bah wa “keteladanan” merupakan hal-hal positif yang melekat pada diri seseorang manusia yang dapat dijadikan contoh atau panutan dalam menjalani kehidupan seperti yang diperintahkan Allah swt.

2. Urgensi Keteladanan

  Kecenderungan manusia untuk belajar lewat peniruan menyebabkan ketauladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW telah mencontohkan dirinya sebagai pendidik yang mulia melalui ketauladanan yang diberikannya bagi

  17 umat Islam.

  Metode keteladanan sebagai suatu metode yang digunakan untuk mewujudkan suatu tujuan pendidikan agar para peserta didik dapat berkembang baik fisik maupun mental serta memiliki akhlaq yang baik

  18 16 dan benar.

  Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al- Qur‟an(Bandung: CV Alfabeta,

  2009), 150 17 Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 213.

  Untuk menciptakan anak yang shalih, pendidik tidak cukup hanya sekedar memberi prinsip, karena yang lebih penting dan dibutuhkan oleh peserta didik adalah seorang figur yang memberikan keteladanan ke dalam menerapkan prinsip tersebut. Sebanyak apapun prinsip yang diberikan namun tanpa disertai contoh, hanya akan menjadi kumpulan resep yang

  19 tidak bermakna.

  Imam Al Gazali mewajibkan kepada para pendidik Islam harus memiliki adab yang baik, karena anak-anak didiknya selalu melihat pendidiknya sebagai contoh yang harus diikutinya dan hal ini harus

  20 diinsafi oleh pendidik.

  Sungguh tercela seorang guru yang mengajarkan suatu kebaikan

  21 namun ia sendiri tidak mempraktekkannya.

  Firman Allah:

  

           

      

  Artinya:

  “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu

mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan . Amat besar kebencian di

  22 sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan

  .” Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak memberi contoh ketika beraktifitas keilmuannya, maka tak ubahnya seperti api

  19 20 Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan.....,121 21 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 170.

  Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan.....,121

  23

  unggun yang memberikan penerangan namun hanya sesaat. Maka dari itu sebagai pendidik, haruslah benar-benar menjaga dan berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak. Dikarenakan seorang pendidik adalah figur

  24 pertama dalam pembentukan akhlaq peserta didik.

  Dari pemaparan di atas sangat jelas tersirat bahwa keteladanan sangatlah penting ada di kehidupan sehari-hari terlebih lagi di dunia pendidikan. Dengan adanya tauladan yang baik tersebut dapat menjadi acuan bagi masyarakat dan peserta didik dalam membangun kepribadian yang sempurna serta memiliki kemuliaan akhlak seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

3. Landasan Psikologi Keteladanan

  Salah satu fitrah yang terdapat dalam diri manusia yaitu fitrah meneladani (meniru). Fitrah tersebut berupa hasrat yang mendorong anak- anak untuk meniru prilaku orang lain yang ia lihat tatkala anak-anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam dirinya atau pada saat belum mampu berfikir kritis. Ada beberapa unsur yang menyebabkan anak pada saat tertentu suka meniru meneladani orang lain.

  Pertama, pada setiap anak ada suatu dorongan dalam dirinya

  berupa keinginan halus yang tidak dirasakan untuk meniru (meneladani) orang yang dikaguminya, yang semuanya itu tanpa disengaja. Peniruan 23 yang tidak disengaja ini, tidak hanya terarah pada tingkah laku yang baik

  Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al- Qur‟an (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 143. 24 saja, akan tetapi terkadang menjalar juga kepada tingkah laku lainnya. Seseorang yang terpengaruh, secara tidak sadar akan menyerap kepribadian orang yang mempengaruhinya, baik sebagia maupun seluruhnya. Oleh sebab itu sangat berbahaya sekali bila seseorang berbuat tidak baik, kemudian anak-anak melihatnya.

  Kedua, pada usia tertentu anak-anak mempunyai kesiapan untuk

  meniru. Biasanya anak-anak pada usia-usia tertentu mempunyai potensi berupa kesiapan untuk meniru perilaku orang yang dijadikan idola dalam hidupnya. Potensi ini ada pada setiap orang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak tersebut. Oleh karena itu, dalam Islam anak-anak belum diperintah melaksanakan sholat apabila belum berumur tujuh tahun, namun tidak dilarang sebelum umur itu anak dilatih untuk meniru dan mengikuti gerakan-gerakan sholat kedua orang tuanya. Karena dengan demikian, anak-anak dapat melihat dan mencontoh, sehingga terbiasa melakukannya sebelum datang kewajiban baginya. Ini menunjukkan pada prinsipnya kita harus mempertimbangkan kesiapan dan potensi anak sewaktu kita memintanya untuk meniru dan mencontoh seseorang.

  Ketiga, dalam melakukan peniruan pada diri anak ada suatu tujuan

  yang bersifat naluriah. Setiap peniruan mempunyai tujuan yang terkadang diketahui oleh pihak anak dan terkadang tidak. Yang jelas, bahwa setiap peniruan mempunyai harapan akan memperoleh perbuatan seperti orang yang dikaguminya. Apabila peniruan dan tujuan disadari, maka peniruan tersebut tidak lagi sekedar ikut-ikutan, tetapi merupakan kegiatan yang disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dalam peristilahan

  25 pendidikan Islam, peniruan semacam ini disebut ittiba ’.

4. Landasan Teori Keteladanan

  Sebagai Pendidikan yang bersumber kepada Al- Qur‟an dan

  SunnahRasulullah, metode keteladanan tentunya didasarkan kepada kedua sumber tersebut. Dalam Al- Qur‟an, ”keteladanan” diistilahkan dengan kata

  26 Uswah dan kata ini terulang sebanyak tiga kali dalam surat.

  ....          

  Artinya:

  “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada

  27 Ibrahim dan orang-

  (QS. Al-

  orang yang bersama dengan dia;...”

  Mumtahanah : 4)

                      

  Artinya:

  “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi

  28

  (QS. Al-Mumtahanah : 6)

  Maha Terpuji”                  

  Artinya:

  “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

  29

  (QS. Al-

  (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”

  Ahzab : 21)

  25 26 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al- Qur‟an...., 154-155 27 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam...,177. 28 QS. 60: 4.

  QS. 60: 6.

  Ketiga ayat diatas memperlihatkan bahwa kata

  uswahselalu

  digandengkan dengan sesuatu yang positif:

  hasanah. Khusus untuk ayat

  yang terakhir di atas dapat dipahami bahwa Allah mengutus Rasulullah Saw. ke bumi ini adalah sebagai contoh atau tauladan yang baikbagi umatnya. Beliau selalu terlebih dahulu mempraktekkan semua ajaran yang disampaikan Allah sebelum menyampaikan kepada umatnya, sehingga tidak ada celah bagi orang-orang yang tidak senang untuk membantah dan menuduh bahwa Rasulullah Saw. hanya pandai bicara dan tidak pandai mengamalkan. Praktek

  uswahteryata menjadi pemikat bagi umat untuk

  menjahui semua larangan yang disampaikan Rasulullah dan mengamalkan semua tuntunan yang diperintahkan Rasulullah, seperti melaksanakan

  30 ibadah, sholat, puasa, nikah dan lain-lain.

C. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak

  Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam kehidupan, dan manusia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan.

  Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan kebutuhan hidup manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia dan telah berlangsung sepanjang peradaban manusia itu ada. Ini sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki peran lengkap dalam hidupnya yaitu sebagai makhluk individu yang perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat di mana mereka hidup. Untuk itu, pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni disamping mengembangkan kepribadian manusia secara individual, juga mempersiapkan manusia sebagai anggota penuh dari kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan

  31 duniannya.

  Secara istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik”, yang artinya “memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai

  32

  akhlak dan kecerdasan pikiran”.

  Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare, artinya membawa keluar ( sesuatu yang ada di dalam). Bahasa Belanda menyebutkan istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan atau mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah educate/education, yang berarti to give moral and

  33 intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual .

  Dari istilah-istilah dalam berbagai bahasa tersebut kemudian dapat disederhanakan bahwa ternyata pendidikan itu merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat: 1. proses pemberian pelayanan untuk menuntun perkembangan peserta didik, 2. proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik, 3. proses 31 memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar,

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2008),16.

  32 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),425 baik fisik maupun non-fisiknya, 4. proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku dan melatih kecerdasan intelektual peserta

  34 didik.

  Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

  35 keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

  Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi pendidikan yang beragam, di antaranya sebagai berikut : Pendidikan adalah bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan

  36

  jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan, dan pendidikan membantu pengembangan potensi, kemampuan dan karakteristik pribadi peserta didik

  37 melalui berbagai bentuk pemberian pengaruh.

  Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata, mengartikan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan 34 penuh keinsyafan yang ditunjukkan untuk keselamatan dan kebahagiaan 35 Ibid, 16

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar , (Bandung: Citra Umbara, 2010), Cet. I, h. 2-3 36 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 170. manusia. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni

  38 memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.

  Sementara itu, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan sebagai

  39 Yang dimaksud “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”.

  pengembangan pribadi di sini adalah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.

  Pendidikan juga diberikan melalui bimbingan, pengajaran dan latihan. Ketiga kegiatan tersebut, merupakan bentuk utama dari proses pendidikan. Pendidikan pada dasarnya berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek pribadi peserta didik secara utuh dan terintegrasi, tetapi untuk memudahkan pengkajian dan pembahasan biasa diadakan pemilahan dalam kawasan atau domain-domain tertentu, yaitu pengembangan domain

  

40

kognitif, afektif dan psikomotor.

  Salah satu diantara ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Menurut Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

  38 39 Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), 11 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 26-27. 40 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja

  Demikian pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam

  41 ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.