BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - PENERAPAN MODEL INQUIRY DALAM PEMBELAJARAN UNSUR INTRINSIK NOVEL REMAJA PADA SISWA KELAS VIII A MTs AL-HIDAYAH PURWASABA BANJARNEGARA - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dapat dijadikan tinjauan

  pustaka dalam penelitian ini yang pertama yaitu “Pengaruh Pembelajaran Inkuiri terhadap Hasil Belajar Bahasa Indonesia Siswa pada Pokok Bahasan Unsur Intrinsik

  Naskah Drama pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 22 Kota Serang ”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Fajar Fitri Rahayu pada tahun 2011 dari Universitas Islam

  Negeri Syarih Hidayatullah Jakarta. Dari hasil pengolahan data yang diklasifikasikan dan diolah sehingga menghasilkan data akhir yaitu 2.46 > 2.00 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis nihil (Ho) ditolak. Ini mengandung pengertian bahwa pembelajaran inkuiri berpengaruh pada hasil belajar siswa kelas

  VIII SMP Negeri 22 kota Serang pada pokok bahasan unsur intrinsik naskah drama.

  Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Fajar Fitri Rahayu dengan penelitian ini adalah subjek yang diteliti dan materi yang diteliti. Bila pada penelitian yang dilakukan oleh Fajar menggunakan naskah drama sebagai materinya sedangkan penelitian ini menggunakan novel remaja. Selain itu subjek yang diteliti juga berbeda antara siswa kelas VIII SMP Negeri 22 kota Serang dengan siswa kelas VIII MTs Al-Hidayah Purwasaba Banjarnegara.

  Penelitian relevan yang kedua yaitu “Peningkatan Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen melalui Pembelajaran Inkuiri pada Siswa Kelas VIIC SMP

  7 Sunari Loka Kuta Badung Tahun pelajaran 2012/2013 ”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Putu Esi Mengayani pada tahun 2012 di Universitas Mahasaraswati Denpasar.

  Hasil dari penelitian ini meningkat terbukti pada tes awal rata-rata siswa 4,00, pada siklus 1 nilai rata-rata siswa 5,12, pada siklus II nilai rata-rata siswa 5,72 dan pada siklus III nilai rata-rata siswa 7,44. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur intrinsik cerpen.

  Adapun perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Putu Esi Mengayani dengan penelitian ini yaitu materi yang digunakan berbeda. Bila Putu Esi Mengayani memilih cerpen sebagai materi yang digunakan, saya memilih novel sebagai materi yang digunakan. Selain perbedaan materi juga berbeda pula jenis penelitiannya. Putu menggunakan jenis penelitian PTK sedangkan saya menggunakan jenis penelitian eksperimen.

  Berdasarkan dua penelitian relevan yang telah dijelaskan di atas membuktikan bahwa penelitian saya berbeda, sehingga perlu untuk dilakukan.

B. Pengertian Novel

  Kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama. Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang. Panjangnya tidak kurang dari 50.000 kata. Mengenai jumlah kata dalam novel adalah relatif (Priyatni, 2012:124-125).

  Menurut Aziez dan Abdul Hasim, (2010:2) novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Hal tersebut berbeda dengan pendapat dari Sayuti, (2000:10) yang mengatakan bahwa novel bersifat meluas. Sebuah novel tidak akan dapat selesai dibaca sekali duduk. Karena panjangnya sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorag dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

C. Unsur Intrinsik Novel

  Beberapa tokoh berpendapat tentang unsur intrinsik novel remaja di antaranya, Nurgiyantoro, Esten, dan Noor. Menurut Noor, (2010:31) unsur intrinsik adalah unsur

  • –unsur yang secara organic membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu jalin-menjalin secara structural sehingga terwujud sebuah karya sasta. Hal tersebut sama halnya dengan pendapat dari Nurgiyantoro, (2015:30) bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Sedangkan menurut Esten, (2013:17) unsur intrinsik adalah unsur yang membangun cipta sastra itu sendiri dari dalam. Nurgiyantoro dan Esten menyebutkan bahwa unsur intrinsik karya sastra terdiri dari tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang dan amanat yang akan dipaparkan sebagai berikut.

1. Tema

  Tema merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra (Esten, 2013:20). Dalam pengertian yang paling sederhana dapat dirumuskan bahwa tema ialah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Istilah tema sering disamakan pengertiannya dengan topik. Padahal kedua pengertian tersebut memiliki makna yang berbeda. Topik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan sedangkan tema merupakan gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan melalui karya fiksi. Wujud tema itu sendiri biasanya berpangkal pada alasan tindak atau motif tokoh (Sayuti, 2000:187). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Sudjiman, (1991:50) yang menjelaskan bahwa tema ialah gagasan ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra itu. Adanya tema membuat karya lebih penting dari pada sekedar bacaan hiburan.

  Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa konflik dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan keseluruhan cerita, maka tema bersifat menjiwai keseluruhan cerita itu. Untuk menemukan tema dalam sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu tentang cerita (Nurgiyantoro, 2015:116).

  Dengan demikian tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudut pandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut.

  Berdasarkan pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan tema adalah ide utama yang mendasari sebuah cerita. Tema menjadi pokok terpenting yang menggambarkan keseluruhan isi dari sebuah cerita tersebut.

2. Plot atau Alur

  Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.

  Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah teks fiksi yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Keadaan yang demikian sering ditemui dalam karya yang memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah satu cara untuk mencapai efek keindahan teks itu. Menurut Nurgiyantoro, (2016:236) alur dapat dikatakan sebagai tulang punggung cerita karena alur itulah yang menentukan perkembangan cerita.

  Penahapan plot menurut Nurgiyantoro, (2015:201-208) dibagi menjadi 3 yaitu.

a. Tahapan Awal

  Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut dengan tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian dan lain-lain. Fungsi pokok tahap awal sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan. Pengarang tertentu yang pandai dan teliti melukiskan suasana alam, latar, biasanya mengisi tahap awal cerita yang ditulisnya dengan deskripsi latar yang relatif panjang. Pada tahap awal disamping memperkenalkan latar dan tokoh sebagaimana dicontohkan di atas, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.

  b. Tahapan Tengah

  Pada tahap ini, dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan, seperti telah dikemukakan di atas, dapat berupa konflik internal atau eksternal. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan. Tahap tengah, merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita fiksi yang bersangkutan. Pada bagian inilah inti cerita disajikan, tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa-peristiwa penting fungsional dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan, dan mencapai klimaks.

  c. Tahapan Akhir

  Tahap akhir sebuah cerita dapat juga disebut tahap peleraian. Tahap ini menampilkan adegan tententu sebagai akibat klimaks. Jadi bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir dalam sebuah cerita. Dalam teori klasik, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan yaitu, kebahagian (happy ending) dan kesedihan (sad ending). Dengan melihat model-model tahap akhir berbagai cerita fiksi, penyelesaian sebuah cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan penyelesaian

  

terbuka . Penyelesaian tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita fiksi yang

  memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sedangkan penyelesaian terbuka, memberi kesempatan kepada pembaca untuk “ikut” memikirkan, mengimajinasikan, dan mengreasikan bagaimana kira-kira penyelesaian cerita itu (yang juga sesuai dengan harapannya), walau semestinya tidak bertentangan dengan tuntutan logika cerita yang telah dikembangkan sebelumnya. Pembaca “diminta” untuk mengisi “ruang kosong” sesuai dengan logikanya.

  Pembedaan plot menurut Nurgiyantoro, (2015:213-215) adalah sebagai berikut.

a. Plot lurus, Progresif

  Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik dan penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan berwujud sebagai berikut.

  A B C D E Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan peristiwa-peristiwa berikutnya, tahap tengah, yang merupakan inti cerita, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita. Oleh karena kejadian-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis yang secara istilah berarti dengan urutan waktu. Plot yang demikian disebut juga sebagai plot maju, progresif. Plot progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara pencitraan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.

  b. Plot sorot balik, flash back

  Plot ini urutan kejadian yang dikisahkan dalam cerita fiksi tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks fiksi yang berplot jenis ini, langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu, yang semuanya dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya.

  Jika digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot balik dapat berupa sebagai berikut.

  D A B C E Simbol D merupakan puncak masalah dalam sebuah cerita. A-B-C melambangkan awal terjadinya cerita hingga inti dalam sebuah cerita dan E merupakan penyelesaian sebuah cerita.

  c. Plot campuran

  Plot ini tidak secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Jadi, plot campuran ini adalah gabungan antara plot lurus dan plot sorot balik.

  Skema plot campuran dapat digambarkan sebagai berikut. E D1 A B C D2

  Simbol E merupakan bentuk penyelesaian dari sebuah konfik, simbol D1 menggambarkan awal terjadinya konflik. Setelah diceritakan penyelesaian hingga puncak konflik lalu cerita digambarkan kembali pada tahap awal pengenalan hingga inti cerita yaitu dengan simbol A-B-C dan yang terakhir simbol D2 menggambarkan titik puncak konflik lain yang berhubungan dengan konflik awal atau D1.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa plot / alur adalah rangkaian cerita yang berisi penjelasan tentang tahapan peristiwa mengenai suatu konflik yang membentuk keutuhan cerita yang terdapat di dalamnya.

3. Tokoh

  Tokoh merupakan salah satu unsur cerita yang memegang peranan penting dalam sebuah cerita. Jadi bila dalam suatu cerita tidak ada pelaku yang melakukan tindakan maka cerita itu tidak mungkin ada. Tokoh-tokoh di dalam cerita dapat berupa apa saja namun biasanya tokoh tersebut adalah manusia yang memiliki karakter masing-masing (Adi, 2011:47). Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan peyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

  Aziez dan Abdul Hasim, (2010:61) mengatakan bahwa bila tokoh dalam sebuah cerita menarik, maka akan menimbulkan rasa ingin tahu, konsisten, meyakinkan, kompleks, dan realistis. Bila seorang pengarang telah menciptakan seorang tokoh yang sangat hidup atau berpribadi, maka kita sebagai pembaca akan menganggap tokoh itu menarik, terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak.

  Tokoh menurut Nurgiyantoro (2015:258-274) dapat dibedakan sebagai berikut : a. Dilihat dari Segi Peranan atau Tingkat Pentingnya Tokoh, dapat dibedakan menjadi:

  1) Tokoh Utama Cerita (cental character), adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita bersangkutan.

  2) Tokoh Tambahan (Peripheral Character), adalah tokoh yang kehadirannya dalam cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan keberadaan tokoh utama.

  b. Dilihat dari Fungsi Penampilan Tokoh, dapat dibedakan menjadi : 1) Tokoh protagonis, adalah tokoh yang dikagumi, yang secara populer disebut hero.

  Tokoh yang mencerminkan harapan akan norma-norma yang ideal. 2) Tokoh Antagonis, adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.

  c. Dilihat dari Perwatakannya, dapat dibedakan menjadi: 1) Tokoh sederhana (simple atau flat character), adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.

  2) Tokoh Bulat atau Kompleks (round and complex character) adalah tokoh yang memiliki watak tingkah laku yang bermacam-macam.

  d. Dilihat dari kriteria Berkembang atau Tidaknya Perwatakan, dapat dibedakan menjadi : 1) Tokoh Statis atau Tak Berkembang (static character) adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. 2) Tokoh berkembang (developing chacarter), adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan alur.

  e. Dilihat dari kemungkinan Pencerminan Tokoh terhadap (Sekelompok) Manusia dari Kehidupan Nyata, dapat dibedakan menjadi :

  1) Tokoh tipikal (typical character), adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaan. 2) Tokoh Netral (neutral character), adalah tokoh cerita yang berksistensi demi cerita itu sendiri.

  Tokoh-tokoh cerita dalam teks naratif, tidak akan begitu saja secara serta-merta hadir kepa da pembaca. Mereka memerlukan “sarana” yang memungkinkan kehadirannya. Sebagian dari cerita fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan artistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut.

  Berdasarkan pemaparan mengenai tokoh di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita yang mempunyai peranan dan karakter yang berbeda-beda.

4. Latar/Setting

  Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

  Nurgiyantoro (2015:314-322) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya yang akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Latar Tempat

  Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tententu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

  b. Latar waktu

  Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. M asalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

  c. Latar sosial budaya

  Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain yang tergolong pada latar spiritual.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar adalah keterangan mengenai waktu, tempat, dan suasana yang terdapat dalam peristiwa sebuah cerita.

5. Sudut Pandang

  Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang digolongkan sebagai sarana cerita, literaty device. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya dan bentuknya, sebab, pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupkan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dalam cerita.

  Macam-macam sudut pandang menurut Nurgiyantoro, (2015:347-359) akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Sudut pandang persona ketiga “Dia”

  Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya;ia, dia, mereka.

  Dalam sudut pandang per sona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1)

  “Dia” Mahatahu Sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia” namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menya ngkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita. 2)

  “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat Sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang benar-benar objektif. Narator bahkan hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkau oleh indera. Namun walau hanya melaporkan secara apa adanya, kadar ketelitiannya haruslah diperhitungkan, khususnya ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan berbagai peristiwa, tindakan, latar, sampai ke detail-detail terkecil yang khas. Dalam hal ini narator seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek.

  b. Sudut pandang persona pertama “Aku”

  Sudut pandang ini, narator sebagai seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”. Tokoh berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.

  Dalam sudut pandang per sona pertama “Aku” dibedakan menjadi dua yaitu : 1)

  “Aku” Tokoh Utama Dalam teknik ini “Aku” mengisahkan sebagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di lu ar dirinya. Si “Aku” menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. 2)

  “Aku” Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang in i tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh aku hadir membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.

  c. Sudut pandang persona kedua “Kau”

  Dalam sudut pandang ini, penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat dite mukan pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan atau penyebutan. Hal itu dipilih tentu juga tidak lepas dari tinjauan menuturkan sesuatu dengan berbeda, yang asli, yang lain daripada yang lain sehingga terjadi kabaruan cerapan indera atau penerimaan pembaca. Intinya, untuk lebih menyegarkan cerita.

d. Sudut pandang campuran

  Penggunaan sudut pandang campuran itu dalam sebuah novel, dapat berupa penggunaan sudut pandang per sona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu “dia” sebagai pengamat, per sona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan

  “aku” tambahan atau sebagai saksi. Selain itu dapat juga berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”, “dia”, bahkan kadang-kadang juga diselingi per sona kedua “kau” sekaligus.

  Jadi dapat diambil kesimpulan mengenai sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap sebuah cerita dan dari sudut mana pengarang memandang cerita tersebut.

6. Amanat

  Melalui amanat pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Menurut Nurgiyantoro, (2016:265) moral, amanat, atau

  

message dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan kepada

  pembaca.sesuatu itu selalu berkaitan dengan berbagai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ichan, (2012:3) yang mengatakan bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ingin disampaikan.

  Jadi, amanat adalah pesan moral yang disampaikan pengarang terhadap pembaca.

D. Model Pembelajaran Inquiry 1. Pengertian model pembelajaran inquiry

  Beberapa tokoh berpendapat tentang Pembelajaran berbasis inquiry di antaranya Ridwan Abdulah Sani, Khoirul Anam, dan Roestiyah. Pembelajaran berbasis inquiry menurut Sani, (2015:80) adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dalam merumuskan pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk lebih aktif dan mengarahkan dalam melakukan investigasi dalam upaya untuk membangun pengetahuan dan makna baru. Sedangkan menurut Anam, (2015:7) pembelajaran

  

inquiry adalah siswa diminta untuk mencari dan menemukan sendiri, dalam konteks

  penggunaan inquiry sebagai model belajar mengajar, siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran. Dalam model pembelajaran ini, setiap peserta didik didorong untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Kemudian menurut Roestiyah, (2008:75-76) pembelajaran inquiry merupakan suatu model pembelajaran yang digunakan untuk mengajar di depan kelas dengan tujuan agar siswa terangsang oleh tugas dan aktif dalam mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah yang diberikan oleh guru.

  Menurut Anam, (2015:20-22) ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk menggunakan strategi inquiry dalam sebuah proses pembelajaran. Beberapa strategi tersebut adalah sebagai berikut: a.

   Berorientasi pada pengembangan intelektual

  Tujuan utama dari pembelajaran menggunakan inquiry adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, model pembelajaran inquiry ini selain berorinentasi pada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Oleh karena itu, keberhasilan dari proses pembelajaran dengan menggunakan model inquiry ditentukan oleh sejauh mana siswa dan berproses dalam menemukan sesuatu.

  b. Prinsip interaksi

  Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi anatar-siswa, interaksi siswa dengan guru maupun interaksi siswa dengan lingkungan.

  Pembelajaran sebagai proses interaksi, artinya menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri.

  Guru perlu mengarahkan agar siswa bisa mengembangkan kemampuan berpikir melalui interaksi mereka.

  c. Prinsip bertanya

  Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan model pembelajaran

  

inquiry adalah guru sebagai penanya. Dengan demikian, kemampuan siswa untuk

  menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan bagian dari proses berpikir. Oleh sebab itu, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah

  inquiry sangat diperlukan.

  d. Prinsip belajar untuk berpikir

  Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, tetapi juga merupakan proses berpikir, yaitu proses mengembangkan potesi seluruh otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Belajar yang hanya cenderung menggunakan otak kiri dengan memaksa anak untuk berpikir logis dan rasional, akan membuat anak dalam posisi “kering dan hampa”. Oleh karena itu, belajar berpikir logis dan rasioanl perlu didukung oleh peegerakan otak kanan.

e. Prinsip keterbukaan

  Belajar merupakan suatu proses mencoba berbagai kemugkinan, yakni dengan prinsip segla sesuatu mungkin saja terjadi. Oleh sebab itu anak perlu diberikan kebebasan untuk mencoba dengan perkembangan kemampuan logika dan nalarnya. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenaranya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukan.

  Saat ini variasi pembelajaran inquiry telah dikembangkan menjadi model, misalnya model latihan inquiry dan model inquiry ilmiah. Namun secara umum

  

inquiry merupakan sebuah medel pembelajaran yang dapat dipadukan dengan medel

  pembelajaran lainnya dalam sebuah pembelajaran. Dalam model pembelajaran inquiry ini siswa ditekankan pada proses penyelidikan berbasis upaya menjawab pertanyaan.

  Proses yang dilakukan dalam model pembelajaran inquiry yaitu mengumpulkan informasi, membangun pengetahuan, dan mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu yang diselidiki. Pembelajaran ini meliputi proses mengajukan permasalahan, memperoleh informasi, berpikir kreatif dalam penyelesaian masalah, membuat keputusan, dan membuat kesimpulan.

  Kelebihan-kelebihan metode inquiry menurut Anam (2015:15) ada 4 yang akan dipaparkan sebagai berikut.

  a. Real life sklills : siswa belajar tentang hal-hal penting namun mudah dilakukan, siswa didorong untuk „melakukan‟ bukan hanya „duduk‟ dan mendengarkan

  b. Open

  • – ended topic : tema yang dipelajari tidak terbatas, bias bersumber

  dari mana saja; buku pelajaran, pengalaman siswa/guru, internet, televise, radio, dan seterusnya. Siswa akan belajar lebih banyak.

  c. Intutif, imajinatif, inovatif: siswa belajar dengan mengerahkan seluruh potensi yang mereka miliki, mulai dari kreativitas hingga imajinasi. Siswa akan menjadi pembelajar aktif, out of the box, siswa akan belajar karena mereka membutuhkan, bukan sekedar kewajiban.

  d. Peluang melakukan penemuan: dengan berbagai observasi dan eksperimen, siswa memiliki peluang besar untuk melakukan penemuan. Siswa akan segera mendapat hasil dan materi atau topik yang mereka pelajari. Guru menggunakan model pembelajaran inquiry sewaktu mengajar memiliki tujuan agar siswa terangsang oleh tugas, dan aktif mencari serta meneliti pemecahan masalah.

  Mencari sumber sendiri dan mereka belajar bersama secara mandiri. Diharapkan juga siswa mampu mengemukakan pendapatnya dan merumuskan kesimpulan. Dalam proses belajar siswa memerlukan waktu untuk menggunakan daya otaknya untuk berpikir dan memperoleh pengertian tentang konsep, prinsip dan teknik menyelidiki masalah.

  Menurut Roestiyah (2008:77-79) untuk meningkatkan teknik inquiry dapat ditimbulkan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

  a. Membimbing kegiatan laboratorium Guru menyediakan petunjuk yang cukup luas kepada siswa dan sebagian besar perencanaannya dibuat oleh guru. Siswa melakukan kegiatan percobaan penyelidikan untuk menentukan konsep-konsep atau prinsip-prisip yang telah ditetapkan guru

  b. Modifikasi inquiry Dalam hal ini guru hanya menyelidiki masalah-masalah dan menyelidiki bahan/alat yang diperlukan untuk memecahkan masalah secara perseorangan maupun kelompok. Bantuan yang bisa diberikan harus berupa pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan siswa dapat berpikir dan menemukan cara-cara penelitian.

  c. Kebebasan inquiry Setelah siswa memahami dan mengerti tentang bagaimana memecahkan suatu problema dan memperoleh pengetahuan cukup tentang mata pelajaran tertentu serta telah melakukan "modifikasi inquiry", maka siswa telah siap untuk melakukan kegiatan kebebasan inquiry. Guru dapat mengarahkan siswa untuk terlibat dalam kegiatan "kebebasan inquiry", siswa dapat mengidentifikasi dan merumuskan macam-macam masalah yang akan dipelajari.

  d. Inquiry pendekatan peranan Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan masalah yang cara-caranya serupa dengan yang biasanya diikuti oleh para "ilmuwan". Suatu pertanyaan memberikan suatu masalah kepada siswa , dan dengan pertanyaan yang telah direncanakan dengan teliti, mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan seperti merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan pengawasan dan seterusnya.

  e. Mengundang ke dalam inquiry Kegiatan ini melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri atas 4 anggota untuk memecahkan masalah, masing-masing anggota diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda seperti koordinator tim, penasihat teknis, merekam data, proses penilaian. Anggota tim menggambarkan peranan-peranan di atas, berkerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan topik yang dipelajari.

  f. Teka-teki bergambar Salah satu teknik untuk mengembangkan motivasi dan berpatian siswa di dalam diskusi kelompok kecil/besar. Gambar, peragaan atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa.

  g.

   Synectics lesson

  Pendekatan ini untuk menstimulur bakat-bakat kreatif siswa. Misalnya science dan ilmu-ilmu sastra lebih lanjut dikatakan bahwa emosi, efektif, dan komponen-komponen rasional kreatif pada permulaannya adalah lebih penting dibandingkan dengan pikiran-pikiran rasional. Pada dasarnya "synectics" memusatkan pada keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan agar dapat membuka inteligensinya dan mengembangkan daya kreativitasnya. Hal itu dapat dilaksanakan karena "kiasan" dapat membantu dalam melepaskan "ikatan struktur mental" yang melekat kuat dalam memandang suatu masalah sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.

  h. Kejelasan nilai-nilai Perlu diadakan evaluasi lebih lanjut tentang keuntungan-keuntungan pendekatan ini, terutama menyangkut sikap, nilai-nilai dan pembentukan

  "self-concept". Ternyata dengan teknik inquiry siswa melakukan tugas-tugas kognitif lebih baik.

  Menurut Roestiyah, (2008:79-80) agar teknik ini dapat dilaksanakan dengan baik memerlukan kondisi-kondisi sebagai berikut.

  1) Kondisi yang fleksibel, bebas untuk berinteraksi. 2) Kondisi yang memudahkan lingkungan responsif. 3) Kondisi yang memudahkan untuk memusatkan perhatian. 4) Kondisi yang bebas dari tekanan. Dalam teknik inquiry guru berperan untuk: 1) Menstimulur dan menantang siswa untuk berpikir.

  2) Memberikan fleksibilitas atau kebebasan untuk berinisiatif dan bertindak. 3) Memberikan dukungan untuk "inquiry"

  4) Menentukan diagnosa kesulitan-kesulitan siswa dan membantu mengatasinya. 5) Mengidentifiksi dan menggunakan "teach able moment" sebaik-baiknya Hal-hal yang perlu distimulir dalam proses belajar melalui " inquiry" 1) Otonomi siswa 2) Kebebasan dan dukungan pada siswa 3) Sikap keterbukaan 4) Percaya kepada diri sendiri dan kesadaran akan harga diri.

5) Self-concept.

  6) Pengalaman inquiry, terlibat dalam masalah-masalah lain Langkah

  • –langkah pembelajaran inquiry menurut Sani, (2015:92) dapat dibagi menjadi 4 tahapan yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  a. Membuat rumusan masalah

  Pada tahap ini peserta didik merumuskan masalah dari suatu permasalahan yang akan diselidiki. Kemampuan yang diharapkan muncul dari peserta didik adalah : (a) menyadari adanya masalah; (b) mampu mengidentifikasi masalah; (c) melihat pentingnya masalah; dan (d) merumuskan masalah.

  b. Mengembangkan dan merumuskan hipotesis

  Pada tahap ini peserta didik membuat hipotesis atau jawaban sementara yang muncul terhadap permasalahan yang diselidiki. Kemampuan yang diharapkan muncul dari peserta didik adalah : (a) menentukan variabel atau menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) mengindentifikasi dan merumuskan hubungan variable yang ada secara logis; (c) merumuskan hipotesis.

  c. Merancang dan melakukan kegiatan untuk menguji hipotesis

  Pada tahap ini peserta didik melakukan kegiatan penyelidikan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Kemampuan yang diharapkan muncul dari peserta didik adalah mengetahui jawaban yang tepat dan sesuai.

d. Menarik kesimpulan

  Pada tahap yang terakhir ini peserta didik menarik kesimpulan berdasarkan hasil dara yang telah dilakukan. Kemampuan yang diaharpkan muncul dari peserta didik adalah : (a) mencari pola dan makna hubungan data; dan (b) merumuskan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh.

E. Kerangka Berpikir

  Agar tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan yang diharapkan ada beberapa faktor yang saling mendukung dalam proses pembelajaran. Salah satu faktor yang memiliki peran dalam rangka mencapai tujuan adalah ketepatan mengelola peserta didik agar dapat menerima pembelajaran dengan baik. Guru sebagai pemegang kendali di kelas, mempunyai tanggung jawab yang besar. Materi menganalisis unsur intrinsik, bukan persoalan yang mudah bagi siswa kelas VIII. Daya nalar siswa terhadap arti analisis itu sendiri juga masih sangat sulit. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mengembangkan model pembelajaran yang dapat membawa dampak baik pada pola pikir siswa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur intrinsik novel remaja yaitu dengan menggunakan variasi model pembelajaran di antaranya dengan model pembelajaran inquiry. Berdasarkan observasi yang dilakukan di MTs Al-Hidayah Purwasaba Banjarnegara bahwa kemampuan menganalisis unsur intrinsik novel remaja masih rendah.

  Suatu karya sastra berbentuk novel memang sangat digemari di kalangan pelajar. Selain mereka tertarik dengan jalan ceritanya, mereka juga dapat memetik beberapa hal menarik bahkan juga dapat mengambil hal-hal positif yang dapat menjadi suatu pelajaran dalam hidup. Hal tersebut merupakan salah satu pentingnya menganalisis unsur intrinsik pada novel remaja. Dalam menganalisis unsur intrinsik siswa menjadi lebih tahu isi dari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

  Pembelajaran mengenai analisis unsur intrinsik tidak akan tersampaikan dengan baik jika teknik pengajaran yaitu penggunaan model pembelajaran kurang tepat. Penggunaan model pembelajaran inquiry menarik untuk digunakan karena dalam pembelajaran tersebut siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam menemukan data yang terdapat dalam suatu persoalan. Dengan pembelajaran ini diharapkan dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur intrinsik novel remaja.

  Berdasarkan uraian tersebut, peneliti berpendapat bahwa keterkaitan model pembelajaran inquiry dengan kemampuan menganalisis unsur intrinsik merupakan modal awal untuk mencapai keberhasilan siswa. Keterkaitan tersebut menjadikan sebuah pemicu munculnya hasil yang baik, yaitu dengan mengarahkan siswa pada sesuatu yang baru, praktis, sesuai pada pengalaman yang nyata. Apabila dalam diri siswa sudah tertanam motivasi yang besar, maka dengan sendirinya siswa tersebut mudah dan penuh sadar melakukan sesuatu guna mencapai hasil yang diharapkan. Untuk mendapatkan hasil memuaskan, guru dituntut menyajikan materi dan mengelola siswa dalam KBM senantiasa menyenangkan dan tidak membosankan dengan model pembelajaran yang variatif. Penggunaan model Pembelajaran inquiry menjadi solusi terbaik bagi guru agar tercipta KBM yang diinginkan dan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur intrinsik novel remaja

F. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka penerapan model inquiry efektif digunakan untuk pembelajaran menganalisis unsur intrinsik novel remaja pada siswa kelas VIII A MTs Al-Hidayah Purwasaba tahun 2016-2017.