Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Jagung yang Diproses Melalui Fermentasi | Aini | Agritech 12860 25800 1 PB

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

SIFAT FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG JAGUNG
YANG DIPROSES MELALUI FERMENTASI
Physical, Chemical, and Functional Properties of Corn Flour Processed by Fermentation
Nur Aini, Gunawan Wijonarko, Budi Sustriawan
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Jenderal Soedirman,
Jl. Dr. Soeparno, Karangwangkal, Purwokerto 53123
Email: nuraini.1973@gmail.com; nuraini@unsoed.ac.id
ABSTRAK
Tepung jagung memiliki beberapa keterbatasan untuk dikembangkan menjadi produk pangan. Untuk memperluas
penggunaannya dalam bidang pangan, tepung jagung perlu dimodiikasi. Pembuatan tepung jagung menggunakan
proses fermentasi diharapkan mampu mengubah karakteristiknya sehingga memperluas aplikasi tepung ini sebagai
produk pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media fermentasi dan lama fermentasi terhadap
karakteristik isik, kimia dan fungsional tepung jagung. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) faktorial. Faktor yang dicoba yaitu media fermentasi (air, bakteri asam laktat, Lactobacillus casei, dan ragi
tape) dan waktu fermentasi (20, 40, 60, dan 80 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung jagung yang memiliki
sifat fungsional terbaik (dilihat dari sifat gelatinisasinya) adalah tepung jagung yang dihasilkan dengan metode
fermentasi menggunakan Lactobacillus casei selama 60 jam. Sifat gelatinisasi tepung jagung tersebut adalah: suhu
awal gelatinisasi 72 oC, viskositas maksimum 1646 BU, suhu puncak gelatinisasi 74 oC, breakdown viscosity 402 BU
dan setback viscosity 1575 BU. Tepung jagung memiliki kadar air 7,68%, kadar abu 0,27%, kadar protein terlarut

2,48%, protein total 8,27%, kadar amilosa 33,10%, kapasitas penyerapan air 117,80%, kapasitas penyerapan minyak
149,50%, dan swelling power 13,80%.
Kata kunci: Media fermentasi, waktu fermentasi, tepung jagung, sifat fungsional
ABSTRACT
Corn lour has some limitations to be developed as food products. To expand the use of corn lour for food production,
some modiications on its characteristic were needed. The production of corn lour by fermentation may change
its characteristics; therefore could expand the application of corn lour to develop food products. The aim of this
study was to determine the effect of fermentation media and fermentation time on physical, chemical and functional
characteristics of corn lour. This research was performed using factorial randomized block design. The studied factors
were: fermentation medium (water, lactic acid bacteria, Lactobacillus casei, and ‘ragi tape’) and fermentation time (20,
40, 60, and 80 h). The results of this research showed that corn lour produced by fermentation using Lactobacillus
casei for 60 h has the best functional properties (based on gelatinization properties). The gelatinization properties of
this corn lour were: the initial gelatinization temperature of 72 °C, maximum viscosity of 1646 BU, gelatinization peak
temperature of 74 oC, breakdown viscosity of 402 BU and setback viscosity 1575 BU. The corn lour has a moisture
content of 7.68%, ash content of 0.27%, soluble protein content of 2.48%, total protein of 8.27%, amylose content of
33.10%, water absorption capacity of 117.80%, oil absorption capacity of 149.50% and swelling power of 13.80%.
Keywords: Fermentation media, fermentation time, corn lour, functional properties

160


AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

PENDAHULUAN
Tepung merupakan hasil pertanian yang luas
penggunaannya untuk berbagai bahan pangan, dan salah satu
jenis tepung yang mendominasi di Indonesia adalah tepung
terigu. Kebutuhan terigu di masyarakat mengakibatkan
pengadaannya melalui impor dalam jumlah cukup besar,
walaupun sebenarnya tanaman pangan lain yang berpotensi
sebagai sumber bahan baku pembuatan tepung cukup
melimpah. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan
penting, yang produksinya terus meningkat beberapa tahun
terakhir, dengan jumlah produksi dari tahun 2008 sampai
2012 adalah 16.317.252, 17.629.748, 18.327.636, 17.643.250
dan 19.387.022 ton (Badan Pusat Statistik, 2014).
Karakteritik tepung sangat menentukan penggunaannya
pada produk pangan dalam hubungannya dengan kualitas
produk tersebut. Untuk mendapatkan karakter tepung sesuai
yang diinginkan, dapat dilakukan modiikasi melalui proses
fermentasi (Aini dkk., 2010). Fungsi proses fermentasi pada

pembuatan tepung jagung adalah mengubah sifat isikokimia
dan fungsional tepung jagung. Tepung jagung termodiikasi
diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti terigu dalam
beberapa produk olahan berbasis tepung.
Modiikasi tepung jagung secara enzimatik
menunjukkan perubahan sifat isiko-kimia dan fungsional.
Perubahan yang terjadi antara lain kadar amilosa dan derajat
polimerisasi mengalami penurunan sedangkan gula reduksi
dan dekstrosa equivalen mengalami kenaikan. Tekstur tepung
termodiikasi lebih halus dibanding tepung aslinya dan
memiliki sifat gelatinisasi yang berbeda.
Penambahan mikroba pada tepung-tepungan dapat
memperbaiki kualitas tepung, diantaranya penambahan
bakteri asam laktat pada tepung akan meningkatkan
pengembangan roti (Gerez dkk., 2006). Bakteri asam laktat
adalah kelompok bakteri yang menghasilkan asam laktat
sebagai produk utama dari fermentasi karbohidrat atau
gula. Diantara kelompok bakteri asam laktat yang banyak
digunakan adalah Lactobacillus casei dan Lactobacillus
bulgaricus.

Ragi tape adalah starter untuk membuat tape ketan atau
tape singkong. Di dalam ragi ini terdapat mikroorganisme
yang dapat mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula
sederhana (glukosa) yang selanjutnya diubah lagi menjadi
alkohol. Mikroorganisme yang terdapat pada ragi tape
cukup banyak jenisnya, terutama dari golongan kapang
dan khamir (Suliantari dan Rahayu, 1990). Kapang yang
berperan diantaranya adalah Amylomyces rouxii, Mucor sp,
Chlamydomucor oryzae, Rhizopus sp, dan Aspergillus oryzae.
Khamir yang berperan terutama adalah Saccharomyces
cerevisiae dan Candida sp. Mikroorganisme dari kelompok
kapang akan menghasilkan enzim-enzim amilolitik yang akan

memecah pati menjadi gula sederhana, sedangkan khamir
akan mengubah sebagian gula sederhana tersebut menjadi
alkohol.
Penelitian bertujuan mengetahui karakteristik tepung
jagung yang dibuat dengan metode fermentasi dan waktu
fermentasi berbeda serta menentukan tepung jagung yang
memiliki sifat fungsional terbaik (kapasitas penyerapan air,

kapasitas penyerapan minyak, swelling power dan sifat
gelatinisasi).

METODE PENELITIAN
Jagung yang digunakan adalah jagung lokal Canggal
yang diperoleh dari petani di Temanggung. Jagung lokal
Canggal memiliki warna putih, sehingga apabila digunakan
untuk aplikasi diharapkan memiliki sifat isik, terutama
warna yang mirip dengan tepung terigu. Pembuatan tepung
jagung (80 mesh) dilakukan menggunakan metode Aini dkk.
(2010) yang dimodiikasi. Modiikasi dilakukan pada media
fermentasi yang digunakan yaitu dengan penambahan ragi
tape (berasal dari pasaran), Lactobacillus bulgaricus, dan
Lactobacillus casei. Pembuatan tepung jagung dilakukan
dengan cara sebagai berikut: jagung pipilan disosoh
kemudian dipisahkan bagian kulit dan lembaganya. Jagung
yang telah disosoh kemudian difermentasi dengan cara
perendaman menggunakan media yang telah disebutkan
di atas. Perbandingan antara bahan dan media fermentasi
adalah 1:2, dan fermentasi dilakukan selama 20, 40, 60, dan

80 jam. Setelah tahap fermentasi, jagung kemudian ditiriskan
dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan menggunakan sinar
matahari (suhu kurang lebih 30 oC) selama 12 jam. Tahap
berikutnya adalah penggilingan jagung dan pengayakan
menggunakan ayakan 80 mesh.
Variabel yang diamati meliputi kadar air dengan
metode pengeringan (AOAC, 2007), kadar abu dengan
metode pengabuan langsung (AOAC, 2007), kadar lemak
dengan metode Soxhlet (AOAC, 2007), kadar protein total
dengan metode mikro Kjeldahl (AOAC, 2007), kadar pati
menggunakan metode ekstraksi asam perklorat (Apriyantono
dkk., 1989), rendemen menggunakan metode gravimetri,
kapasitas penyerapan air (Kadan dkk., 2003), swelling power,
kapasitas penyerapan minyak (Kadan dkk, 2003), serta sifat
gelatinisasi menggunakan Brabender amylograph menurut
metode AACC 22-12 (Hung dan Morita, 2004) meliputi
suhu dan waktu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi,
viskositas maksimum, breakdown viscosity dan setback
viscosity.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian

adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor yang
diuji yaitu media fermentasi (air, ragi tape, Lactobacillus

161

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

bulgaricus, Lactobacillus casei) dan waktu fermentasi (20
jam, 40 jam, 60 jam, dan 80 jam) sehingga diperoleh 16
kombinasi perlakuan. Perlakuan diulang dua kali sehingga
diperoleh 32 unit percobaan. Data dianalisis dengan uji F,
apabila berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji
Duncan atau Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
5%.

Chanvrier dkk. (2006) yaitu 12%. Perbedaan kadar air ini
disebabkan oleh waktu dan metode pengeringan yang berbeda.
Aini dkk (2010) membuat tepung jagung menggunakan
pengering cabinet suhu 50 oC selama 3 jam, sedangkan pada
penelitian ini waktu pengeringan yang digunakan adalah 12

jam. Waktu pengeringan yang lebih lama menghasilkan kadar
air yang lebih rendah.
Suatu bahan pangan harus memiliki kadar air rendah
sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Bahan
pangan berbentuk tepung untuk dapat disimpan dalam
jangka waktu lama harus memiliki kadar air di bawah 10%.
Menurut Richana dkk. (2010), tepung terigu yang memiliki
kadar air 13 sampai 15% memiliki masa simpan setahun.
Tepung jagung yang memiliki kadar air rendah (7,4 – 9,27%)
ini diharapkan memiliki umur simpan lebih dari setahun
sehingga penggunaan dan distribusinya lebih luas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia Tepung Jagung
Tepung jagung memiliki kadar air antara 7,4 sampai
9,27% (Tabel 1). Kadar air tepung jagung ini sesuai dengan
yang ditetapkan SNI 01-3727 (1995) maksimal 10%. Kadar
air tepung jagung ini lebih rendah dibandingkan hasil Aini
dkk. (2010) sebesar 10 sampai 11,7%; juga lebih rendah dari


Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung yang diproses secara fermentasi
Sampel

Kadar air (bb)
c

Abu (bk)

Lemak (bk)

F1T1
F1T2
F1T3

7,8
7,5c
7,5c

0,4
0,2

0,3

2,2
2,1
1,9

F1T4
F2T1
F2T2
F2T3
F2T4
F3T1
F3T2
F3T3
F3T4
F4T1
F4T2
F4T3
F4T4


8,3bc
7,4c
7,5c
7,9bc
8,7a
8,4a
8,4ab
9,3a
8,9a
9,0a
8,0ab
7,7bc
7,9bc

0,2
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,2
0,1
0,3
0,2
0,3
0,1

1,8
1,9
1,7
1,9
1,8
2,3
1,7
1,6
1,8
2,0
1,9
1,9
1,9

Pati (bk)
c

73,34
73,96c
75,43c
74,09c
c

75,8
76,31bc
76,7b
76,1bc
79,1a
80,3a
80,1a
80,4a
80,0a
79,7a
79,7a
80,3a

Keterangan F1 : fermentasi spontan (menggunakan air)
F2 : fermentasi menggunakan ragi tape
F3 : fermentasi menggunakan Lactobacillus bulgaricus
F4 : fermentasi menggunakan Lactobacillus casei
T1 : 20 jam
T2 : 40 jam
T3 : 60 jam
T4 : 80 jam
Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

162

Protein terlarut (bk) Protein total (bk) Amilosa (bk)
1,30c
1,61bc
1,50c
1,64bc
bc

1,63
1,80bc
2,02ab
2,23ab
1,85bc
2,12ab
2,32ab
2,36ab
1,87bc
2,28ab
2,48ab
2,51ab

7,2bc
7,6b
7,7b

28,0
32,2
33,0

7,5b
7,6b
8,4a
8,5a
8,4a
7,8b
8,1ab
8,3a
8,3a
7,8b
8,1ab
8,3a
8,1ab

34,0
28,1
27,3
29,5
33,7
26,9
33,7
28,9
35,9
27,6
32,8
33,2
32,5

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

aplikasi ke dalam produk pangan, amilosa terutama berperan
terhadap tekstur produk. Hal ini seperti yang dinyatakan Baik
dan Lee (2003), bahwa semakin tinggi kadar amilosa, produk
memiliki tekstur yang semakin padat. Hal ini disebabkan
semakin tinggi kadar amilosa, kapasitas penyerapan air dan
elastisitas semakin menurun sehingga kekerasan semakin
meningkat. Pada penelitian ini, kadar amilosa tidak berbeda
nyata antar perlakuan, sedangkan kadar patinya berbeda
nyata. Perubahan kadar pati tidak ditunjukkan oleh adanya
perbedaan nyata pada kadar amilosa.
Rendemen
Media fermentasi dan waktu fermentasi berpengaruh
nyata terhadap rendemen tepung jagung yang dihasilkan,
sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen. Gambar 1 menyajikan rata-rata
rendemen tepung jagung berdasarkan media fermentasi.
Fermentasi jagung secara spontan menghasilkan rendemen
tepung jagung paling rendah (36%) yang dihasilkan pada
waktu perendaman selama 20 jam, sedangkan fermentasi
jagung menggunakan Lactobacillus casei menghasilkan
rendemen paling tinggi (55,2%) yang dihasilkan pada waktu
perendaman 60 jam. Adanya bakteri-bakteri asam laktat
(termasuk L. bulgaricus dan L.casei) mampu mendegradasi
dinding sel jagung, sehingga granula pati keluar dari sel
yang mempermudah proses penggilingan. L. bulgaricus
dan L. casei juga memiliki kemampuan mendegradasi pati
yang terkandung dalam media pertumbuhannya menjadi gula
sederhana, mendegradasi protein dan peptida menjadi asam
amino (Ganzle dkk., 2008).
Selama fermentasi jagung dengan ragi tape juga terjadi
perombakan pada struktur jagung yang diakibatkan oleh
aktiitas mikroorganisme. Ragi tape mengandung mikrobia,
seperti Saccharomyces cereviciae yang dapat menghidrolisis
pati menjadi gula. Menurut Sandhu dkk. (2007), adanya
penurunan kandungan komponen saat fermentasi, diduga
disebabkan adanya perombakan bahan organik oleh
mikroorganisme.

60

51.4b

40

55.2a

47.1c

50
Rendemen (%)

Kadar abu tepung jagung berkisar antara 0,13 sampai
0,35% (Tabel 1). Hasil tersebut sesuai dengan SNI 01-3727
(1995) untuk tepung jagung yaitu kadar abu maksimum
1,5%. Terjadi penurunan kadar abu pada akhir fermentasi
bukan karena proses fermentasinya tetapi karena adanya
pelepasan mineral pada saat perendaman. Hal tersebut sesuai
dengan Aini dkk. (2010), bahwa pada saat proses fermentasi,
terjadi leaching sebagian mineral pada air perendaman. Hasil
tersebut juga mendukung De Angelis dkk. (2006), bahwa
kadar abu tidak dipengaruhi oleh fermentasi kecuali pada saat
proses fermentasi tersebut ditambahkan garam dan terjadi
leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang
difermentasi.
Kadar protein terlarut tepung jagung berkisar antara
1,30 sampai 2,51%. Fermentasi dapat meningkatkan kadar
protein terlarut karena saat proses fermentasi Lactobacillus
casei akan merombak substrat berupa pati dan menghasilkan
sejumlah besar asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan
akan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya
(Corsetti dan Settani, 2007). Dengan kondisi demikian,
protein yang terlarut terhidrolisis menjadi asam amino
sehingga kadar protein terlarut dalam sampel meningkat.
Chelule dkk. (2010) melaporkan bahwa penggunaan bakteri
asam laktat dalam proses fermentasi dapat meningkatkan
palatabilitas makanan dan meningkatkan kualitas makanan
yaitu peningkatan ketersediaan protein dan vitamin.
Semakin lama waktu yang digunakan, semakin tinggi
kadar protein terlarut dari tepung yang dihasilkan. Semakin
lama fermentasi, asam laktat yang dihasilkan semakin
banyak, namun apabila terlalu lama akan mempengaruhi rasa
dan aroma tepung yang dihasilkan.
Kadar protein total tepung jagung berada pada kisaran
7,19 sampai 8,46%. Kadar protein tepung jagung ini lebih
tinggi dibandingkan dengan Richana dkk. (2010) yaitu 5,076,84%; akan tetapi lebih rendah dibandingkan hasil oleh
Aini dkk. (2010), yaitu 8,7-10%; serta menurut Singh dkk.
(2009) yaitu 5,4 sampai 12,9%. Tepung jagung memiliki
kadar protein hampir setara dengan tepung terigu berprotein
rendah, yaitu 8 sampai 11%, sehingga dapat diaplikasikan
ke beberapa produk pangan yang memerlukan tepung terigu
berkadar protein rendah dan tidak mengalami pengembangan.
Tepung jagung terfermentasi memiliki kadar amilosa
26,9 sampai 35,9%. Hasil ini sesuai dengan Aini dkk. (2010)
yang menyatakan bahwa kadar amilosa jagung putih Lokal
Canggal adalah 31,05%. Pada penelitian ini, waktu fermentasi
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa, sedangkan
menurut Aini dkk (2010), fermentasi jagung selama 72 jam
menurunkan kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan
aktivitas mikroorganisme yang bersifat amilolitik.
Amilosa merupakan polimer linier dari α-D glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan α-(1- 4)-D-glukosa. Pada saat

36c

30
20
10
0
air

ragi tape

L. bulgaricus

L. casei

Media fermentasi

Gambar 1. Rendemen tepung jagung yang diproses dengan variasi media
fermentasi

163

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

Rendemen (%)

Fermentasi jagung selama 60 jam menghasilkan
tepung jagung yang memiliki rendemen terbanyak (49,5%)
dibandingkan fermentasi jagung selama 20 (40,1%), 40
(42,4%) dan 80 jam (47,5%) (Gambar 2). Fermentasi
menyebabkan biji jagung mengembang sehingga biji menjadi
lebih lunak. Menurut Singh dkk. (2009), perendaman butiran
jagung pada proses fermentasi mengubah bagian yang
keras pada endosperm (horny endosperm) menjadi bagian
yang lunak (loury endosperm) dan lebih mudah digiling.
Hal tersebut mengakibatkan adanya peningkatan rendemen
dengan meningkatnya waktu fermentasi yang mengikuti
persamaan y = 0,146x + 37,55(R² = 0,75).

60
50
40
30
20
10
0

y = 0.1465x + 37.55
R² = 0.7503

0

20

40

60

80

100

Waktu fermentasi (jam)

Gambar 2. Perubahan rendemen tepung jagung selama fermentasi

Kapasitas penyerapan minyak (%)

Larutan yang digunakan sebagai media fermentasi
0.5815x
+ 105.45yang mengakibatkan biji
masuk kedalamy =biji
jagung,
mengembang dan menjadi lunak. Semakin lama proses
fermentasi, semakin banyak cairan yang masuk ke dalam
biji sehingga memudahkan proses penghancuran biji dan
dihasilkan rendemen tepung yang lebih banyak. Proses
fermentasi melunakkan struktur jagung awal yaitu kristalin
yang memiliki tekstur keras menjadi lebih amorf yang
fermentasi dapat meningkatkan
memiliki tekstur lunak Waktu
sehingga
rendemen tepung jagung. Semakin lama fermentasi pada
jagung menghasilkan rendemen tepung jagung yang
dihasilkan semakin banyak. Hal ini sesuai dengan Singh
dkk. (2009) bahwa fermentasi melunakkan struktur jagung
sehingga proses penggilingan menjadi lebih mudah sehingga
semakin lama proses fermentasi, tepung jagung lebih banyak
terdistribusi pada ukuran partikel yang kecil. Fermentasi
selama 80 jam menghasilkan rendemen tepung jagung sedikit
lebih rendah daripada fermentasi selama 60 jam paling
rendah, kemungkinan karena adanya leaching jagung dalam
media perendam, seperti yang dinyatakan bahwa Yuan dkk
(2008) bahwa fermentasi butiran jagung dalam air dapat
mengakibatkan proses leaching.
Kapasitas Penyerapan Air
Media fermentasi, lama fermentasi dan interaksi
antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas

164

penyerapan air tepung jagung termodiikasi. Tepung jagung
termodiikasi memiliki kapasitas penyerapan air berkisar
117,8-146,1% bk.
Kapasitas penyerapan air merupakan kemampuan untuk
menyerap air dan menahannya dalam suatu sistem pangan.
Penyerapan dan pengikatan air merupakan salah satu sifat
fungsional protein. Kapasitas penyerapan air menentukan
jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama
pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel
tidak mencapai kondisi optimum.
Kapasitas penyerapan air juga mempengaruhi
kemudahan dalam penghomogenan adonan tepung ketika
dicampurkan dengan air. Tepung dengan daya serap air
yang tinggi cenderung lebih cepat dihomogenkan. Adonan
homogen ini akan berpengaruh terhadap kualitas hasil
pengukusan. Tepung yang homogen, setelah dikukus akan
mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak
terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan
yang telah dikukus (Tam dkk., 2004).
Proses fermentasi cenderung menyebabkan peningkatan
kapasitas penyerapan air tepung jagung termodiikasi. Jagung
yang mengembang akibat menyerap air selama perendaman
memudahkan penyerapan air karena pecahnya molekul
kompleks menjadi lebih sederhana. Menurut Chelule
dkk. (2010), semakin lama waktu fermentasi, degradasi
makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana
semakin besar. Makromolekul yang tadinya relatif kompak
menjadi agak berporous karena terpecah menjadi molekul
sederhana berbobot massa kecil sehingga agak renggang dan
lebih mudah menyerap air.
Kapasitas Penyerapan Minyak
Waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kapasitas
penyerapan minyak tepung jagung, sedangkan media
fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.
Kapasitas penyerapan minyak memiliki kecenderungan
meningkat selama proses fermentasi (Gambar 3). Kapasitas
penyerapan minyak dipengaruhi kadar protein dan lemak,
seperti yang dinyatakan Aini dkk. (2010) bahwa semakin besar
kadar lemak atau protein, semakin besar kapasitas penyerapan
minyak. Hal ini berhubungan dengan mekanisme kapasitas
penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan minyak
secara isik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas
protein. Hal ini juga sesuai dengan Sirivongpaisal (2008)
yang menyatakan bahwa kapasitas penyerapan minyak pada
tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati bambara
groundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi
pada tepung, yang dapat memerangkap lebih banyak minyak.
Kapasitas penyerapan minyak juga dipengaruhi
struktur pati. Jagung yang mengembang akibat menyerap
air selama perendaman juga memudahkan penyerapan

minyak karena pecahnya molekul kompleks menjadi lebih
sederhana. Menurut
Chelule +dkk.
(2010), semakin lama
y = 0.1465x
37.55
waktu fermentasi, degradasi makromolekul menjadi molekul
yang lebih sederhana semakin besar. Makromolekul yang
tadinya relatif kompak menjadi agak berporous karena
terpecah menjadi molekul sederhana berbobot massa kecil
sehingga agak renggang dan lebih mudah menyerap minyak.
fermentasi
Kapasitas penyerapan Waktu
minyak
tepung(jam)
jagung ini memiliki
korelasi tinggi dengan waktu fermentasi jagung, yang dapat
dinyatakan dengan persamaan y =0,581x + 105,4 (R2 = 0969).

Kapasitas penyerapan minyak (%)

200
y = 0.5815x + 105.45
R² = 0.9697

150

Swelling power

Rendemen (%)

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

16.0
14.0
12.0
10.0
8.0

6.0
4.0
2.0
0.0
0

spontan

ragi tape

L. bulgaricus

L. casei

20

40
60
80
Waktu fermentasi (jam)

100

Gambar 4. Swelling power tepung jagung termodiikasi yang dipengaruhi
jenis dan waktu fermentasi

100
50
0
0

20

40

60

80

100

Waktu fermentasi

Gambar 3. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dipengaruhi
lama fermentasi

Penyerapan minyak merupakan sifat penting dalam
formulasi makanan karena dapat memperbaiki lavor
dan mouthfeel makanan. Menurut Odoemelam (2003),
pada umumnya protein yang bersifat hidrofobik memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam mengikat minyak.
Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung ini lebih besar
daripada tepung terigu, yaitu 84,2%.
Swelling Power
Swelling power tepung jagung dipengaruhi oleh
interaksi antara jenis fermentasi dan waktu fermentasi jagung
pada pembuatan tepung jagung termodiikasi. Interaksi
kombinasi perlakuan pengolahan tepung jagung termodiikasi
berkisar antara 10,5 sampai 15% (Gambar 4).
Tepung jagung yang dibuat melalui fermentasi
menggunakan ragi tape memiliki peningkatan swelling power
lebih tajam setelah 40 jam fermentasi (Gambar 4). Ragi tape
mengandung enzim selulase yang dihasilkan oleh Aspergillus
sehingga mampu merombak selulosa yang terdapat pada
jagung. Hal tersebut mengakibatkan granula pati jagung
lebih porous sehingga mampu menyerap air pada saat pati
dipanaskan. Pengembangan granula pati juga disebabkan
masuknya air kedalam granula dan terperangkap pada
susunan molekul penyusun pati.
Swelling power dipengaruhi oleh kadar lemak dan pati
dalam tepung jagung. Kadar pati yang cukup tinggi (73,34

sampai 80,43%) mengakibatkan swelling power tepung jagung
dengan jenis perendam bakteri asam laktat cukup rendah.
Hubungan swelling power dengan kadar lemak menunjukkan
bahwa ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi, maka
terjadinya pengembangan (swelling) semakin cepat (Sung
dan Stone, 2004).
Semakin lama proses fermentasi jagung, semakin besar
swelling power tepung jagung termodiikasi. Hal ini diduga
karena semakin lama proses fermentasi maka semakin banyak
pati yang dipecah. Pemecahan pati mampu meningkatkan
swelling power karena granula pati yang terpecah mampu
mengikat air pada saat dipanaskan.
Swelling power dipengaruhi oleh adanya pemecahan
granula pati, amilosa dan amilopektin yang mampu berikatan
dengan air pada saat terjadi proses pemanasan. Daya
ikat tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (1)
perbandingan amilosa dan amilopektin, (2) bobot molekul
amilosa dan amilopektin, (3) distribusi bobot molekul, (4)
derajat percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekul
amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan
ikatan (Yuan dkk., 2008).
Sifat Gelatinisasi Tepung Jagung
Pengukuran sifat gelatinisasi dilakukan untuk
mengetahui karakter tepung jagung selama pemasakan.
Parameter yang diamati meliputi suhu awal gelatinisasi,
viskositas maksimum, suhu puncak gelatinisasi, breakdown
viskosity, dan setback viscosity. Data hasil pengukuran sifat
gelatinisasi ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Suhu dan Waktu Awal Gelatinisasi; Suhu Puncak
Gelatinisasi
Suhu awal gelatinisasi menunjukkan suhu awal
meningkatnya viskositas pati saat dipanaskan atau
awal terjadinya gelatinisasi. Waktu pertama kali terjadi

165

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

Tabel 2. Sifat gelatinisasi tepung jagung
Viskositas
maksimum (BU)

Breakdown
viscosity (BU)

Setback
viscosity (BU)

Waktu awal
gelatinisasi (menit)

suhu awal
gelatinisasi (oC)

suhu puncak
gelatinisasi (oC)

F1T1
F1T2
F1T3
F1T4
F2T1
F2T2

3068,5
2350,0
2811,5
2747,5
3143,0
2753,0

1412,0a
764,5e
1301,5b
1151,5c
1489,5a
1298,5b

2682,5
2092,5
2006,0
1951,5
2715,0
2015,0

78,8
83,9
81,3
82,3
78,7
80,3

81,7
86,5
88,5
86,2
81,8
87,4

F2T3
F2T4
F3T1
F3T2
F3T3
F3T4
F4T1
F4T2
F4T3
F4T4

2768,5
2751,5
2802,5
2293,0
2435,5
2182,5
1987,0
1736,0
1646,0
2123,0

1279,0b
1286,5b
716,5e
736,0e
832,5e
701,5e
745,0e
982,0d
402,0f
745,0e

1989,0
1803,0
2229,5
2097,0
2114,0
1878,5
1624,0
1738,0
1575,0
1620,0

7,5b
8,5ab
8,3ab
8,6a
7,9b
8,1b
8,5ab

83,0
85,3
81,7
78,1
85,5
78,1
78,5
76,0
72,0
75,0

85,5
87
84,8
85,9
87,3
86,4
82,5
83,5
74,0
78,0

Sampel

a

9,3
8,1b
7,5b
9,5a
7,8b
7,5b
7,5b
6,5c
7,3

Keterangan F1 : fermentasi spontan (menggunakan air)
F2 : fermentasi menggunakan ragi tape
F3 : fermentasi menggunakan Lactobacillus bulgaricus
F4 : fermentasi menggunakan Lactobacillus casei
T1 : 20 jam
T2 : 40 jam
T3 : 60 jam
T4 : 80 jam

kenaikan viskositas disebut waktu awal gelatinisasi.
Peningkatan viskositas disebabkan terjadi penyerapan air
dan pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam
air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat
daripada daya tarik menarik pati di dalam granula.
Saat suspensi pati mencapai viskositas maksimum
yaitu pada waktu granula pati mencapai pengembangan
maksimum hingga selanjutnya pecah, saat itu dicapai suhu
puncak gelatinisasi. Granula pati mengalami pengembangan
dan semakin lama perendaman bagian yang amorf, terutama
amilosa dapat mengalami leaching.
Suhu awal gelatinisasi tepung jagung termodiikasi
berada pada kisaran 72-85,5 oC yang dapat dicapai selama
7,5-9,5 menit. Suhu awal gelatinisasi ini mendekati suhu
gelatinisasi tepung jagung termodiikasi spontan selama
0-72 jam, yaitu pada range 76,2-85,2 oC. Nilai suhu awal
gelatinisasi paling rendah (72 oC) dicapai melalui fermentasi
menggunakan Lactobacillus casei selama 60 jam. Suhu awal
ini lebih tinggi dari suhu awal gelatinisasi tepung jagung
tanpa modiikasi menurut Sandhu dkk. (2007) yaitu 60-

166

72 oC. Penurunan suhu gelatinisasi merupakan akibat dari
melemahnya struktur selama proses fermentasi. Selama
fermentasi jagung, granula pati mengalami pengembangan,
dan semakin lama perendaman bagian amilosa yang amorf
dapat mengalami leaching. Adanya leaching mengakibatkan
partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah tergelatinisasi
sehingga suhu gelatinisasi menurun.
Suhu awal gelatinisasi tepung jagung termodiikasi
lebih tinggi daripada tepung jagung non modiikasi, namun
tidak memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan proses
pemasakan. Hal ini dapat dilihat dari suhu puncak gelatinisasi
tepung jagung yang tidak berbeda jauh dengan suhu awal
gelatinisasi, yaitu 74-88,5 oC. Tepung jagung tanpa modiikasi
memiliki suhu puncak gelatinisasi 82 oC.
Tepung jagung termodiikasi menggunakan Lactobacillus
casei selama 60 jam memerlukan waktu awal gelatinisasi
paling singkat (6,5 menit) dan suhu puncak gelatinisasi paling
rendah (74 oC). Waktu gelatinisasi yang singkat ini akan
menurunkan biaya, sedangkan suhu gelatinisasi yang rendah
akan mempersingkat proses pengolahan.

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar lemak dan
kadar amilosa tepung jagung termodiikasi, seperti yang
dinyatakan Aini dkk (2010). Keberadaan lemak menyebabkan
suhu puncak meningkat, sebab komplek amilosa-lemak
cenderung mencegah terjadinya pengembangan granula
pati secara berlebihan. Daya ikat tersebut dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu (1) perbandingan amilosa dan
amilopektin, (2) bobot molekul amilosa dan amilopektin, (3)
distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, dan (5)
panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat
berperan dalam kumpulan ikatan.
Viskositas Maksimum
Pada saat suspensi pati dipanaskan, granula yang
mulai mengembang sejak mencapai suhu gelatinisasi akan
terus mengembang. Selama gelatinisasi, amilosa mengalami
leaching dari granula pati dan bersama amilopektin menjadi
sangat terhidrasi. Hal tersebut mengakibatkan suspensi
menjadi lebih jernih dan viskositas meningkat terus sampai
mencapai puncak, saat granula mengalami hidrasi maksimum.
Viskositas maksimum merupakan titik puncak
viskositas adonan pada proses pemanasan yang merupakan
indikator kemudahan jika dimasak. Viskositas maksimum
juga menunjukkan kekuatan adonan, yang terbentuk dari
gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan.
Viskositas maksimum tepung jagung termodiikasi
berada pada kisaran 1646 -3143 BU. Tepung jagung yang
difermentasi menggunakan Lactobacillus casei selama 60
jam memiliki viskositas maksimum terendah (1646 BU).
Viskositas maksimal tepung jagung termodiikasi yang
rendah diharapkan lebih memudahkan aplikasinya pada
produk pangan (Yuan dkk., 2008).
Viskositas maksimum tepung jagung turun dengan
adanya fermentasi (Tabel 2). Selama fermentasi terjadi
leaching pati, terutama granula pati yang bersifat amorf
yaitu amilosa sehingga viskositas maksimum tepung
jagung terfermentasi menggunakan ragi tape, Lactobacillus
bulgaricus dan Lactobbacillus casei lebih rendah dibanding
yang direndam air. Hal ini sejalan dengan Onyango dkk.
(2003) bahwa pada fermentasi sereal menjadi ogi terjadi
penurunan viskositas. Dufour (2006) juga menyatakan bahwa
pada adonan ubi kayu yang difermentasi, terjadi penurunan
viskositas maksimum.
Viskositas maksimum dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antara lain kadar amilosa, kadar protein, kadar lemak, dan
ukuran granula (Aini dkk., 2010). Pengembangan granula
terutama dipengaruhi oleh keberadaan lemak dalam bahan
yang mampu menghalangipengembangan granula dengan
membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak sehingga
dihasilkan viskositas maksimum yang rendah (Baah, 2009).
Pati deproteinasi mempunyai viskositas lebih tinggi karena

pengembangan lebih besar karena protein dapat menghambat
pengembangan pati dan peningkatan viskositas selama
pemanasan.
Breakdown dan Setback Viscosity
Breakdown viscosity merupakan penurunan viskositas
yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas
terendah ketika suspensi dipanaskan pada 95 oC selama 10
menit. Breakdown viscosity menggambarkan kestabilan pasta
pati terhadap proses pemanasan. Semakin rendah breakdown
viscosity, maka pati semakin stabil pada kondisi panas. Nilai
breakdown viscosity besar menunjukkan bahwa granulagranula tepung yang telah membengkak bersifat rapuh dan
tidak tahan terhadap pemanasan.
Breakdown viscosity tepung jagung termodiikasi
berada pada kisaran 402-1489 BU. Tepung jagung yang
dibuat melalui proses fermentasi menggunakan Lactobacillus
casei memiliki breakdown viscosity paling rendah (402 BU)
sehingga paling stabil terhadap pemanasan.
Setback viscosity adalah kenaikan viskositas ketika
pasta pati didinginkan yang disebabkan oleh retrogradasi
pati. Menurut Singh dkk. (2009), selama pendinginan, antar
molekul pati terutama amilosa akan berkumpul kembali
menghasilkan pembentukan struktur gel dan viskositas
meningkat. Peningkatan viskositas saat pendinginan
menunjukkan kecenderungan berkumpulnya kembali pati yang
mereleksikan kecenderungan produk untuk teretrogradasi.
Setback viscosity digunakan untuk mengukur
kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari pasta.
Semakin tinggi setback viscosity, proses retrogradasi semakin
kuat dan bila nilainya semakin negatif, yang terjadi adalah
proses sineresis. Retrogradasi adalah proses kristalisasi
kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan
sineresis adalah keluarnya air dari granula-granula pati.
Nilai setback viscosity tepung jagung termodiikasi
berada pada kisaran 1575 - 2715 BU. Tepung jagung yang
dibuat melalui fermentasi menggunakan Lactobacillus casei
selama 60 jam memiliki setback viscosity terendah (1575
BU). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung tersebut
memiliki stabilitas paling baik terhadap retrogradasi.
Beberapa karakter kimia tepung mempengaruhi stabilitas
tepung selama pemanasan dan pendinginan (breakdown dan
setback viscosity), yang paling utama adalah kadar lemak dan
amilosa. Hal ini didukung oleh Singh dkk. (2009) bahwa
pembentukan kompleks amilosa-lipid akan menghambat
pengembangan granula pati. Pada saat gelatinisasi, amilosa
keluar dari granula pati dan membentuk kompleks inklusi
amilosa-lemak. Pembentukan kompleks ini mengurangi
kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan
selama pemanasan.

167

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

Pembahasan Umum
Tepung jagung termodiikasi memiliki kecenderungan
berbeda dengan tepung jagung alami. Proses fermentasi
dapat memecah komponen-komponen kompleks menjadi
lebih sederhana sehingga dapat mengubah sifat kimia, isik
dan fungsional tepung jagung. Penambahan bahan perendam
seperti ragi tape, Lactobacillus bulgaricus dan Lactobacillus
casei mampu menghasilkan enzim yang dapat mempercepat
proses degradasi.
Tepung jagung yang dibuat melalui fermentasi
menggunakan Lactobacillus casei selama 60 jam memiliki
karakter yang cukup baik seperti suhu puncak gelatinisasi
lebih rendah dan waktu gelatinisasi lebih singkat dibanding
tepung jagung tanpa modiikasi. Waktu gelatinisasi yang
singkat akan menurunkan biaya, sedangkan suhu gelatinisasi
yang rendah akan mempersingkat proses pengolahan. Tepung
jagung tersebut juga stabil selama pemanasan, ditunjukkan
dari breakdown viscosity yang rendah. Karakter positif
yang lain dari tepung jagung yang dibuat melalui fermentasi
menggunakan Lactobacillus casei tersebut adalah tahan
terhadap retrogradasi dan sineresis, yang ditunjukkan dari
nilai setback viscosity rendah.
Karakter lain tepung jagung termodiikasi tersebut
adalah kapasitas penyerapan air rendah sedangkan kapasitas
penyerapan minyak tinggi. Tepung dengan karakteristik
fungsional seperti itu yang cocok diaplikasikan pada biskuit.
Hal ini disebabkan tepung yang mampu mengikat minyak lebih
besar maka akan mampu mengikat bahan tambahan seperti
telur dan margarine secara optimum. Kapasitas penyerapan
air yang rendah mengakibatkan pada proses pengolahan tidak
banyak menyerap air sehingga densitas kamba produk rendah
dan konsumen tidak cepat merasa kenyang.
KESIMPULAN
Tepung jagung yang memiliki sifat fungsional terbaik
(dilihat dari sifat gelatinisasinya) adalah tepung jagung
yang dihasilkan dengan metode fermentasi menggunakan
Lactobacillus casei selama 60 jam. Sifat gelatinisasi tepung
jagung tersebut adalah: suhu awal gelatinisasi 72 oC,
viskositas maksimum 1646 BU, suhu puncak gelatinisasi
74 oC, breakdown viscosity 402 BU dan setback viscosity
1575 BU. Tepung jagung memiliki kadar air 7,68%, kadar
abu 0,27%, kadar protein terlarut 2,48%, protein total 8,27%,
kadar amilosa 33,1%, kapasitas penyerapan air 117,8%,
kapasitas penyerapan minyak 149,5% dan swelling power
13,8%.

168

UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana penelitian
melalui Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 2012-2013,
dan kepada Vanessa Len Cahya serta Chatarina Dety Aprilia
yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, N., Hariyadi, P., Muchtadi, T.R. dan Andarwulan, N.
(2010). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung
putih dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan 21: 18-24.
AOAC International (2007). Oficial Methods of Analysis 18th
Ed. Gaithersburg, MD, Method 2007.04
Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati
dan Budiyanto S. (1989). Analisa Pangan. IPB Press,
Bogor.
Baah, D.F. (2009). Characterization of Water Yam (Dioscorea
atalata) for Existing and Potensial food Products.
Thesis. Faculty of Biosciences, Kwame Nkrumah
University, Nigeria.
Badan Pusat Statistik (2014).
https://www.bps.go.id/
linkTableDinamis/view/id/868. [Diakses 4 Desember
2012]
Badan Standarisasi Nasional (1995). Standar Nasional
Indonesia. SNI 01-3727-1995 Tepung Jagung. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta
Baik, Byung-K. dan Lee, Mee-R. (2003). Effects of starch
amylose content of wheat on textural properties of
white salted noodles. Cereal Chemistry 80(3): 304-309.
Chanvrier, H., Valley, G.D. dan Lourdin. D. (2006).
Mechanical behaviour of corn lour and starch–zein
based materials in the glassy state: A matrix–particle
interpretation. Carbohydrate Polymers 65(3): 346-356.
Chelule, P.K., Mokoena, M.P. dan Ggaleni, N. (2010).
Advantages of traditional lactic acid bacteria fermentation
of food in Africa. Current Research, Technology
and Education Topics in Applied Microbiology and
Microbial Biothecnology 2: 1160-1167.
Corsetti, A. dan Settani, L. (2007). Lactobacilli in sourdough
fermentation. Food Research International 40: 539558.

AGRITECH, Vol. 36, No. 2, Mei 2016

De Angelis, M., Coda, R., Silano, M., Minervini, F., Rizzello,
C.G., Di Cagno, R., Vicentini, O., De Vincenzi, M.
dan Gobbetti, M. (2006). Fermentation by selected
sourdough lactic acid bacteria to decrease coeliac
intolerance to rye lour. Journal of Cereal Science 43:
301-314.
Dufour, D., Larsonneur, S., Alarcon, F., Brabet, C. dan Chuzel,
G. (2006). Improving the bread-making potential of
cassave sour starch. Dalam: Cassava Flour and Starch:
Progress in Research and Development. http://www.
ciat.cgiar.org/agroempresas/pdf/cassava_flour/pdf.
[Diakses 30 Maret 2006].
Ganzle, M.G., Loponen, J. dan Gobbetti, M. (2008).
Proteolysis in sourdough fermentations: mechanisms
and potential for improved bread quality. Trends in
Food Science and Technology 19: 513-521.
Gerez, L.C., Rollan, G.C. dan Font de Valdez, G. (2006).
Gluten breakdown by Lactobacilli andpediococci
strains isolated from sourdough. Letters in Applied
Microbiology 42(5): 459-464.
Hung, P.V. dan Morita, N. (2004). Dough properties and
bread quality of lours supplemented with cross-linked
cornstarches. Food Research International 37(5): 461467.
Kadan, R.S., Bryant, R.J., Pepperman, A.B.
(2003).
Functional properties of extruded rice lours. Journal of
Food Science 68(5): 1669-1672.
Odoemelam, S.A. (2003). Chemical composition and
functional properties ofconophor nut (Tetracarpidium
conophorum) lour. International Journal of Food
Science and Technology 38(6): 729-734.
Onyango C., Okoth, M.W. dan Mbugua, S.K. (2003). The
pasting behaviour of lactic-fermented and dried uji (an
East African sour porridge). Journal of the Science of
Food and Agriculture 83: 1412-1418.

Richana, N., Budiyanto, A. dan Mulyawati, I. (2010).
Pembuatan tepung jagung termodiikasi dan
pemanfaatannya untuk roti. Prosiding Pekan Serealia
Nasional.
Sandhu, K.S., Singh, N. dan Malhi, N.S. (2007).
Some properties of corn grains and their lours I:
physicochemical, functional and chapati-making
properties of lours. Food Chemistry 101(3): 938-946.
Singh, N., Bedi, R., Garg, R., Garg, M. dan Singh, J. (2009).
Physico-chemical, thermal and pasting properties of
fractions obtained during three successive reduction
milling of different corn types. Food Chemistry 113(1):
71-77.
Sirivongpaisal, P. (2008). Structure and functional properties
of starch and lour from bambarra groundnut.
Songklanakarin Journal of Science and Technology 30:
51-56.
Suliantari dan Rahayu, W.P. (1990). Teknologi Fermentasi
Umbi-umbian dan Biji-bijian. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sung, C.W. dan Stone, M. (2004). Characterization of legume
starches and theirnoodle quality. Journal of Marine
Science and Technology 12(1): 25-32.
Tam, L.M., Corke, H., Tan, W.T., Li, J. dan Collado, L.S.
(2004). Production of bihon-type noodle from maize
starch differing in amylosa content. Cereal Chemistry
81(4): 475-480.
Yuan, M.L., Lu, Z.H., Cheng, Y.Q. dan Li, L.T. (2008). Effect
of spontaneous fermentation on the physical properties
of corn starch and rheological characteristics of corn
starch noodle. Journal of Food Engineering 85(1): 1217.

169