SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA SKRIPSI RATNA PUSPITASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
RATNA PUSPITASARI. D14202007. 2006. Skripsi. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Ir. Rukmiasih, MS
Pembimbing Anggota
: Zakiah Wulandari, S.TP., MSi
Telur merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan asam amino yang tinggi. Pengolahan telur banyak dilakukan dalam rangka memperpanjang umur simpan. Putih telur memiliki beberapa sifat fungsional diantaranya adalah berperan dalam pembentukan buih dan koagulasi. Pengeringan terhadap telur sering dilakukan dalam memperpanjang masa simpan telur. Proses pengeringan putih telur dapat mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard. Desugarisasi merupakan suatu proses dalam pembuatan tepung putih telur dengan menambahkan ragi roti instant (Saccharomyces sp.). Desugarisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi Maillard (pencoklatan) akibat proses pemanasan.
Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Laboratorium Pengolahan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian serta Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, SEAFAST Center (South East Asean Food Agricultural Science and Technology Center), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, mulai bulan Mei 2006 hingga Juni 2006.
Penelitian ini menggunakan telur ayam ras dengan umur satu hari sebanyak
96 butir. Hasil yang didapat dari masing-masing perlakuan diuji secara statistik dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga taraf perlakuan. Sebagai perlakuan adalah waktu desugarisasi 0; 1; 2.5 dan 4 jam. Hasil perbedaan rataan antar perlakuan dilakukan uji Duncan.
Data yang telah didapat dari masing-masing perlakuan secara statistik menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01) untuk peubah kadar air, pH setelah desugarisasi, pH tepung putih telur, rendemen, daya dan tirisan buih, sedangkan kecerahan tepung putih telur didapat hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Desugarisasi dengan waktu 1 jam pada penelitian ini merupakan proses desugarisasi yang paling baik dalam pembuatan tepung putih telur. Desugarisasi 1 jam menghasilkan kadar air (6,25), pH tepung putih telur (8,64) dan tirisan buih (3,23) yang paling rendah dengan daya buih yang dihasilkan paling tinggi (511,10). Nilai L (kecerahan) tepung putih telur dengan lama desugarisasi selama 1 jam tidak berbeda dengan desugarisasi 2,5 dan 4 jam.
Kata-kata kunci : Tepung putih telur ayam ras, sifat fisik, sifat fungsional, desugarisasi.
ABSTRACT Physical and Functional Characteristic of Hen Albumen Powder
with Different Time Desugarization
Puspitasari, R., Rukmiasih, and Z. Wulandari
This studi was aimed to examine physical and functional characteristic of hen albumen powder in different time desugarization to hen albumen (0; 1; 2.5 and 4 hours). This research was carried out at poultry science laboratory and animal product technology laboratory, processing food technology laboratory, and SEAFAST Center, University Agricultural Bogor. The experimental design was randomized complete block design. The collected data was analyzed using analysis of variance (ANOVA) which was folllowed by the Duncan`s test for any significant result. The result show that different time desugarization has very significantly effect (P<0,01) to water content, pH after desugarization, pH egg albumen powder, rendement, foaming capacity and foaming stability of hen albumen powder. The result show that different time desugarization has significantly effect (P<0,05) to brightness.
Keywords: hen albumen powder, physical characteristic, functional characteristic,
desugarization.
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA RATNA PUSPITASARI
D 14202007
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SIFAT FISIK DAN FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR AYAM RAS DENGAN WAKTU DESUGARISASI BERBEDA
Oleh RATNA PUSPITASARI
D 14202007
Skripsi ini telah disetujui dan telah disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 15 September 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Rukmiasih, MS
Zakiah Wulandari, S.TP., MSi
NIP 131 284 605
NIP 132 206 246
Dekan Fakultas Perternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc NIP 131 624 188
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 08 Juni 1984 di Cirebon. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ismail Ahmad Musyafa (Alm) dan Ibu Chaeriah Harun.
Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak di TK Islam Al-Azhar Cirebon pada tahun 1990, pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pekalangan
I Cirebon, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di SLTPN 16 Cirebon pada tahun 1999, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Mandiri Cirebon. Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 2002.
Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi anggota dan pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (HIMAPROTER), Ikatan Keluarga Cirebon, serta mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan, pelatihan dan seminar yang di laksanakan di Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi berjudul “Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda” pengolahan telur menjadi tepung belum lazim dilakukan di Indonesia. Pengolahan telur menjadi tepung telur mampu memperpanjang masa simpan, mempermudah dalam penanganan, serta mengurangi biaya transportasi.
Desugarisasi adalah suatu proses perombakan glukosa yang terkandung dalam putih telur dengan cara menambahkan ragi roti instant (Saccharomyces sp.) pada bahan. Proses desugarisasi dalam pembuatan tepung putih telur dilakukan untuk menghindari terjadinya reaksi Maillard (pencoklatan) putih telur akibat adanya proses pemanasan dalam pembuatan tepung putih telur.
Bogor, September 2006
Penulis
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Mekanisme Pembentukan Buih .................................................... 14
2. Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Pan Drying ....... 20
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pemenuhan gizi akan protein sangat penting di dalam tubuh. Sumber protein hewani dapat diperoleh diantaranya dengan mengkonsumsi daging dan telur. Telur sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki kandungan asam-asam amino yang lengkap dan seimbang, vitamin, serta daya cerna yang tinggi. Konsumsi masyarakat terhadap telur ayam relatif tinggi dan sering digunakan dalam pengolahan bahan pangan seperti pembuatan roti dan kue.
Telur merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Tingginya produksi telur di Indonesia, mencapai 66.636.000 ton pada tahun 2004 (Departemen Pertanian, 2004) merupakan alasan perlu dilakukannya pengolahan serta pengawetan terhadap telur untuk memperpanjang masa simpannya. Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan kadar air bahan pangan. Proses pengeringan telur terdiri dari beberapa metode diantaranya adalah metode pan drying. Pan drying atau pengeringan lapis tipis merupakan suatu metode pengeringan dengan menggunakan oven yang dilakukan secara sederhana.
Kelemahan yang dapat timbul pada proses pengeringan adalah akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan (Maillard) terjadi karena adanya reaksi gula pereduksi dengan gugus amina primer sehingga menghasilkan senyawa melanoidin yang menyebabkan warna coklat akibat pemanasan. Proses yang dilakukan dalam mencegah terjadinya reaksi Maillard adalah dengan melakukan desugarisasi.
Desugarisasi adalah suatu proses penghilangan glukosa yang terdapat pada putih telur dengan cara menambahkan Saccharomyces sp. yang dilakukan sebelum proses pengeringan. Proses desugarisasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik dan fungsional akibat adanya pemecahan glukosa yang terdapat di dalam putih telur. Lama desugarisasi diperkirakan mempengaruhi sifat fisik dan fungsional tepung putih telur yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap lama desugarisasi yang berbeda untuk memaksimalkan sifat fisik dan fungsional tepung putih telur.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh lamanya waktu desugarisasi terhadap kadar air, nilai pH, rendemen, waktu rehidrasi, kecerahan, daya dan tirisan buih dari tepung putih telur.
TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Gizi Telur Ayam
Telur merupakan protein hewani yang memiliki kandungan asam-asam amino yang lengkap dan seimbang. Telur adalah sumber protein hewani yang dapat dijangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Telur merupakan bahan utama yang sering digunakan pada proses pembuatan kue, roti. Zat-zat makanan yang terdapat pada telur sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti protein, mineral, vitamin, lemak, serta memiliki daya cerna yang tinggi (Sirait, 1986).
Telur secara fisik dibagi menjadi tiga komponen yaitu kerabang telur (egg shell) 12,3, putih telur (egg white) 55,8, dan kuning telur (egg yolk) 31,9 (Stadelman dan Cotterril, 1995). Kerabang telur merupakan bagian paling keras dan kaku. Kerabang memiliki fungsi utama sebagai pelindung isi telur terhadap kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat. Kerabang telur memiliki banyak pori-pori. Jumlah pori-pori
pada kerabang bervariasi antara 100-200 buah per cm 2 (Winarno dan Sutrisno, 2002).
Kuning telur berbentuk bulat dengan warna kuning atau oranye dan terletak pada pusat telur dan bersifat elastis. Warna kuning pada kuning telur disebabkan oleh kandungan pigmen karotenoid yang berasal dari pakan. Posisi kuning telur akan bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987).
Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun dari lapisan encer luar (23,2), lapisan kental luar (57,3), lapisan encer dalam (16,8), dan lapisan kental dalam atau khalazaferous (2,7) (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Zayas (1997) komponen terbesar dalam putih telur mengandung protein dan air. Komposisi kimia yang terdapat dalam telur ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen penyusun putih telur sebagian besar tersusun oleh air. Air akan mempengaruhi daya simpan suatu bahan pangan. Air sangat berpengaruh dalam pengolahan dan pengawetan bahan pangan. Perbedaan tingkat kekentalan putih telur dipengaruhi oleh kandungan air yang menyusunnya (Romanoff and Romanoff, 1963). Telur mengandung komponen-komponen lain selain air dan protein seperti lemak, karbohidrat, kalsium, pospor, besi, vitamin A yang masing-masing jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan) Komposisi
Telur Utuh
Kuning Telur
Putih Telur
Kalori (Kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Pospor (mg)
Vitamin A (SI)
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
Komponen telur didalam produk pangan sangat penting. Hal yang penting dalam proses pangan komersil adalah sifat fungsional telur yang ditentukan oleh kondisi protein telur untuk berkoagulasi. Proses pemanasan, garam, asam, basa, atau pereaksi lain seperti urea (Winarno dan Sutrisno, 2002) yang dilakukan pada putih telur akan menyebabkan terjadinya koagulasi protein telur. Koagulasi disebabkan karena protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan antar molekul. Ikatan yang terbentuk yaitu ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida. Koagulasi yang terjadi karena panas disebabkan karena adanya reaksi antara protein dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein. Putih telur ayam akan mengalami
koagulasi pada suhu 62 o C selama 10 menit (Winarno dan Sutrisno, 2002).
Fungsi telur dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk menimbulkan buih, sebagai emulsifier, dan koagulasi (Matz, 1992). Protein putih telur memiliki komponen yang dapat memberikan kestabilan terhadap buih. Volume dan kestabilan buih menurut beberapa peneliti terdahulu, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Proses Pembuatan Tepung Putih Telur
Pengolahan telur banyak dilakukan diantaranya adalah dengan membuat tepung putih telur. Pengeringan telur bertujuan mengurangi dan mencegah aktivitas mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Pembuatan telur menjadi tepung telur dapat pula mengurangi ruang penyimpanan, mempermudah penanganan dan transportasi (Winarno dan Sutrisno, 2002). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) dan Berquist (1964) keuntungan pengeringan telur adalah mempermudah dan mengurangi ruang penyimpanan, menghemat biaya transportasi, memperpanjang daya simpan, mempermudah dalam penggunaannya. Proses yang dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur adalah pemisahan putih telur, pengaturan pH putih telur dengan menambahkan bahan kimia (asam sitrat) hingga memiliki nilai pH berkisar antara 6,0-7,0 (Stadelman dan Cotterill, 1995), pasteurisasi, desugarisasi, pengeringan, penggilingan dan kemudian menghasilkan tepung putih telur.
Pasteurisasi
Pasteurisasi pada produk pangan terutama telur telah lama digunakan. Tujuan dari perlakuan pasteurisasi adalah untuk membunuh beberapa bakteri patogen yang terdapat didalam produk yang berasal dari telur. Bakteri patogen utama yang difokuskan adalah Salmonella, karena bakteri ini secara umum berasosiasi dengan telur dan produk telur (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Pasteurisasi cairan telur utuh dan cairan kuning telur pertama kali dilakukan oleh industri pada tahun 1930. Tahap yang dilakukan pada proses pasteurisasi telur sama dengan pasteurisasi susu yaitu dengan menggunakan metode HTST. Suhu yang
digunakan dalam proses ini adalah 60 o
C. Suhu tersebut merupakan kondisi yang
efektif dalam pengolahan putih telur untuk membunuh bakteri Salmonella yang terdapat dalam telur. United States Departemen of Agriculture mengatakan bahwa suhu pemanasan yang sesuai dan digunakan pada proses pasteurisasi telur adalah
60 o C selama 3,5 menit. Pentingnya kombinasi yang tepat antara suhu dan waktu pasteurisasi adalah agar didapat hasil yang baik pada produk tersebut (Cunningham,
1995). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) perlakuan pemanasan pada putih telur mentah (tanpa fermentasi dan tanpa penambahan bahan lain) dengan kisaran suhu pasteurisasi dapat merusak sifat fungsional cairan putih telur.
Desugarisasi
Desugarisasi dilakukan sebelum proses pengeringan untuk menghilangkan glukosa yang terkandung dalam putih telur. Glukosa yang terkandung dalam putih telur akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard selama proses pengeringan, sehingga akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan seperti bau, cita rasa, warna, ketidaklarutan dan pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur (Buckle et al, 1987).
Desugarisasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang sesuai pada substrat organik. Terjadinya proses desugarisasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Menurut Fardiaz (1992) pertumbuhan khamir dibagi menjadi enam fase yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian. Khamir akan melakukan adaptasi untuk menyesuaikan kondisi substrat dan lingkungan sekitarnya. Waktu yang dibutuhkan pada fase adaptasi tergantung pada faktor medium, lingkungan, dan jumlah inokulum. Fase kedua adalah fase pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang terjadi pada fase ini masih relatif rendah karena khamir baru melakukan fase adaptasi. Fase ketiga yaitu fase pertumbuhan logaritmik. Pada fase ini khamir telah tumbuh dengan cepat dan konstan (optimal). Menurut Sa`id (1987) dan Feed (1991) proses desugarisasi terjadi secara optimal selama 45 menit (pada fase logaritmik). Fase keempat adalah pertumbuhan lambat yang dipengaruhi oleh zat nutrisi dalam medium yang sudah berkurang. Fase ini terjadi setelah 1-2 jam. Hal yang terjadi pada fase pertumbuhan tetap adalah sebagian khamir akan melakukan pertunasan. Fase terakhir dari pertumbuhan khamir adalah fase kematian. Sel akan mengalami kematian akibat kandungan nutrisi yang telah berkurang (Fardiaz, 1992).
Pertumbuhan Saccharomyces sp. dalam putih telur memerlukan beberapa nutrisi diantaranya adalah karbon. Karbon dapat diperoleh dari karbohidrat seperti glukosa, fruktosa, dan mannosa (Peppler, 1979). Saccharomyces sp. merupakan khamir yang memiliki bentuk oval. Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah nutrisi, pH, suhu, tersedianya oksigen, dan ada tidaknya
senyawa penghambat. Khamir dapat tumbuh pada suhu 25-30 o C (Fardiaz, 1992). Nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir menurut Fardiaz (1992) adalah
4,0-4,5 dan menurut Pelczar (1986) sebesar 3,8-5,6. Saccharomyces sp. dapat tumbuh dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Kondisi pertumbuhan khamir
secara anaerobik akan menghasilkan senyawa berupa alkohol (C 2 H 5 OH) dan CO 2 sedangkan pada kondisi aerobik akan menghasilkan senyawa berupa CO 2 dan H 2 O.
Proses desugarisasi sangat membantu dalam mempertahankan daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga dapat mempermudah dalam penanganan (Hill dan Sebring, 1973). Penambahan khamir sebanyak 1 dalam pembuatan tepung putih telur tidak akan mempengaruhi flavour yang dihasilkan (Stadelman dan Cotterill, 1995). Desugarisasi putih telur menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada konsentrasi 0,20-0,40 persen dari berat putih telur
segar serta inkubasi pada suhu 22-23 o C selama 2-4 jam dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta menghasilkan produk akhir yang bebas dari “yeast
flavor” (Hill dan Sebring, 1973).
Tepung putih telur yang telah mengalami proses desugarisasi setelah disimpan selama empat bulan pada suhu ruang masih memiliki warna seperti awal akan tetapi tepung putih telur yang tidak mangalami desugarisasi memiliki warna merah kecoklatan (Stuart dan Goresline, 1942).
Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air yang terkandung pada suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas. Proses pengeringan makanan merupakan salah satu cara dalam pengawetan makanan. Pengeringan terhadap telur sudah dilakukan sejak tahun 1880 di Amerika Serikat. Pengeringan telur akan menghasilkan produk berupa tepung telur atau telur bubuk. Proses pengeringan telur dilakukan untuk mengeluarkan air dari cairan telur dengan cara penguapan hingga kandungan air menjadi lebih sedikit.
Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung telur terdiri dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying, pengeringan secara lapis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying). Pengeringan semprot (spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung telur dan tepung kuning telur tetapi tidak dapat digunakan dalam pembuatan tepung Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung telur terdiri dari empat macam yaitu pengeringan semprot (spray drying), foaming drying, pengeringan secara lapis (pan drying) dan pengeringan beku (freeze drying). Pengeringan semprot (spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung telur dan tepung kuning telur tetapi tidak dapat digunakan dalam pembuatan tepung
Kelemahan-kelemahan pengeringan semprot (spray drying) adalah produk akhir tidak stabil dibandingkan pengeringan putih telur dengan melakukan desugarisasi terlebih dahulu, daya larut tepung putih telur sangat menurun karena terjadi penggumpalan akibat pengeringan pada suhu yang tinggi (Hadiwiyoto, 1983). Menurut Sirait (1986) suhu yang digunakan dalam pengeringan ini sekitar 110-
149 o
C. Kandungan air pada tepung putih telur dengan menggunakan metode spray drying adalah sebesar 4-8 (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Metode pengeringan secara lapis (pan drying) merupakan metode pengeringan yang mudah dilakukan dan membutuhkan biaya yang murah. Pengeringan ini dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur, tepung kuning telur maupun tepung telur. Pengeringan ini dilakukan dengan menggunakan oven. Suhu
yang digunakan pada pengeringan ini berkisar antara 45-50 o C (Berquist, 1964). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) suhu yang digunakan dalam pengeringan
pan drying adalah pada suhu sekitar 40-45 o C dengan tebal lapisan bahan sekitar 6 mm selama 22 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air 5.
Produk yang dihasilkan dari metode pan drying adalah remah putih telur, granular putih telur, dan tepung putih telur. Air yang terkandung pada remah putih telur sekitar 12,16 dengan pH 4,5-7,0 sedangkan kadar air tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying adalah dibawah 16 persen (Berquist, 1964).
Foaming drying dilakukan untuk pengeringan bahan yang bersifat cair dan dapat dibusakan seperti putih telur. Pembusaan ini dilakukan untuk memperluas permukaan dan mempercepat proses pengeringan. Suhu pengeringan yang digunakan
pada metode ini adalah 82,22 o C selama 12 menit. Kandungan air yang diperoleh pada pengeringan ini adalah sebesar 2-3 persen (Sirait, 1986).
Freeze drying merupakan proses pengeluaran air dari suatu produk dengan cara sublimasi dari bentuk beku menjadi uap. Metode ini banyak digunakan dalam proses pengeringan dan pengawetan bahan pangan untuk mempertahankan stabilitas, aroma, serta tekstur yang menyerupai bahan awal (Aman et al., 1992).
Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Menurut Wirakartakusumah Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Menurut Wirakartakusumah
Reaksi Maillard adalah urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, urutan proses ini diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (deMan, 1997). Menurut Hill dan Sebring (1973), interaksi antara glukosa dengan komponen yang terkandung dalam telur akan menyebabkan penurunan kualitas produk tepung putih telur. Reaksi utama yang terjadi dari glukosa dalam pengeringan telur adalah reaksi glukosa-protein (Maillard).
Menurut Muchtadi (1993) pada proses ini glukosa akan bereaksi dengan senyawa amino yang akan menyebabkan terbentuknya senyawa deoksiketosil dan degradasi strecker yang akan menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Proses pengolahan pangan melibatkan reaksi degradasi karbohidrat. Reaksi Maillard terjadi karena gula dalam bahan pangan dengan temperatur yang tinggi akan mengalami interaksi komponen asam amino dan adanya komponen nitrogen dalam hasil (MacCarthy, 1989).
Syarat Mutu Tepung Putih Telur
Putih telur yang telah dikeringkan akan menghasilkan produk berupa tepung putih telur. Tepung putih telur biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan angel food cake. Angel food cake merupakan jenis kue yang tidak mengandung lemak. Pembuatan kue ini menggunakan putih telur sebanyak 41,3 (Stadelman dan Cotteril, 1995). Karakteristik putih telur dan tepung putih telur memiliki perbedaan dari jumlah komponen glukosa, protein, kadar abu, serta nilai pH (Tabel 2.).
Tabel 2. Komposisi Putih Telur Cair dan Putih Telur Kering Komponen
Putih Telur Cair
Putih Telur Kering
Sumber: Matz (1992)
Nilai mutu suatu produk perlu diperhatikan guna menjaga kualitas. Syarat mutu tepung putih telur menurut SNI 01-4323-1996 meliputi nilai pH, kadar air, kadar protein, gula pereduksi dan kadar abu total dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Tepung Putih Telur Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
pH - 6,5-7,5 Kadar Air
Maks 8
Kadar Protein
Min 75
Gula Pereduksi
Maks 0,5
Kadar Abu Total
Maks 5
Sumber: SNI 01-4323-1996
Kadar air adalah banyaknya kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan. Nilai kadar air dapat ditentukan dari pengurangan berat suatu bahan yang dipanaskan pada suhu pengujian. Kadar air erat hubungannya dengan tekstur produk, cita rasa penampakan, daya simpan suatu bahan pangan (Winarno, 2002).
Menurut deMan (1997) air merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan. Prinsip dalam pengukuran kadar air adalah dengan cara mengeringkan bahan dalam oven
dengan suhu 105 o C hingga dicapai berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Nilai kadar air yang
rendah akan mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan kerusakan pada produk (Winarno, 2002).
Selain faktor-faktor yang tertera pada Tabel 3, perlu diperhatikan pula faktor lain yang menentukan mutu tepung putih telur seperti sifat fisiknya. Sifat fisik tepung putih telur terdiri atas rendemen, waktu rehidrasi dan kecerahan. Rendemen adalah suatu peubah yang menentukan efektif dan efisien tidaknya suatu proses pengolahan seperti pengeringan. Nilai rendemen bahan kering putih telur ayam ras menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) yaitu sebesar 12,20. Nilai rendemen yang semakin besar menunjukkan makin efektif dan efisiennya proses yang dilakukan terhadap bahan baku. Nilai rendemen dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air. Air yang semakin banyak ditahan oleh protein, maka air yang keluar akan semakin sedikit sehingga nilai rendemen yang dihasilkan semakin bertambah (Ockermen, 1978). Menurut AOAC (1995) perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan.
Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk merekostitusi tepung putih telur hingga semua tepung terlarut (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) daya rehidrasi tepung putih telur dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan, kesempurnaan fermentasi dan ukuran partikel tepung.
Proses pengolahan makanan bertujuan untuk meningkatkan edibilitas suatu makanan yang dapat menimbulkan perubahan warna yang dihasilkan. Perubahan warna makanan dapat bersifat signifikan bagi tingkat kesukaan terhadap makanan tersebut. Perubahan warna ini dapat mengindikasikan kesegaran dan tingkat pemasakan produk (Hutchings, 1999). Menurut Pomeranz dan Meloan (1978) warna merupakan salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Daya dan Kestabilan Buih
Daya buih adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dilakukan pengocokan. Nilai daya buih biasanya dinyatakan dalam persen terhadap bobot putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Hasil-hasil penelitian yang dikutip Alleoni dan Antunes (2004), menunjukkan bahwa salah satu fraksi protein putih telur yang memiliki kemampuan mempermudah terbentuknya buih adalah globulin, sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan dalam menstabilkan buih saat dipanaskan. Menurut Georgia Egg
Commission (2005) telur segar mampu mencapai buih 6 hingga 8 kali dari volume awal putih telur segar.
Putih telur merupakan campuran protein yang tinggi dan setiap komponennya mempunyai fungsi yang spesifik. Protein yang terkandung pada putih telur sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah dan karakteristik protein telur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Protein dalam Putih Telur Jenis Protein
Jumlah Relatif dalam
Karakteristik
Putih Telur ()
Ovalbumin 54 Phosphoglicoprotein Conalbumin
13 Mengikat logam terutama besi
Ovomucoid
11 Menghambat trypsin
Lysozyme 3,5 Membunuh beberapa bakteri G2 globulin
G3 globulin
Ovomucin 1,5 Sialoprotein Flavoprotein 0,8 Mengikat riboflavin Ovoglycoprotein 0,5 Sialoprotein Ovomacroglobulin 0,5
Menghambat beberapa bakteri protease
Avidin 0,05 Mengikat biotin
Sumber: Stadelman dan Cotterill, 1995
Kandungan dan jumlah protein dalam putih telur akan mempengaruhi buih yang dihasilkan setelah mengalami proses pengocokan. Fraksi-fraksi protein yang mempengaruhi dalam pembentukan buih menurut Stadelman dan Cotterill (1995) serta Linden dan Lorient (1999) adalah ovalbumin, ovomucin, dan globulin. Menurut Johnson dan Zabik (1981) dalam Davis dan Reeves (2002) ovotransferin, lysozyme dan ovomucoid berperan dalam proses pembentukan buih. Hamershof dan Anderson (2002) menyatakan bahwa protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin, ovotransferin, ovoglobulin, dan ovomucin.
Ovalbumin adalah komponen utama yang menyusun putih telur. Ovalbumin merupakan phosphoglycoprotein. Molekul ovalbumin mengandung 4 gugus Ovalbumin adalah komponen utama yang menyusun putih telur. Ovalbumin merupakan phosphoglycoprotein. Molekul ovalbumin mengandung 4 gugus
ovalbumin lebih tahan terhadap proses pemanasan. Pemanasan pada suhu 62 o C selama 3,5 menit dengan pH 9 akan menyebabkan denaturasi ovalbumin sebanyak
3-5 (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Ovomucin yaitu suatu glikoprotein. Ovomucin adalah protein yang tidak larut dalam air akan tetapi dapat larut dalam garam dan pada pH 7 atau lebih (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin mampu membentuk lapisan yang tidak larut dalam air dan dapat menstabilkan buih yang terbentuk pada saat pengocokan. Ovomucin dapat menstabilkan buih karena ovomucin lebih kental serta mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga dapat mengikat air (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin dalam putih telur mencapai 1,5 (Tabel 3.). Kandungan karbohidrat dalam ovomucin mencapai 30 (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin merupakan protein putih telur yang berperan dalam kestabilan buih serta memiliki viskositas yang tinggi
(Hammershoj dan Andersen, 2002). Proses pemanasan pada suhu 90 o C dengan pH sekitar 7,1-9,4 selama 2 jam tidak akan mengubah viskositas protein ini (Stadelman
dan Cotterill, 1995). Interaksi antara ovomucin dan globulin akan meningkatkan volume atau daya buih.
Globulin atau Lysozyme merupakan suatu protein putih telur yang menentukan tingkat kekentalan dan mengurangi pencairan buih. Globulin dapat membantu tahapan dalam pembentukan buih. Kurangnya globulin dalam putih telur akan membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk mencapai volume tertentu (Stadelman dan Cotterill, 1995). Proses pemanasan akan merusak konsentrasi globulin. Proses pemanasan akan mempercepat pecahnya ovomucin-lysozyme diikuti dengan terjadinya denaturasi yang dapat menyebabkan menurunnya daya buih yang dihasilkan (Zayas, 1997). Slosberg et al. (1947) bahwa proses pemanasan yang
dilakukan terhadap putih telur pada suhu lebih dari 57,2 o C dengan waktu yang relatif singkat dapat mempengaruhi sifat fungsional putih telur terutama dalam
pembentukan buih.
Mekanisme Pembentukan Buih
Mekanisme terbentuknya buih dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap-tahap pembentukan buih diawali dengan adanya pengocokan putih telur. Pada saat pengocokan, ikatan polipeptida dalam molekul protein terbuka sehingga rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara akan masuk diantara molekul- molekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume buih menjadi bertambah (Sirait, 1986).
PROTEIN
DENATURASI
PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS
MENANGKAP UDARA
udara
PERBAIKAN BUIH
Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Buih
Sumber : Cherry dan McWaters ,1981
Menurut Cherry dan McWaters (1981) mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Kemudian dilanjutkan dengan proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua dilanjutkan disekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang berdekatan akan berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Peningkatan kekuatan interaksi antara polipeptida akan menyebabkan agregasi (penggumpalan) protein dan melemahnya permukaan film dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih yang mengakibatkan terpisahnya air yang terdapat dalam komponen tersebut. Air akan keluar dan akan membentuk tirisan.
Perubahan konfigurasi molekul tersebut akan menyebabkan hilangnya daya larut atau sifat koagulasi putih telur, dan absorpsi selaput buih yang penting dalam kestabilan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pembentukan buih yang stabil memerlukan cairan dengan kuat keregangan dan elastisitas yang tinggi. Penambahan waktu pengocokan akan memperbanyak udara yang tertangkap, sehingga volume buih meningkat, akan tetapi elastisitas putih telur akan berkurang. Volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah, sebaliknya stuktur buih yang stabil pada umumnya dihasilkan dari putih telur yang memiliki elastisitas yang tinggi (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih
Menurut Stadelman dan Cotterril (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi daya buih adalah umur telur, metode pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator. Alleoni dan Antunes (2004) menambahkan faktor yang mempengaruhi daya buih adalah konsentrasi protein, pH, proses pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin merubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein.
Umur telur sangat berpengaruh terhadap nilai pH. Selama proses penyimpanan, telur akan mengalami perubahan akibat terjadinya penguapan
karbondioksida (CO 2 ) dan air yang menyebabkan perubahan pH serta perubahan
struktur serabut protein putih telur (Romanff dan Romanoff, 1963). Telur yang baru struktur serabut protein putih telur (Romanff dan Romanoff, 1963). Telur yang baru
Menurut Meyer dan Hood (1973) kehilangan karbondioksida (CO 2 ) dalam
telur akan menyebabkan meningkatnya nilai pH. Peningkatan pH putih telur hingga 10,7 selama proses penyimpanan akan membentuk ikatan komples ovomucin- lysozyme yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer sehingga daya buih yang dihasilkan menjadi lebih rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Seideman et al. (1963) peningkatan pH putih telur hingga 9,0 akan memecah protein globulin sehingga akan menurunkan kemampuan putih telur untuk mengikat udara dalam pembentukan buih.
Waktu pengocokan putih telur yang lama akan berpengaruh terhadap volume dan kestabilan buih yang dihasilkan. Penambahan waktu pada proses pengocokan akan meningkatkan volume buih dan akan memperkecil ukuran buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Tingkat kestabilan buih maksimum putih telur dicapai sebelum volume maksimum buih dicapai (Stadelman dan Cotterill, 1995). Volume buih tidak meningkat kembali setelah dikocok selama enam menit (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Suhu akan mempengaruhi daya dan kestabilan buih. Penyimpanan telur pada suhu tinggi akan mempercepat peningkatan pH. Pada pH 9,5 akan terjadi pemecahan beberapa protein. Transformasi ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi akibat adanya peningkatan pH dan suhu (Alleoni dan Antunes, 2004). Kandungan s-ovalbumin yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya tirisan buih yang menimbulkan kestabilan buih yang rendah.
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Laboratorium Pengolahan Teknologi Pangan, serta Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, SEAFAST Center (South East Asean Food Agricultural Science and Technology Center), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, mulai bulan Mei 2006 hingga Juni 2006.
Materi
Bahan utama yang dibutuhkan dalam pembuatan tepung putih telur dengan metode pengeringan pan drying adalah telur ayam ras segar sebanyak 96 butir
dengan umur telur satu hari, air hangat (35-40 o
C) untuk mencuci telur, asam sitrat
konsentrasi 5 dan ragi roti (Saccharomyces sp.).
Alat yang dibutuhkan untuk proses pembuatan tepung putih telur meliputi: egg tray, spons, meja kaca, electric hand mixer (Philips), gelas ukur 500 ml, kompor, mangkuk stainless steel, panci, spatula, stopwatch, loyang, blender (Philips), timbangan digital (And) 100g ketelitian 0,01g, pH meter (LaMotte), cawan petri, Yamato constant oven temperature DK600, stoples kedap udara, kertas label dan plastik.
Rancangan
Perlakuan
Telur yang digunakan adalah telur ayam yang berumur satu hari sebanyak 96 butir yang disimpan pada suhu ruang (28-30 o C). Perlakuan yang dilakukan pada
penelitian ini, adalah lama desugarisasi dalam pembuatan tepung putih telur. Lama desugarisasi tersebut adalah 0; 1; 2.5 dan 4 jam.
Model
Penelitian ini menggunakan model rancangan acak kelompok (RAK) dengan model persamaan yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:
Y ij =μ+A i +B j + ε ijk
Keterangan: Y ij
: Hasil pengamatan pada perlakuan waktu desugarisasi ke-i dan kelompok
ke-j
μ
: Rataan umum
A i
: Pengaruh waktu desugarisasi ke-i (i=1;2;3;4)
B j : Pengaruh kelompok ke-j (j=1;2;3) Εijk : Pengaruh acak pada waktu desugarisasi ke-i pada kelompok ke-j
Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis ragam dan apabila hasilnya berbeda nyata maka akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, rendemen, kecerahan, waktu rehidrasi, daya dan tirisan buih tepung putih telur ayam ras.
Kadar Air (AOAC, 1995). Metode pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven. Cawan kosong dikeringkan terlebih dahulu didalam oven selama
15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sampel tepung putih telur sebanyak 2 g (bobot awal) dimasukkan dalam cawan yang
telah ditimbang, dimasukkan dalam oven dengan suhu 105 o C selama 24 jam dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang (bobot akhir).
Bobot sampel awal – bobot sampel akhir
Kadar Air () = x 100 Bobot sampel awal
Rendemen (AOAC, 1995). Perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan dengan rumus:
Berat tepung putih telur (gram)
Rendemen () = x 100
Berat putih telur ayam (gram)
Waktu Rehidrasi (Modifikasi Stadelmen dan Cotterill, 1995). Pengukuran rehidrasi dilakukan dengan mencairkan tepung putih telur dengan menggunakan perbandingan air dan tepung putih telur 10 : 1. Satuan nilai rehidrasi adalah detik. Air dimasukkan kedalam gelas ukur kemudian ditambahkan tepung putih telur.
Pengadukan dilakukan dengan menggunakan electric hand mixer (Philips) kecepatan satu (215 rpm).
Kecerahan (Hunter, 1958). Kecerahan diukur dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-200 dengan ruang warna (color space). Nilai yang didapat dikonversikan ke dalam parameter L. Nilai L menunjukkan parameter kecerahan yang bernilai 0- 100 untuk warna hitam sampai putih.
Daya dan Tirisan Buih (Modifikasi Stadelmen dan Cotterill, 1995). Hasil rehidrasi kemudian dikocok kembali dengan mixer Philips kecepatan dua (502 rpm) selama 90 detik kemudian ditingkatkan pada kecepatan tiga (717 rpm) selama 90 detik. Buih yang terbentuk dirapikan dengan menggunakan spatula. Perhitungan daya dan kestabilan buih berdasarkan rumus yang dikemukakan Stadelmen and Cotterril (1995) sebagai berikut:
Volume Buih
Daya buih = X 100
Volume Putih Telur
Kestabilan buih dihitung dari persentase tirisan buih. Kestabilan buih yang tinggi dihasilkan dari persentase tirisan buih yang rendah. Persentase tirisan buih dihitung dengan rumus menurut Stadelmen and Cotterril (1995) sebagai berikut:
Tirisan
Persentase tirisan buih = X 100
Volume Buih
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian berupa kadar air, rendeman, waktu rehidrasi, daya dan persentase tirisan buih dianalisis menggunakan analisis ragam. Perbedaan rataan antar perlakuan akan dilakukan uji Duncan. (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Prosedur
Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur dengan menggunakan metode pan drying dapat dilihat pada Gambar 4. Prosedur pembuatan tepung putih telur adalah sebagai berikut:
Persiapan Telur
Pemisahan Putih Telur
Homogenisasi
Pengaturan pH
Tepung Putih Telur
Pengemasan
Gambar 2. Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Pan Drying
Sumber : Modifikasi Stadelman and Cotterill, 1995
1. Persiapan telur
Telur yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan seleksi dengan memilih telur yang memiliki kualitas A dengan ciri-ciri memiliki bentuk kuning telur cembung, terletak ditengah, bersih dari noda (bercak darah dan daging), kulit telur bersih, tidak retak, dan memiliki bentuk normal. Telur yang digunakan diusahakan memiliki bobot yang seragam. Telur dibersihkan terlebih dahulu dengan
menggunakan air hangat (35-40 o
C) kemudian ditiriskan.
2. Pemisahan isi telur dan homogenisasi
Pemisahan isi telur dilakukan diatas meja kaca. Putih telur dipisahkan dari
kuningnya kemudian ditempatkan dalam mangkuk stainless steel dengan menggunakan spatula. Homogenisasi putih telur dilakukan dengan pengadukan menggunakan spatula.
3. Pengaturan pH
Putih telur yang digunakan terlebih dahulu diatur pHnya sesuai rekomendasi Stadelman dan Cotterill (1995) yaitu sebesar 6,0-7,0. Putih telur yang memiliki nilai pH di atas 7,0 ditambah asam sitrat 5 hingga pH putih telur mencapai 6,0-7,0.
4. Pasteurisasi
Pasteurisasi dilakukan pada suhu 60-62 o C selama 3 menit dengan menggunakan metode double wall. Panci berisi air dipanaskan di atas kompor hingga
mencapai suhu yang diinginkan, kemudian putih telur yang telah dipisahkan di dalam mangkuk stainless steel dimasukkan ke dalam panci berisi air, didiamkan selama 3 menit kemudian diangkat.
5. Desugarisasi
Ragi roti instant (Saccharomyces sp.) ditambahkan sebanyak 0,3 (ww) ke dalam cairan putih telur, kemudian diaduk sampai penyebaran ragi merata menggunakan sumpit kayu selama 2 menit dan didiamkan pada suhu ruang (27-
30 o C) masing-masing selama 0; 1; 2.5 dan 4 jam.
6. Pengeringan telur
Loyang yang akan digunakan untuk mengeringkan putih telur berukuran 27,5x30 cm. Cairan putih telur dimasukkan ke dalam loyang dan dibuat agar memiliki tinggi putih telur sebesar 6 mm. Kemudian dilakukan pengeringan dalam
oven dengan suhu 45-50 o C selama 42 jam.
7. Penggilingan
Putih telur yang dihasilkan kemudian digiling. Penggilingan terhadap putih telur kering dilakukan dengan menggunakan blender (Philips) selama 2-3 menit. Hasil yang didapat dari penggilingan ini adalah tepung putih telur.
8. Pengemasan
Tepung putih telur yang telah terbentuk segera dikemas dalam plastik Polyethylen, kemudian dimasukkan kedalam stoples kedap udara.
Tahap akhir yang dilakukan adalah pengukuran sifat fisik dan fungsional terhadap tepung putih telur. Pengukuran sifat fisik dan fungsional tepung putih telur dilakukan terhadap kadar air, rendemen, waktu rehidrasi, warna, daya dan persentase tirisan buih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air
Hasil pengukuran kadar air tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 5. Secara statistik didapat hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01) untuk kadar air dengan waktu desugarisasi berbeda.
Tabel 5. Kadar Air Tepung Putih Telur pada berbagai Lama Desugarisasi
Berbeda Ulangan
Desugarisasi (Jam)
A B B Rataan+sd 7,25+0.43 A 6,25+0.25 6,66+0.28 7,58+0.38
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata
(P<0.01)
Rataan nilai kadar air tepung putih telur yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 6,25-7,58. Nilai yang dihasilkan tersebut sesuai dengan standar nilai kadar air tepung putih telur. Menurut SNI 01-4323-1996 nilai kadar air tepung putih telur maksimal adalah sebesar 8.
Perlakuan desugarisasi 0 jam tidak terjadi perombakan glukosa jika dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 1; 2.5 dan 4 jam. Hal ini terjadi karena kandungan air awal pada perlakuan desugarisasi 0 jam relatif masih sama dengan kandungan air pada putih telur segar. Menurut Poedjiadi (1994) air yang terkandung dalam putih telur segar mencapai 87 . Proses pengeringan yang dilakukan dapat pula mengurangi jumlah air yang terdapat dalam putih telur. Nilai kadar air pada perlakuan desugarisasi 0 jam mencapai 7,25.
Proses desugarisasi akan mempengaruhi kandungan air yang terdapat dalam tepung putih telur. Hasil nilai Kadar air tepung putih telur dengan perlakuan desugarisasi 1 jam sebesar 6,25. Penurunan kadar air yang dihasilkan pada perlakuan desugarisasi 1 jam terjadi karena dalam pertumbuhannya, Saccharomyces Proses desugarisasi akan mempengaruhi kandungan air yang terdapat dalam tepung putih telur. Hasil nilai Kadar air tepung putih telur dengan perlakuan desugarisasi 1 jam sebesar 6,25. Penurunan kadar air yang dihasilkan pada perlakuan desugarisasi 1 jam terjadi karena dalam pertumbuhannya, Saccharomyces
Nilai kadar air pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada perlakuan desugarisasi 1 jam. Hal ini terjadi karena pada perlakuan desugarisasi 2,5 jam pertumbuhan Saccharomyces sp. berada dalam fase pertumbuhan tetap (statis) sehingga air yang dibutuhkan lebih sedikit. Keadaan ini menyebabkan penggunaan air dalam pertumbuhan Saccharomyces sp. semakin berkurang sehingga kadar air tepung putih telur yang dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 1 jam.
Perlakuan desugarisasi 4 jam mengandung air lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan desugarisasi 0; 1 dan 2.5 jam. Pada perlakuan ini, pertumbuhan Saccharomyces sp. berada pada fase menuju kematian sehingga nutrisi yang dibutuhkan lebih rendah. Selain itu, perombakan glukosa yang terjadi menghasilkan senyawa berupa karbondioksida dan air. Jumlah air yang tinggi pada perlakuan desugarisasi 4 jam kemungkinan berasal dari hasil perombakan glukosa tersebut. Proses pertumbuhan jasad renik menurut Fardiaz (1992) dibagi menjadi lima fase yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, dan fase kematian.
Sifat Fisik Tepung Putih Telur Ayam Ras
Nilai pH
Nilai pH Setelah Desugarisasi. Hasil pengujian nilai pH setelah desugarisasi dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai pH setelah desugarisasi yang dihasilkan berbeda sangat nyata secara statistik (P<0.01).
Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0; 1; 2.5 dan 4 jam relatif rendah. Hal ini terjadi karena pada awal proses sebelum desugarisasi dilakukan penurunan pH terlebih dahulu dengan menambahkan asam sitrat konsentrasi 5 sebanyak 3,33 dari bobot putih telur untuk mendapatkan kondisi yang sesuai dalam pertumbuhan Saccharomyces sp.
Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam sebesar 6,19. Nilai pH yang rendah pada perlakuan ini terjadi karena pada proses tersebut tidak menghasilkan senyawa berupa karbondioksida dan air akibat perombakan glukosa. Nilai pH pada Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam sebesar 6,19. Nilai pH yang rendah pada perlakuan ini terjadi karena pada proses tersebut tidak menghasilkan senyawa berupa karbondioksida dan air akibat perombakan glukosa. Nilai pH pada
Tabel 6. pH Awal, pH Setelah Penambahan Asam Sitrat 5, pH Setelah
Desugarisasi, pH Tepung, Rendemen, Waktu Rehidrasi, Kecerahan Tepung Putih Telur pada berbagai Lama Desugarisasi Berbeda
Peubah
Desugarisasi (Jam)
pH Awal
pH Setelah
Penambahan Asam Sitrat 5
A BC CD pH Setelah D 6,19+0.36 6,76+0.14 6,91+0.14 7,07+0.27 Desugarisasi
A B C pH Tepung D 8,82+0.01 8,64+0.01 8,73+0.01 8,85+0.03
A A A Rendemen () B 12,38+0.21 12,51+0.26 13,00+0.67 11,75+0.31
Waktu Rehidrasi
a ab bc Kecerahan bc 64,84+0.84 65,10+0.62 65,50+0.74 65,55+0.86
Keterangan: Superskrip yang A berbeda pada baris yang sama menunjukkan Sangat Berbeda Nyata
(P<0.01)
Superskrip a yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Berbeda Nyata (P<0.05)
Nilai pH Tepung Putih Telur. Hasil pengujian nilai pH tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai pH tepung putih telur yang dihasilkan berbeda sangat nyata secara statistik (P<0.01).
Nilai pH tepung putih telur pada perlakuan desugarisasi 0 jam yaitu 8,82. Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam lebih tinggi dari pada perlakuan Nilai pH tepung putih telur pada perlakuan desugarisasi 0 jam yaitu 8,82. Nilai pH pada perlakuan desugarisasi 0 jam lebih tinggi dari pada perlakuan