BERJIHAD DI JALAN ALLAH (II)
BERJIHAD DI JALAN ALLAH (II)
Ayat keempat, yaitu ayat 15 surat al-Hujurat (49), adalah ayat madaniyyah. (Al-Qasimiy,
1978, XV: 105).
Ayat tersebut masih ada hubungan (munasabah)nya dengan ayat sebelumnya; Pada ayat
sebelumnya dijelaskan bahwa orang-orang Arab Badwi berkata kepada Rasulullah: Kami
telah beriman, kemudian Rasulullah saw bersabda: Kamu belum beriman, maka
katakanlah: Kami telah tunduk (masuk Islam), sebab iman ini belum masuk ke dalam
hatimu. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa iman tidaklah cukup hanya diucapkan
saja, melainkan iman itu harus diyakini dalam hati, dibuktikan dengan amal salih, dan
menjauhkan diri dari segala macam larangan Allah SWT. Sebab setiap haq (kebenaran)
harus ada hakikatnya, dan setiap pengakuan harus ada buktinya. Kemudian pada ayat ini
(15), Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tanpa keraguan dalam dirinya sedikit pun tentang
wahdaniyyah (ke Esaan)Nya dan nubuwwah (kenabian) Nabi-Nya, dan selalu taat
terhadap perintah Allah, dan taat kepada perintah Rasul-Nya, dan mengerjakan segala
kewajiban yang ditetapkan Allah SWT tanpa keraguan sedikitpun, serta berjihad di jalan
Allah, baik dengan menyerahkan sebagian hartanya atau jiwanya maupun tenaganya
untuk membela agama Allah dan kaum Muslimin dan menghancurkan musuh-musuh
Allah, sebab menyerahkan harta, tenaga dan jiwa di jalan Allah, merupakan bukti nyata
bagi keimanan dan keyakinan seseorang.
Maka apabila seseorang menyatakan beriman, tetapi tidak dibuktikan dengan amal salih
dan berjihad di jalan Allah adalah belum beriman dengan sebenar-benarnya.
Setelah Rasulullah saw berhasil membangun suatu negara yang kokoh dan teratur di
Madinah, dan telah memiliki pasukan pembela negara yang kuat, barulah memerintahkan
berjihad dengan senjata, sebagaimana diungkapkan pada surat al-Taubah (9): 41, yang
diturunkan sesudah hijrah Nabi saw ke Madinah. Menurut Rasyid Rida surat at-Taubah
seluruhnya diturunkan sesudah perang Tabuk. (Rasyid Rida, X: 459).
Adapun hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya, ialah bahwa pada ayat sebelumnya,
Allah menegur kaum mukminin yang tidak mau berangkat berjihad, padahal Rasulullah
telah memerintahkan kepada mereka untuk berangkat semua berperang membela agama
Allah, menurut kemampuannya. Kemudian pada ayat ini (at-Taubah (9): 41), Allah
memerintahkan kepada seluruh kaum mukminin untuk berangkat berperang dengan harta
dan jiwanya, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, sebab ancaman
dari kaum kafir, baik dari ahli Kitab maupun orang-orang musyrikin semakin kuat.
Dimaksudkan dengan khifaafan wa siqaalan ialah: baik sehat ataupun sakit, baik gemuk
maupun kurus, baik muda ataupun tua, baik lincah ataupun pemalas, baik kaya ataupun
miskin, semuanya wajib berangkat, kecuali mereka yang sangat lemah karena tua atau
sakit berat, sebagaimana diungkapkan pada firman-Nya:
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orangorang yang sakit dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-oran yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah (9): 91).
Sekalipun pada ayat tersebut dikecualikan orang yang sangat tua, namun sebagian di
antara para sahabat, tetap ikut berperang sekalipun sudah sangat tua, sebagaimana
disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hayyan sebagai berikut:
Kami berangkat bersama Safwan bin ‘Amr, seorang gubernur Daerah Himsa, ketika itu
saya melihat seorang tua yang bulu alisnya telah menutup matanya, berasal dari
Damaskus, dia naik kendaraan ikut berperang, kemudian aku mendekatinya dan berkata:
Hai paman sebenarnya Allah mengizinkan kamu untuk tidak ikut berperang. Lalu
berkatalah orang tua itu sambil mengangkat kedua alisnya: Hai anakku, Allah telah
mewajibkan berangkat berjihad baik yang muda ataupun yang tua, ketahuilah bahwa
orang yang dicintai Allah akan mendapat ujian. Allah akan menguji siapa saja yang
bersyukur, sabar dan selalu ingat kepada-Nya, dan tidak menyembah selain Allah SWT.
(Al-Qasimiy, 1978, X: 220).
Pada masa permulaan Islam orang-orang mukmin memang sangat gigih dalam membela
agama Allah. Maka mereka dengan ikhlas berjihad sesuai dengan kemampuannya, untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan; dengan harta dan dirinya, atau hartanya saja atau
dirinya saja.
Berjihad di jalan Allah, dalam al-Qur’an tidaklah selalu diungkapkan dengan kata aljihad, melainkan juga diungkapkan dengan kata lain yang artinya sama yaitu al-qital
(perang), sebagaimana disebutkan pada ayat keenam, yaitu ayat 190-192 surat alBaqarah. Dalam al-Qur’an, kata al-qital yang berarti perang, diulang sebanyak 80 kali,
yang tersebar di beberapa surat/ayat.
Peperangan karena adanya pertentangan antara haq dan batil, satu kelompok
mempertahankan kebatilan dan kelompok lainnya memberantasnya.
Sebenarnya pertentangan antara haq dan batil telah ada sejak awal kehidupan manusia,
belum pernah reda dan tidak akan berhenti, bahkan tidak akan lenyap sebelum langit,
bumi dan penghuninya kembali kepada Allah SWT. Maka permusuhan dan peperangan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak akan berhenti.
Telah menjadi fitrah bahwa setiap umat di bumi ini, mencita-citakan hidup bahagia,
tenteram, mulia dan terhormat. Maka setiap umat berusaha memperkuat diri untuk
menangkal segala serangan musuh dan meraih kemenangan.
Islam adalah dinullah (agama Allah) yang mengajak manusia kepada hidayah-Nya,
bernaung di bawah bendera-Nya agar dapat menikmati kehidupan yang tenteram,
sejahtera, aman dan bahagia. Umat Islam adalah umat yang terpilih dan diberi tugas suci
untuk menegakkan din Allah (agama Allah) dan memancarkan cahaya hidayah-Nya ke
seluruh umat di muka bumi ini. Maka apabila ada yang menghalangi da’wah Islamiyyah,
harus disingkirkan dan dibersihkan supaya hidayah Allah dapat menembus jiwa umat dan
supaya kebenaran dapat ditegakkan, sehingga umat dapat memperoleh keamanan dan
kebebasan dalam melaksanakan perintah Allah
Ayat ini (al-Baqarah (2): 190-192) diturunkan uintuk mengizinkan berperang apabila
datang serangan dari musuh yang membahayakan kelancaran dakwah Islamiyyah,
sekalipun terjadi pada bulan-bulan haram. Menurut Ibnu ‘Abbas ayat tersebut turun
ketika terjadi sulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah). Pada waktu itu Rasulullah saw
dihadang oleh kaum musyrikin di daerah Hudaibiyah, mereka melarang Rasulullah
masuk ke al-Bait (al-Masjid al-Haram). Pada waktu itulah diadakan sulh Hudaibiyah
yang isinya, memperkenankan Rasulullah saw untuk mengerjakan tawaf dan ibadah
lainnya pada tahun berikutnya. Tetapi setelah datang waktunya, Rasulullah saw dan para
sahabat khawatir akan terjadinya pengkhianatan kaum musyrikin terhadap perdamaian
yang telah disepakati bersama, dengan menghadang kemballi dan menerangi Nabi saw
dan para sahabat, sedang Nabi dan para sabahat tidak mau memerangi mereka di almasjid al-haram dan pada bulan al-Haran, kemudian turunlah ayat tersebut. (As-Siyutiy,
1954: 28).
Dalam al-Qur’an, setiap disebutkan lafal al-qital atau al-jihad, sebagian besar diiringi
dengan lafal fi sabilillah. Ini memberikan pengertian bahwa tujuan perang menurut Islam,
bukanlah kekuasaan atau penjarahan harta, atau untuk menunjukkan keperkasaan dan
kesombongan, melainkan untuk menegakkan keadilan, kesucian dan menjunjung tinggi
kalimatullah.
As-Sabuniy dalam tafsrinya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat bahwa pada
masa sebelum hijrah, umat Islam belum diperintahkan untuk berperang, bahkan mereka
diperintahkan untuk bersabar, atau memaafkan, bahkan memberikan balasan yang lebih
baik, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:
Maka maafkanlah mereka dan bebaskanlah mereka. (al-Maidah (5): 13).
Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. (Al-Mu’minun (23): 96).
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orangorang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas suatu kaum
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Jasiyah (45): 14).
Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat
Allah). (Ali ‘Imran (3): 20).
Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik. (Al-Furqan (25): 63).
Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa pada masa sebelum hijrah, umat Islam belum
diperintahkan berperang. (As-Sabuniy, 1972, I: 228).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf dan sahabatsahabatnya menghadap Rasulullah dan berkata: Hai Rasulallah, dahulu kami ketika
masih bersama orang-orang musyrik selalu dihormati dan dimuliakan, tetapi setelah kami
beriman, menjadi terhina. Maka bersabdalah Rasulullah swa: Saya diperintahkan untuk
memberi maaf, maka janganlah kamu membangkitkan kebencian dan peperangan.
Kemudian setelah hijrah ke Madinah, barulah beliau mendapat perintah untuk berperang.
(Ibnu Jarir at-Tabariy. t.t. Tafsir at-Tabariy, VIII: 549).
Adapun hikmah larangan mengadakan peperangan pada masa sebelum hijrah antara lain
ialah:
1. Jumlah kaum muslimin pada masa itu masih sangat sedikit, sehingga tidak mampu
mengadakan perlawanan terhadap orang-orang musyrik yang jumlahnya amat besar.
Jika terjadi pertempuran sengit antara orang-orang Islam dan orang-orang kafir pada
waktu itu, kemungkinan besar kaum muslimin akan menjadi berantakan. Allah
menghendaki agar kaum muslimin menjadi besar dan kuat, sehingga mampu
membentuk suatu negara yang tangguh dan berwibawa. Setelah Rasulullah berhijrah
ke Madinah, beliau mendapat sambutan yang sangat besar dari masyarakat Madinah
dan sekitarnya, dan berhasil menyusun satu negara yang kokoh. Maka sejak itulah
kaum muslimin diizinkan Allah SWT mengadakan perlawanan terhadap ancaman
kaum musyrikin.
2. Untuk membina kaum muslimin agar memiliki kesabaran dalam memikul segala
macam cobaan, sebab sebagian besar bangsa Arab tidak memiliki kesabaran.
3. Sebagian besar kaum muslimin ketika berada di daerah Makkah, hidup bersama
famili, yang masih memusuhi Islam. Maka untuk menghindari pertumpahan darah di
satu rumah, kaum muslimin tidak diizinkan mengadakan perlawanan.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04
Ayat keempat, yaitu ayat 15 surat al-Hujurat (49), adalah ayat madaniyyah. (Al-Qasimiy,
1978, XV: 105).
Ayat tersebut masih ada hubungan (munasabah)nya dengan ayat sebelumnya; Pada ayat
sebelumnya dijelaskan bahwa orang-orang Arab Badwi berkata kepada Rasulullah: Kami
telah beriman, kemudian Rasulullah saw bersabda: Kamu belum beriman, maka
katakanlah: Kami telah tunduk (masuk Islam), sebab iman ini belum masuk ke dalam
hatimu. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa iman tidaklah cukup hanya diucapkan
saja, melainkan iman itu harus diyakini dalam hati, dibuktikan dengan amal salih, dan
menjauhkan diri dari segala macam larangan Allah SWT. Sebab setiap haq (kebenaran)
harus ada hakikatnya, dan setiap pengakuan harus ada buktinya. Kemudian pada ayat ini
(15), Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tanpa keraguan dalam dirinya sedikit pun tentang
wahdaniyyah (ke Esaan)Nya dan nubuwwah (kenabian) Nabi-Nya, dan selalu taat
terhadap perintah Allah, dan taat kepada perintah Rasul-Nya, dan mengerjakan segala
kewajiban yang ditetapkan Allah SWT tanpa keraguan sedikitpun, serta berjihad di jalan
Allah, baik dengan menyerahkan sebagian hartanya atau jiwanya maupun tenaganya
untuk membela agama Allah dan kaum Muslimin dan menghancurkan musuh-musuh
Allah, sebab menyerahkan harta, tenaga dan jiwa di jalan Allah, merupakan bukti nyata
bagi keimanan dan keyakinan seseorang.
Maka apabila seseorang menyatakan beriman, tetapi tidak dibuktikan dengan amal salih
dan berjihad di jalan Allah adalah belum beriman dengan sebenar-benarnya.
Setelah Rasulullah saw berhasil membangun suatu negara yang kokoh dan teratur di
Madinah, dan telah memiliki pasukan pembela negara yang kuat, barulah memerintahkan
berjihad dengan senjata, sebagaimana diungkapkan pada surat al-Taubah (9): 41, yang
diturunkan sesudah hijrah Nabi saw ke Madinah. Menurut Rasyid Rida surat at-Taubah
seluruhnya diturunkan sesudah perang Tabuk. (Rasyid Rida, X: 459).
Adapun hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya, ialah bahwa pada ayat sebelumnya,
Allah menegur kaum mukminin yang tidak mau berangkat berjihad, padahal Rasulullah
telah memerintahkan kepada mereka untuk berangkat semua berperang membela agama
Allah, menurut kemampuannya. Kemudian pada ayat ini (at-Taubah (9): 41), Allah
memerintahkan kepada seluruh kaum mukminin untuk berangkat berperang dengan harta
dan jiwanya, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, sebab ancaman
dari kaum kafir, baik dari ahli Kitab maupun orang-orang musyrikin semakin kuat.
Dimaksudkan dengan khifaafan wa siqaalan ialah: baik sehat ataupun sakit, baik gemuk
maupun kurus, baik muda ataupun tua, baik lincah ataupun pemalas, baik kaya ataupun
miskin, semuanya wajib berangkat, kecuali mereka yang sangat lemah karena tua atau
sakit berat, sebagaimana diungkapkan pada firman-Nya:
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orangorang yang sakit dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-oran yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah (9): 91).
Sekalipun pada ayat tersebut dikecualikan orang yang sangat tua, namun sebagian di
antara para sahabat, tetap ikut berperang sekalipun sudah sangat tua, sebagaimana
disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hayyan sebagai berikut:
Kami berangkat bersama Safwan bin ‘Amr, seorang gubernur Daerah Himsa, ketika itu
saya melihat seorang tua yang bulu alisnya telah menutup matanya, berasal dari
Damaskus, dia naik kendaraan ikut berperang, kemudian aku mendekatinya dan berkata:
Hai paman sebenarnya Allah mengizinkan kamu untuk tidak ikut berperang. Lalu
berkatalah orang tua itu sambil mengangkat kedua alisnya: Hai anakku, Allah telah
mewajibkan berangkat berjihad baik yang muda ataupun yang tua, ketahuilah bahwa
orang yang dicintai Allah akan mendapat ujian. Allah akan menguji siapa saja yang
bersyukur, sabar dan selalu ingat kepada-Nya, dan tidak menyembah selain Allah SWT.
(Al-Qasimiy, 1978, X: 220).
Pada masa permulaan Islam orang-orang mukmin memang sangat gigih dalam membela
agama Allah. Maka mereka dengan ikhlas berjihad sesuai dengan kemampuannya, untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan; dengan harta dan dirinya, atau hartanya saja atau
dirinya saja.
Berjihad di jalan Allah, dalam al-Qur’an tidaklah selalu diungkapkan dengan kata aljihad, melainkan juga diungkapkan dengan kata lain yang artinya sama yaitu al-qital
(perang), sebagaimana disebutkan pada ayat keenam, yaitu ayat 190-192 surat alBaqarah. Dalam al-Qur’an, kata al-qital yang berarti perang, diulang sebanyak 80 kali,
yang tersebar di beberapa surat/ayat.
Peperangan karena adanya pertentangan antara haq dan batil, satu kelompok
mempertahankan kebatilan dan kelompok lainnya memberantasnya.
Sebenarnya pertentangan antara haq dan batil telah ada sejak awal kehidupan manusia,
belum pernah reda dan tidak akan berhenti, bahkan tidak akan lenyap sebelum langit,
bumi dan penghuninya kembali kepada Allah SWT. Maka permusuhan dan peperangan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak akan berhenti.
Telah menjadi fitrah bahwa setiap umat di bumi ini, mencita-citakan hidup bahagia,
tenteram, mulia dan terhormat. Maka setiap umat berusaha memperkuat diri untuk
menangkal segala serangan musuh dan meraih kemenangan.
Islam adalah dinullah (agama Allah) yang mengajak manusia kepada hidayah-Nya,
bernaung di bawah bendera-Nya agar dapat menikmati kehidupan yang tenteram,
sejahtera, aman dan bahagia. Umat Islam adalah umat yang terpilih dan diberi tugas suci
untuk menegakkan din Allah (agama Allah) dan memancarkan cahaya hidayah-Nya ke
seluruh umat di muka bumi ini. Maka apabila ada yang menghalangi da’wah Islamiyyah,
harus disingkirkan dan dibersihkan supaya hidayah Allah dapat menembus jiwa umat dan
supaya kebenaran dapat ditegakkan, sehingga umat dapat memperoleh keamanan dan
kebebasan dalam melaksanakan perintah Allah
Ayat ini (al-Baqarah (2): 190-192) diturunkan uintuk mengizinkan berperang apabila
datang serangan dari musuh yang membahayakan kelancaran dakwah Islamiyyah,
sekalipun terjadi pada bulan-bulan haram. Menurut Ibnu ‘Abbas ayat tersebut turun
ketika terjadi sulh Hudaibiyah (perdamaian Hudaibiyah). Pada waktu itu Rasulullah saw
dihadang oleh kaum musyrikin di daerah Hudaibiyah, mereka melarang Rasulullah
masuk ke al-Bait (al-Masjid al-Haram). Pada waktu itulah diadakan sulh Hudaibiyah
yang isinya, memperkenankan Rasulullah saw untuk mengerjakan tawaf dan ibadah
lainnya pada tahun berikutnya. Tetapi setelah datang waktunya, Rasulullah saw dan para
sahabat khawatir akan terjadinya pengkhianatan kaum musyrikin terhadap perdamaian
yang telah disepakati bersama, dengan menghadang kemballi dan menerangi Nabi saw
dan para sahabat, sedang Nabi dan para sabahat tidak mau memerangi mereka di almasjid al-haram dan pada bulan al-Haran, kemudian turunlah ayat tersebut. (As-Siyutiy,
1954: 28).
Dalam al-Qur’an, setiap disebutkan lafal al-qital atau al-jihad, sebagian besar diiringi
dengan lafal fi sabilillah. Ini memberikan pengertian bahwa tujuan perang menurut Islam,
bukanlah kekuasaan atau penjarahan harta, atau untuk menunjukkan keperkasaan dan
kesombongan, melainkan untuk menegakkan keadilan, kesucian dan menjunjung tinggi
kalimatullah.
As-Sabuniy dalam tafsrinya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat bahwa pada
masa sebelum hijrah, umat Islam belum diperintahkan untuk berperang, bahkan mereka
diperintahkan untuk bersabar, atau memaafkan, bahkan memberikan balasan yang lebih
baik, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:
Maka maafkanlah mereka dan bebaskanlah mereka. (al-Maidah (5): 13).
Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. (Al-Mu’minun (23): 96).
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orangorang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas suatu kaum
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Jasiyah (45): 14).
Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat
Allah). (Ali ‘Imran (3): 20).
Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik. (Al-Furqan (25): 63).
Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa pada masa sebelum hijrah, umat Islam belum
diperintahkan berperang. (As-Sabuniy, 1972, I: 228).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf dan sahabatsahabatnya menghadap Rasulullah dan berkata: Hai Rasulallah, dahulu kami ketika
masih bersama orang-orang musyrik selalu dihormati dan dimuliakan, tetapi setelah kami
beriman, menjadi terhina. Maka bersabdalah Rasulullah swa: Saya diperintahkan untuk
memberi maaf, maka janganlah kamu membangkitkan kebencian dan peperangan.
Kemudian setelah hijrah ke Madinah, barulah beliau mendapat perintah untuk berperang.
(Ibnu Jarir at-Tabariy. t.t. Tafsir at-Tabariy, VIII: 549).
Adapun hikmah larangan mengadakan peperangan pada masa sebelum hijrah antara lain
ialah:
1. Jumlah kaum muslimin pada masa itu masih sangat sedikit, sehingga tidak mampu
mengadakan perlawanan terhadap orang-orang musyrik yang jumlahnya amat besar.
Jika terjadi pertempuran sengit antara orang-orang Islam dan orang-orang kafir pada
waktu itu, kemungkinan besar kaum muslimin akan menjadi berantakan. Allah
menghendaki agar kaum muslimin menjadi besar dan kuat, sehingga mampu
membentuk suatu negara yang tangguh dan berwibawa. Setelah Rasulullah berhijrah
ke Madinah, beliau mendapat sambutan yang sangat besar dari masyarakat Madinah
dan sekitarnya, dan berhasil menyusun satu negara yang kokoh. Maka sejak itulah
kaum muslimin diizinkan Allah SWT mengadakan perlawanan terhadap ancaman
kaum musyrikin.
2. Untuk membina kaum muslimin agar memiliki kesabaran dalam memikul segala
macam cobaan, sebab sebagian besar bangsa Arab tidak memiliki kesabaran.
3. Sebagian besar kaum muslimin ketika berada di daerah Makkah, hidup bersama
famili, yang masih memusuhi Islam. Maka untuk menghindari pertumpahan darah di
satu rumah, kaum muslimin tidak diizinkan mengadakan perlawanan.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04