BERJIHAD DI JALAN ALLAH (III, habis).doc 46KB Jun 13 2011 06:28:22 AM

BERJIHAD DI JALAN ALLAH (III, habis)
Setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, dan telah berhasil
membangun negara yang kokoh, dan jumlah umat Islam sudah banyak,
barulah Allah SWT mengizinkan berjihad dengan angkat senjata.
Menurut Ibnu al-‘Arabiy dalam tafsirnya, ayat yang pertama kali diturunkan
untuk memberikan izin berperang ialah:
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (Al-Hajj (22): 39).
Kemudian turunlah surat al-Baqarah (2): 190:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. (Ibnu
al-‘Arabiy, t.t. Ahkam al-Qur’an, I: 103).
Sekalipun Allah telah mengizinkan berperang, tetapi izin tersebut terbatas
hanya untuk membela agama Allah, agar kaum muslimin dapat beribadah
dengan tenang dan dapat mengembangkan da’wah Islamiyyah dengan aman,
dan untuk memberikan pelajaran kepada mereka yang memusuhi Islam.
Bukan untuk memenuhi hawa nafsu dan bukan pula untuk merampas
kedaulatan negara lain.
Prinsip etika perang pun selalu ditaati Rasulullah saw dan para sahabat, yaitu
tidak boleh melampaui batas, misalnya: membunuh para wanita, anak-anak,
orang tua dan orang sakit, serta merusak lingkungan, seperti membakar

pohon-pohonan dan rumah dan sebagainya. Sebab tujuan perang menurut
Islam bukanlah untuk meraih kekuasaan dan kesombongan, melainkan untuk
menjunjung tinggi kalimatullah.
Ketika Rasulullah saw berada di Makkah, kaum musyrikin selalu memusuhi
beliau dengan berbagai macam cara, bahkan mereka mengusir Rasulullah
dan para sahabatnya dari Makkah, dan menghalang-halangi kaum muslimin
beribadah di Makkah. Pada waktu itu Rasulullah saw tetap menahan diri dan
bersabar. Sesudah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, mereka masih
menghalang-halangi kaum muslimin beribadah di Makkah, bahkan mereka
mengkhianati perjanjian damai yang dibuat bersama di Hudaibiyah.
Karena itulah Allah SWT mengizinkan pembelaan diri dengan memerangi
mereka yang berkhianat. Maka tidaklah benar jika oprang-orang Eropa
menuduh bahwa penyiaran Islam menggunakan pedang.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan al-fitnah
pada surat al-Baqarah (2): 191, adalah perbuatan syirk, tetapi Muhammad
‘Abduh berpendapat bahwa penafsiran tersebut keluar dari konteknya.
(Rasyid Rida, tt. Al-Manar, II: 210).

Menurut al-Maragiy, yang dimaksudkan dengan al-fitnah pada ayat tersebut
ialah pemaksaan terhadap kaum muslimin agar keluar dari Islam, dengan

cara penganiayaan, penyiksaan, pengusiran dan perampasan harta. (AlMaragiy, 1969, I: 90). Maka pantaslah perbuatan tersebut dikatakan lebih
kejam dari pembunuhan, sebab fitnah itu menyangkut dua aspek, yaitu aspek
jasmani dan aspek rohani.
Menurut Islam, perang bukanlah merupakan tujuan, melainkan hanya
sebagai sarana pembelaan diri di jalan Allah Yang Maha Kuasa. Maka
perang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, sehingga dapat
mencapai tujuannya, sebagaimana diatur pada ayat ini juga (191): “Dan
janganlah kamu memerangi mereka di al-Masjid al-Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu”.
Al-Masjid al-Haram adalah salah satu masjid yang dimuliakan Allah SWT,
maka barangsiapa masuk dalam masjid tersebut, dijamin aman, sebab Allah
SWT melarang mengadakan kerusuhan di dalamnya, kecuali jika kaum
muslimin diserang lebih dahulu oleh kaum musyrikin, maka kaum muslimin
ketika itu diberi izin melawan, bahkan tidak boleh mundur atau menyerah.
Sebab orang yang menyerang lebih dahulu termasuk orang dzalim yang
harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Tetapi apabila mereka bertobat
dengan sungguh-sungguh dan meninggalkan kekafirannya, maka Allah SWT
akan memberikan pengampunan, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
kebaikan. (Al-A’raf (7): 56).

Pada ayat lainnya Allah menegaskan:
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, maka
Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. (Al-Jasiyah (45):
30).
Da’wah Islamiyyah merupakan pekerjaan yang sangat berat yang
memerlukan kesabaran, ketekunan, keamanan dan ketenangan. Selama
masih banyak rintangan, ancaman dan fitnah, maka da’wah Islamiyyah tidak
dapat berhasil dengan sebaik-baiknya sesuai dengan target yang diharapkan.
Karena itulah Allah menyerukan kepada umat Islam supaya menyingkirkan
lebih dahulu segala macam rintangan yang menjadi kendala bagi kelancaran
da’wah Islamiyyah, dengan cara memerangi mereka yang menyebarkan
fitnah dan mengancam ketenteraman umat Islam, sehingga mereka tiada
berdaya mengganggu kelancaran da’wah Islamiyyah. Namun apabila mereka
menghentikan permusuhannya terhadap Islam, maka umat Islam pun harus
pula menghentikan perlawanannya, sebab Allah hanya mengizinkan

mengadakan perlawanan selama mereka memusuhi dan melancarkan fitnah
atau provokasi terhadap umat Islam.
Ketika Rasulullah saw bersama kaum muslimin menunaikan ibadah hajji
pada tahun terjadinya sulh Hudaibiyyah, kaum musyrikin menghadang dan

memerangi kaum muslimin. Peristiwa itu terjadi pada bulan Zul-Qa’dah,
salah satu bulan dari bulan-bulan haram, tahun 6 H. Seandainya kaum
muslimin mengadakan perlawanan pada waktu itu, niscaya terjadi perang
yang sangat dahsyat. Kemudian pada tahun berikutnya, ketika kaum
muslimin keluar untuk menunaikan ibadah ‘umrah, kaum musyrikin
mengulangi lagi serangannya, tetapi kaum muslimin tetap bersabar, tidak
mengadakan perlawanan, sebab peristiwa itu terjadi pada bulan haram.
Kemudian Allah menegaskan bahwa pembelaan diri itu diperbolehkan
sekalipun pada bulan haram, untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar,
sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya: “bulan haram dengan bulan
haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qisas. Oleh
sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang
dengan serangan terhadapmu”. (Al-Baqarah (2): 194).
Ayat ini menjelaskan kode etik perang menurut Islam. Berdasarkan ayat
inilah Imam Syafi’iy berpendapat bahwa wajib menjatuhkan hukuman mati
terhadap pembunuh sesuai dengan cara pembunuhan yang dilakukannya.
Jika pembunuhan itu dilakukan dengan senjata tajam, maka hukumannya
harus dengan senjata tajam, jika pembunuhan itu dilakukan dengan senjata
api, maka hukumannya pun harus dengan senjata api dan seterusnya.
Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pembelaan diri terhadap

serangan musuh tidak boleh berlebih-lebihan dan sewenang-wenang, sebab
Islam melarang segala macam firnah, kedzaliman dan penganiayaan. Bahkan
mewajibkan pemberian pengayoman, keamanan, keadilan dan kebajikan.
Demikianlah sebagian kode etik dalam Islam, yang dilain agama Islam tidak
ditemukan. (Rasyid Rida, II: 213).
Untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan tidaklah mudah. Karena
itulah setiap menghadapi peperangan, Rasulullah saw selalu mengadakan
musyawarah dengan sahabatnya untuk menentukan sikap,strategi dan siasat
perang yang paling tepat. Masalah perang adalah masalah keduniaan, karena
itulah Rasulullah saw menyerahkan kepada para sahabat dalam mengatur
strategi dan siasatnya, bahkan beliau sering mengikuti pendapat para
sahabat. Ketika Madinah dikepung kaum musyrikin, Rasulullah memanggil
sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah tentang strategi yang akan
diterapkannya. Pada waktu itu Salam al-Farisiy memberikan saran kepada
Rasulullah saw agar digali sebuah parit (khandaq) di sebelah selatan
Madinah, dari bagian timur hingga bagian barat, sehingga kaum musyrikin

tidak dapat masuk di daerah Madinah. Pendapat tersebut disetujui Rasulullah
saw, yang kemudian beliau memproklamirkan perang, karena beliau adalah
kepada negara, di samping sebagai utusan-Nya. Dalam pertempuran yang

terkenal dengan perang khandaq itu dimenangkan oleh kaum muslimin,
sekali pun jumlah kaum musyrikin jauh lebih besar dari jumlah kaum
muslimin (Al-Khudariy Beb, 1952: 163).
Telah menjadi sunnah Allah, bahwa kegagalan dan kekalahan dalam perang
adalah karena tidak memiliki pengetahuan tentang strategi dan siasat perang
serta tidak memiliki persenjataan yang memadahi. Maka Allah SWT
memerintahkan kepada kaum muslimin agar memperkuat diri, baik rohani,
seperti: taqwa, sabar, tawakkal dan hanya mengharapkan keridaan Allah,
maupun jasmani, seperti: pesawat tempur, kendaraan lapis baja dan mesinmesin perang canggih lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari beberapa kiuda yang ditambatkan untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu meggetarkan musuh Allah, musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. (Al-Anfal (8):
60).
Pada permulaan Islam, kuda adalah kendaraan yang diandalkan, namun pada
masa modern ini prasarana dan sarana perang sudah sangat canggih, maka
kaum muslimin (negara Islam) harus dapat menyesuaikannya. Perang adalah
pekerjaan yang sangat berat dan memerlukan dana yang sangat besar, maka
Allah SWT menyerukan kepada kaum muslimin agar tidak segan-segan
menginfakkan sebagian hartanya untuk berjihad di jalan Allah, sebagaimana

ditegaskan pada surat al-Baqarah ayat 195.
Dari uraian tersebut dapatlah ditarik beberapa kesimpulan :
1. Berjihad di jalan Allah tidaklah selalu berarti perang, sebab berjihad
dapat dilakukan dengan menginfakkan sebagian harta, bekerja untuk
kepentingan agama dan amal salih lainnya.
2. Allah mengizinkan kepada kaum muslimin untuk mengadakan
pembelaan diri terhadap ancaman musuh-musuh Islam, sekalipun di
daerah haram atau di bulan haram.
3. Yang berhak memproklamirkan perang adalah kepala negara,
sebagaimana dilakukan pada permulaan masa Islam, sebab Muhammad
saw pada waktu itu, di samping sebagai Utusan Allah juga sebagai
kepada negara.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21 2002