Modernisasi dan Rasionalitas dalam Pelaksanaan Upacara Agama di Bali.

MODERNISASI DAN RASIONALITAS
DALAM PELAKSANAAN UPACARA AGAMA DI BALI

I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana
E-mail: arjawa@fisip.unud.ac.id

Abstrak: The implementation of religious ceremonies in Balinese Hindu communities is known for its rich
symbolic order and the amount of of money, time, and energy devoted to them. However, the rapid social
change taking place in Bali, particularly through the influence of globalization, has infused technology
with this cultural expression. In this context, the modernization now involves traditional wisdoms, which
this paper constructs as form of “new modernization”. There are two main theories used in this article,
“rational choice” and “modernization”. Those two theories support each other to explain the
implementation of the ceremony. This articles is based on the analysis of the common ceremony in Bali,
and by taking samples in certain areas in Bali. To address these issues, long-form interviews were
conducted. This article uses qualitative methods that analyize patterns found in the field.

Keywords: modernization, rationality, globalization


1.

Pendahuluan

Modernisasi dan rasionalitas merupakan dua konsep yang saling melekat satu sama lain.
Modernisasi akan mampu memberikan keuntungan kepada masyarakat dalam melaksanakan kehidupan
sosial. Rasionalitas menekankan kepada maksimalisai manfaat yang bisa didapatkan oleh masyarakat
dalam melakukan tindakan. Pilihan-pilihan alternatif dimungkinkan di dalam tindakan rasional itu, akan
tetapi masyarakat akan memilih yang paling menguntungkan bagi dirinya. Karena itu, dua konsep
tersebut sangat berguna dalam tindakan sosial yang dilakukan masyarakat. Max Weber mengungkapkan
bahwa rasionalitas merupakan inti dari modernitas yang dipakai masyarakat Barat.
Dalam pengertiannya sebagai inovasi yang diperkenalkan oleh masyarakat Barat, modernisasi
tidak sepenuhnya bisa mendatangkan keuntungan maksimal kepada masyarakat. Tiryakian menyebutkan

bahwa modernisasi dalam bentuk pembaruan teknologi, tidak sepenuhnya mampu memberikan hasil
maksimal kepada masyarakat. Pembaruan terhadap pupuk yang menggunakan bahan-bahan kimia
misalnya justru memberi hasil negatif apabila digunakan secara terus-menerus. Penghasilan dan daya
tumbuh dari tanaman akan menurun jika tidak dilakukan perbaikan-perbaikan terhadapnya. Masih
banyak contoh lain yang bisa dipakai untuk melihat kelemahan-kelemahan modernisasi seperti yang
dipakai oleh masyarakat Barat. Karena itulah kemudian muncul modifikasi terhadap teori modernisasi.

Teori modernisasi baru merupakan hasil dari pembaruan ini yang menekankan pada upaya mengaitkan
pembaruan tersebut dengan nilai-nilai tradisionil yang ada.
Seperti yang diungkapkan oleh John Scott, Coleman, bahwa manfaat maksimal dalam pilihan
rasional itu bisa bermacam-macam, seperti mendapatkan keuntungan ekonomis, meminimalkan biaya,
atau mendapaatkan hasil yang paling bagus sesuai dengan kepentingannya sendiri (kelompok maupun
individu). Perkembangan sosial di masyarakat, sesungguhnya memungkinkan meluaskan makna dari
keuntungan maksimal tersebut. Berbagai kegiatan di masyarakat tidak hanya memberikan penekanan
kepada maksimalisasi manfaat yang berhubungan dengan ekonomis akan tetapi juga berhubungan dengan
hubungan sosial, keuntungan yang bersifat minimalisir penggunaan energi fisik, dan keuntungan
psikologis, seperti perasaan nyaman dan sejenisnya.
Dalam konteks sosial, praktik pelaksanaan ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali
memperlihatkan adanya keterpaduan antara modernisasi, dalam arti modernisasi baru, dengan sikap
rasional tersebut. Praktik seperti ini merupakan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, sekurangkurangnya sejak milenieum baru (mulai tahun 2000-an). Pelaksanaan upacara tersebut merupakan strategi
untuk menyiasasi perubahan sosial yang terjadi di Bali, terutama setelah pariwisata dipakai sebagai ikon
penyumbang devisa terbanyak bagi negara. Konsekuensi dari ditetapkannya Bali sebagai tujuan
pariwisata internasional, sejak tahun 1980-an pertumbuhan hotel bertambah banyak. Nusa Dua yang
sebelumnya merupakan wilayah tandus disulap menjadi areal hotel internasional. Munculnya banyak
hotel yang berskala internasional pada akhirnya etos kerja global yang diterapkan dihotel-hotel,
berpengaruh kepada kehidupan sosial. Waktu menjadi sangat berharga. Padahal pada sisi lain,
pelaksanaan upacara Hindu Bali sangat kompleks yang mengakibatkan waktu yang terpakai juga

banayak. Inilah yang membuat banyak anggota masyarakat Hindu Bali yang kini memilih melaksanakan
upacara secara lebih praktis dan lebih mudah.
Tulisan ini mencoba melihat keterkaitan antara rasionalitas dengan modernisasi dalam praktik
pelaksanan upacara agama Hindu di Bali kontemporer. Kedua, mencoba melihat konteks sosial dari
keterkaitan antara modernisasi dengan rasionalitas tersebut.

2.

Kerangka Teoritis

Teori Modernsasi

Modernisasi mempunyai dua aspek pemikiran. Yang pertama adalah modernisasi klasik yang
terlalu menekankan model-model pembaharuan di dunia Barat, seperti penggunaan teknologi dan

sejenisnya untuk mempermudah ruang gerak manusia. Yang kedua adalah teori modernisasi yang
diperbaharui. Teori yang kedua ini muncul sebagai akibat dari kritik dari teori modernisasi klasik yang
banyak menimbulkan efek negatif dalam penerapannya, terutama di negara berkembang. Penggunaan
mesin-mesin industri yang merupakan bentuk dari modernisasi, di negara-negara sedang berkembang
justru menimbulkan banyak pengangguran. Atau penggunaan pupuk kimia pada bidang pertanian,

memberikan efek samping berupa kehancuran tanah.
Dari konteks inilah kemudian muncul upaya untuk menggali unsur tradisional yang mempunyai
dorongan terhadap modernisasi, dan dipakai sebagai sarana legitimasi terhadap modernisasi yang telah
berlangsung. Pada pemahaman teori modernisasi baru ini, dimungkinkan adanya eksploitasi tradisi
dengan menemukan “tradisi modernisasi” dan memperlakukannya sebagai pelegitimasi upaya
modernisasi yang tengah berlanagsung. (Sztompka, 1993: 162). Di sini perhatian diarahkan pada nilai,
sikap, makna simbolis dan kode kultural yang mendukung modernisasi. Suwarsono dan Alvin Y. So
menyebutkan tentang nilai-nilai tradisionial yang mampu mendukung modernisasi (1991: 89). Michael
R. Dove menyebutkan bahwa budaya tradisionil Indonesia sesungguhnya dinamis dan sering mengalami
perubahan. Dan karena itu tidak bertentangan dengan pembangunan (Suwasono, So, 1991: 90). Penting
juga diperhatikan analisis sejarah yang memberikan inspirasi terhadap pembaharuan yang terjadi.
Kepercayaan terhadap pemimpin kharismatis merupakan nilai tradisi yang ada di Indonesia. Munculnya
Soekarno sebagai presiden merupakan pilihan berdasarkan nilai kharismatis tersebut yang kemudian
mengantar kemerdekaan Indonesia.

Teori Pilihan Rasional

Teori Pilihan Rasional, mulai dikembangkan dengan berawal dari teori pertukaran pada dekade
limapuluhan oleh teoritisi George Caspar Homans. Ia memandang bahwa pertukaran akan terjadi
sekurang-kurangnya antar dua individu yang saling berinteraksi. Homans selanjutnya mengatakan bahwa

sebuah pertukaran itu tidak akan mungkin terjadi apabila kedua belah pihak tidak merasa mendapatkan
keuntungan. Artinya pertukaran akan terjadi jika keduanya merasa mendapat keuntungan.
Dalam melakukan pilihan interaksi tersebut, mereka memilih pilihan yang paling menguntungkan
yang mempunyai nilai-nilai berdasarkan pandangan subyektif individu yang bersangkutan.
Peter M. Blau mengembangkan teori pertukaran ini pada tingkat yang lebih besar dari individu,
yaitu kolektivitas. Dalam pandangan Blau, munculnya kelompok tidak bisa dilepaskan karena kelompok
mendapatkan keuntungan dari individu tertentu, dan individu masuk ke dalam kelompok karena
mendapatkan keuntungan dari kelompok ini. Inti dari pendapat ini adalah adanya keuntungan yang
memungkinkan adanya interaksi sosial.
Teoritisi yang kemudian mengembangkan teori pilihan rasional secara lebih tajam adalah James
C. Coleman. Ia dipandang sebagai teoritisi yang paling serius mendalami dan mengembangkan teori
pilihan rasional, terutama sejak dekade tujuhpuluhan. Usahanya yang serius tersebut, bisa dilihat dari
jurnal yang dirikannya, yaitu Rationality and Society pada tahun 1989.

Dalam bidang pilihan rasional, konsep kunci dari Coleman adalah aktor dan sumber daya,
interaksi dan pada akhirnya organisasi sosial yang melingkup transaksi antara mereka yang memiliki
(sumber daya tersebut) kepada mereka yang mencari sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang
menarik perhatian dan dapat dikontrol oleh aktor.
Coleman berpendapat bahwa aktor adalah pihak yang mempunyai pengendalian terhadap sumber
daya dan peristiwa, kepentingan terhadap sumber daya dan peristiwa dan mempunyai kemampuan

mengambil tindakan untuk mencapai kepentingan mereka melalui pengendalian itu (Ritzer, 2004: 399).
Baik aktor korporat maupun individu memiliki karakter ini.
Bersama dengan Fararo tahun 1992,
Coleman menekankan bahwa aktor individual bertindak dalam proses untuk mengoptimalkan
tindakannya untuk mendapatkan menfaat yang maksimal dan kadang-kadang untuk meminimalkan biaya.
Postulatnya menyebutkan bahwa aktor akan memilih tindakan yang menghasilkan outcome paling baik
dengan tujuan kepuasan kepentingannya sendiri (Mellor, 2000: 278-279). Pada akhirnya tindakan yang
dilakukan oleh aktor tersebut bertujuan untuk mendapatkan keluaran (hasil) yang paling bagus untuk
memuaskan kepentingan pribadinya (Mellor, 1999: 279).

Menurut Coleman, dalam teori pilihan rasional, individu digerakkan oleh tujuan yang
mengekspresikan apa yang diinginkannya. Mereka bertindak secara spesifik berdasarkan
informasi-informasi yang didapatkannya tentang kondisi dimana mereka bertindak. Dalam
pandangan Coleman, individu itu memandang bahwa yang paling baik teori pilihan rasional
tersebut, ada komponen kognifif yang ikut mempengaruhi tindakan. Ia menggabungkan tiga
komponen dalam teori pilihan rasional ini, yaitu kemampuan kognitif seseorang, tindakan dan
keinginan (Elster, 1986: 12). Sehubungan dengan nilai kognitif ini, Stark dan Bainbridge (1987)
menyebutkan bahwa individu mengejar hadiah dan menolak biaya, hal ini memperlihatkan
model kognitif dari individu sebagai sebuah prosesor informasi yang mengidentifikasi masalah
dan kemudian mencari cara untuk memecahkannya. Maksimalisasi kepentingan diri sendiri ini

merefleksikan kemampuan kognisi untuk mengontrol diri, aktor sosial yang memiliki
kemampuan intelektual, dan otonomi individu dalam hubungannya dengan orang lain.
Dalam pandangan Darren Sherkat, berkaitan dengan pilihan rasional, dikatakan, learning atau
belajar bukanlah sebuah proses sederhana yang memperlihatkan seseorang berhasil mengumpulkan
akumulasi informasi akan tetapi sebuah fenomena sosial yang dipengaruhi oleh teman-teman, keluarga,
komunitas dan keterikatan-keterikatan emosional lainnya. (Mellor, 1999: 284). Klaus Eder menyebutkan
bahwa rasionalisasi dalam hubungannya dengan pembentukan modernisasi, mengandung makna proses
belajar yang berkelanjutan. Dari sinilah modernisasi bisa terbentuk (Eder, 1992: 337).
Teoritisi lain yang ikut memperhatikan teori pilihan rasional adalah John Scott. Dalam
pandangannya, jika dalam ilmu ekonomi pertimbangan untuk bertindak itu (interaksi sosial) bisa berupa
produksi, distribusi dan konsumsi barang-barang melalui uang dan mekanisme pasar, maka prinsipprinsip umum seperti waktu, informasi, persetujuan dan prestise bisa dipakai pertimbangan untuk
interaksi sosial. Disinilah pertimbangan yang dipakai individu dalam membuat keputusan pilihan
(rasional). Scott tetap menyebutkan bahwa individu memegang peranan penting dalam teori pilihan
rasional. Tetapi ia juga memperhatikan kelompok yang bisa dipandang sebagai aktor. Kelompok ini tetap
digerakkan oleh individu, tetapi individu yang paling berpengaruh. Scott menyebutkan individu yang
paling berpengaruh itu dengan aparatur.

3.

Konteks Sosial Pelaksanaan Upacara Hindu di Bali


Masyarakat Bali, yang mayoritas beragama Hindu, melaksanakan praktik upacara agamanya
hampir setiap hari. Secara sederhana, praktik upacara Hindu di Bali bisa dikelompokkan ke dalam dua
bagian. Pertama adalah sujud bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua adalah berupa persembahan,
sebagai ucapan terima kasih atas karuniaNya. Keduanya ini sangat berhubungan. Sujud bakti merupakan
pengakuan atas keagungan, kekuasaan dan kebesaran Tuhan sekaligus kelemahan umat manusia. Dalam
segala keagungan itu, manusia diberikan rahmat atas hidup dan segala hasil usaha dalam kehidupannya.
Karena itulah manusia mengucapkan terima kasih dengan memperlihatkan dan mempersembahkan hasil
usahanya di dunia.
Dalam praktik, wujud sujud bakti umat Hindu Bali itu, bisa dilihat dari sikap ketika sembahyang,
yakni duduk bersila atau bersimpuh dengan tangan dikatupkan dan menyembah kepada Tuhan. Ini
merupakan sikap pengakuan atas keagungan Tuhan. Dan segala sesajian yang dibawa oleh umat Hindu
Bali menuju tempat sembahyang merupakan perwujudan persembahan, upacapan terima kasih atas
karunia dan peemberian dari Sang Hyang Widhi tersebut. Apabila lebih dirinci, ketika umat Hindu Bali
mencakupkan tangan untuk sembahyang itu, sarana yang dipakai adalah kwangen. Di dalam kwangen
ada perlengkapan yang disebut dengan porosan. Sarana ini adalah simbolisasi dari Tri Murti (Brahma,
Wisnu, Siwa) yang merupakan sakti dari Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk pencipta, pemelihara,
dan pelebur.
Perkembangan lanjutan dari proses persembahyangan umat Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan
dari konstruksi umat terhadap wujud persembahyangan tersebut, sampai kemudian terlihat seperti apa

yang terjadi sekarang ini. Dua konsepsi inti dari persembahyangan itu melebar dan kemudian membentuk
aneka ragam bentuk persembahan. Upaya pengakuan atas kebesaran Tuhan, tetap sederhana akan tetapi
seremonial upacaranyaa berkembang sangat kompleks.
Salah satu praktik yang terliahat adalah upaya membumikan Tuhan ke dalam bentuk seperti yang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan diibaratkan sebagai personifikasi raja, atau pemimpin.
Fenomena ini bisa dilihat sebagai upaya membumikan Tuhan, sebuah cara untuk mendekatkan
pemahaman Tuhan kepada masyarakat yang tingkat pendidikannya masih sederhana. Akan tetapi secara
politis juga bisa bermanfaat sebagai upaya untuk menundukkan rakyat oleh penguasa.
Dari situlah kemudian konsepsi Trimurti itu berkembang menjadi mirip dengan areal
pemerintahan atau penguasa. Simbolis Brahma yang diwujudkan dengan pelinggih atau gedong
didampingi oleh empat pelinggih simbolis, seperti juru catat (penyarikan), pengawal (Ratu Made
Jelawung) dan bendahara (Rambut Sedana atau Taksu). Demikian pula simbolis Wisnu dan Siwa juga
dilengkapi dengan tiga bangunan tambahan. Ini mirip dengan model sistem kerajaan di jaman dulu atau
pemerintahan di jaman sekarang. Dalam konteks persembahan, perkembangannya tergantung dari
kemampuan seseorang. Akibatnya, persembahan ini berkembang sesuai dengan penafsiran dan niat dari
pihak yang melaksanakan upacara. Berbagai bentuk banten yang kompleks tersebut, sebagian besar
merupakan wujud persembahan dari pihak yang melaksanakan upacara.
Akumulasi berbagai bentuk pembumian dan persembahan itulah yang membuat upacara
masyarakat Hindu di Bali menjadi sangat kompleks dan memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang besar.


Pelaksanaan ritual upacara agama Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan gotongroyong. Pelekatan kebudayaan ini bisa dipertegas karena disebabkan oleh begitu kompleksnya pekerjaan
yang mesti dilakukan oleh masyarakat dalam setiap ritual, Kompleksitas ini bisa terlihat dari berbagai
jenis pekerjaan seperti, membuat anyaman bambu untuk tempat sarana upacara, membuat anyaman daun
kelapa sebagai simbolis upacara serta masakan yang disuguhkan untuk upacara dan disuguhkan kepada
anggota masyarakat.
Kebudayaan gotong royong ini tidaklah spesifik hanya betrlaku di Bali saja akan tetapi telah
menjadi kebudayaan seluruh masyarakat Indonesia. Hanya saja dalam konteks budaya kehinduan Bali,
gotong royong tersebut mendapatkan sentuhan tradisi yang berupa ngayah dan nilai sagilik-saguluk
salunglung sabayantaka. Ngayah masuk ke dalam nilai-nilai keagamaan (Purwita, 1993:35). Di dalam
konsepsi ngayah itu ada rasa bhakti, yang dimaksudkan ungkapan sujud kepada Tuhan, dan tidak
mementingkan nilai-nilai materiil. Ngayah juga adalah sebuah kebersamaan, sehingga pekerjaan yang
dilakukan adalah bersama-sama, tanpa imbalan tanpa pamrih. Sedangkan konsepsi sagilik-saguluk
salunglung sabayantaka merupakan cerminan nilai kemasyarakatan yang bermakna kebersamaan dalam
bekerja dan menghadapi keadaan dalam keadaan bagaimanapun (Purwita, 1993: 37). Kesejahteraan akan
bisa didapatkkan melalui kerjasama dalam keadaan bagaimanapun.
Dengan landasan yadnya dan nilai sagilik-saguluk salunglung sabayantaka tersebut, maka
setiapp ada upacara keagamaan Hindu yang dilangsungkan, akan terjadi mobilisasi massa untuk
pelaksanannya. Terutama, dalam pelaksanaan upacara yang dilangsungkan oleh Desa Pakraman atau
banjar, pasti akan terjadi kehadiran massal dalam pelaksanaan upacara tersebut. Inilah yang membuat
setiap anggota Desa Pakraman yang berada di berbagai wilayah di Bali akan pulang kampung untuk

menghadiri upacara tersebut.

4.

Fenomena Kontemporer

Globalisasi kini telah sangat terasa dalam kehidupan masyarakat di Bali. Hotel-hotel berbintang
yang dioperasikan oleh jaringan internasional sangat banyak.
Pengaruh globalisasi itu sangat terasa
karena sebagian besar masyarakat Hindu di Bali bekerja di hotel, dan sebagian besar perusahan-perusahan
di Bali mempunyai kaitan sangat erat dengan hotel. Globalisasi ini sangat kelihatan melalui disiplin
waktu yang diterapkan. Pegawai kantor kini terikat dengan syarat-syarat yang ketat di kantor. Fenomena
ini membuat banyak masyarakat Hindu Bali kini memilih untuk melakukan prosesi upacara agama
dengan cara yang lebih ringkas karena mampu menghemat biaya, waktu dan tenaga. Setidak-tidaknya,
pembaruan itu bisa dilihat dari pelaksanaan upacara ngaben dan maraknya pedagang sarana upacara
agama.
Dari sisi sosial, upacara ngaben dipandang sebagai kesempatan terakhir untuk mengabdikan diri
dan menghormati kerabat atau keluarga yang meninggal. Adanya pandangan seperti itu membuat ngaben
ini diselenggarakan dengan terhormat, tersusuan dengan upaya yang cukup sistematis, dan cenderung
habis-habisan. Wujud konkrit dari cara pandang seperti
itu, dalam pelaksanaannya ngaben

diselenggrakan dengan biaya besar-besaran. Dengan cara seperti ini anggota keluarga ingin menghormati
sanak keluarganya. Sistematika upacara ini membuat pelaksanaannya berlangsung lama. Setiap tahapan
sebisanya berlangsung dengan lancar dan hati-hati. Kerabat puri, melaksanakan upacara seperti ini
dengan biaya yang sangat besar. Konsekuensi dari pelaksanaan seperti itu, mau tidak mau menghabiskan
biaya besar, menyedot keterlibatan massa dan berlangsung lama. Contoh terakhir adalah meninggalnya
tetua Puri Kerambitan, Tabanan, yang berlangsung sampai satu bulan lebih.
Dari sisi politik dan kenegaraan, ngaben justru merupakan atraksi pariwisata yang sangat
menarik. Sebelum pariwisata Bali dilengkapi dengan pariwisata alam, safari, pantai (laut) seperti yang
dikenal sekarang, Bali mengandalkan pariwisata budaya murni. Ngaben adalah salah satu atraksi
pariwisata yang menarik. Prosesi jalannya jenazah menuju kuburan sering menjadi tontotan turis.
Konsekuensinya, pemerintah memandang ngaben ini sebagai pendukung pemasukan devisa. Semakin
atraktif ngaben tersebut, semakin menarik bagi wisatawan yang mengunnungi Bali. Pemerintah daerah
Bali tidak pernah membuat upaya untuk melakukan pembaharuan atau inisiatif pembaharuan terhadap
upacara ngaben ini, meski sesungguhnya dilihat dari tugas, kewenangan dan kewajiban mestinya ada
kewajiban pemerintah untuk itu. Ngaben akan menyedot tenaga masyarakat untuk melaksanakannya.
Tradisi upacara ngaben ini juga bisa dilihat dari sisi kebudayaan. Ngaben merupakan hasil dari
kebudayaan masyarakat Hindu di Bali. Sebagai sebuah hasil budaya, di Bali persoalan ini menjadi
penting. Salah satu unsur budaya Bali yang masih ada sampai sekarang adalah penghormatan kepada
leluhur. Dalam konsep Hindu Bali, penghormatan tersebut adalah Pitra Yadnya, yang dimulai dari
upacara ngaben itu sendiri. Dengan demikian, upacara ngaben adalah upacara untuk menghormati leluhur
yang merupakan kreasi para leluhur. Kenyataan ini membuat tidak banyak masyarakat yang berani
melakukan pembaharuan terhadap seremoni upacara ngaben tersebut.
Kebijaksanaan pemerintah yang menetaapkan Bali sebagai daaerah tujuan wisata internasional
Indonesia membuat perubahan struktural yang cukup signifikan terhadap dunia kerja di Bali. Pembukaan
Nusa Dua, Bukit Jimbaran sebagai destinasi wisata membuat hotel-hotel berbintang di Bali semakin
banyak. Hotel-hotel berbintang itu dioperasikan oleh jaringan internasional. Pengoperasian oleh jaringan
berstandar demikian, membuat pola kerja juga menyesuaikan dengan standar internasional tersebut.
Disamping adanya penyesuaian pola kerja sesuai dengan standar internasional itu, berkembangnya
pertumbuhan hotel berbintang ini membuat lapangan kerja semakin bertambah dan pada akhirnya
menarik masyarakat yang ada di pedesaan (nota bene pemelihara tradisi yang kuat), untuk bekerja di
sektor perhotelan.
Kenyataan inilah yang kemudian secara perlahan-lahan mengubah pola pikir masyarakat untuk
mulai membuat pembaharuan terhadap berbagai pelaksanaan upacara keagamaan di Bali. Gejala tersebut
dimulai dari sektor perdagangan, yang menjual alat-alat perlengkapan upacara. Ini misalnya terlihat di
Pasar Badung dengan munculnya kompleks pedagang alat-alat upacara adat. Ngaben sebagai salah satu
upacara yadnya dalam ritual upacara keagamaan Hindu di Bali, tidak lepas dari hal tersebut.
Pembaharuan awal yang paling mengesankan dan sekaligus sebagai dasar pemecahan masalah
dalam pelaksanaan upacara ngaben adalah dipakainya kompor gas dalam pembakaran jenazah.
Sesungguhnya pemakaian kompor gas dalam pembakaran jenazah, bukanlah hal yang baru.
Krematorium-krematorium yang dipakai oleh masyarakat beragama Kristen dan Budha di Indonesia,
bahkan juga di Bali telah memakai sarana ini untuk pembakaran jenazah. Masyarakat Hindu perantauan

Bali yang ada di Jawa (terutama di Surabaya dan Jakarta) juga telah menggunakan krematorium dalam
pelaksanaan upacara ngaben. Akan tetapi, di Bali hal ini belum pernah ada yang berani melakukan hal
seperti itu. Apalagi ada ketentuan di Bali (yang dibuatt oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia Bali,
lembaga yang menaungi masyarakat beragama Hindu), untuk tidak membenarkan adanya tempat
pembakaran yang permanen pada kuburan-kuburan Hindu di Bali.
Bulan Desember 1981, upaya pembaharuan mendasar ini mulai dilaksanakan untuk pembakaran
jenazah Bapak Nuraja di Denpasar. Beliau adalah seorang pengusaha bus yang terkenal di Bali. Jenazah
Bapak Nuraja dibakar menggunakan kompor gas di kuburan Badung. Penggunaan kompor ini adalah atas
restu dari Pendeta Pemuteran, seorang pendeta pembaharu yang berasal dari desa berdekatan dengan
desa Sanur. Pendeta Pemuteran mendapat inspirasi untuk menggunakan kompor gas dalam pelaksanaan
pembakaran jenazah ini, justru dari cara orang membakar bata merah di Banjar Temesi, Desa Tulikup,
perbatasan antara Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Kelungkung. Inilah yang kemudian
diperkenalkan untuk membakar Bapak Nuraja pemilik perusahan otobus Dharma (wawancara dengan
Bapak Nengah Merta, 23 Oktober 2009, seorang professional pembakar jenazah. Wawancara dilakukan di
Krematorium Peguyangan Kangin).
Dengan menggunakan kompor gas dalam pelaksanaan upacara ngaben ini, waktu yang
dipergunakan untuk membakar jenazah, jauh lebih singkat. Pada masa sebelum digunakannya kompor gas
ini, pembakaran jenazah memerlukan waktu sampai sekitar enam jam. Pembakaran yang dimulai pukul
08.00 pagi bari bisa selesai pukul 14.00. Tetapi jika menggunakan kompor gas, rata-rata pembakaran
jenazah hanya memerlukan waktu satu setengah jam. Yang paling esensial, unsur horor saat pembakaran
jenazah bisa ditekan sampai seminimal mungkin. Sebelum penggunaan kompor gas, pembakar jenazah
sering menyayat-nyayat atau menonjok-nonjok jenazah agar bisa cepat hancur dan lebih mudah terbakar.
Hal ini sangat mengerikan jika dilihat oleh aanggota masyarakat di kuburan. Dalam uapacara ngaben,
kerabat dan anggota masyarakat ikut menunggu di kuburan. Penggunaan kompor gas ini sekarang telah
meluas dan total di Bali.
Pada dekade yang sama, juga mulai berkembang usaha di bidang penjualan upakara upacara adat.
Setiap perlengkapan upakara upacara adat mulai disediakan pasar, terutama di pasr-pasar tradisionil di
kota Denpasar. Perkembangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya pengusaha yang khsusu
menjual perlengkapan ngaben. Usaha ini dimulai dari usaha kelompok, terdiri dari beberapa orang, yang
khusus mengerjakan dan menyediakan jasa untuk membuat berbagai sarana upacara. Usaha jenis ini
berlangsung musiman yang berlokasi di desa-desa. Usaha ini merupakan respon ekonomi terhadap begitu
banyaknya jenis upacara masyarakat Hindu di Bali. Jadi, jika ada upacara tiga bulanan misalnya,
kelompok ini akan berkumpul untuk menyediakan jasa bagi keluarga yang akan menyelenggarakan
upacara tersebut. Model usaha seperti ini, tidak hanya ada di satu banjar atau desa, tetapi berkembang
meluas ke setiap banjar. Saat ini, usaha-usaha seperti itu telah menjamur di setiap banjar di wilayah
perkotaan dan pesisir Bali, terutama di Bali Selatan. Kelompok ini beranggotakan anggota masyarakat
yang mempunyai keterampilan dalam pembuatan sarana upacara tersebut, yang biasanya muncul pada
kerabat-kerabat pemangku, yakni orang yang ddipercaya sebagai pemimpin upacara di pura tertentu.
Munculnya usaha kelompok ini, ternyata kemudian mempunyai tandingan yang lebih besar.
Usaha penjualan sarana dan alat-alat upacara tersebut kemudian meluas menuju griya, yakni tempat
pendeta, brahmana yang dalam strata sosial pada masyarakat Hindu di Bali mempunyai fungsi sebagai

pemimpin upacara. Ada tiga faktor alasan masuknya industri sarana upacara ini masuk griya. Yang
pertama adalah faktor keseuaian sarana dengan “gaya” keyakinan pendeta dalam menjalankan fungsinya
sebagai pemimpin pelaksanaan upacara. Pada masyarakat Hindu Bali, sarana tersebut mendapatkan
penafsiran dari pelaksana upacara sehingga dalam menjalankan ritual, kelengkapan upacara tersebut akan
sangat dipengaruhi oleh penafsiran sang pemimpin upacara. Karena itu griya sebagai tempat pembuatan
banten, akan membuat sarana upacara sesuai dengan penafsiran atau kebiasaan dari pendeta yang akan
memimpin upacara tersebut. Cara seperti ini akan memudahkan dan melancarkan jalannya upacara.
Apabila sarana tersebut dibuat oleh pihak lain, kemungkinan kelengkapannya akan berbeda sehingga
berpotensi mengganggu lancarnya jalan upacara. Apabila ditemukan kekurangan sarana dalam upacara
tersebut, upacara akan tersendat bisa sampai berjam-jam, untuk menunggu dibuatkannya sarana tertentu
yang dipandang kurang tersebut.
Faktor kedua, mau tidak mau disebutkan faktor ekonomis. Potensi menghasilkan pemasukan dari
penjualan alat perlengkapan upacara ini sangat besar. Setiap griya atau Brahmana di Bali, mempunyai
sisya yang jumlahnya banyak dan menyebar di berbagai wilayah. Fenomena ini adalah tradisi dan
historis. Meski dalam menjalankan upacara sesungguhnya masyarakat Hindu di Bali boleh menggunakan
brahmana yang lain, tetapi karena faktor tradisi dan historis, maka sisya yang akan melaksanakan
upacara akan meminta brahmana yang menjadi junjungannya untuk memimpin pelaksanaan upacara.
Karena itu, hampir setiap hari akan akan kegiatan memimpin upacara keagamaann yang memerlukan
sarana upacara yang banyak. Harga satu paket sarana ini macam-macam dan berentang mulai dari satu
juta rupiah sampai ratusan juta rupiah. Ini tergantung dari jenis upacara yang diselenggarakan. Hal ini
adalah potensi ekonomi yang menggiurkan.
Karena pendeta dari griya ini menjadi pemimpin berbagai macam upacara, termasuk juga
upacara besar seperti ngaben, maka potensi untuk membuat segala macam produksi sarana upacara juga
amat besar. Griya dengan demikian juga menyediakan berbagai macam bentuk sarana upacara seperti
pembuatan wadah, pembuatan lembu dan sebagainya yang digunakan dalam upacara ngaben.
Bergabungnya berbagai ahli, dalam sistem pembuatan banten di griya ini juga sangat dimungkinkan.
Inilah yang membuat griya seperti shogo sosa, multicorporation yang mempunyai cabang dimana-mana.
Atau mempunyai jalinan kerjasama dengan koroprasi-korporasi lain.
Faktor ketiga adalah pembukaan lapangan kerja. Pembuatan sarana upakara memerlukan banyak
orang karena didalamnya melibatkan aktivitas seperti memasang perlengkapan (memasangkan satu sarana
dengan sarana lainnya), mengolah bahan-bahan makanan (misalnya menyembelih ayam), membentuk
wujud tertentu (membuat wujud manusia dari kue, atau dari anyam-anyaman). Ini memerlukan banyak
orang untuk membantu. Griya, melalui tradisi sisyanya mempunyai banyak anak buah yang bisa
digerakkan untuk membantu pekerjaan di griya, terutama pada sisya yang tidak mmepunyai pekerjaan.
Dalam pandangan Wiana, secara tradisional griyaa sesungguhnya mempunyai tiga fungsi, yaitu
fungsi pemimpin pelaksana upacara, fungi edukatif (mengembangkan pengetahuan kleagamaan) dan
fungsi ketiga adalah mendidik (membentuk asrama guna mendidik umat). Dengan perkembangan jaman
sekarang, griya mempunyai fungsi keempat, yaitu industrialisasi sarana upacara.
Kompleksnya dan begitu jamaknya perlengkapan upacara Hindu Bali tersebut, pada akhirnya
memunculnya berbagai spesialisasi industri. Spesialisasi yang paling menonjol di bidang industri ini
adalah munculnya industri pembuatan sarana wadah dan lembu. Dua sarana ini merupakan perlengkapan

utama untuk pengangktan jenazah pada saat upacara ngaben. Industri ini tidak saja melakukan kerjasama
dengan lembaga griya tetapi juga dibuat khusus tersendiri. Upacara ngaben di Bali sebagian besar
menggunakan wadah dan sebagian lagi untuk kalangan tertentu, menggunakan lembu sebagai tempat
meletakkan jenazah saat dibakar di kuburan. Lembu ini merupakan tiruan bentuk sapi yang olehh
masyarakat Hindu dipandang sebagai kendaraan menuju sorga.
Secara ekonomis, industri ini menjanjikan karena harganya mencapai 15 juta rupiah satu unit dan
lembu sekitar 10 juta rupiah per unit. Berbagai industri ini yang tumbuh di Bali mampu mengerjakan
antara 10 sampai 15 tenaga kerja, dan setiap hari pasti ada pekerjaan. Di Desa Kapal, Jegu, Sangulan,
sesetan dan di berbagai pinggir jalan telah mulai berdiri insustri-industri seperti ini.
Modernisasi dan rasionalisasi pada bidang perlengkapan upacara tersebut mempunyai pengaruh
yang signifikan pada bidang sosial. Pengerahan massa dalam pembuatan sarana upakara tersebut menjadi
sangat berkurang dan masyarakat bisa memanfaatkan waktunya lebih banyak untuk keperluan-keperluan
yang lain, semisal untuk bekerja di kantor atau bekerja di sektor lainnya. Artinya beban sosial pada
upacara ngaben lebih ringan dibanding dengan apa yang diselenggarakan sebelumnya. Waktu yang
digunakan untuk melaksanakan upacara menjadi lebih irit.
Modernisasi pada bidang pengadaan sarana upakara ini kemudian diikuti dengan modernisasi
teknis. Saat kritis pada upacara ngaben sesungguhnya ada pada saat pengusungan jenazah menuju
kuburan. Saat-saat kritis tersebut bisa dikelompokkann menjadi dua. Yang pertama adalah sifat kritis
sosial yang didasarkan atas upaya untuk merusak citra pelaksanaan upacara ngaben yang idasarkan atas
sentiment pribadi maupun atas kekeliruan subyektif yang dipandang telah dilakukan oleh ia yang
meninggal dunia semasa masih hidup. Inilah yang membuat jalannya pengusungan jenazah menuju
kuburan diganggu, baik dengan cara memperlambat jalannya prosesi, atau menggoyang jalannya prosesi
tersebut. Kedua adalah susahnya mengkoorninir jalannya prosesi sebagai akibat terlalu banyaknya pihak
yang mengusung jenazah tersebut. Ketidakkoordinasian ini membuat pengusungan terasa berat.
Masalah ini kemudian dijawab dengan cara menambah roda pada bade yang dipakai mengusung
jenazah. Penambahan roda ini merupakan hal yang baru yang belum pernah terjadi di masa-masa
sebelumnya. Dan ini dipelopori oleh masyarakat yang ada di Sanur, Jimbaran, dan di Kuta. Dengan
adanya penambahan roda pada bade yang digunakan mengusung jenazah tersebut, prinsip utama
pengangutan bade bukan lagi mengusung secara bersama-sama tetapi mendorong secara bersama-sama
yang membuat tenaga jauh lebih bisa diirit. Dengan mendorong seperti ini, upaya mengarahkan bade
menjadi lebih mudah dan lebih mudah mengontrol prosesi upacara. Di Desa Sanur malah dalam satu
kasus, telah ada pengontrolan jalannya bade ini dilakukan dengan alat elektronik. Karena pengontrolan
lebih mudah dilakukan, maka gangguan terhadap prosesi menuju kuburan ini bisa ditekan menjadi
seminimal mungkin.
Modernisasi yang lebih radikal, justru dilakukan oleh masyarakat pendatang di kota-kota
Denpasar, terutama yang berada di sekitar Sanglah dan membentuk banjar baru. Semakin padatnya kota
Denpasar juga dengan semakin banyaknya tiang listrik di jalanan, membuat upaya pengusungan bade
inidihilangkan sama sekali. Penduduk pendatang yang membuat banjar baruu ini, dengan penuh
kesadaran menggunakan ambulans untuk mengangkut jenazah menuju kuburan Badung.

Modernisasi-modernisasi tersebut selanjutnya berkembang menuju industri yang terkait dengan
upacara ngaben. Misalnya industri catering mencoba masuk untuk memberikan pelayanan kepada para
tamu yang hadir. Industri tenda dan penywaan kursi masuk dengan upaya menggantikan pembikinan
salon yang dipakai di rumah yang mempunyai hajat. Dua industri ini telah jamak dipakai oleh pihakpihak yang mempunyai hajatan ngaben, terutama di kota-kota, tidak saja di Denpasar tetapi juga di kotakota yang lain. Saat ini, industri penitipan jenazah juga telah berkembang, terutama dilakukan oleh rumah
sakit seperti Rumah Sakit Sanglah dan Wangaya di Denpasar. Jasa swasta baru ada satu, yakni Kertha
Semadi yang ada di Denpasar. Industri ini ada untuk merespon berbagai adat dan tradisi ketat yang tidak
membolehkan adanya jenazah yang masuk menunju banjar atau lingkungan jika dilingkungan itu ada
upacara agama yang berlangsung.

5.

Analisis

Dalam pelaksanaan upacara ngaben, baik ngaben tradisional maupun ngaben yang dilaksanakan
di krematorium, faktor modernisasi sangat kelihatan. Dalam pandangan Stompka, yang mengutip Comte
(2007:82) modernisasi itu adalah upaya pelibatan ilmu dan teknologi dalam proses produksi. Unsur
modern dalam kedua pelaksanaan upacara ngaben tersebut cukup signifikan. Apabila dibawa menujuu
ranah produksi, ngaben pun sebenarnya memperlihatkan unsur prosuksi. Mengubah jenazah menjadi abu
adalah sebuah produk baru. Untuk membuat produk ini, kompor gas merupakan hasil teknologi baru
yang merupakan hasil kreatifitas manusia. Sebelumnya, dalam proses pembakaran jenazah di Bali,
masyarakat menggunakan bahan-bahan tradisionial yang kebanyakan berasal dari alam, misalnyaa
menggunakan tempurung kelapa, kayu bakar, atau bambu sebagai bahan utama pembakaran. Meskipun
demikian, modernisasi pun sebenarnya telah mulai ddiperkenalkan pada cara ngaben tradisionil ini,
sebelum penggunaan kompor gas, yakni dengan memakai ban bekasn dan penggunaan pisau untuk
menghancurkan jenazah agar proses pembakaran lebih cepat. Ban bekas merupakan hasi teknologi dan
pisau merupakan hasil pembaharuan sederhana dari peralatan manusia.
Proses pembakaran pada upacara ngaben yang dilaksanakan di krematorium, menggunakan
sarana yang lebih baru lagi, yaitu krematorium dimana jenazah langsung dimasukkan menuju lorong
pembakaran dan tertutup. Proses pembakaran jenazah tidak terlihat secara langsung oleh manusia dan
baru diperlihatkan setelah menjadi abu. Teknologi yang digunakan disini lebih maju dibanding dengan
kompor gas karena telah melibatkan lorong pembakaran dan tempat pembakaran yang permenan.
Pembakaran inii tidak dihancurkan setelah upacara dilaksanakan. Berbeda dengan ngaben konvensional
yang ada di Bali, tempat pembakaran jenazah itu tidak permanen dan langsung dihancurkan begitu
pelaksanaan upacara selesai.
Proses pengangkutan jenazah menuju kuburan pun, saat ini telah memperlihatkan sisi
modernitasnya. Wadah atau bade yang menggunakan roda kendaraan itu, adalah sebuah upaya
modernisasi karena menyangkut penerapan teknologi di dalamnya. Sarana teknologi masuk ke dalam
proses pengangkutan itu untuk mempermudah pengangkutan. Pada proses pengangkutan jenazah yang
dilakukan di krematorium, jenazahnya diangkut dengan menggunakan mobil ambulans. Disamping pada
pengangkutan, teknologi juga digunakan dalam upaya mengawetkan jenazah. Upaya beberapa kelompok
masyarakat yang menginapkan jenazahnya di rumah sakit untuk diawetkan saat menunggu hari

pengabenan juga merupakan penerapan teknologi modern. Bahkan mengunakan es sebagai sarana untuk
mengawetkan jenazah dii rumah duka juga merupakan modernisasi sebab es adalah produk teknologi
modern, yang digunakan untuk mengawetkan jenazah.
Keberanian masyarakat Hindu untuk memasukkan unsur-unsur modern ke dalam ritual
upacaranya, bisa dilihat dari konteks teori modernisasi baru. Sztopmpka menyebutkan bahwa
modernisasi yang diperkenalkan Barat tetap mempunyai kelemahan-kelemahan, yang berupa efek negatif
kepada masyarakat. Misalnya pemakaian minyak sebagai bahan bakar tetap mempunyai dampak negatif
berupa pencemaran udara. Karena itulah teori modernisasi kemudian mendapat modifikasi, yaitu teori
modernisasi baru. Modernisasi sering disebutkan sebagai anti-tradisi. Padahal dalam konsep tradisi,
dimungkinkan adanya unsur-unsur yang mendukung modernisasi. Dalam konteks demikian, tradisi Bali
mempunyai unsur-unsur yang mendukung modernisasi, yaitu kearifan lokal yang disebut desa, kala,
patra. Konsepsi ini memungkinkan masyarakat untuk memformat upacaranya sesuai dengan keadaan,
ruang dan waktu. Pemilihan memasukkan teknologi ke dalam proses pelaksaan upacara ngaben,
disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan desa, kala, patra, tersebut. Mengusung jenazah dengan cara
memakai roda akan sangat membantu mengirit tenaga sosial untuk mengompilasi masyarakat yang
melaksanakan upacara ngaben mungkin telah lelah bekerja berhari-hari. Membawa jenazah dengan
ambulans, adalah solusi untuk menghindai macet di kota dan juga jauhnya jarak rumah dengan kuburan.
Memilih melaksanakan upacara ngeben di krematorium, merupakan solusi terhadap mereka yang kontak
dengan kampungnya telah jarang, dimana aspek gotong royongnya telah hilang.
Modernisasi tidaka harus dilihat dari sisi penggunaan teknologi saja. Wilbert Moore menyebutkan
bahwa modernisasi itu bisa berupa trnsformasi total menuju masyarakat teknologi atau organisasi sosial
yang menyerupai masyarakat Barat (Sztompka, 2007: 152). Harus dulihat juga bahwa munculnya
pengorganisasian itu akan diikuti oleh spesialisasi-spesialisasi pekerjaan. Dalam masyarakat Hindu di
Bali, bade yang dipakaii untuk mengangkut jenazah ke kuburan, kini bisa dibeli dan di pesan di
perusahan. Perusahan yang membuat bade tersebut sebenarnya telah melaksanakan praktik modernisasi
karena disamping membentuk organisasi, mereka juga membentuk unit spesialisasi. Perusahan pembuat
bade adalah sebuah organisasi, yang mempunyai unit-unit tersendiri dengan anggota tersendiri untuk
membuat lembu, badan dari bade, atau atap dari bade bade yang bersangkutan.
Spesialisasi dalam bentuk yang lebih besar juga ada. Griya sebagai sebuah unit pelaksana
upacara agama Hindu, juga mempunyai unit-unit spesialisasi untuk membuat perlengkapan upacara.
Misalnya unit khusus yang membuat bade dan unit khsus yang membuat alat-alat perlengkapan ucakara
(banten).
Secara tradisionil, pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali menyita banyak biaya dalam
arti luas. Pelaksanaan itu tidak hanya akan memakan biaya yang tinggi tetapi juga memerlukan tenaga
besar dan waktu yang banyak. Fenomena ini jelas memberatkan masyarakat Hindu Bali yang harus
bekerja dan beraktivitas di tengah arus globalisasi. Karena itu pilihan-pilihannya dalam melaksanakan
upacara, disamping secara jelas mengandung unsur modernisasi, juga penerapan pilihan-pilihan yang
sifatnya rasional. Pilihan rasional itu, secara umum memberikan upaya untuk mendapatkan manfaat
maksimal kepada aktor dalam melaksanakan aktivitasnya (Colemann). Akan tetapi dalam melaksanakan
pilihan tersebut, individu juga menggunakan pertimbangan-pertimbangan kognitif yang dinilai sesuai
dengan kepentingannya pribadi (Mellor, 1999: 279).

Pemilihan melaksanakan upacara ngaben di krematorium merupakan pilihan yang rasional.
Dengan cara seperti itu keluarga duka akan mendapatkan manfaat yang maksimal. Pelaksanaan upacara
dengan mekanisme seperti ini tidak merepotkan keluarga dan banjar karena telah ada lembaga yang
mengaturnya. Cara demikian mampu mengirit tenaga dari tuan rumah yang pada upacara biasa harus
mengurusi banyak orang yang terlibat dalam upacara. Dari sisi biaya, upacara ngaben di krematorium
tidak memerlukan biaya besar. Maksimal pembiayaan upacara ini adalah 19 juta rupiah, jauh lebih murah
dibanding dengan melaksanakan ngaben konvensional. Disamping itu, keuntungan maksimal lain yang
didapatkan bisa berupa perasaan nyaman. Di masa lalu, dalam pelaksanaan upacara ngaben tradisionil
banyak gangguan-gangguan yang mengancam, terutama kepada pihak yang dipandang kurang aktif di
lingkungan banjar. Dengan melaksanakan ngaben di krematorium, ancaman seperti itu tidak akan ada.
Pengangkutan jenazah dengan memakai ambulans boleh dikatakan steril dari ancaman gangguan,
misalnya gangguan merusak prosesi jalannya jenazah menuju kuburan.
Pembelian banten dan perlengkapan upacara lain, termasuk juga pemakaian roda pada bade,
adalah sebuah pilihan rasional. Masyarakat menggunakan pengetahuan kognitifnya untuk melakukan
pilihan dengan tujuan manfaat yang maksimal. Dengan membeli banten dan perlengkapan upacara,
mereka akan mampu mengirit waktu untuk membuat berbagai sarana upacara tersebut. Penggunaan roda
dalam pengangkutan bade akan mampu mengirit tenaga dan lebih mudah mengkoordinasi jalannya
prosesi pengangkutan jenazah. Jika menggunakan prosesi tradisionil yang menggunakan tenaga
manusia, disamping menghabiskan banyak tenaga juga mengalami kesukaran dalam mengkoordinasi
perjalanan.

6.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian diatas dapat disimpulkan dua hal. Yang pertama, secara teoritis teoritis dalam konteks
sosial pekasanaan ritual masyarakat Hindu di Bali, teori modernisasi baru mampu bersinergi dengan teori
pilihan rasional. Dalam hal ini, output dari teori modernisasi baru tersebut dipakai sebagai sarana untuk
mendapatkan tindakan yang rasional. Munculnya pedagang banten untuk pelaksanaan upacara adalah
praktik modernisasi baru karena memakai sistem manajemen modern dalam pengorganisasiannya.
Sistematika dan spesialisasi pembuatan banten adalah model manajemen yang merupakan kreasi dari
modernisasi. Demikian pula dengan pemakaian roda dalam membantu menjalankan bade menuju kuburan
atau pemanfaatn kompor gas untuk melaksanakan pembakaran jenazah. Filosofi yang dipakai sebagai
legitimasi pelaksanaan upacara ini adalah kearifan loka, yaitu desa kala patra. Masyarakat Hindu Bali
percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa karena itu membolehkan upacara demikian, disesuaikan dengan
keadaan, tempat dan waktu.
Dengan cara itulah mereka mampu menghemat tenaga, waktu dan pembiayaan upacara. Ini
merupakan unsur rasionalitas, dimana masyarakat Hindu Bali mendapatkan keuntungan-keuntungan
maskimal, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun psikologis. Dalam praktik upacara masyarakat Hindu
Bali, dijawab dengan tegas bahwa manfaat maksimal yang didapatkannya bukan sekedar manfaat
ekonomis tetapi juga fisik dan psikologis, yakni menghemat tenaga dan mendapatkan perasaan nyaman.
Inilah sumbangan paling besar dalam penelitian ini terhadap teori pilihan rasional.

Kedua, dalam konteks sosial, tulisan ini menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran sosial
yang cukup berarti dalam melaksanakan upacara keagamaan. Otonomi pribadi dalam memilih upacara
berdasarkan keyakinan praktisnya. Perubahan sosial itu lebih memilih teknologi modern dibandingkan
dengan manusia. Artinya nilai-nilai gotong royong tersebut mulai terancam sebagai akibat adanya
perubahan sosial yang ddipengaruhi oleh praktik globalisasi di Bali.
Tersinerginya teori modernisasi baru dengan teori pilihan rasional dalam praktik pelaksanaan
upacara dalam masyarakat Hindu Bali, harus mendapatkan peratian dari tiga pihak. Dari sisi Parisadha
Hindu Dharma Indonesia mesti melihat pembaruan ini sebagai langkah yang mampu meringankan beban
hidup masyarakat. Karena itu, parisadha harus memilih pendeta-pendeta untuk semakin mendalami
pembaruan-pembaruan tersebut. Tujuan pendalaman ini adalah menggali makna keagamaan sehingga
upacara yang besar bisa disederhanakan. Pendeta menjadi pelegitimasi dari pelaksanaan upacara ini.
Kedua, bagi desa pakraman, terutama Majelis Desa Pakraman, baik di tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun propinsi harus melihat pembaruan ini sebagai sumbangan sosial. Karena itu mesti
mengkaji secara lebih mendalam, mengapresiasinya dan tidak memandang secara sinis. Jika bisa dilihat
secara bersih dan jujur, maka harus ada awig-awig yang memberikan legitimasi lebih kuat kepada
pembaruan ini.
Ketiga, pemerintah daerah harus mempunyai ”mata” lebih tajam. Perubahan sosial yang terjadi di
dalam pelaksanaan upacara berpotensi menimbulkan konflik. Pemerintah daerah, terutama di kabupaten
harus menyiapkan diri, sigap dalam menanggapi perkembangan sosial tersebut dengan dasar pemahaman
agama yang kuat, agar apabila terjadi konflik, bisa didinginkan dengan cepat. Konflik tidak meluas.****

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, 2008, “Teori dan Metodologi Studi Agama: Menuju Penelitian
Agama yang Kontekstual”, dalam Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya,
Volume VIII, Nomor 1.
Agung Gde Agung, 1987, Bali Abad Kesembilan Belas, Jakarta; Gunung Agung.
Andrain, Charles, F., 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Basset, Caterine, 1990, Bali Abianbase, Jakarta, Total
Berger, Peter L., Hartono (Terj.), 1991, Langit Suci: Agama sebagai Realitas
Sosial, Jakarta, LP3ES.
Bellah, Robert. M., 1983, “Cultural Identity and Asian Modernization”, dalam
Identity and Asian Modernization in Asian Countries, Institute for
Japanese Culture and Classics, kokugakuin University.
Bungin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif
dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press.
Coser, Lewis A., Rosenberg, Bernard, 1976, Sociological Theory, New York:
Fouth Edition, McMillan Publishing.
Couteau, Jean, et al, 2005, Bali 2Day Modernity, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Covarrubias, Miguel 1973, Island of Bali, Hongkong: Periplus.
Della Porta, Donatella, Mario Diani, 2004, Social Movement: An Introduction,
Australia, Blackwall Publishing.
Duverger, Maurice, Dhakidae, Daniel (terj.), 2003, Sosiologi Politik, Jakarta,
Raja Grafindo Persada.
Eder, Klaus 1992, “Contradictions and Social Evolution: A Theory of the Social
Evolution of Modernity”, dalam Haferkampp, Hans, Smelser, J. Neil (Ed),
1992, Social Change and Modernity, California: The Regents of The
University of California.
Eiseman Jr., Fred B., 1988, Skala Niskala, Hongkong: Periplus Editions.
________________ , 1990, Bali Skala dan Niskala (II), HK. Periplus Editions.
Elster, Jon, 1986, “Introduction”, dalam Elster, Jon, (ed.) Rational Choice, New
York: New York University Press.
Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta: Bentang.

Geriya, I Wayan, 2008, Transformasi Kebudayaan Bali: Memasuki Abad XXI,
Surabaya: Paramita
Haverkamp, Hans, Smelser, Neil J., (Ed.), 1993, Social Change and Modernity,
California, The Regens of The University of California.
Hendropuspito, 1983, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Kaler, I Gusti Ketut, 1993, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha
Lauer, Robert H., Alimandan (terj.), 2001, Perspektif tentang Perubahan Sosial,
Jakarta: Rineka Cipta.
Mabbett, Hugh, 2001, People in Paradise: The Balinese, Singapura: Paper
Publications.
Maswinara, I Wayan, 1996, Konsep Panca Sraddha, Surabaya: Paramita
Marshall, Peter, Kelder, Jo-Anne, “Social Constructionism with a Twist of
Pragmatism: a Suitable Coctail for information Systems Research”, Paper
in Australian Conference on Information Systems, 29 Nov.-2 dec, 2005.
Pasek Swastika, I Ketut, 2005, Suputra: Bhakti Kepada Leluhur, Denpasar,
Kayumas Agung.
Paloma, Margaret M., 2004, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George, Goodman, Douglas, J., 2007, Teori Sosiologi Modern (terj.),
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Pent. Sigit Jatmiko)
Scharf, Betty R., 1995, Kajian Sosiologi Agama, Yogya; Tiara Wacana.
Singarimbun, Masri, Sofian Effendi, 1985, Metode Penelitian Survai, Jakarta:
LP3ES.
Singgin Wikarman, I Nyoman, 1999, Ngaben Sederhana, Surabaya; Paramitra.
____________________, 2002, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana
Sampai Utama, Surabaya, Paramita.
Soekanto, Soerjono, 2003, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soeka Gde, 1989, Tri Rnam, Denpasar: Kayu Mas
Spybey, Tony, 1996, Social Change, Development and Dependency: Modernity,
Colonialism and the Development of the West, Great Britain, Polity Press.
Suastawa Darmayuda, I Made, 2001, Kesatuan Hukum Adat di Propinsi Bali,

Denpasar, Upada Sastra.
Sumarta, Ketut, Sucipta, wayan, 2005, “Bersitegang Meraih Setra,‟‟, dalam
Sarad, 68.
Susan, Novri, 2008, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta:
Prenada Media Grup.
Suwarsono, So, Alvin Y., 1991, Perubahan Sosial dan Pembangunan di
Indonesia: Teori-Teori Modernisasi, Dependensi dan Sistem Dunia,
Jakarta, LP3ES.
Sztompka, Piotr, 1993, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media
Group.
Taneko, Sole