Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga T1 362010037 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Desa Warak

Desa Warak RW VI secara geografis berada di kelurahan Dukuh, kecematan Sidomukti kota Salatiga Jawa Tengah dengan batas-batas sebagai berikut1:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah desa Grogol RW IV kota Salatiga. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah desa Kumpulrejo kota Salatiga. c. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah desa Warak RW IX kota Salatiga. d. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah desa Polobogo Kec. Getasan Kab.

Semarang.

Kelurahan Dukuh terletak di wilayah Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga, berada pada kilometer 50 Jalan Semarang-Solo, dengan ketinggian ± 2.540 m dari permukaan laut, beriklim tropis dengan hawa yang sejuk, musim hujan terjadi dalam kurun waktu 130-160 hari /tahun dengan curah hujan rata-rata 2.583 mm /tahun. Suhu udara terendah rata-rata 23 derajat Celcius pada bulan September-Oktober dan suhu udara tertinggi rata-rata 32 derajat Celcius (Monografi Desa Warak, 2014).

1

Untuk lebih jelasnya lihat Peta Kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti 2014 (Monografi Desa Warak, 2014).


(2)

Menurut salah satu sesepuh masyarakat setempat (Bp. Martono Markam), diperoleh informasi mengenai sejarah singkat asal mula desa Warak bahwa:

“Diceritakan, pada zaman para Wali, ketika daerah Warak masih berupa hutan belantara, ada seekor warak yang sedang kehausan dan mencari minum. Warak tersebut berusaha minum disebuah sumur, namun malang, warak tersebut tercebur dan mati di dalam sumur. Ada sebagian yang percaya bahwa warak malang tersebut tak lain adalah penjelmaan dari Ki Ageng Tawangan, orang sakti dari kerejaan Banten yang menetap di daerah Warak pada zaman Kerajaan Majapahit, pasca runtuhnya Kerajaan Banten. Setelah tempat tersebut mulai ramai dihuni manusia, roh ki Ageng Tawangan membisikan kepada sesepuh kampung untuk menamai kampung tersebut dengan nama Warak.”2

4.1.1 Keadaan Penduduk,

Jumlah penduduk setiap tahunnya berubah dan mengalami perkembangan penduduk yakni perkembangan tingkat kelahiran, kematian, imigrasi, migrasi penduduk dan lain-lain. Hal tersebut menjadi penting bagi setiap lapisan masyarakat desa Warak untuk mampu mengkomunikasikan warisan kebudayaan yang dimiliki dengan strategi komunikasi mempertahankan pagelaran wayang kulit dalam saparan, agar tidak terjadi putusnya makna kebudayaan yang menyebabkan tidak bertahannya suatu tradisi karena faktor perkembangan penduduk tiap tahunnya.


(3)

Tabel 4.l

Jumlah Penduduk Kelurahan Dukuh, Tahun 2014 NO JUMLAH PENDUDUK JUMLAH

JIWA

1. Jumlah Penduduk Awal 13.287

2. Total Jumlah Kelahiran 42

3. Total Jumlah Kematian 10

4. Total Penduduk Datang 28

5. Total Penduduk Pindah 33

6. Total WNA 109

Jumlah Penduduk Akhir 13.423

Sumber: Monografi Desa Kelurahan Dukuh, 2014.

4.1.2 Kependudukan Berdasarkan Agama

Masyarakat menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Kepercayaan (Monografi Desa Kelurahan Dukuh, 2014). Dalam kehidupan beragama sehari-hari khususnya di kecamatan Dukuh cukup berlangsung harmonis. Toleransi umat beragama di desa Warak menjadi kunci masih bertahannya pagelaran wayang kulit.

Lebih jauh lagi, bagi bangsa Indonesia hidup beragama itu dalam perkembangannya telah menyatu padu dengan tradisi dan kebudayaan setempat (A. Daliman, 2012:1).


(4)

Table 4.2

Banyaknya Pemeluk Agama Kelurahan Dukuh, Tahun 2014

NO AGAMA JUMLAH

JIWA

1. Islam 10.765

2. Kristen

Protestan 2.051

3. Katolik 480

4. Budha 14

5. Hindu 2

6. Kepercayaan 2

JUMLAH TOTAL 13.314

Sumber: Monografi Desa Kelurahan Dukuh, 2014.

4.1.3 Kependudukan Berdasarkan Pekerjaan

Ditinjau dari status ekonomi masyarakat di Kelurahan Dukuh pada umumnya bermata pencaharian mulai dari Petani, Pengusaha, Buruh, hingga Pegawai Swasta maupun Negeri (Monografi Desa Kelurahan Dukuh, 2014).

“Dulu wayang digunakan sebagai perayaan setelah panen padi, dengan maksud sebagai ucapan syukur kepada Dewi Sri. Sekarang pagelaran wayang kulit dimaknai sebagai ritual upacara saparan atau nguri-uri

budaya Jawa sebagai ucapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagian masyarakat memaknai wayang kulit sebagai simbol kebersamaan masyarakat yang masih guyub dalam menjalankan warisan budaya.”3


(5)

Perkembangan jaman membuat masyarakat desa Warak banyak yang beralih pekerjaan dari petani menjadi Pengusaha, Buruh, hingga Pegawai Swasta maupun Negeri. Pengaruh pekerjaan berdasarkan mata pencaharian yang beragam di desa Warak tidak berpengaruh terhadap pagelaran budaya wayang kulit karena diimbangi dengan baik oleh masyarakatnya.

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH

1. Buruh Tani Perkebunan 50

2. Buruh Harian Lepas 1.432

3. Wiraswasta 973

4. Pedagang 137

5. Sopir 93

6. Guru 224

7. PNS 566

8. Karyawan Swasta 2.195

9. Petani/ Pekebun 77

10. Perdagangan 71

11. Pensiunan 341

12. Lain – Lain 7.228

Jumlah Total 13.387


(6)

4.2 Latar Belakang Penyelenggaraan Wayang Kulit

Sebagai unsur kebudayaan Indonesia, pertunjukan wayang kulit merupakan warisan nenek moyang yang menjadi unggulan masyarakat setempat dan terjaga keasliannya serta dilaksanakan sampai sekarang dengan dukungan para tokoh atau sesepuh masyarakat masih dihormati dan disegani. Sejak awal sesuai dengan perkembangannya upacara bersih desa atau saparan tidak pernah terpisah dari pertunjukan wayang kulit. Nilai ritual Saparan disinergikan dengan seni pertunjukan wayang kulit.

Wayang kulit mempunyai nilai hiburan yang mengandung cerita baku baik untuk tontonan atau tuntunan. Penyampaian ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Variasainya dapat meliputi segi kepribadian, kepemimpinan kebijaksanaan dan kearifan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara (Gunarjo,2011:37).

Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan secara periodik setahun sekali pada bulan Sapar bulan kedua dalam tanggalan Jawa tepatnya Jum’at Wage. Memasuki bulan Sapar 2014, Juma’at Wage hanya jatuh satu kali dan sudah memasuki bulan baru yakni bulan Mulud. Sehingga pagelaran wayang kulit semalam suntuk dilaksanakan pada Selasa Wage atau dalam tanggalan Nasional jatuh pada tanggal 16 Desember 2014.


(7)

Upacara desa atau saparan menjunjung nilai-nilai kebersamaan dari masyarakat warak. Rangkaian kegiatan upacara desa diantaranya adalah pertunjukan wayang kulit, yakni dimulai dengan4:

1. Kegiatan bersifat kultur Jawa

a. Dandan Kali: masyarakat bersama-sama membersihkan tempat yang dulunya adalah sumber air yang dulu digunakan oleh warga sekitar, sebagai wujud penghargaan terhadap air sebagai sumber kehidupan. b. Besik Makam dan Punden: masyarakat membersihkan tempat tersebut

sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. 2. Kegiatan Budaya

a. Diakhiri dengan pagelaran budaya wayang kulit semalam suntuk, dengan pendanaan dari seluruh masyarakat Warak.

Diselenggarakan dengan berpegang pada prinsip menjaga silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa slira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.5

4

Hasil wawancara peneliti dengan (Bpk. Agus Prasetyo) Ketua RT 08, 13 November 2014. 5


(8)

Dalam buku Komunikasi Pembangunan Theodorson (1969:151) menyebutkan bahwa, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Mengacu kepada pendapat Theodorson, keikutsertaan masyarakat desa Warak khususnya untuk pengadaan pagelaran wayang kulit adalah tanpa paksaan atau kesadaran diri untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya.

Dasar persiapan penyelenggaraan pagelaran wayang kulit dari dulu hingga sekarang sama mulai dari merencanakan hingga melaksanakan kegiatan. Pada tahun 2014 Kepanitiaan RT VIII yang berketempatan menghadirkan wayang kulit. Sebagai wujud dukungan terhadap perkembangan budaya lokal terhadap pengaruh globalisasi, Ketua Panitia memiliki ide atau gagasan terhadap generasi muda untuk berpartisipasi agar mereka mampu meneruskan warisan budaya yang dimiliki. Perlu sebuah kolerasi antara generasi sekarang dengan tradisi yang dilakukan yaitu dengan menarik aktifitas remaja sedekat mungkin melalui sebuah acara budaya leluhur, sehingga generasi muda mengenal dan bersentuhan dengan budaya tersebut. Maka pada tahun 2014 mulai diangkat tema: “Generasi Belajar Mengenal Tradisi (GBMT).”

Hal diatas menguatkan penuturan (Bp. Suparno, Ketua RW VI) dalam sambutan pidatonya, menyebutkan bahwa:


(9)

kanthi pesat ananging saking wilayah RW 6 mriki taseh saget nguri-uri budoyo Jawi.”

“Pramilo saking meniko kito saking kepengurusan RW ugi maturnuwun saget panyengkuyung RT setunggal ngantos wolu kasembatan kados ndalu puniko kanthi penggajab ngawontenaken ringgit utawi warisan meniko. Mugi Allah maringi berkah pangestu dumateng panjenengan ugi pepundhen wonten ing RW 6 mriki maringi kawulejengan kebagaswarasan lan gegayuhan kangge tumprapipon wargo RW 6 saget kasembadan.”6

Terjemahan bebas

(Angka pertama kita nguri-uri budaya Jawa dan angka kedua kita mempunyai warisan nenek moyang yaitu merti desa. Sampai saat ini dari RT satu sampai RT delapan masih guyub dan sayuk. Perlu kita syukuri karena akhir-akhir ini perkembangan jaman sudah maju, teknologi sudah canggih dan kesenian dari macanegara sudah berkembang pesat namun dari wilayah RW VI disini masih bisa nguri-uri budaya Jawa).

(Maka dari kegiatan pertunjukan wayang kulit ini kita dari kepengurusan RW mengucapkan terima kasih bisa gotong royong dari RT satu hingga RT delapan berkesempatan seperti malam ini mengadakan warisan budaya. Semoga Allah memberi berkah, restu untuk kita semua dan pepunden yang ada di RW VI ini memberi kesehatan dan tercapainya harapan warga RW enam bisa terpenuhi).

6


(10)

Gambar 4.1

Sambutan Pidato (Bp. Suparno, Ketua RW VI)


(1)

Perkembangan jaman membuat masyarakat desa Warak banyak yang beralih pekerjaan dari petani menjadi Pengusaha, Buruh, hingga Pegawai Swasta maupun Negeri. Pengaruh pekerjaan berdasarkan mata pencaharian yang beragam di desa Warak tidak berpengaruh terhadap pagelaran budaya wayang kulit karena diimbangi dengan baik oleh masyarakatnya.

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH

1. Buruh Tani Perkebunan 50

2. Buruh Harian Lepas 1.432

3. Wiraswasta 973

4. Pedagang 137

5. Sopir 93

6. Guru 224

7. PNS 566

8. Karyawan Swasta 2.195

9. Petani/ Pekebun 77

10. Perdagangan 71

11. Pensiunan 341

12. Lain – Lain 7.228

Jumlah Total 13.387


(2)

4.2 Latar Belakang Penyelenggaraan Wayang Kulit

Sebagai unsur kebudayaan Indonesia, pertunjukan wayang kulit merupakan warisan nenek moyang yang menjadi unggulan masyarakat setempat dan terjaga keasliannya serta dilaksanakan sampai sekarang dengan dukungan para tokoh atau sesepuh masyarakat masih dihormati dan disegani. Sejak awal sesuai dengan perkembangannya upacara bersih desa atau saparan tidak pernah terpisah dari pertunjukan wayang kulit. Nilai ritual Saparan disinergikan dengan seni pertunjukan wayang kulit.

Wayang kulit mempunyai nilai hiburan yang mengandung cerita baku baik untuk tontonan atau tuntunan. Penyampaian ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Variasainya dapat meliputi segi kepribadian, kepemimpinan kebijaksanaan dan kearifan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara (Gunarjo,2011:37).

Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan secara periodik setahun sekali pada bulan Sapar bulan kedua dalam tanggalan Jawa tepatnya Jum’at Wage. Memasuki bulan Sapar 2014, Juma’at Wage hanya jatuh satu kali dan sudah memasuki bulan baru yakni bulan Mulud. Sehingga pagelaran wayang kulit semalam suntuk dilaksanakan pada Selasa Wage atau dalam tanggalan Nasional jatuh pada tanggal 16 Desember 2014.

Desa Warak RW VI terbagi menjadi delapan RT. Secara periodik dalam setahun hanya satu RT yang berkesempatan menghadirkan pertunjukan wayang kulit. Dimulai dari RT I hingga ke RT VIII dan berulang kembali seterusnya. Hal itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat desa Warak.


(3)

Upacara desa atau saparan menjunjung nilai-nilai kebersamaan dari masyarakat warak. Rangkaian kegiatan upacara desa diantaranya adalah pertunjukan wayang kulit, yakni dimulai dengan4:

1. Kegiatan bersifat kultur Jawa

a. Dandan Kali: masyarakat bersama-sama membersihkan tempat yang dulunya adalah sumber air yang dulu digunakan oleh warga sekitar, sebagai wujud penghargaan terhadap air sebagai sumber kehidupan. b. Besik Makam dan Punden: masyarakat membersihkan tempat tersebut

sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. 2. Kegiatan Budaya

a. Diakhiri dengan pagelaran budaya wayang kulit semalam suntuk, dengan pendanaan dari seluruh masyarakat Warak.

Diselenggarakan dengan berpegang pada prinsip menjaga silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa slira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.5

4

Hasil wawancara peneliti dengan (Bpk. Agus Prasetyo) Ketua RT 08, 13 November 2014.

5


(4)

Dalam buku Komunikasi Pembangunan Theodorson (1969:151) menyebutkan bahwa, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Mengacu kepada pendapat Theodorson, keikutsertaan masyarakat desa Warak khususnya untuk pengadaan pagelaran wayang kulit adalah tanpa paksaan atau kesadaran diri untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya.

Dasar persiapan penyelenggaraan pagelaran wayang kulit dari dulu hingga sekarang sama mulai dari merencanakan hingga melaksanakan kegiatan. Pada tahun 2014 Kepanitiaan RT VIII yang berketempatan menghadirkan wayang kulit. Sebagai wujud dukungan terhadap perkembangan budaya lokal terhadap pengaruh globalisasi, Ketua Panitia memiliki ide atau gagasan terhadap generasi muda untuk berpartisipasi agar mereka mampu meneruskan warisan budaya yang dimiliki. Perlu sebuah kolerasi antara generasi sekarang dengan tradisi yang dilakukan yaitu dengan menarik aktifitas remaja sedekat mungkin melalui sebuah acara budaya leluhur, sehingga generasi muda mengenal dan bersentuhan dengan budaya tersebut. Maka pada tahun 2014 mulai diangkat tema: “Generasi Belajar Mengenal Tradisi (GBMT).”

Hal diatas menguatkan penuturan (Bp. Suparno, Ketua RW VI) dalam sambutan pidatonya, menyebutkan bahwa:

“ongko sepindah kito nguri-uri budoyo Jawi lan ongko kalih kito

kagungan warisan nenek moyang kito inggih meniko merti dusun. Ngantos wekdal meniko saking RT setunggal ngantos wolu taseh guyub taseh sayuk. Kedah kito syukuri amargi wekdal-wekdal sak meniko perkembangan jaman sampon majeng teknologi sampun canggih lajeng kesenian saking monconegari sampun berkekembang


(5)

kanthi pesat ananging saking wilayah RW 6 mriki taseh saget

nguri-uri budoyo Jawi.”

“Pramilo saking meniko kito saking kepengurusan RW ugi

maturnuwun saget panyengkuyung RT setunggal ngantos wolu kasembatan kados ndalu puniko kanthi penggajab ngawontenaken ringgit utawi warisan meniko. Mugi Allah maringi berkah pangestu dumateng panjenengan ugi pepundhen wonten ing RW 6 mriki maringi kawulejengan kebagaswarasan lan gegayuhan kangge

tumprapipon wargo RW 6 saget kasembadan.”6

Terjemahan bebas

(Angka pertama kita nguri-uri budaya Jawa dan angka kedua kita mempunyai warisan nenek moyang yaitu merti desa. Sampai saat ini dari RT satu sampai RT delapan masih guyub dan sayuk. Perlu kita syukuri karena akhir-akhir ini perkembangan jaman sudah maju, teknologi sudah canggih dan kesenian dari macanegara sudah berkembang pesat namun dari wilayah RW VI disini masih bisa nguri-uri budaya Jawa).

(Maka dari kegiatan pertunjukan wayang kulit ini kita dari kepengurusan RW mengucapkan terima kasih bisa gotong royong dari RT satu hingga RT delapan berkesempatan seperti malam ini mengadakan warisan budaya. Semoga Allah memberi berkah, restu untuk kita semua dan pepunden yang ada di RW VI ini memberi kesehatan dan tercapainya harapan warga RW enam bisa terpenuhi).

6


(6)

Gambar 4.1

Sambutan Pidato (Bp. Suparno, Ketua RW VI)


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Scene Musik Indie “SOHC” dalam Mempertahankan Eksistensi di Kota Salatiga T1 362012079 BAB IV

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas Mobil Foxy Salatiga dalam Mempertahankan Nilai Kelompok T1 362009032 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga T1 362010037 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga T1 362010037 BAB II

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga T1 362010037 BAB V

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga T1 362010037 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Mempertahankan Wayang Kulit Dalam Tradisi Saparan di Desa Warak RW VI Kota Salatiga

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas Youth Krew Salatiga dalam Mempertahankan Eksistensi Kelompok T1 362007026 BAB VI

0 0 2

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyebab Kegagalan dalam Pemberian ASI Eksklusif: Studi Kualitatif di Desa Warak T1 BAB IV

0 1 36

T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas Futsal Youthkrew Premier League dalam Eksistensi di Kota Salatiga T1 BAB VI

0 0 2