Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek.

(1)

i

TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK

DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN

1221005006

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK

DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN

1221005006

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Sosial

pada Program Studi Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi yang berjudul

Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek”.

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika., Sp., PD., KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana atas motivasi, saran serta arahan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana.

2. Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana atas motivasi dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana.

3. Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini., M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi yang telah memberikan motivasi, saran, dan masukan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi.

4. Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A., selaku Pembimbing I yang selalu menghasut penulis untuk terus berpikir dan melampaui diri.

5. Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si, selaku Pembimbing II penulis atas bimbingan, inspirasi perjuangan, serta motivasi yang diberikan kepada penulis untuk terus menempa diri selama menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

6. Dra Nazrina Zuryani., MA., Ph.D selaku Pembimbing Akademik (PA) penulis atas segala motivasi, bimbingan, serta masukan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.


(6)

vi

7. Ikma Citra Ranteallo, S.Sos., M.A., selaku dosen yang selalu memberikan perhatian, motivasi, ruang diskursif, dan kesempatan kepada penulis untuk terus berkembang selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. 8. Staf dosen di Program Studi Sosiologi atas motivasi, serta bekal ilmu yang

telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan.

9. Ibunda tercinta, selaku seorang ibu sekaligus ayah yang tak henti-hentinya

berkata, “Hanya dengan pendidikan hidupmu dapat berubah, Nak”.

10.Kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2013-2014, 2014-2015, 2015-2016 yang selalu memberikan ruang diskursif dan tantangan baru.

11.Teman-teman Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia cabang Denpasar, yang selalu memberikan motivasi, inspirasi, dan tentunya ruang dialektis baru bagi penulis.

12.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2012 yang selalu menginspirasi, terutama Udiyani dan Ozi.

13.Dwi Juni Ardianti, yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan perspektif baru kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan guna perbaikan lebih lanjut.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan suatu manfaat dan menambah khasanah pengetahuan bagi kita semua. Terimakasih

Denpasar, Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI


(7)

vii

HALAMAN JUDUL………...… i

HALAMAN PERNYATAAN JUDUL……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR GAMBAR……… x

ABSTRAK………...……… xi

ABSTRACT………..…… xii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 12

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 12

1.4 Manfaat Penelitian ……… 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 14

2.1 Kajian Pustaka ………... 14

2.2 Kerangka Konseptual……….. 17

2.2.1 Metasosiologi..…..……… 17


(8)

viii

BAB III METODE PENELITIAN ………... 23

3.1 Metode Penelitian……… 23

3.2 Jenis Penelitian ………... 24

3.3 Metode Pengumpulan Data………. 24

3.4 Jenis dan Sumber Data……… 25

3.5 Metode Analisis Data ………. 25

BAB IV BIOGRAFI SLAVOJ ŽIŽEK………. 28

BAB V METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK ŽIŽEK………… 34

5.1 Meta Understanding (Mu) Redefinisi Subyek Žižek….………...….. 34

5.2 Meta Prelude (Mp) Redefinisi Subyek Žižek………... 52

5.3 Meta Overacting (Mo) Redefinisi Subyek Žižek………. 59

BAB VI SUBYEK ŽIŽEK DALAM PARADIGMA SOSIOLOGI……. 62

BAB VII PRAKSIS DAN RELEVANSI SUBYEK ŽIŽEK………. 71

BAB VIII KRITIK SUBYEK ŽIŽEK………..……….. 80

BAB XI PENUTUP……… 86

9.2 Kesimpulan……….. 86


(9)

ix

DAFTAR TABEL


(10)

x

DAFTAR GAMBAR


(11)

xi ABSTRAK

Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek

Penelitian ini berupaya mengkaji konsep subyek teoretisi sosial kontemporer, Slavoj Žižek. Secara ringkas, redefinisi subyek oleh Žižek dibentuk melalui subyek Descartes dan idealisme Jerman yang dikonstruksikan kembali melalui konsep lacanian, serta menggunakan pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Badiou untuk mencapai aspek aksiologis. Subyek Žižek apabila dipahami lebih mendalam, belum dapat dikategorikan sebagai kerangka pemikiran secara sosiologis. Dalam menemukan status sebagai kerangka pemikiran sosiologis, subyek Žižek perlu dipahami kembali menggunakan tinjauan metasosiologi. Tinjauan metasosiologi digunakan sebagai upaya menemukan perspektif baru, sekaligus menempatkan konsep subyek dalam paradigma sosiologi. Dalam menghasilkan pembahasan komprehensif, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif-eksplanatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) dalam pengkajiannya. Subyek Žižek yang dikategorikan dalam paradigma definisi sosial ditujukan pada upaya melegitimasi praksis dan relevansi konsep subyek dalam ranah sosiologi. Untuk mencapai potensi tindakan, subyek

Žižek diperbaharui aspek aksiologisnya melalui konsep sosiologi subyek. Wujud karateristik sosiologi subyek antara lain; Pertama, sosiologi subyek menekankan pada tindakan untuk mendorong interaksi yang luas dan tak terbatas. Kedua,

sosiologi subyek bukan hanya memandang diri sebagai kekosongan, melainkan turut melihat peristiwa sebagai kekosongan yang harus didahulukan dengan potensi tindakan. Tranformasi pemikiran subyek Žižek dalam konsep sosiologi subyek dibentuk untuk menciptakan tindakan aktif yang ditujukan bagi dirinya dan the other. Sosiologi subyek diharapkan mampu menjaga tradisi konsep subyek Žižek dalam era pemikiran kontemporer terutama dalam kerangka mikrososiologi. Konsep tersebut, turut diharapkan menjadi terobosan pemikiran terutama dalam isu-isu seperti “masyarakat cair”, masyarakat beresiko, dan menghidupkan kembali kategori subyek dalam perdebatan pemikiran posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.

Kata kunci: redefinisi subyek, Slavoj Žižek, metasosiologi, the other, sosiologi subyek.


(12)

xii

ABSTRACT

A Metasociology Approach on Slavoj Žižek Redefinition Subject Thought

This research examines the subject concept of social contemporary thinker Slavoj

Žižek. Briefly, the redefinition subject concept of Žižek is built through the Descartes’s subject and the Germany idealism that is reconstructed with

Lacanian concept, also using the idea of Althusser, Laclau-Mouffe, and Badiou to achieve the axiology aspect. The Žižek’s subject looked from deep understanding, it is can not categorized as sociological concept. To attain sociological concept, the Žižek’s subject must be understood properly and it can be done by the metasociology approach. Metasociology approach is used to attain a new perspective and to adjust the subject concept in sociological paradigm. This research is used qualitative descriptive-explanative method with library research to attain comprehensive research about subject. The Žižek’s subject that is categorized in the paradigm definition social is used to define the practical and the relevance legitimate of subject concept in sociology. To attain the potential

action, Žižek’s subject is refurbished with the axiology aspect through the

sociology subject concept. The characteristic of sociology subject such as: Firstly, sociology subject emphasizes on an action for encouraging a wide and an unlimited interaction. Secondly, sociology subject does not only observe that itself as a void, but it also observes that an event as a void with potential action first.

The transformation idea of Žižek’s subject in sociology concept is formed to attain

an active action that is intended for their self and the others. Sociology subject is expected to preserve the tradition Žižek’s subject concept in contemporary idea era, especially in the framework of microsociology. This concept is expected to be

define a new perspective especially in “liquid society”, society risk issues, and

also to revive the subject category in a postmodern, structuralism, and post-structuralism discussion.

Keywords: redefinition subject, Slavoj Žižek, metasociology, the other, sociology on subject.


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

“…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object.” (Žižek)

1.1Latar Belakang

Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai

proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus, misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious).1

Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut, pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut,2

1 Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74.


(14)

2

Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka, tidak heran bahwa ia cenderung secara spontan untuk bertanya: Apakah artinya menjadi manusia?. Kerapkali, sejak usia remaja, manusia merasa dalam dirinya sendiri yang paling pribadi suatu dorongan yang ada di bawah langit Delphi: Kenalilah dirimu sendiri!.

Penjelasan Socrates di atas mencoba untuk menegaskan posisi manusia sebagai makhluk yang berpikir. Konsepsi manusia Socrates kemudian mempengaruhi corak berpikir para filsuf setelahnya yang lebih memiliki ranah perdebatan mengenai posisi subyek3 (individu/manusia) dalam masyarakat.

Perbedaan pandangan posisi subyek dalam masyarakat dimulai oleh pencetus idealisme yakni Plato yang secara tegas menyebut manusia sebagai makhluk sosial dan menolak konsepsi kaum sofis yang menyatakan masyarakat sebagai bentukan individu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang mendefinisikan manusia sebagai makhluk individual dan tujuan utamanya di dunia adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya.4

Pada perkembangannya kemudian, muncul filsuf Rene Descartes yang disebut pula sebagai bapak filsafat modern dengan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Secara etimologis, Descartes membedakan subyek (cogito, kepala, pikiran) dan dunia (sum, hidup, ada). Antara kepala dan dunia dihubungkan oleh media ilmu pengetahuan (sebagai ergo) melalui aktivitas

3 Subyek tidak selalu hadir (baca: ada) meskipun secara umum subyek selalu diartikan sebagai manusia atau individu. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai definisi baik diartikan sebagai subyek aktif atau pasif oleh para teoritisi. Subyek aktif adalah subyek yang bergerak dan memiliki substansi, sedangkan subyek pasif adalah subyek yang diartikan sebagai pengguna atau

repese tasi dari ya g e pe garuhi ya. Kehadira subyek dikataka ada apabila a usia atau

individu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subyek otonom.

4 Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, h. 20-21.


(15)

3

berpikir.5 Melalui pemikiran Descartes inilah kemudian subyek yang otonom

dihasilkan, subyek yang bebas akan pengembangan diri subyek itu sendiri. Lebih jauh, pemikiran Descartes berkembang menjadi rumusan klasik atau adagium yang kemudian melahirkan rumusan yang baru dan lain. Misalnya, muncul rumusan eligo ergo sum yang diartikan dengan, “Aku memilih, maka aku ada”.6 Hal tersebut

menandakan dalam kegiatan memilih atau berpikir, manusia (individu, subyek) mengukuhkan eksistensinya. Selain itu, dengan kegiatan memilih atau berpikir (cogito maupun eligo), semakin menunjukkan posisi manusia sebagai subyek otonom yang melakukan tindakan memilih atau berpikir untuk menunjukkan bahwa dia ada.

Pergerakan ranah intelektual di Abad Pencerahan mendorong upaya sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan diri dari pengaruh filsafat serta psikologi. Pemikiran awal sosiologi yang diusung oleh Auguste Comte sekaligus Herbert Spencer dianggap cenderung menonjolkan dunia ide. Dunia ide yang dibawa oleh kedua pemikir tersebut pun lebih mengutamakan dimensi keteraturan sosial (social order) daripada dunia empiris, sehingga dapat dikatakan secara tegas jika warna filsafat masih membayangi pemikiran Comte dan Spencer. Proyek peneguhan keilmuan sosiologi pun dimulai dari peletakkan dunia empiris oleh Emile Durkheim. Durkheim berusaha memisahkan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte serta Herbert Spencer melalui dua karya monumentalnya Suicide (1897) dan The Rule of Sociological Method (1895).

5Ah ad Faridl Ma’aruf, Diskursus dan Metode: Rene Descartes, IRCiSoD, Yogyakarta,

2012, h. 9.


(16)

4

Durkheim dengan pemikiran fakta sosial hadir dalam upayanya menemukan obyek studi sosiologi untuk menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan memenuhi unsur ilmiah. Pandangan fakta sosial menolak adanya dunia ide yang cenderung mengedepankan proses pemikiran spekulatif, sehingga fakta sosial mendorong terbentuknya proses pemikiran yang empiris (dapat diukur dan dapat dipastikan kebenarannya). Secara terperinci, pandangan fakta sosial terdiri atas; kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societis), sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, dan pemerintahan.7 Fakta sosial kemudian secara tegas dan

jelas meletakkan dimensi struktur sosial dan pranata sosial sebagai barang yang ada sekaligus membawa ranah empiris dalam mempengaruhi subyek, sehingga pengaruh pemikiran Durkheim berkembang menjadi sebuah kebenaran umum, di mana realitas sosial menjadi aspek yang tak terpisah dari manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat.8

Penolakan dalam bentuk perbedaan pandangan mengenai posisi subyek sebagaimana dijelaskan oleh pemikir fakta sosial ditentang oleh pemikir definisi sosial yang dipelopori oleh Max Weber. Weber dalam pemikirannya menuangkan posisi subyek (individu) sebagai pelopor pembentuk realitas sosial. Penolakan Weber terhadap fakta sosial ditunjukkan oleh pernyataan “mempelajari perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan manusianya sendiri, berarti mengabaikan segi-segi prinsipal dari kehidupan

sosial”.9 Secara eksternal, norma dan nilai sosial menjadi hambatan bagi

7 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 18-19.

8 Peter L. Berger, Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991, h. 3. 9 George Ritzer, op. cit., h. 37.


(17)

5

pengembangan diri subyek dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Hal inilah yang kemudian menjadi kelemahan pemikiran fakta sosial dibandingkan pemikiran definisi sosial yang mengedepankan segi aktif dan kreatif subyek untuk menentukan posisi di dalam pemaknaan realitas sosial, sekaligus mempertegas posisi subyek di dalam masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi (verstehen).

Posisi subyek menentukan aktivitas baik secara tindakan dan pikiran merupakan bagian di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan akan terus berlanjut sesudahnya sebagai wujud biografi atas tiap individu. Terkait hal tersebut, Peter L. Berger dalam posisi perdebatan mengenai subyek dalam masyarakat mengemukakan pendapat sebagai berikut,10

Masyarakat sudah ada sebelum individu ada Masyarakat pun ada ketika individu tidak ada.

Pandangan Berger di atas memberikan gambaran tidak ada suatu hal yang berlawanan di antara keduanya. Baik subyek (individu) dan masyarakat memiliki hubungan causa reality ‘realitas yang saling mempengaruhi’ yang menghasilkan sebuah penilaian akan hubungan tersebut. Nilai-nilai subyektif yang ada akan mengalami ketegangan menuju proses dialektis dengan kegiatan obyektif. Pemikiran Berger pun sarat dengan upaya menjembatani mikro-makro sosiologi.

Beralih pada ranah sosiologi modern, perkembangan teori klasik menuju ranah modern tak luput dari persoalan subyek. Pemikir sosiologi modern seperti


(18)

6

Talcot Parsons serta muridnya, Robert K. Merton mengusung pemikiran fungsional struktural yang menggiring peleburan subyek dalam masyarakat sekaligus menguatkan pondasi makrososiologi. Pemikiran keduanya mengenai peleburan subyek secara lugas terdapat dalam pendapat Parsons dan Merton sebagai berikut,

Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk ‘mengoptimalkan

kepuasan’, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara struktural.11

Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial ketimbang pada motif individual.12

Pendapat Parsons dan Merton didukung oleh pemikiran Kingsley Davis serta Wilbert Moore yang menjelaskan cara masyarakat memotivasi dan

menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”.13 Dengan demikian,

gambaran posisi subyek dalam pandangan fungsional struktural merupakan dorman dari masyarakat dan subyek pun tidak memiliki otoritas dalam pembentukan sebuah realitas sosial.

Pola makrososiologi yang didengungkan para pemikir fungsional struktural tentunya tidak memperoleh kedudukan absolut dalam perkembangan teori sosial.

11 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 124.

12 Ibid., h. 139. 13 Ibid., h. 118.


(19)

7

Kritik terhadap pandangan kaum fungsional struktural (makrososiologi) ditentang oleh para pemikir interaksionisme simbolik seperti George Herbert Mead, C.H. Cooley, dan Hebert Blumer. Ketiganya memiliki pandangan bahwa subyek memiliki peran atau potensi dalam membentuk bahkan merombak masyarakat. Pemikiran terpenting interaksionisme simbolik dalam upaya menguatkan posisi subyek dalam ranah mikrososiologi, antara lain: (1) Memusatkan perhatian pada interaksi dunia nyata; (2) Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukannya sebagai struktur yang statis; serta (3) Arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial. Lebih jauh, penjelasan lain mengenai posisi subyek dipertegas oleh Blumer melalui premisnya di bawah ini,14

Masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri); tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafisiran situasi di mana dia bertindak; sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan beberapa individu, yang disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya.

Jelas kemudian melalui pemaknaan Blumer mengenai posisi subyek mengindikasikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang berdiri atas kepentingan dan kesadaran diri. Menilik perkembangan teori sosiologi modern yang hendak menciptakan teori absolut tentunya telah mengalami kegagalan dalam

14 Irving M.Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 332.


(20)

8

menjalankan fungsinya. Di samping itu, integrasi makro-mikro15 pun seolah tak

berdaya sekaligus menandai kemunculan kembali perdebatan posisi subyek dalam menentukan posisinya. Penguatan kembali posisi masyarakat dalam mempengaruhi subyek pun semakin berkembang ke dalam ranah bahasa, ideologi, dan tak lupa stuktur sosial kembali sebagai faktor yang melenyapkan posisi subyek dalam realitas sosial.

Hal tersebut sekaligus menandai kemunculan pemikir posmodern dan strukturalis dalam upayanya mengkritik maupun merevisi pemikiran filsafat Descartes ataupun para penganutnya―cartesian―karena pemikiran Descartes dianggap sebagai pencetus utama dan paling berpengaruh dalam terjadinya perdebatan posisi subyek hingga masa sosiologi modern, sekaligus menghidupkan kembali diktum individu sebagai budak masyarakat.

Pemikir posmodern dan strukturalis berteori bahwa subyek merupakan sumber kekacauan serta konflik.16 Subyek dalam hal ini diwakili oleh manusia

dalam pengertian pasif sebagai pengguna atau dalam pengertian aktif sebagai

pencipta bahasa, simbol, atau ideologi. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Dennis McCallum punberpendapat tidak ditemukannya manusia sebagai subyek, akan tetapi subyek (manusia) merupakan hasil dari pabrikasi sosial atau konstruksi

15 Istilah akro diartika sebagai pe gga bara ya g e akili asyarakat. Area

makrososiologi adalah menganalisis interaksi sebagai pengaruh struktur sosial. Sedangkan istilah

ikro e akili subyek ba a: a usia atau i di idu . Area kajia ikrososiologi i i pu

membedah secara internal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, di mana individu diletakkan sebagai dimensi terpenting dalam mempengaruhi dan penciptaan realitas sosial.


(21)

9

sosial yang di dalamnya aktor sebagai subyek tidak memiliki peran yang signifikan.17

Proyek kematian subyek dimulai oleh perayaan Ferdinand de Saussure dengan bahasa sebagai pengendali. Saussure menyatakan bahwa realitas antara subyek dibentuk oleh bahasa. Pun, sama halnya dengan konsep dekonstruksi Jacques Derrida yang meletakkan bahasa sebagai perantara proses ketertundaan kehadiran. Michel Foucault hadir semakin menisbikan posisi subyek di arena struktur sosial. Dalam arena struktur sosial, jaringan kuasa muncul sebagai pencipta obyek yang menyatakan bahwa tidak pernah ada subyek yang utuh. Akan tetapi, membahas kematian subyek tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan Louis Althusser yang menyatakan subyek ada sebagai bentukan sejarah dan ideologi. Dengan analisis lain, subyek dalam pandangan cartesian memiliki posisi sebagai realitas otonom pun seolah tidak menyadari kehadiran obyek yang mampu menciptakan anti-ketidakhadiran subyek. Pemikiran ini pun dapat didasari ketika Descartes mencetuskan subyek cogito, ia masih hidup pada momen ketika udara di bumi belum dipenuhi oleh obyek (baca: media). Berbeda dengan para penganut subyek cartesian yang hidup di era kenyataan maya (virtual reality) yang kemudian dengan mudah diserang para pemikir posmodern dan strukturalis sekaligus menandai kematian subyek sebagai subyek otonom.

Mengingat berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat memberikan gambaran konkret sebagai sebuah pengantar untuk memahami pokok

17 Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, h. 397-398.


(22)

10

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Penjelasan di atas perlu dilakukan mengingat pentingnya uraian komprehensif dari tiap penggolongan masa pemikiran mengenai perubahan posisi subyek (individu) di dalam masyarakat, yakni apakah masyarakat menciptakan dan mempengaruhi individu, ataukah individu yang memiliki pengaruh membentuk dan merombak masyarakat. Begitu pula, uraian di atas sekaligus memberikan gambaran bahwa perdebatan antara makrososiologi dan mikrososiologi tanpa disadari masih berlanjut hingga saat ini. Perkembangan pola pemikiran kemudian diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta dapat memberikan rumusan baru mengenai kemana arah pemikiran sosiologi berkembang. Kiranya, dalam posisi perdebatan tersebut terdapat konsep pemikiran

“redefinisi subyek” yang kemudian dapat mendorong perkembangan pemikiran sosiologi. Dengan kata lain, konsep pemikiran ini akan menjelaskan relevansi perdebatan posisi dominan-dorman individu dalam ruang lingkup disiplin sosiologi.

Redefinisi subyek yang disebut sebagai pemikiran paling kontemporer dewasa ini dicetuskan oleh pemikir Slovenia sekaligus seorang marxis progresif

bernama “Slavoj Žižek”. Pemikiran Žižek terbilang komprehensif terlebih dikarenakan Žižek masih hidup di era sosiologi kontemporer di mana perubahan-perubahan sedari bahasan kapitalis hingga paham “Jalan Ketiga” masih dapat diikuti. Žižek telah menghasilkan banyak buku dengan satu bukunya yang cukup revolusioner, The Sublime Object of Ideology (1989) sekaligus menjadi karya monumental Žižek, dan pengukuhan dirinya sebagai seorang filsuf yang


(23)

11

“berbahaya” serta patut diperhitungkan di era kontemporer dengan dengung “masih

adanya subyek radikal”.

Relevansi pemikiran Žižek kemudian dijelaskan dalam beberapa tema pokok. Pertama, secara ontologis pemikiran Žižek adalah sebuah upaya pembelaan atas kategori subyek dalam teori kontemporer. Kedua, penggunaan kembali kategori ideologi. Ketiga, melalui penggunaan subyek dan ideologi lacanian, Žižek mengupayakan pemahaman baru mengenai realitas kontemporer, yakni masyarakat global-liberal-kapitalis.18 Gambaran masyarakat kontemporer dalam sosiologi

seiring perkembangannya juga disebut sebagai risk society (masyarakat beresiko). Namun, pemikiran Žižek yang cenderung meloncat dan tidak memberikan cetusan teori menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun kembali subyek. Terlebih yang menjadi persoalan di sini adalah Žižek sama sekali tidak memperkenalkan arah atau isi perubahan masyarakat yang diharapkannya. Hal tersebut kemudian menghasilkan asumsi bahwa Žižek pun tidak mempertegas konsep subyek yang dimaksudkan dalam berbagai eksemplar pemikirannya terutama konsep relevansi subyek dalam kajian sosiologi.

Merujuk pada persoalan keilmuan sosial dan humaniora di atas, yaitu kurang ditemuinya pembahasan mengenai konsep relevansi subyek menurut Žižek dalam kerangka kajian sosiologi yang sistematis serta kurangnya bahan-bahan kajian Slavoj Žižek di Indonesia, kiranya menjadi sebuah tantangan tersendiri dan terbilang orisinal untuk mengkaji pemikiran redefinisi subyek Žižek dalam tinjauan

18 Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek, Marjin Kiri, Jakarta, 2010, h. 18-19.


(24)

12

metasosiologi. Diharapkan, hasil pengkajian ini nantinya dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam memperkaya kazanah keilmuan sosial-humaniora pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.

1.2Rumusan Masalah

Mengacu berbagai uraian dan penjelasan dalam latar belakang permasalahan di atas maka beberapa permasalahan pokok yang akan dikaji lebih mendalam pada pembahasan (penelitian) ini dapat dirumuskan sebagai berikut,

1. Bagaimanakah konsep redefinisi subyek Slavoj Žižek dalam tinjauan metasosiologi?

2. Di manakah letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma yang ada dalam sosiologi?

3. Bagaimanakah praksis dan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa ini?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian atas tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Slavoj Žižek ini dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut,

1. Memaparkan konsep pemikiran Slavoj Žižek mengenai redefinisi subyek dalam kerangka tinjauan metasosiologi.

2. Melacak letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma pemikiran sosiologi.


(25)

13

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi pemahaman konsep redefinisi subyek menurut Slavoj Žižek dalam tinjauan metasosiologi. Di sisi lain, penelitian ini ditujukan dalam rangka menambah literatur terkait konsep subyek dan relevansinya di era kontemporer bagi mahasiswa sosiologi pada khususnya, maupun akademisi atau pengamat sosial-politik yang meminati isu terkait mengingat sumber literatur mengenai berbagai konsep pemikiran Slavoj Žižek di tanah air masih dikatakan jarang dan sulit didapatkan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagaimana penulis sebutkan bahwa pemikiran Slavoj Žižek yang membahas mengenai redefinisi subyek merupakan upaya pengembalian posisi subyek yang seakan dihilangkan oleh para pemikir posmodern, strukturalis, hingga postrukturalis di era kontemporer. Upaya ini tentunya memiliki manfaat dalam peneguhan kembali identitas individu sebagai subyek baik di ranah sosial maupun politik. Sekaligus memberikan tawaran jalan keluar terhadap kungkungan era masa kini yang kita kenal sebagai era “masyarakat cair” maupun era masyarakat beresiko (risk society).


(26)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

“…sometimes the correct thing to do is choose the worst option.” (Žižek)

2.1Kajian Pustaka

Kajian mengenai konsep subyek Slavoj Žižek sebelumnya pernah dibahas dalam skripsi Kehadiran Subyek di Tengah Kekosongan: Subyek Dialektis menurut Slavoj Žižek yang ditulis oleh Efriandi Effendi (2011) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Subtansi skripsi tersebut

membahas konsep subyek Slavoj Žižek yang merupakan hasil dari pembaharuan

konsep pemikiran cogito Descartes, negativitas Hegel, dialektika Marx, dan juga

psikoanalisis Lacan. Konsep tersebut kemudian dihidupkan kembali oleh Slavoj

Žižek yang diawali dengan mengkritisi proyek pemikiran posmodern, strukturalis,

hingga postrukturalis yang ditandai dengan “matinya sang subyek” akibat kooptasi struktur. Lebih jauh, dalam karya tersebut, Effendi membahas bagaimana Slavoj

Žižek melahirkan subyek radikal yang berasal dari kekosongan subyek itu sendiri

dan kemudian mencetuskan hubungan antara subyek dengan pembentukan identitas sebagai pokok pembahasan dalam skripsi tersebut.

Karya lain yang membahas mengenai proyek pemikiran subyek Slavoj

Žižek juga dibahas dalam skripsi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek yang disusun oleh Indah Yusari (2012) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Sejalan dengan alur pemikiran skripsi sebelumya,


(27)

15

dalam karya ini juga dibahas mengenai bagaimana Žižek menginisiasi proyek pemikirannya mengenai subyek yang berupaya dihidupkannya kembali dari gempuran para pemikir posmodern, strukturalis, hingga postrukturalis. Karya terkait mencoba memfokuskan untuk mengupas dimensi epistemologis dan

aksiologis subyek Žižek. Melalui sudut pandang epistemologis Subyek Žižek, konsep subyeknya merupakan gabungan dari pemikiran Descartes, Kant, Hegel, serta Marx. Sementara, ditilik melalui segi aksiologisnya subyek Žižek merupakan hasil analisis pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou. Hal yang menarik dari karya ini adalah, Yusari mencoba memberikan contoh konkret bagaimana manusia berhasil mencapai proposisi subyek sebagaimana dijelaskan

Žižek. Beberapa contoh subyek tersebut antara lain; Munir, Aung San Syu Kui, dan R.A Kartini yang berhasil meninggalkan dimensi simbolik lamanya dengan mengorbankan dirinya dalam mencapai, bahkan melampaui simbolik lama untuk menciptakan sebuah simbolik baru.

Penelitian lain yang berkenaan dengan proyek pemikiran subyek Žižek juga tertuang dalam disertasi Robertus Robet yang telah dibukukan dengan judul

Manusia Politik Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek. Dalam buku tersebut, Robet memberikan penjelasan konsep rekonstruksi subyek Žižek. Subyek kemudian dijelaskan bersamaan dengan konsep politik emansipasi yang menurut Robert menjadi kebutuhan utama dalam menjelaskan bagaimana dimensi ideologis sangat berpengaruh di era kapitalisme global. Landasan tersebut kemudian digunakan Robet dalam mengolah subyek


(28)

16

sebagai hasil dari penguatan pemikiran idealisme Jerman dalam menghindari subyektivisasi.

Keunikan yang ditemui dalam buku tersebut adalah bagaimana Robertus Robet memusatkan pemikiran pencapaian yang politis dalam melampaui politik emansipasi sebagai ujung dari pemaknaan kembali rekonstruksi subyek Žižek. Jelas bahwa dirinya memiliki tujuan dalam proses peneguhan filsafat subyek Žižek untuk memberikan sumbangsih pemikiran berkenaan dengan hal-hal bernuansa politik emansipasi di era global.

Menilik beberapa konsep pemikiran subyek Žižek yang dituangkan dalam karya Efriandi Effendi (2011), Indah Yusari (2012), dan Robertus Robet (2010), terdapat kesamaan konsep dasar mengenai pembahasan subyek. Oleh peneliti, subyek Žižek yang merupakan konstruksi dari pemikiran Descartes, Hegel, Marx, serta Lacan pun juga dijadikan pijakan berpikir oleh penulis. Dalam hal ini penulis turut mengambil beberapa konsep dari kritik Žižek terhadap Althusser, Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou untuk melengkapi proyek redefinisi subyek. Tak lupa, penulis akan membahas dimensi pemikiran teori posmodern, strukturalis, hingga postrukturalis yang melupakan bahwa kehidupan sosial dibentuk oleh subyek-subyek yang tidak pernah utuh, sekaligus memberikan kritik dan tawaran solusi terhadap teori kritis yang dianggap menjadi teori yang menyumbangkan kebuntuan (baca: tidak memberikan solusi).

Hal terpenting yang membedakan dan menjadi terobosan baru penulis dalam penelitian yang berjudul Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek adalah bagaimana penulis meletakkan tinjauan


(29)

17

metasosiologi sebagai pokok bahasan selain konsep redefinisi subyek. Tinjauan metasosiologi inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan telaah konsep subyek dari karya-karya sebelumnya yang lebih terdominasi oleh dimensi filsafat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sumbangsih pemikiran filsafat juga mempengaruhi penulis dalam upaya merangkai konsep redefinisi subyek Žižek. Tinjauan metasosiologi dalam penelitian ini diharapkan menjadi pembaharuan proyek pemikiran subyek Žižek, di mana penulis menganggap Žižek sendiri belum menyertakan dimensi sosiologi ke dalam pemikirannya mengenai subyek. Secara rinci pembahasan mengenai tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Žižek akan dijelaskan lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya.

2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Metasosiologi

Metatheorizing dalam sosiologi dikenal dengan istilah metasosiologi. Secara etimologis, metasosiologi mempunyai dua muatan pengertian dasar yaitu

“meta” dan “sosiologi”. Meta didefinisikan sebagai kajian komprehensif mengenai situasi yang berada “di balik” atau “melebihi” suatu konsep pemikiran atau teori.1

Di lain pihak, sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius yang berarti “kawan” atau

“masyarakat” dan kata Yunani, logos yang berarti “berbicara mengenai”, sehingga

secara harafiah sosiologi memiliki arti “berbicara mengenai masyarakat”.2 Merujuk

kedua definisi tersebut, metasosiologi dapat didefiniskan sebagai studi refleksif

1 Yulia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis menuju Praksis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 73.

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 4.


(30)

18

tentang struktur yang melandasi komponen dalam sosiologi.3 Dalam hal ini,

komponen yang dimaksud adalah teori, obyek studi, konsep, maupun metode yang membentuk ataupun mempengaruhi perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan sosiologi.

Metasosiologi mempunyai tiga kategori yang berpatokan pada the nature of the products.4 Pertama, metasosiologi sebagai alat untuk mencapai pemahaman

lebih baik dan mendalam mengenai teori (MU). Kedua, metasosiologi sebagai studi teori untuk menghasilkan teori baru yang mendukung perkembangan teori bersangkutan (MP). Ketiga, metasosiologi sebagai sumber perspektif yang melandasi teori sosiologi (MO). Merujuk pada inti penelitian, ketiga kategori metasosiologi digunakan dalam upaya menganalisa redefinisi subyek Slavoj Žižek. Melalui kategori pertama (MU), pemikiran filsafat subyek Žižek dianalisa lebih mendalam untuk mengetahui subyek seperti apa yang dimaksud sekaligus memahami dasar pijakan subyek Žižek. Pada kategori kedua (MP), filsafat subyek

Žižek dikembangkan secara komprehensif untuk memperoleh teori baru yakni sosiologi subyek. Selanjutnya, pembentukan teori sosiologi subyek berkorelasi pada penggunaan kategori ketiga (MO) guna menjembatani pembentukan perspektif baru mengenai obyek studi sosiologi yakni subyek5 yang sekaligus mengkritisi dan

memperkuat pemikiran mikro.

3 George Ritzer & Douglas J. Goodman op. cit., A. 2. 4 Yulia Sugandi, op. cit., h. 77-78.

5Merujuk pa da ga u u asyarakat sebagai obyek studi sosiologi, pe be tukan

subyek sebagai perspektif baru obyek studi sosiologi dirasa penting dalam perkembangan pemikiran sosiologi. Di sisi lain, pembentukan tersebut kemudian berimplikasi pada kecenderungan penggunaan integrasi mikro-makro. Namun, pendasaran integrasi pada sosiologi subyek tetap meletakkan level mikro sebagai pondasi makrososiologi, sekaligus mempertegas posisi redefinisi subyek Žižek yang tidak hanya berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek


(31)

19

Dalam proses mendapatkan pandangan yang akurat guna memperkuat kritik pemikir mikro, perlu adanya sebuah pendekatan yang mengakomodasi analisis mikrososiologi yaitu dengan cara menghidupkan kembali dimensi subyek melalui metasosiologi untuk melawan gempuran era kematian subyek seperti yang didengungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis. Terlebih, hal yang harus dihindari dan diperbaharui adalah pendekatan mikrososiologi yang menekankan interaksi antarindividu dalam lingkup pandang yang terbatas dan terpusat pada tarik-menarik hubungan interaksi yang sempit dan terbatas, termasuk meninggalkan asumsi yang dipegang teguh oleh kaum mikrokosmik yang mengasumsikan bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individu.6

Pengkajian mendalam subyek Žižek, perumusan teori sosiologi subyek, hingga pembentukan obyek baru studi sosiologi melalui metasosiologi diharapkan mampu mengembangkan filsafat subyek Žižek guna memperoleh pemahaman baru dalam kajian sosiologi baik dalam ranah teoritis maupun praksis yang belum dikembangkan oleh Žižek sendiri maupun para teoretisi lainnya. Pengunaan ketiga kategori metasosiologi dalam mengkaji redefinisi subyek Žižek dirasa tepat karena sejalan dengan tujuan metateori yakni untuk melakukan studi sosiologi dengan berpijak pada act locally think globally secara komprehensif dan koheren, serta mempelajari pula bidang lain yang memiliki relevansi erat dengan sosiologi seperti psikologi dan filsafat.7

2.2.2 Redefinisi Subyek

bagi dirinya, melainkan juga berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek bagi the others secara luas dan tidak terbatas.

6 Agus Salim, Pengantar Sosiologi Mikro. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. h. 3-4. 7 Ibid., loc. cit. 77


(32)

20

Subyek selalu merujuk pada manusia yang memiliki kesadaran dan tak luput dari dimensinya sebagai makhluk individual maupun sosial. Dengan demikian, setiap individu atau manusia belum tentu dapat dikategorikan sebagai subyek. Semakin manusia mampu menguasai dan mengendalikan kehendaknya, maka semakin manusia tersebut kokoh dan nyata sebagai subyek kehendak otonom. Dengan kata lain, penguasaan dan pengendalian kehendak tersebut tidak lain adalah suatu usaha afirmasi (penegasan) dan konfirmasi (pengukuhan) diri manusia sebagai subyek kehendak otonom.8

Kemunculan subyek sebagai pokok kajian sedari bahasan filsafat, sosiologi, hingga pemikiran era kontemporer pun hadir dengan berbagai definisi. Identifikasi subyek tersebut kemudian melahirkan tiga bahasan besar mengenai pemahaman kembali dimensi identitas, yakni; subyek pencerahan, subyek sosiologis, dan subyek pascamodern.9 Pertama, upaya pembahasan subyek di era filsafat lebih

dikenal di era kebangkitan filsafat pencerahan di mana Descartes muncul dengan subyek cogito. Subyek pencerahan didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi manusia sebagai individu yang sepenuhnya terpusat dan terpadu, yang didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan yang pusatnya terdiri dalam pusat esensial dari diri, yakni identitas pribadi. Sebagai contoh, perbincangan moral di mana kebudayaan Barat berusaha memahami dan menyelesaikan dilema etis dan moral benar-benar terpusat pada pertanyaan tentang tanggung jawab individu untuk bertindak. Kedua, definisi mengenai subyek sosiologis di mana inti dari entitas

8 Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.

9 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, h. 176.


(33)

21

subyek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (significant others) yang menjadi perantara subyek dengan nilai, makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup.10 Ketiga, subyek pascamodern yang memiliki pendeskripsian manusia

sebagai satu kesatuan menyeluruh yang membumikan dirinya menuju pandangan bahwa individu terbentuk secara sosial. Subyek sosial bukanlah sumber itu sendiri, bukan pula suatu keseluruhan berdasarkan alasan bahwa orang-orang menempati berbagai posisi sosial.11 Rujukan lain mengenai definisi subyek juga terdapat pada

pemikiran strukturalis hingga postrukturalis. Keduanya setuju bahwa subyek bukanlah sebuah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek konstruksi struktur dan juga bahasa. Subyek yang bertutur bergantung pada eksistensi posisi subyek diskursif yang telah ada sebelumnya, ruang hampa, atau fungsi dalam diskursus yang digunakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan memainkan posisi subyek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan tampak koheren bagi orang lain.12

Memaknai keberadaan subyek tentunya memaknai pula pembaharuan dimensi dari subyek. Pembaharuan subyek inilah yang kemudian didefinisikan sebagai konsep redefinisi subyek. “Redefinisi” mempunyai makna sebagai pengonstruksian kembali subyek dari berbagai perspektif pemikiran sebelumnya, dengan kata lain redefinisi subyek hadir sebagai kritik terhadap teori-teori yang

10 Pada definisi subyek sosiologis, terdapat perdebatan yang menyatakan bahwa subyek sosiologis pun turut memuat dimensi individu. Lebih jauh pembahasan individu sebagai subyek sosiologis akan dikaji secara terperinci bersamaan dengan konsep pemikiran subyek Slavoj Žižek yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

11 Ibid., h. 177-178. 12 Ibid., h. 22.


(34)

22

menganggap subyek telah mati. Konsep redefinisi subyek diperlihatkan Alain Badiou dengan subyek yang setia dalam mengkritisi pendapat kematian subyek, di mana subyek ada sejauh terdapat kesetiaan terhadap peristiwa.13 Redefinisi subyek

selanjutnya dijelaskan oleh Slavoj Žižek. Žižek mendefiniskan subyek sebagai kekosongan untuk menciptakan identitas baru dengan melampaui dan meninggalkan “yang simbolik” untuk menciptakan “yang rill”.14 Kekosongan yang

dimaksudkan pada subyek Žižek merupakan ruang keputusasaan akan realitasnya sebagai subyek. Selanjutnya, melalui “keputusasaannya” subyek terdorong untuk menciptakan dirinya yang baru, sekaligus melawan subyektivisasinya sebagai bentuk perlawanan asumsi kematian subyek yang digaungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.

13 Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Resist Book, Yogyakarta, 2011, h. 185.

14 Konsep redefinisi subyek Žižek merupakan kritik yang ditujukan secara gamblang terhadap para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis hingga pada teori kritik. Tujuan akan kritik tersebut ditawarkan dengan penciptaan subyek radikal sekaligus memberikan tawaran akan kebuntuan teori kritik Frankfurter Schule.


(1)

metasosiologi sebagai pokok bahasan selain konsep redefinisi subyek. Tinjauan metasosiologi inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan telaah konsep subyek dari karya-karya sebelumnya yang lebih terdominasi oleh dimensi filsafat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sumbangsih pemikiran filsafat juga mempengaruhi penulis dalam upaya merangkai konsep redefinisi subyek Žižek. Tinjauan metasosiologi dalam penelitian ini diharapkan menjadi pembaharuan proyek pemikiran subyek Žižek, di mana penulis menganggap Žižek sendiri belum menyertakan dimensi sosiologi ke dalam pemikirannya mengenai subyek. Secara rinci pembahasan mengenai tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Žižek akan dijelaskan lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya.

2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Metasosiologi

Metatheorizing dalam sosiologi dikenal dengan istilah metasosiologi.

Secara etimologis, metasosiologi mempunyai dua muatan pengertian dasar yaitu

“meta” dan “sosiologi”. Meta didefinisikan sebagai kajian komprehensif mengenai situasi yang berada “di balik” atau “melebihi” suatu konsep pemikiran atau teori.1

Di lain pihak, sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius yang berarti “kawan” atau

“masyarakat” dan kata Yunani, logos yang berarti “berbicara mengenai”, sehingga

secara harafiah sosiologi memiliki arti “berbicara mengenai masyarakat”.2 Merujuk

kedua definisi tersebut, metasosiologi dapat didefiniskan sebagai studi refleksif

1 Yulia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis menuju Praksis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 73.

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 4.


(2)

tentang struktur yang melandasi komponen dalam sosiologi.3 Dalam hal ini,

komponen yang dimaksud adalah teori, obyek studi, konsep, maupun metode yang membentuk ataupun mempengaruhi perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan sosiologi.

Metasosiologi mempunyai tiga kategori yang berpatokan pada the nature of

the products.4 Pertama, metasosiologi sebagai alat untuk mencapai pemahaman

lebih baik dan mendalam mengenai teori (MU). Kedua, metasosiologi sebagai studi

teori untuk menghasilkan teori baru yang mendukung perkembangan teori bersangkutan (MP). Ketiga, metasosiologi sebagai sumber perspektif yang

melandasi teori sosiologi (MO). Merujuk pada inti penelitian, ketiga kategori

metasosiologi digunakan dalam upaya menganalisa redefinisi subyek Slavoj Žižek. Melalui kategori pertama (MU), pemikiran filsafat subyek Žižek dianalisa lebih

mendalam untuk mengetahui subyek seperti apa yang dimaksud sekaligus memahami dasar pijakan subyek Žižek. Pada kategori kedua (MP), filsafat subyek

Žižek dikembangkan secara komprehensif untuk memperoleh teori baru yakni sosiologi subyek. Selanjutnya, pembentukan teori sosiologi subyek berkorelasi pada penggunaan kategori ketiga (MO) guna menjembatani pembentukan perspektif

baru mengenai obyek studi sosiologi yakni subyek5 yang sekaligus mengkritisi dan

memperkuat pemikiran mikro.

3 George Ritzer & Douglas J. Goodman op. cit., A. 2. 4 Yulia Sugandi, op. cit., h. 77-78.

5Merujuk pa da ga u u asyarakat sebagai obyek studi sosiologi, pe be tukan

subyek sebagai perspektif baru obyek studi sosiologi dirasa penting dalam perkembangan pemikiran sosiologi. Di sisi lain, pembentukan tersebut kemudian berimplikasi pada kecenderungan penggunaan integrasi mikro-makro. Namun, pendasaran integrasi pada sosiologi subyek tetap meletakkan level mikro sebagai pondasi makrososiologi, sekaligus mempertegas posisi redefinisi subyek Žižek yang tidak hanya berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek


(3)

Dalam proses mendapatkan pandangan yang akurat guna memperkuat kritik pemikir mikro, perlu adanya sebuah pendekatan yang mengakomodasi analisis mikrososiologi yaitu dengan cara menghidupkan kembali dimensi subyek melalui metasosiologi untuk melawan gempuran era kematian subyek seperti yang didengungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis. Terlebih, hal yang harus dihindari dan diperbaharui adalah pendekatan mikrososiologi yang menekankan interaksi antarindividu dalam lingkup pandang yang terbatas dan terpusat pada tarik-menarik hubungan interaksi yang sempit dan terbatas, termasuk meninggalkan asumsi yang dipegang teguh oleh kaum mikrokosmik yang mengasumsikan bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individu.6

Pengkajian mendalam subyek Žižek, perumusan teori sosiologi subyek, hingga pembentukan obyek baru studi sosiologi melalui metasosiologi diharapkan mampu mengembangkan filsafat subyek Žižek guna memperoleh pemahaman baru dalam kajian sosiologi baik dalam ranah teoritis maupun praksis yang belum dikembangkan oleh Žižek sendiri maupun para teoretisi lainnya. Pengunaan ketiga kategori metasosiologi dalam mengkaji redefinisi subyek Žižek dirasa tepat karena sejalan dengan tujuan metateori yakni untuk melakukan studi sosiologi dengan berpijak pada act locally think globally secara komprehensif dan koheren, serta mempelajari pula bidang lain yang memiliki relevansi erat dengan sosiologi seperti psikologi dan filsafat.7

2.2.2 Redefinisi Subyek

bagi dirinya, melainkan juga berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek bagi the others

secara luas dan tidak terbatas.

6 Agus Salim, Pengantar Sosiologi Mikro. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. h. 3-4. 7 Ibid., loc. cit. 77


(4)

Subyek selalu merujuk pada manusia yang memiliki kesadaran dan tak luput dari dimensinya sebagai makhluk individual maupun sosial. Dengan demikian, setiap individu atau manusia belum tentu dapat dikategorikan sebagai subyek. Semakin manusia mampu menguasai dan mengendalikan kehendaknya, maka semakin manusia tersebut kokoh dan nyata sebagai subyek kehendak otonom. Dengan kata lain, penguasaan dan pengendalian kehendak tersebut tidak lain adalah suatu usaha afirmasi (penegasan) dan konfirmasi (pengukuhan) diri manusia sebagai subyek kehendak otonom.8

Kemunculan subyek sebagai pokok kajian sedari bahasan filsafat, sosiologi, hingga pemikiran era kontemporer pun hadir dengan berbagai definisi. Identifikasi subyek tersebut kemudian melahirkan tiga bahasan besar mengenai pemahaman kembali dimensi identitas, yakni; subyek pencerahan, subyek sosiologis, dan subyek pascamodern.9 Pertama, upaya pembahasan subyek di era filsafat lebih

dikenal di era kebangkitan filsafat pencerahan di mana Descartes muncul dengan subyek cogito. Subyek pencerahan didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi manusia sebagai individu yang sepenuhnya terpusat dan terpadu, yang didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan yang pusatnya terdiri dalam pusat esensial dari diri, yakni identitas pribadi. Sebagai contoh, perbincangan moral di mana kebudayaan Barat berusaha memahami dan menyelesaikan dilema etis dan moral benar-benar terpusat pada pertanyaan tentang tanggung jawab individu untuk bertindak. Kedua, definisi mengenai subyek sosiologis di mana inti dari entitas

8 Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.

9 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, h. 176.


(5)

subyek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (significant others) yang menjadi perantara subyek dengan nilai, makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup.10 Ketiga, subyek pascamodern yang memiliki pendeskripsian manusia

sebagai satu kesatuan menyeluruh yang membumikan dirinya menuju pandangan bahwa individu terbentuk secara sosial. Subyek sosial bukanlah sumber itu sendiri, bukan pula suatu keseluruhan berdasarkan alasan bahwa orang-orang menempati berbagai posisi sosial.11 Rujukan lain mengenai definisi subyek juga terdapat pada

pemikiran strukturalis hingga postrukturalis. Keduanya setuju bahwa subyek bukanlah sebuah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek konstruksi struktur dan juga bahasa. Subyek yang bertutur bergantung pada eksistensi posisi subyek diskursif yang telah ada sebelumnya, ruang hampa, atau fungsi dalam diskursus yang digunakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan memainkan posisi subyek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan tampak koheren bagi orang lain.12

Memaknai keberadaan subyek tentunya memaknai pula pembaharuan dimensi dari subyek. Pembaharuan subyek inilah yang kemudian didefinisikan sebagai konsep redefinisi subyek. “Redefinisi” mempunyai makna sebagai pengonstruksian kembali subyek dari berbagai perspektif pemikiran sebelumnya, dengan kata lain redefinisi subyek hadir sebagai kritik terhadap teori-teori yang

10 Pada definisi subyek sosiologis, terdapat perdebatan yang menyatakan bahwa subyek sosiologis pun turut memuat dimensi individu. Lebih jauh pembahasan individu sebagai subyek sosiologis akan dikaji secara terperinci bersamaan dengan konsep pemikiran subyek Slavoj Žižek yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

11 Ibid., h. 177-178. 12 Ibid., h. 22.


(6)

menganggap subyek telah mati. Konsep redefinisi subyek diperlihatkan Alain Badiou dengan subyek yang setia dalam mengkritisi pendapat kematian subyek, di mana subyek ada sejauh terdapat kesetiaan terhadap peristiwa.13 Redefinisi subyek

selanjutnya dijelaskan oleh Slavoj Žižek. Žižek mendefiniskan subyek sebagai kekosongan untuk menciptakan identitas baru dengan melampaui dan meninggalkan “yang simbolik” untuk menciptakan “yang rill”.14 Kekosongan yang

dimaksudkan pada subyek Žižek merupakan ruang keputusasaan akan realitasnya sebagai subyek. Selanjutnya, melalui “keputusasaannya” subyek terdorong untuk menciptakan dirinya yang baru, sekaligus melawan subyektivisasinya sebagai bentuk perlawanan asumsi kematian subyek yang digaungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.

13 Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Resist Book, Yogyakarta, 2011, h. 185.

14 Konsep redefinisi subyek Žižek merupakan kritik yang ditujukan secara gamblang terhadap para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis hingga pada teori kritik. Tujuan akan kritik tersebut ditawarkan dengan penciptaan subyek radikal sekaligus memberikan tawaran akan kebuntuan teori kritik Frankfurter Schule.