Zizek Adalah Superego atau Hanya Subyek

“Žižek!” Adalah Superego, atau H anya Subyek yang Pup Lancar yang Bisa Radikal1
Oleh: Hizk ia Yosie Polimpung

“Lancarkah pup anda hari ini?”—pertanyaan yang sangat tidak ilmiah ini akan mengiringi
pembahasan saya dalam makalah singkat ini.
Dalam ulasannya tentang buku Slavoj Žižek berjudul In Defense of the L ost Causes, Terry
E agleton melihat Žižek lebih sebagai fenomena ketimbang filsuf:
“Slavoj Žižek is less a philosopher than a phenomenon. .. Žižek has been travelling the globe like an
intellectual rock star for the past twenty years, gathering as he goes an immense fan club. He is outrageous,
provocative and entertaining. He was, he tells us, tempted to suggest for the dust jacket of one of his books:
“In his free time, Žižek likes to surf the internet for child pornography and teach his small son how to pull
the legs off spiders”.”2

Keunikan, kejenakaan, kevulgaran, bahkan ke-menjijikkan-an Žižek dalam teori maupun
teorisasinya seringkali justru malah menjadikannya sebuah ikon budaya-pop ketimbang seorang
teoritisi budaya-pop. Alhasil, E ksentrisisme Žižek menghadiahinya banyak penggemar.3 Di
Indonesia (baca: Jakarta) pun nampaknya demikian—setidaknya sepengetahuan saya, seringkali
nama Žižek disebut dan dikutip tanpa menyadari konteks, syarat dan konsekuensinya. Akibatnya,
pengutipan nama Žižek ini akhirnya hanya menjadi simbol untuk menunjukkan “radikal,”
“keren,” “posmarxis,” atau yang agak intelek sedikit, “up-to-date perkembangan ilmu.” Žižek
seakan-akan telah menjadi semacam superego di kalangan intelektual (yang merasa) kiri radikal

yang secara tidak disadari menyuruh kita untuk menganalisis (hampir) seluruh fenomena secara
Žižekian. Tidak ada yang salah dengan ini, namun hal ini rawan menjadikan Žižek sebagai suatu
makanan yang disebutnya, meminjam Hegel, “pengetahuan absolut,” lalu menelannya bulat-bulat
dan mencernanya demi kesehatan dan kemantapan performa tubuh.4 Bagi Žižek, bukannya
membawa kesehatan, hal ini malah membuat orang tersebut ... sembelit.
Subyek final Hegelian, sebagaimana ditafsirkan Žižek, adalah subyek yang mampu
melakukan gerak-berlawanan dari tindakan memakan pengetahuan absolut tadi, yaitu ... pup.
Subyek di akhir sejarah Hegel adalah subyek yang telah mengosongkan dirinya dari segala macam
substansi yang mengisi dan yang mewarnai sejarahnya; dengan kata lain, subyek absolut adalah
‘subyek yang kosong’. Keengganan untuk pup—entah karena “malu,” atau karena “tidak tahu
dimana letak toilet”—akhirnya membuat sang subyek menderita sembelit.
Syukurlah, atas rahmat The Big O (L Besar), Marjin Kiri menerbitkan disertasi Robertus
Robet kedalam buku Manusia Politik : Subyek Radik al dan E mansipasi di E ra Kapitalisme Global
menurut Slavoj Žižek ini. Harapan saya, buku ini bisa menginformasikan kepada saya dan orangorang yang saya sindir di atas tentang pentingnya ‘subyek yang kosong’ dalam filosofi Žižek, dan
dengan demikian menjadikannya suatu laksatif alias obat pencahar supaya kami bisa mem-pupkan Žižek dengan lancar, teratur, dan yang terpenting: enjoy!

1 Makalah ini masih berupa draft, untuk disajikan dalam Diskusi Buku Robertus Robet, Manusia Politik : Subyek
Radik al dan E mansipasi di E ra Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri, 2010) di Cak Tarno Institute,
Depok, 8 Mei 2010.
2 Terry E agleton, “The phenomenal Slavoj Zizek: Is there any subject on earth that isn’t grist to Zizek's intellectual

mill?” The Times L iterary Supplement, 23 April 2008.
3 Pernah ia tiba-tiba dipeluk seseorang pendengar sekaligus penggemarnya sehabis ia “berkhotbah” di Inggris. Lihat
video dokumenter Astra Taylor, Zizek ! (US/Canada: Zeitgeist Video, 2005)
4 Slavoj Žižek, “Preface to the New E dition: The Idea’s Constipation?” dalam The Sublime Object of Ideology, edisi
baru (London: Verso, 2008), hal. xii.

1

Melalui makalah ini saya akan melakukan tiga hal: pertama, membahas poin-poin yang
ingin dipropagandakan bung Robet melalui setiap lembar bukunya, yaitu tentang apa yang
dimakudnya sebagai ‘subyek radikal’ yang memungkinkan emansipasi di era kapitalisme global
kontemporer saat ini. Kedua, membahas dan mengomentari baik pemikiran Žižek yang disajikan
bung Robet maupun pemikiran bung Robet sendiri atas Žižek dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan tema yang diusungnya: subyek radikal, politik emansipasi, dan kapitalisme global.
Terakhir, saya mengusulkan beberapa proposal baik tentang pemikiran Žižek maupun tema-tema
yang di bahas bung Robet. .... Dan tentu saja saya akan mempertanggung-jawabkan judul saya:
“hanya subyek yang pup lancar yang bisa radikal.”

Menuju Subyek Radikal E mansipatoris Žižekian
Kesan pertama melihat sampul buku ini: optimisme utopia—bagaimana mungkin

seorang bocah (di Gaza) bisa-bisanya menggeledah seorang prajurit (Israel)?5 Tidak mungkin
bukan? Tetapi justru di situ letak positifnya: semakin utopis, semakin ia tak terkorupkan oleh
hegemoni Simbolik, dan semakin ia kuat mendorong subyek untuk bertindak politis. Saya kira ini
adalah titik awal yang baik.
Mengiringi saat-saat perdana saya membaca buku bung Robet, kidung-kidung
perkabungan dikumandangkan oleh baik penerbit maupun bung Robet sendiri untuk
mendeskripsikan situasi kontemporer: “era matinya segala sesuatu”(h.v)—sedari komunikasi
sampai politik, dari filsafat sampai idiologi, bahkan sebagaimana judul Bab 1, Subyek itu sendiri
juga sudah mati. Kidung-kidung sedih ini pun diselingi dengan nada-nada sinis, pesimistis, fatalis
dan serba relatif dalam menjalani kehidupan di “era matinya segala sesuatu.” Adalah
hermeneutika, filsafat analitika, (pasca)strukturalisme dan pascamodernisme yang ditengarai
menjadi sumber nada-nada demikian. Optimisme bung Robet nampaknya membuatnya gelisah
dengan situasi demikian, dan pada gilirannya membuatnya melakukan tindakan untuk menyudahi
fatalitas warisan pascamodernisme alias posmo ini.6 Kontribusi bung Robet di sini adalah dengan
merekonstruksi subyek dan meradikalkannya melalui (utamanya) pemikiran Slavoj Žižek. Ia
yakin, hanya dengan inilah politik emansipatoris radikal dimungkinkan terjadi di alam posmo ini.
Sebelum memformulasikan subyek radikalnya, pada Bab 2 bung Robet menjabarkan
sekompleks, segila, dan seaneh apakah alam posmo saat ini yang membuat “subyek memerlukan
kualifikasi ‘kegilaan’ tertentu” (29) untuk melakukan suatu terobosan emansipatoris radikalpolitis. Bahwa kapitalisme merupakan karakteristik utama alam posmo saat ini bukanlah sesuatu
yang baru. Namun, bagaimana kapitalisme kontemporer di era posmo ini habis-habisan

mereduksi subyek menjadi tak lebih dari robot-robot ekonomi yang terprogram dengan baik,
mengurung subyek dalam rutinitas semu pendulangan profit, dan terlebih menyulap subyek
menjadi pembela-pembelanya sekalipun sang subyek tersebut pada dasarnya justru sedang
dieksploitasi, adalah hal yang sama sekali baru.
Masyarakat dalam kapitalisme kontemporer ini dipahami Robet sebagai masyarakat
resiko, dimana segala sesuatunya di satu sisi serba tak menentu dan di sisi lain juga serba beresiko
tinggi. Saking tak menentunya, tidak ada basis tindakan yang dapat menjadi pakem bagi suatu
keputusan bertindak tertentu, sekalipun hal itu dilakukan oleh para penguasa— the big O (L besar),
kata Žižek. Situasi inilah yang membuat para penguasa tadi lumpuh karena mengalami,
meminjam Habermas, “krisis legitimasi.” Akibatnya, refleksivitas mewabah di masyarakat yang
akhirnya memberi pukulan besar bagi fondasi seluruh aspek kehidupan manusia: negara,
Lihat sampul belakang bagian bawah untuk keterangan sumber sampul ini.
Demi efisiensi penggunaan bahasa, dan tanpa bermaksud memukul-rata, saya akan menggunakan posmo untuk
menyebut secara sekaligus keempat pemikiran yang ditengarai “fatalis” tadi.
5

6

2


identitas, idiologi, dan agama. “Tuhan sudah mati”—kumandang Nietzsche; “Tuhan sudah mati;
segala sesuatunya diperbolehkan”—improvisasi Dostoevsky ... benarkah demikian?
Tidak—bagi Žižek. Mengikuti Master-nya, psikoanalis Jacques Lacan, yang terjadi justru
sebaliknya: “jika Tuhan mati, segala sesuatunya dilarang.”7 Kata bung Robet, “kebebasan yang
diperoleh dengan hancurnya Sang Lain Besar dinikmati sebagai beban yang termanifestasikan
dalam kerinduan akan disiplin.”(38)8 Disiplin macam apakah gerangan? Yaitu disiplin “dalam
rangka memenuhi kewajiban untuk menikmati [kebebasan] itu sendiri,” (46) atau “perintah untuk
menikmati dunia seluas-luasnya”(47): “‘enjoy!’ is superego.”9 Dipandang dari psikoanalisis Lacanian,
hal ini sangat menarik karena pertentangan antara superego dan penikmatan (jouissance, dalam
term Lacan) direkonsiliasikan oleh kapitalisme kontemporer: jika dulu penikmatan dihalanghalangi dan dibatasi oleh superego, sekarang superego justru memerintahkan untuk menikmati!
Disiplin lain yang muncul pasca hancurnya L besar adalah “agama” baru yang mampu menarik
manusia dari hiruk-pikuk duniawi ke arah kedalaman spiritual privat yang menyejukkan ala
Buddhisme, Taoisme, dan bahkan filsafat. Penarikan diri ke ruang privat ini “justru sebenarnya
sedang mengadopsi otentisitas palsu yang disodorkan industri kebudayaan,”(40) sehingga “privasi
itu sendiri berubah menjadi ruang yang terkomodifikasikan”(39). Hal ini akibatnya gawat:
kapitalisme akan tampak seolah-olah natural dan menjadi tidak dipertanyakan ... dan akan tetap
mengeksploitasi umat manusia.10
Terkomodifikasinya ruang privat ini bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila kita
menilik natur kapitalisme dalam mengembangkan (baca: meradikalkan) diri, yaitu dengan
memanfaatkan sesuatu yang terhilang dari manusia dengan menjadikannya komoditas. Sesuatu

yang hilang inilah yang ironisnya menjadi apa yang disebut Lacan objet petit a atau obyekpenyebab-hasrat. Bisakah ia ditemukan? Tidak akan! Namun demikian, bukan berarti ia tidak
dapat seolah-olah ditemukan; Kapitalisme selalu berpretensi menawarkan objet a ini...dan selalu
mengingkarinya: buktinya, kita tidak akan pernah bisa puas dengan produk-produk kapitalisme.
Nah, hal ini tidak akan terjadi apabila kita tidak membiarkan ‘sesuatu yang hilang’ dari kita ini
dimanipulasi oleh kapitalisme. Bung Robet mengajak kita untuk pertama-tama menerima (dan
bukan menyangkal) kehilangan tersebut sebagai sesutau yang melekat pada diri kita, lalu bergerak
maju dengan melihatnya secara politis demi membebaskan, mengemansipasi diri kita dari
belenggu kapitalisme.
Bab 3 merupakan klarifikasi bung Robet tentang subyek yang berkehilangan diatas
sebagai subyek Žižekian. Subyek-berkehilangan Žižekian bukanlah subyek hasil
rekrutan/interpelasi idiologi Althusserian; ia bukan sekedar ‘posisi-subyek’ sebagai efek
pengetahuan dan aparatus subyektifikasi Foucauldian; ia juga bukan subyek yang terbentuk oleh
diskursus hegemonik a la Laclau-Mouffe. Bagi Žižek, efek idiologi/pengetahuan tidak akan
pernah total: saat imaji keutuhan diri yang ditawarkan oleh idiologi, meminjam Judith Butler,
ditransliterasikan ke dalam konstruksi simbolik tentang suatu Identitas (‘I’ besar), maka proses
tersebut akan selalu menyisakan ekses, yang dalam kategori Lacan jatuh ke dalam yang Riil.
Dengan kata lain, nasib seluruh interpelasi ideologis adalah kegagalan: tidak pas, kelebihan, atau
kekurangan. Mengapa demikian? “Rahasia besarnya [psikoanalisis],”11 seperti kata Lacan, adalah
karena sang Idiologi tersebut, sebagai L besar, juga pada dasarnya berkekurangan!


Lih. Slavoj Žižek, The Plague of Fantasies (London: Verso, 1997), hal 153.
Sigmund Freud juga berpendapat serupa, lihat Totem and Taboo, dalam The Standard E dition of the Complete
Psychological Work s of Sigmund Freud X III.
9 Slavoj Žižek. For They Know Not What They Do, edisi kedua (London:Verso, 2008), hal. 10.
10 Tentang ini, lihat dokumentasi apik tentang permasalahan-permasalahan kontemporer dan kaitannya dengan
kapitalisme. Slavoj Zizek, L iving in the E nd Times A ccording to Slavoj Zizek , Backlight Video, 2010.
11 Lihat Lacan, sebagaimana dikutip Yannis Stavrakakis, L acan and the Political (London: Routledge, 1999), hal. 39.
7

8

3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subyek adalah ditandai dengan ketidakmungkinan untuk menjadi subyek; subyek berkehilanganan adalah ontologi dari subyek.
Sebaliknya, kekurangan fundamental dari subyek “merupakan satu kesatuan yang membentuk
subyek secara konstitutif” (107). Subyek, akhirnya: selalu terdislokasi, selalu retak, selalu gegar,
selalu terbelah (Lacan mensimbolisasinya dengan ‘$’), dan selalu tidak mungkin. Walau demikian,
ketidak-mungkinan ini adalah sesuatu yang haus dilampaui, seperti kata bung Robet, “yang
menjadi soal bukanlah mungkin atau tak mungkin, melainkan bagaimana
mendefinisikan yang mungkin dan tak-mungkin itu secara politik.” (109) Tepat di sinilah

subyek yang direkonstruksi bung Robet bergerak melampau subyek ala posmo ... yaitu dengan
tindak an. Memahami ketidak-mungkinan secara politis pada akhirnya justru membuka cakrawala
kemungkinan tak berhingga tentang tindakan politis. Namun, tindakan seperti apakah yang
dimaksud bung Robet? Sejauh yang saya tangkap ada dua: bunuh diri dan k riminal.
Pertama-tama sebaiknya dipahami dahulu bahwa tindakan di sini bukanlah ‘tindakan
sebagai tindakan’ yang kebanyakan diserukan aktifis-aktifis emosional, misalnya “kita sebagai
mahasiswa tidak boleh tinggal diam; kita harus bertindak!”, yang ironisnya malah mengarah pada
apa yang disebut bung Robet sebagai “‘tindakan’ narsistik yang mengarah pada kecukupan diri”
(111) yang jauh dari otentisitas. Tindakan otentik pertama: bunuh diri. Bunuh diri yang dimaksud
adalah bunuh diri simbolik, yaitu dengan menarik diri dari koordinat simbolik dan membatalkan
semua warisan hukum simbolik yang ada pada kita. Deleuze-Guattari punya jargon menarik
tentang ini: “The revolutionary is the first to have the right to say: ‘Oedipus? Never heard of it’”.12 Hal ini
dapat dilakukan dengan “mematahkan dan menolak diri serta ‘kemelekatan’ terhadap obyekobyek yang dimiliki dan dicintai [demi] mendapatkan ruang untuk bertindak secara bebas” (117).
Foucault juga bernada serupa, “Maybe the target nowadays is not to discover what we are, but to refuse what
we are.”13
Tindakan otentik kedua: kriminal. Disebut kriminal karena tindakan ini adalah selalu
diarahkan untuk mengintervensi dan melampaui hukum-hukum simbolik yang mengatur
koordinat situasi/realitas sang subyek. Di sini, tindakan memperoleh predikat subversifnya.
Dengan inspirasi Badiou, bung Robet mengembangkan teori tindakan ini sebagai suatu kejadian
perjumpaan subyek dengan ‘kebenaran’, yang notabene dalam definisi Badiou sama sekali berada

di luar jangkauan hukum-hukum simbolik tadi. Syaratnya, sang subyek harus memiliki kesetiaan
(fidelity) untuk senantiasa terbuka kepada kebenaran. Žižek melampaui subyek Badiouian yang
selalu setia dalam penantian kebenarannya dengan mendorong subyek untuk aktif
“memuncratkan kebenaran” (127). Bagaimana caranya? Kembali ke tindakan pertama: bunuh
diri. Jadi, kedua bentuk tindakan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, ia hadir secara
bersamaan.14
Sampai sini sekiranya sudah nampak subyek Žižekian yang direkonstruksikan oleh bung
Robet: subyek yang “memiliki kapasitas untuk bertindak secara positif melampaui halanganhalanagn simboliknya, namun uniknya, kemampuan dan kapasitas itu hadir justru melalui
negativitasnya, melalui kondisinya yang selalu berkekurangan.” (142-3).

12 Odipus disini maksudnya subyek yang telah mengalami proses pengadaban, pendewasaan, atau dalam term
Lacanian, Simbolisasi. Gilles Deleuze dan Félix Guattari, A nti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (London: the Athlone
Press 1984), hal. 96.
13 Michel Foucault, “Afterword: Subject and Power,” dalam Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault:
Beyond Structuralism and Hermeneutics, edisi kedua (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), hal 216.
14 Pandangan ini nampak tautologis memang, tapi apabila kita menilik gagasan Lacan tentang moebius strip, yang
mendekonstruksi dikotomi-dikotomi seperti individu/sosial, subyektif/obyektif, dalam/luar, dst. Dikotomi-dikotomi
tersebut, menurut Lacan, sebenarnya bersifat semu dalam artian tidak ada batas jelas yang memisahkan keduanya.

4


Pada Bab 4, bung Robet membahas bagaimana fantasi mewabah di kehidupan kita
sehari-hari saat ini dan mempengaruhi realitas itu sendiri. Pembahasan tentang fantasi ini
dikaitkan dengan idiologi, atau lebih tepatnya mekanisme beroperasinya idiologi. Tesis dasar
idiologi Žižekian dalam kaitannya dengan realita adalah ini: idiologi bukanlah suatu kesadaran
palsu yang menawarkan pelarian ideal dari realita yang naudzubillah tak tertahankan, justru
sebaliknya, idiologi membentuk dan menormalisasi realitas sosial sehari-hari di mana keterlibatan
kita di dalamnya sudah di atur tanpa kita sadari. Dengan kata lain: fantasi idiologis adalah
penopang realitas itu sendiri. Pertanyaannya, mengapa perlu ditopang? Sebagaimana “rahasia
besar psikoanalisis”: karena L besar, yang mengatur koordinat realitas sosial, juga pada dasarnya
berkekurangan, kontradiktif, terdislokasi, dan gegar. Cacat inilah yang hendak ditambal dengan
fantasi. Dalam masyarakat fasis Jerman 1990an awal misalnya: keterpurukan ekonomi paska
perang membuat tatanan masyarakat bergolak, negara diragukan, dan politik kacau balau.
Penyangkalan terhadap kenyataan keterpurukan inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya
fantasi. Fantasi akan segera mencari kambing hitam untuk “menambal” keterpurukan Jerman ...
orang Yahudi kena getahnya.
Peran lain fantasi ketidak-mungkinan yang dieksplorasi bung Robet adalah dalam
kaitannya dengan demokrasi. Bagi Žižek ketidak-mungkinan masyarakat merupakan landasan
bagi terselenggaranya demokrasi, “demokrasi adalah sistem yang mengakui adanya sesuatu yang
kosong, kurang, dan cela” (158). Karena rakyat, yang menjadi subyek dalam kedaulatan,

mengidap suatu ketidak-mungkinan, maka dengan demikian kedaulatan adalah ilusi. Oleh karena
itu, singgasana kedaulatan harus dibiarkan kosong dan terbuka untuk kontestasi abadi pagi
mereka yang silih berganti dalam mengisi kedaulatan, itupun secara sementara. Akan selalu ada
ekses yang akan menjadi skisma dalam integritas rezim sementara tersebut. Skisma inilah yang
disebut antagonisme. Jadi jelas kiranya bahwa setiap rezim politik tidak akan mungkin bisa secara
total dan permanen mengisi ruang kosong ini—suatu ketidak-mungkinan tersendiri. Tepat di
sinilah totalitarianisme hadir sebagai penyangkalan ketidak-mungkinan/antagonisme ini demi
suatu keutuhan integritas
Bagian berikutnya, bab 5 dan 6, merupakan upaya bung Robet mengaudisi agen dari
subyek radikal yang telah diteorikannya. Bagi Žižek, konsepsi klasik kelas sebagai agen revolusi
sudah tidak berlaku di era kapitalisme kontemporer yang serba merelatifkan segala sesuatu. Žižek
juga mengkritik tawaran agen ala marxis konemporer semenjak Hardt, Negri, sampai Laclau. Bagi
Žižek, agen mereka tidak mampu menjawab persoalan pokok dalam kapitalisme, yaitu
perselingkuhan superego dengan penikmatan (jouissance). Yang Žižek butuhkan adalah subyek
yang mampu melakukan “tindakan yang secara langsung memutus kombinasi persilangan
jouissance itu” (186). Konsekuensinya, tindakan tidak boleh merupakan hasil dorongan imperatif
superego, melainkan sebagai aksi non-intensi, bukan keputusan sadar. Untuk ini, Žižek kembali
pada kepemimpinan politis Lenin. Namun, nampaknya Lenin masih belum memuaskan bung
Robet, karena interpretasi Žižek seakan menganjurkan individu yang terisolir dan jauh dari
praktik publik. Kolektivitas adalah hal yang luput, bisa jadi tak mampu, diteorikan oleh Žižek.
Bagi bung Robet, ini adalah “kelemahan mendasar Žižek” (215). Sedari sini, bung Robet
mencoba menambal kelemahan Žižek dengan berpaling pada Giorgio Agamben, filsuf sekaligus
yuris dari Italia. Gagasan Agamben tentang homo sacer, subyek yang tersingkirkan oleh sang
penguasa berdaulat melalui proses–proses di luar hukum, nampaknya menggoda bung Robet
untuk mengatributkan predikat agen padanya.
Namun walau bagaimanapun juga kontribusi Žižek terhadap diskursus perubahan politik
tidak dapat dinafikan gara-gara ia tidak memiliki konsepsi agen secara spesifik. darinya, bung
Robet memformulasikan syarat-syarat yang politis: 1) mensyaratkan intervensi terhadap ketidakmungkinan, 2) mengandung dimensi imajinasi di luar koordinat simbolik, 3) lahirnya
5

subyektivitas kembali melalui kesetiaan terhadap kebenaran, 4) memiliki dimensi kolektivitas
(225-6). Selain formulasi yang-politis, filsafat Žižek juga mampu menghadirkan kritik dan
pandangan orisinil mengenai kapitalisme, yaitu perselingkuhan superego dengan penikmatan
(jouissance).
-o0oSekarang tiba saatnya saya memasang jarak dengan buku Manusia Politik ini. Setidaknya ada dua
hal besar yang menjadi usulan saya untuk didiskusikan.

Tentang pengutamaan yang-Riil
Ada tiga permasalahan yang saya kira berakar dari pengutamaan berlebihan atas yang-Riil dalam
analisa Lacanian Žižek yang disajikan bung Robet.
1. Tentang totalitarianisme yang tidak-mungkin (162-165). Saya sependapat bahwa fantasi
merupakan penyanggah kitidak-mungkinan akan keutuhan masyarakat. Sepakat pula bahwa,
misalnya kasus fasisme Jerman, anti-semitisme merupakan fantasi idiologis yang agaknya
mampu mengobati keterpurukan Jerman walaupun tidak secara permanen. Problem bagi
saya adalah, mengapa inisiatif totalitarianisme muncul dari orang Jerman, dan bukan orang
Yahudi? Bukankah keduanya merasakan penderitaan yang sama akibat keterpurukan?
2. Masalah pertama berkaitan dengan masalah kedua. Yaitu tentang peran dan fungsi Riil
sebagai penjamin tatanan realitas atau yang-Simbolik. Keberatan saya pertama-tama adalah
pada pencampur-adukkan realitas dengan yang-Simbolik, dan Riil bukan satu-satunya
penjamin realitas. Bagi saya, realitas memang terdapat andil Simbolik dan Riil, melainkan
bukan Simbolik atau Riil an sich! Penting sekirnya menilik apa yang disebut Lacan, yang
sayangnya tidak satupun muncul dalam pembahasan bung Robet, sebagai simptom.
Dalam hubungannya dengan ketiga tatanan Riil-Simbolik-Imajiner (RSI), simptom
merupakan tatanan ke-4. Tidak hanya itu, simptom adalah yang mengunci RSI dari
ketercerai-beraian. Karena apabila hal ini terjadi, maka realitas stabilitas realitas sosial akan
kolaps. Mengapa demikian? Karena realitas adalah simptom itu sendiri, malahan menurut
Lacan, “symptom is everywhere.” Lacan, seperti biasa, tidak menjelaskannya secara gamblang
sehingga membuat orang harus meraba-raba sendiri—mungkin memang itu yang dimaui
Lacan. Namun demikian, pembahasan paling sistematis dapat dilihat pada Seminar X X III:
The Sinthome.15 Secara analitis, symptom bertujuan mengunci Riil, antagonisme fundamental,
sekaligus yang disebut Hegel universalitas konkrit; hal ini dilakukannya dengan
mendomestifikasinya ke dalam suatu kontainer imajiner,16 dan akhirnya menyegelnya dengan
penanda simbolik. Tadaaa...jadilah apa yang disebut-sebut realitas. Jadi, bisa disimpulkan,
definisi analitis bagi simptom: manifestasi simbolik atas keutuhan imajiner yang takmungkin.
Apabila bung Robet bermaksud merombak koordinat realitas, maka sebenarnya justru
simptomlah kuncinya: sekali simptom dihajar, maka runtuhlah tatanan RSI alias realitas
tersebut. Saya akan mengeksplorasi ini melalui permasalahan ketiga.
Jacques Lacan, Seminar XX III: The Sinthome, 1975-76, diterbitkan di Ornicar, 6-11, 1976-1977.
Imajiner Lacanian selalu berhubungan dengan gagasan tentang keutuhan, integralitas, dan batas-batas yang jelas
antara dalam-diri (innenwelt) dan luar-diri (umwelt); Imajiner selalu berhubungan dengan ke-diri-an. Kesemua gagasan ini
termaktub dalam suatu bentuk (form) atau wadah (container), atau yang disebut Lacan gestalt. Lihat Jacques Lacan, É crits: A
Selection, terj. A. Sheridan (London: Tavistock, 1977), Bab 1. Sekalipun bukan Lacanian, karya berikut juga contoh baik
tentang Imajiner Lacanian: Benedict Anderson, Imagined Community (London: Verso, 1983).
15

16

6

3. Tentang kegagalan Žižek memformulasikan agen yang mantap; saya sepakat tentang ini.
Malahan, bagi Laclau agen ala Žižek nampaknya adalah seorang (atau seekor) makhluk Mars
(martian).17 Namun problemnya tidak seharusnya ditimpakan kepada psikoanalisis in toto!
Kembali ke dua poin di atas, problemnya adalah pada pengutamaan yang terlalu akut pada
Riil. Sudah jelas bahwa Riil itu dicirikan Lacan sebagai “that which resist symbolization,” mana
mungkin ada perwujudan murni dari subyek yang merupakan delegasi langsung dari Riil?—
absurd!
Kembali ke realitas/simptom. Semenjak simptom juga memiliki elemen keutuhan imajiner di
dalamnya, maka diskusi seputar natur universalisme—model keutuhan—menjadi relevan di
sini. Di samping Žižek, Laclau-Mouffe (dan Jean-Luc Nancy) pun menjadi penting untuk
dihadirkan, terutama dalam kaitannya dengan hegemonic struggle.18 Begitu pula Judith Butler
juga akan sangat berguna untuk melihat bagaimana Simbolik mentransliterasikan dan
akhirnya menyegel keutuhan imaginer ini ke dalam suatu rantai penandaan diskursif yang
kokoh dan dinormalisasikan dengan politik performatif.19 Penting pula untuk memasukkan
tesis dasar Félix Guattari bahwa “everybody wants to be a fascist.”20
Jadi, gambar besarnya adalah begini: Semenjak subyek dicirikan secara ontologis dengan
keberkekurangannya, maka ia akan senantiasa mengkonstruksi fantasi untuk
mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela menundukkan diri di bawah fantasi
tersebut. Fantasi tidak akan pernah habis, sama seperti kekurangan fundamental manusia
yang abadi. Nah, ada saatnya fantasi keutuhan itu dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan
tribal, nasional, bahkan seksual. Ikatan inipun dimanifestasikan dengan simbol-simbol
tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak akan pernah cukup menenangkan subyek, ia akan
berusaha memperluas ikatannya dengan fantasi yang lebih luas lagi, dan menciptakan simbol
lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi, tentu ada subyek fasis lainnya yang
harus tersingkir. Tentunya pergesekan akan terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan
peperangan: perang diskursus, permainan bahasa, bahkan perang fisik. Dari gambar besar ini
sekiranya jelas dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu individu, telah terdapat benihbenih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan sebagai, lebih dari antagonisme
kelas, melainkan antagonisme fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha
menetralisir ekspansi fasisme tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas.
Poinnya adalah ini: bukan kolektivitas yang menjadi utama, melainkan bagaimana suatu
diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis lain, menguncinya pada domain simbolik,
dan melakukan ekspansi diskursifnya!
Kembali ke agen politik emansipatoris. Dengan bertolak dari konsepsi saya tentang realitas
sosial dan bagaimana ketiga tatanan RSI terjalin mesra dalam dekapan simptom, maka
sasaran pukul yang paling utama bagi saya adalah simptom itu sendiri. Bagaimana itu terjadi?
Dengan logika transferensi psikoanaisis Lacanian. Transferensi, sederhananya merupakan
momen di mana terjadi analisis antara analis dan analisan: sang analisan mengeluarkan
simtomnya (mimik, bahasa, gestur, tulisan, dst) dan sang analis melakukan tiga hal ini:
memancing simptom sebanyak mungkin untuk melihat repetisi; “mengkoreksi” (rectify)
persepsi subyek tentang nasib/realitasnya sebagaimana nampak dalam simptom; interpretasi
17 Ernesto Laclau, On Populist Reason (London, Verso: 2005), hal. 232. Terima kasih kepada Daniel Hutagalung yang
menunjukkan poin ini pada penulis.
18 Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, H egemony and Socialist Strategy, edisi kedua (London: Verso, 2001).
19 Judith Butler (, E rnesto Laclau, & Slavoj Žižek dalam Contingency, Hegemony, and Universality (London: Verso,
2000); Bodies That Matter: On the discursive limit of “sex” (NY: Routledge, 1993).
20 Félix G uattari, “E verybody wants to be a fascist,” dalam Chaosophy, peny. Sylvere Lotringer (NY: Semiotext(e),
1995).

7

simptom.21 Saya tidak akan detil di sini, hanya aspek koreksi yang ingin saya garis bawahi:
koreksi yang dimaksud adalah menunjukkan betapa persepsi subyek tentang realitas tersebut
pada dasarnya hanyalah merupakan akal-akalan subyek untuk mengkompensasi fundamental
lack yang secara inheren ada pada subyek. Koreksi ini menurut saya cukup efektif dengan
mendekonstruksi habis-habisan simptom tersebut. Jadi poin saya: dekonstruksionisme
Derrida dkk masih sangat diperlukan di era di mana simptom ada dimana-mana saat ini, dan
bukannya harus disudahi. Meninggalkan posmo berarti membuang senjata yang paling
ampuh untuk membedah simptom.

Žižek yang lain?
Bagian ini bukan ingin mendiskusikan problem, melainkan suatu tawaran. Bung Robet
melihat filsafat Žižek sebagai sejatinya filsafat subyek: “dengan melihat karakter Lacanian dalam
pemikirannya, Žižek secara jelas dan mendasar hendak mengarahkan filsafatnya sebagai filsafat
subyek.” Tidak ada masalah bagi saya dengan penekanan pada subyek ini, hanya saja agak
kontradiktif dengan pengakuan Žižek sendiri yang sebenarnya lebih suka pada budaya-pop.
“[T]he theoretical space of the present book is moulded by three centres of gravity: Hegelian dialectics,
Lacanian psychoanalytic theory, and contemporary criticism of ideology. These three circles form a
Borromeian knot: each of them connects the other two; the place that they all encircle, the “symptom” in
their midst, is of course the author's (and, as the author hopes, also the reader's) enjoyment of what one
depreciatingly calls “popular culture”; detective and horror movies, Hollywood melodramas...”22

Saya menawarkan bagi para khalayak sekalian untuk juga mengeksplorasi karya Žižek yang lain di
bidang-bidang lain non-subyek—tanpa harus meninggalkan subyek tentunya: budaya-pop,
ekonomi politik, teologi, dst. Argumentasi penulis, sama seperti Bung Robet, bahwa pemikiran
Žižek agaknya kurang memadai untuk menjelaskan dan memformulasikan agensi subyek.
Sehingga daripada berkonsentrasi menggali subyek Žižekian—atau malah ikut-ikutan menunggu
makhluk Mars—ada baiknya kita mengekplorasi dimensi lain dari Žižekianisme.
Tawaran kedua. Pengalaman saya membaca buku dan artikel Žižek, menonton videovideo kuliah maupun dokumenternya, dan membaca berita-berita tentangnya, membawa saya
berkesimpulan: “orang ini sakit!” Gayanya eksentrik, bahasanya nakal, contoh-contohnya mesum,
suaranya mendominasi, gestur tubuhnya pun menggelikan. Dimensi ini yang sedikit kabur dalam
buku bung Robet: bung Robet kurang “nakal” dan kurang “barok.” Bahkan di buku tentang
Žižek lainnya yang ditulis oleh Thomas Kristiatmo, kegenitan Žižek nampak dinafikan, malahan
Bambang Sugiharto, dalam pengantarnya, terang-terangan bersyukur karena Thomas berhasil
“menyiangi kegenitannya yang tak perlu.”23
Bagi saya, yang membuat Žižek menjadi so Žižek , justru pada gaya baroknya! Kegenitan,
kevulgaran, dan kemesuman Žižek sebaiknya diletakkan dalam kerangka propaganda populis.
Žižek tidak akan menarik begitu banyak perhatian jika ia tidak mencontohkan tentang pria sok
liberal yang khawatir vagina pacarnya dijilati oleh selingkuhannya.24 Ia juga tidak akan disoroti
filsuf-filsuf (bahkan mungkin bung Robet) apabila ia tidak memfilosofikan model jembut, atau
tipe-tipe toilet dalam kaitannya dengan pup. Ia juga akan kesulitan propaganda kepada anak-anak

21 Jacques Lacan, “The Direction of the Treatment and the Principles of its Power,” dalam É crits: A Selection, terj.
A. Sheridan (London: Tavistock, 1977),
22 Žižek. For They Know N ot What They Do, hal. 2.
23 Bambang Sugiharto, “Pengantar: Mengapa subyek, mengapa Žižek?” dalam Redefinisi Subyek dalam Kebudayaan:
Pengantar memahami subyek tifitas modern menurut Slavoj Žižek (Bandung: Jalasutra, 2007) hal. xi.
24 Lihat Slavoj Žižek, Plagues

8

gaul jika ia tidak menghubungkan Berlusconi dengan Kungfu Panda, Hegel dengan film Titanic,25
Sosdem dengan film Hurt L ock er, atau Kierkegaard dengan Keanu Reeves. Begitu pula dengan
saya pribadi; yang memikat saya pada Žižek adalah hal-hal ini, terlebih dari teori subyek,
kapitalisme dan fantasinya. Sejauh pengamatan saya setidaknya ada lima gaya/metode Žižek
dalam berwacana (baca: propaganda):
- Ngepop!
o Memakai analogi-analogi yang dekat dengan keseharian, membahas film-film,
novel, dst.
- Humor mesum nan menjijikkan
o Selain contoh-contoh yang saya sitir di atas: memotong testis penguasa,26 gestur
memaju-mundurkan panggul untuk menunjukkan diktum Lacan “there is no sexual
relationship.”27 Tujuannya adalah, sebagaimana judul bukunya, supaya kita bisa
“tarrying with the negative.”28
- Korslet (short circuit)
o Žižek sering menggunakan metode ini untuk mengganggu aliran “arus”
pemikiran yang lurus-lurus saja: menunjukkan simptomnya, dan serta merta
mengkorsletkannya. Di The Parallax V iew, Žižek menghubungkannya dengan
teknik parallax view, yaitu melihat sesuatu dengan landasan posisi yang sama sekali
berbeda.29
- Memilih yang antagonis
o Žižek selalu memilih posisi yang bertentangan dengan posisi kebanyakan,
misalnya: berpihak pada Rene Descartes di saat posmo yang anti-Cartesian
sedang naik daun, membela Robespierre yang biasanya dianggap otoriter, memilih
Kekristenan di saat Marxis standar kebanyakan ateis, dst.

Akhir kata, saya haturkan lautan maaf apabila pembaca budiman menderita karena kemenjijikan-an, ke-garing-an, dan kevulgaran yang terkandung dalam makalah ini. Namun
demikian, saya tidak menyesal karena anda memang harus menderita supaya bisa pup dengan
lancar, karena hanya subyek yang pup-nya lancar saja, yaitu yang berani melakukan tindakan
bunuh diri, mengosongkan diri dari segala embel-embel hukum simbolik, ... yang bisa radikal.
Terima kasih.
E njoy!
May the big O bless you, and “see you either in hell or in communism.”30

Biodata singkat
Hizk ia Yosie Polimpung
Peneliti di Center for International Relations Studies (CIReS) F ISIP UI, Pusat Kajian Wilayah A merik a
(PKWA ) UI dan L embaga Studi Urban (L SU) Surabaya.
Kritik dan celaan, yosieprodigy@ live.com

25 Demi yang satu ini, Žižek mengaku sangat ingin mewawancara K ate Winslet, pemeran wanita utama Titanic,
bahkan ia rela membayar tiket pesawat ke AS asalkan BBC mengatur janji dan waktunya.
26 Lihat Video Žižek, What does it mean to be a revolutionary today? Pidato pada Marxism Festival 2009, Bloomsburry, 2
Juli 2009.
27 Lihat Video Dokumenter Zizek !
28 Slavoj Žižek, Tarrying With the Negative: Kant, Hegel and the Critique of Ideology (Durham: Duke University Press,
1993).
29 Slavoj Žižek, The Parallax V iew (Cambridge: MIT Press, 2006)
30 Salam perpisahan dari Žižek saat diinterview di The Culture Show BBC.

9