Habaib dan praktik komodifikasi agama : analisis ideologi menurut pemikiran slavoj zizek.
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
FU
’
AD HASYIM
NIM: E71213102
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Fu’ad Hasyim: “Habaib dan Praktik Komodifikasi Agama (Analisis Ideologi Menurut Pemikiran Slavoj Žižek)”. Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Runtuhnya periode Orde Baru mendorong era yang lebih demokratis, sistem pasar bebas dan globalisasi yang membuka pintu bagi masuknya pengaruh-pengaruh dari luar termasuk paham-paham liberal sehingga telah mendorong munculnya produk-produk budaya Islam. Tidak hanya itu, peristiwa ini juga menjadi satu fase bangkitnya kebudayaan populer yang kini dipuja hampir di seluruh lapisan masyarakat kita. Kebudayaan populer ini tidak hanya terbatas pada praktik presentasi diri masyarakat di ruang publik, tetapi juga menular pada ekspresi keberagamaan umat Islam, salah satunya yang paling tampak adalah setelah Islam melakukan negosiasi dan simbiosisme dengan pasar. Simbol-simbol Islam yang bertebaran di ruang publik kita merupakan salah satu contoh dari indikasi transaksi komersial tersebut. Kebudaya populer dan semangat kapitalisme ini juga saling bertabrakan, sebagaimana kita bisa melihat para Habaib sebagai subjek yang terbelah dan bertabrakan: di satu sisi mengajak untuk membelenggu nafsu, di sisi lain giat mengkampanyekan pembebasan hasrat dengan mengajak mengkonsumsi produk kapital yang di permak sedemikian rupa agar terlihat lebih syar’i dan islami. Fenomena tersebut merupakan salah-satu bentuk “komodifikasi agama”, dimana simbol-simbol dan nilai-nilai agama dikomersialisasi untuk mendapatkan untung.
Dalam proses identifikasi Žižek-Lacanian, Habaib tersebut sebagai subjek yang pada mulanya berada dalam kenikmatan ikatan primordial pada fase The Imaginary selanjutnya mengalami lack karena mereka harus menjalani momen kastrasi ketika memasuki tatanan The Symbolic. Lack inilah yang membuat mereka mampu memunculkan objek a, objek sublim yang membuatnya berfantasi dan menemukan hasratnya. Namun karena hasrat selalu bertumpu pada fantasi yang hadir sebagai rasionalisasi akan objek a, maka hasrat pun tak pernah memberikan jouissance bagi mereka. Karena jouissance adalah titik terdalam dari The Real yang mustahil dan berada di luar tatanan The Symbolic atau bahasa.
“Komodifikasi agama” sendiri merupakan ideologi dalam bentuk termuta-khirnya, karena telah menjadi sebuah kesadaran yang tidak mampu lagi dipandang sebagai sebuah sesuatu yang asing oleh subjek. Karena ideologi dalam bentuk termatangnya sudah tidak dipandang menjadi sebuah ideologi lagi, maka ia telah berubah menjadi seperangkap kesadaran kita lengkap dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehadiranya dalam diri subjek tidak lagi disadari. Dengan begitu proses dakwah yang berbaur dengan pasar tidak mungkin dilepaskan dengan ideologi dominan itu.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 15
C.Tujuan Penelitian ... 15
D.Kegunaan Penelitian ... 16
E. Tinjauan Pustaka ... 17
F. Kerangka Teoretik ... 21
G.Metode Penelitian ... 28
1. Jenis Penelitian ... 29
2. Sumber Data ... 29
3. Validasi Data ... 30
4. Metode Pengolahan Data ... 31
(8)
BAB II HABAIB DAN KOMODIFIKASI AGAMA ... 33
A.Habib: Gelar Ulama Arab-Indonesia... 34
1. Definisi Habib ... 35
2. Pokok Subjek: Habaib dan Medium Dakwahnya ... 45
a. Habib Syekh dan Ahbabul Musthofa ... 46
b. Habib Hasan dan Nurul Mushofa ... 51
c. Habib Taufiq dan Cahaya Nabawiy ... 60
B.Globalisasi dan Lahirnya Masyarakat Konsumsi ... 66
C.Komodifikasi Agama: Keniscayaan Masyarakat Konsumsi ... 71
1. Definisi Komodifikasi ... 73
2. Definisi Komodifikasi (Agama) ... 76
BAB III KIPRAH SUBJEK HABAIB DALAM DIMENSI SIMBOLIK DAN UPAYANYA MEMBANGUN KEMBALI KESATUAN PRIMORDIALNYA DENGAN ISLAM ... 80
A.Islam sebagai “Kesatuan Primordial” ... 80
B.Alienasi dan Identifikasi Habaib ... 84
C.Dorongan Habaib ke “Kesatuan Primordial” ... 91
D. Sublimasi Habaib ... 100
BAB IV ANALISIS KERJA IDEOLOGI DALAM PRAKTIK KOMODIFIKASI AGAMA MELALUI SUBJEK HABAIB ... 107
A.Habaib dan Tindakan sebagai Ideologi ... 107
B.Membaca Ideologi dan Memahami Komodifikasi Agama ... 113
C.Habaib sebagai Objek Fetish ... 120
BAB V PENUTUP ... 124
A.Kesimpulan ... 124
(9)
DAFTAR PUSTAKA GLOSARIUM
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya periode Orde Baru mendorong era yang lebih demokratis, sistem pasar bebas dan globalisasi yang membuka pintu bagi masuknya pengaruh-pengaruh dari luar termasuk paham-paham liberal sehingga telah mendorong munculnya produk-produk budaya Islam. Tidak hanya itu, peristiwa 1998 juga menjadi satu fase bangkitnya kebudayaan populer yang kini dipuja hampir di seluruh lapisan masyarakat kita. Kebudayaan populer ini tidak hanya terbatas pada praktik presentasi diri masyarakat di ruang publik, tetapi juga menular pada ekspresi keberagamaan umat Islam, salah satunya yang paling tampak ialah setelah Islam melakukan negosiasi dan simbiosisme (baca: hubungan timbal balik) dengan pasar. Simbol-simbol Islam yang bertebaran di ruang publik kita merupakan salah satu contoh dari indikasi transaksi komersial tersebut.
Munculnya ustadz selebritis, film dan sinetron melodrama Islami yang terus diproduksi, buku-buku ringan semacam kiat-kiat menjadi muslim yang baik terus dicetak, novel-novel Islami laris di pasaran, Majalah fashion perempuan Muslim bermunculan, bank berlabel syariah tumbuh, konten nada dering yang dikuti dari tilawah al-Quran ramai diperdengarkan, dan seterusnya dalam khazanah ekspresi Islam di Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana kebudayaan populer bekerja dalam Islam dan bagaimana Islam melakukan
(11)
negosiasi dengan pasar. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan bagaimana Islam dikampanyekan secara besar-besaran di ruang publik kita, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi kebebasan di mana pada masa Orde Baru praktik semacam ini tidak ada.
Situasi politik nasional pada saat itu tidak memungkinkan umat Muslim melakukan pembesaran pengaruh di jejaring ruang publik. Cengkraman politik kuasa Soeharto sangat dalam dan sebisa mungkin penguasa melakukan strategi dalam meminimalisir kemungkinkan terjadinya konfrontasi langsung dari warga atau umat. Kelompok Islamlah yang memang paling dikhawatirkan oleh Soeharto karena dianggap sebagai kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa mengancam kekuasaannya. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru. Hubungan antagonis antara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan. Sikap curiga dan kehawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik Islam pada masa Orde Baru.1
Segala aktifitas di jejaring ruang publik juga harus melalui kontrol dari penguasa. Salah satu contoh bagaimana Orde Baru melakukan kontrol dan strategi penjinakan terhadap Islam dalam konteks politik dengan cara yang halus adalah dukungannya terhadap ICMI,2 strategi itu dilakukan hanya untuk menarik simpati
1Shohifur Ridho’i, “Subyektivitas Ustadz Selebritis dan Praktik Komodifikasi Agama di
Indone-sia Pasca 1998” (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2015), 2.
(12)
umat Islam, sebagaimana ketika Soeharto mencabut larangan berjilbab3 di sekolah
umum dengan dikeluarkannya SK 100/1991 juga merupakan suatu upaya tersebut.4
Jilbab dilarang sebab sekolah sedianya berperan sebagai media penempa siswa dalam rangka menjadi nasionalis, bukan agamis. Kementrian bahkan menggelar rapat khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menegas-kan kembali bahwa seragam semestinya menyeragammenegas-kan siswa, maka apabila ada siswa yang memakai jilbab dan ada yang tidak, maka seragam tidak dapat lagi disebut seragam.5 Pada level yang lebih jauh, seragam tidak semata-mata adalah
warna dan bentuk kostum yang senada, tetapi ia juga bekerja dalam menyeragaman mental. Orde Baru memang menanamkan pemahaman bahwa yang berbeda tentu salah, dan untuk menuju keberhasilan pembangunan, haruslah ada stabilitas nasional yang hendak dicapai lewat penyeragaman. Di mana-mana, apapun yang berbeda perlu dikoreksi dan diseragamkan.6
Orde Baru melarang ‘ideologi ekstrem’ dalam politik Indonesia dan Islam punya potensi untuk itu. Tegangan politik semacam itu tidak akan memungkinkan bagi umat Muslim melakukan kampanye Islam secara terbuka sebagaimana hari ini di media-media terutama televisi. Sementara televisi pada saat itu tidak lepas
3 Pada awal tahun 1990-an pemerintah mengeluarkan SK 052/1982 tentang larangan berjilbab di
sekolah dan pada saat itu jilbab kemudian diasosiasikan sebagai gerakan politik yang ingin menentang rezim. Lihat Deny Hamdani, Ph.D, Anatomy of the Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (Lambert Academic Publishing, 2011), 84.
4 1ntan Paramaditha, ““Passing” dan Naratif “Pindah Agama”: Ayat-Ayat Cinta dan
Performati-vitas Muslim Indonesia Kontemporer”, dalam Khoo Gaik Ceng & Thomas Barker (ed.), Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?; Beberapa wacana Seputar Film Indonesia, terj. Veronika Kusu-maryati (dkk.) (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 83.
5Makbul Mubarak, “Muslim Sosial dalam Dua Film Nurman Hakim” dalam
http://cinemapoetica.com, diakses pada jam 13.00 WIB, tanggal 5 Agustus 2017.
6 Thomas Kristiatmo, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas
(13)
dari kontrol dan sensor dari pemerintah melalui Departemen Penerangan.7 Namun
bukan sama sekali tidak ada nuansa Islam di televisi kita. Kita bisa menemukan di dalam sinema, misalnya, film di masa Orde Baru ada beberapa yang bernuansa Islam, tetapi Islam yang digambarkan bukan Islam sebagai suatu gerakan perlawanan yang berhadap-hadapan langsung dengan negara, tetapi Islam yang dihubungkan dengan wacana pembangunan. Dalam konteks wacana ini, penggambaran figur Muslim yang melawan aturan diperbolehkan hanya jika melawan kolonialis Belanda atau kerajaan Mataram.8 Islam dalam film-film pada
saat itu dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar sentimen anti-kolonial.9
Berakhirnya rezim Orde Baru dengan karakternya yang menekankan pada ideologi pembangunan, militerisme, anti-Islam fundamentalis dan juga politik anti-komunis telah menghasilkan berbagai tekanan berkepanjangan terhadap berbagai kekuatan sosial. Jatuhnya rezim ini tidak hanya memberi ruang yang lebih luas dalam ekspresi seni, budaya dan politik, tetapi juga memunculkan suara Islam yang progresif maupun yang fundamentalis. Negara dengan mayoritas Muslim ini menghadapi arus Islamisasi dengan pengaruh kuat dari partai Islam yang menarik perhatian lewat politik visibilitas (kemencolokan).10
Di tengah arus transisi yang memberikan kebebasan dan keterbukaan kepada publik, sejatinya terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap gerakan Islam di Indonesia, yakni gerakan Islam yang pada masa Orde Baru tidak
7Eric Sasono, “Film-Film Indonesia Bertema Islam Dewasa ini: Jualan Agama atau Islamisasi?”
dalam Khoo Gaik Ceng & Thomas Barker (ed.), Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?; Beberapa wacana Seputar Film Indonesia, terj. Veronika Kusumaryati (dkk.) (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 60.
8 Ibid., 61. 9 Ibid., 69.
(14)
bisa muncul di pentas politik nasional. Kekuasaan Orde Baru yang menekan gerakan Islam selama tiga dasawarsa ternyata tidak mampu melemahkan gerakan Islam untuk bangkit kembali memperjuangkan aspirasi Islam secara lebih luas. Momentum masa transisi yang tidak menentu menjadikan gerakan Islam semakin menemukan titik kebangkitannya di tengah perebutan kekuasaannya.11
Gerakan Islam yang sedang bangkit pasca Orde Baru ditandai oleh perubahan struktural maupun kultural. Secara struktural perubahan itu ditandai dengan maraknya pendirian partai-partai Islam, seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII 1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi) dan PP (Partai Persatuan). PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sebelumnya telah eksis di masa Orde Baru dengan asas pancasila akibat kebijakan rezim tentang kewajiban mencantumkan asas pancasila bagi organisasi politik dan organisasi masyarakat (ormas), telah merubah asasnya dengan Islam.12
Berikutnya secara kultural, muncul berbagai ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASW) yang kemudian populer dengan sebutan Laskar Jihad, al-Ikhwân al-Muslimûn, Hizbut Tahrir, HAMMAS, dan Majelis Mujahidin menyusul gerakan Islam lainnya yang sudah berdiri di masa Orde Baru seperti KISDI (Komite Indonesia
11 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia
(Jakarta: Teraju, 2002), 3.
(15)
untuk Solidaritas Dunia Islam). Ormas-ormas yang muncul semacam ini ditandai dengan karakteristik yang formal, militan dan radikal.13
Namun, kebangkitan Islam berjalan berseiring dengan kebangkitan kebudayaan populer dan keduanya bercampur sehingga menghasilkan kebudayaan hibrid yang sudah kabur batas-batasnya. Bibit-bibit persinggungan Islam dan budaya populer muncul di dalam komunitas Muslim kelas menengah di perkotaan yang secara perlahan berpartisipasi dalam budaya konsumsi yang tumbuh diantara kelas menengah Indonesia sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997. Tetapi akhirnya mereka kurang melawan dan lebih bersahabat dengan praktik konsumsi. Ternyata pertumbuhan budaya hibrida menggantikan semangat perlawanan.
Perayaan terhadap keislaman publik juga bersamaan dengan kepopuleran industri media setelah Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada tahun 1999, sebuah warisan sistem sensor ketat Soeharto terhadap media cetak, radio, dan televisi. Pameran kesalehan media, sebagaimana dikutip Intan paramaditha dari Amrih Widodo dalam Writing for God: Piety and Comsumption in Popular Islam (2008), bisa dianggap sebuah reaksi di kalangan Muslim untuk lebih memiliki kontrol atas produksi dan konsumsi media. Di saat yang sama, perlawanan Islam ini menciptakan “pembentukan budaya konsumsi Muslim”.14
Pasca runtuhnya Orde Baru, media mengalami industrialisasi. Media telah beralih dari ruang kuasa negara menuju ruang kompetisi pasar. Media tidak lagi menjalankan kebijakan negara, namun berorientasi pada pemilik modal yang
13 Ibid.
(16)
menggerakkan aktivitas media pada komersialisasi. Akhirnya, yang terjadi saat ini adalah pergeseran fungsi media. Media tak lagi memberikan pesan yang berorientasi pada public needs, melainkan justru pada public wants. Media tidak hanya menyampaikan konten berupa khotbah-khotbah keagamaan, namun juga bagaimana praktik keagamaan ditampilkan dalam bingkai budaya media. Mungkin labelnya tidak menyatakan sebagai program keagamaan, namun secara substansi program-program tersebut menampilkan praktik-praktik keagamaan tertentu.
Sebagaimana yang disinggung di muka, bahwa perisiwa 1998 juga titik mula bagaimana Islam melakukan negosiasi dan simbiosisme dengan pasar. Hal itu merupakan cikal bakal bagaimana budaya populer bekerja dalam Islam. Simbol-simbol Islam yang bertebaran di ruang publik kita merupakan salah satu contoh dari indikasi transaksi komersial tersebut. Munculnya produk-produk modern yang diberi label islami atau syariah, memperlihatkan indikasi bagaimana kapitalisme mengambil bagian dari kebangkitan Islam. Popularitas jilbab misalnya, menandai citra baru mengenai feminitas Muslimah yang dengan cepat diapropriasi oleh sinetron dan kemudian sinema.15 Belum lagi wacana di abad 21
tentang kebangkitan spiritualisme yang kerap memancing antusiasme dan membuat fenomena ini semakin mendapat momentumnya.16
Munculnya jasa-jasa pemberi motivasi, salah satu yang paling dikenal adalah ESQ (Emotional Spiritual Quotient)-nya Ari Ginanjar. Berdasarkan
15 Ibid., 83.
16 Alfathir Adlin, “Realitas Spiritual dan Hierarki Realitas (Catatan dari Editor)” dalam Alfathir
Adlin (ed.), Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), Xi.
(17)
pengembangan teori ala Barat tentang hubungan antara emosional, spiritual dan kesuksesan. Ginanjar telah menciptakan pelatihan-pelatihan manajemen secara populer dan menemukan pasar yang siap menerimanya di dalam Negara maupun sektor perusahaan swasta. Ginanjar menggunakan musik, efek pencahayaan, dan ceramah yang intensif agar menimbulkan emosi keagamaan.17 Menjamurnya
kegiatan sufisme perkotaan (urban sufism), dan paket terapi melalui zikir bersama. Merebaknya gerakan Islamisasi pengetahuan yang melahirkan usulan ekonomi Islam, psikologi Islam, Sains Islam, dan seterusnya.18
Disektor penerbitan misalnya, kita bisa dengan mudah menemukan beberapa majalah di rak-rak toko buku atau di kios-kios penjualan surat kabar pinggir jalan. Satu-satunya surat kabar nasional yang berbasis Islam di Indonesia adalah Republika. Harian ini biasanya secara khusus membuat pemberitaan tentang isu-isu Islam baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, kita juga dengan mudah mendapati penerbit-penerbit buku Islam, mulai yang liberal secara intelektual seperti Mizan, Serambi, Paramadina, LkiS, dan lain-lain hingga penerbit yang Islamis semacam Al-Kautsar, Gema Insani Press, al-Alaq, Harakatuna, Pustaka Tariqul Izzah, Asy-Syamil, Pro U Media dan lain-lain.19
Selain itu, masih di sektor penerbitan, pada tahun 2000-an awal kita pernah diterjang gelombang novel romantis Islami pembangun jiwa Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang kemudian menjadi inspirasi
17 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam: Agama yang Dijadikan Jualan dan Kesalehan yang diidam
-idamkan di Indonesia”, dalam dalam Greg Fealy & Sally White (ed.), Ustadz Seleb; Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer, terj. Ahmad muhajir (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 20-21.
18Alfathir Adlin, “Realitas Spiritual dan Hierarki Realitas”, Xi. 19 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam”, 21-22.
(18)
kemunculan novel-novel tema serupa dengan judul nyaris sama dan nama penulis yang dibuat mirip seperti novel Dzikir-Dzikir Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Novel laris Ayat-Ayat Cinta kemudian difilmkan dan, sebagaimana novelnya, film tersebut sukses di bioskop dan memantik hadirnya film-film bertema Islam seperti Kun Fayakun (2008), Mengaku Rasul (2008), Syahadat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 (2009) dan lain-lain.20
Di sektor teknologi media digital, para pengusaha membuat inovasi dengan menghadirkan Islam dalam layanan-layanan pesan yang beragam melalui telepon genggam agar para pelanggan bisa menerima ceramah dari ustadz kesukaan mereka, ayat-ayat al Quran, dan pengingat waktu shalat. Ringtone dan screensaver bertema Islam juga populer. Suatu layanan yang mengizinkan para pelanggan untuk membayar zakat dan menyumbang dengan mengirimkan pulsa melalui telepon genggam.21
Di wilayah bisnis kesehatan Islam tradisional juga tidak ketinggalan. Usaha ini dipromosikan sebagai thibbun nabawi atau pengobatan ala Nabi Muhammad. Layanan ini antara lain mencakup rukyat (penyembuhan spiritual), bekam, dan obat-obatan herbal.22 Obat-obatan islami yang berbahan dedaunan
telah menjadi industri kerajinan yang menguntungkan. Para pelaku usaha ini menjual produk-produk yang dipercayai seperti madu, air minum, minyak zaitun, kurma, gandum, juga obat-obatan yang mengandung bahan habbah as-saudah (biji hitam atau niqella sativa). Pemasaran obat-obatan islami menarik sentimen
20Intan Paramaditha, “Passing” dan Naratif “Pindah Agama”, 82. 21 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam”, 22.
(19)
keagamaan para pelanggannya, popularitas mereka bisa jadi juga mencerminkan fakta bahwa mereka menyediakan alternatif yang lebih murah pada layanan medis konvensional yang semakin mahal.23
Bisnis pariwisata Islam bernama ziarah juga mengalami peningkatan. Penawaran paket umroh yang bisa dilakukan kapan saja sepanjang tahun merupakan sumber pendapatan biro-biro perjalanan. Mereka juga menawarkan paket jalan-jalan ke situs-situs Islam di Timur Tengah.24 Selain itu juga ada
layanan-layanan berbasis situs internet. Salah satu segmen yang meraih popularitasnya pada tahun 2004-2005 adalah multi-level marketing (MLM) berdasarkan syariah. Salah satu aktor pentingnya adalah pendakwah kondang bernama Abdullah Gymnastiar dengan MQ-Net-nya. Layanan ini menjual produk-produk halal mulai dari kosmetik dan obat-obatan herbal hingga makanan, pakaian, dan buku-buku. Kebanyakan agen MLM berbasis syariah ini menggunakan jaringan masjid dan kelompok pengajian untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk-produknya.25
Di sektor bisnis moral, stasiun televisi berlomba-lomba mencomot ulama seraya menyulapnya menjadi sosok yang sohor disebut ustadz selebritis. Dalam praktik dakwah di televisi juga menjelaskan bagaimana kealiman dan spiritualitas Islam direpresentasikan oleh simbol-simbol dari performativitas ustadz. Kopyah dan sarung dalam merek tertentu serta desain baju koko yang ngetren menjadi mitos baru dalam merepresentasikan kesalehan.
23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid., 24.
(20)
Kita bisa menyebut beberapa nama ustadz selebritis yang pernah dan tengah berlangsung mewarnai televisi kita hari ini: Aa’ Gym atau Abbdullah Gymnastiar yang terkenal dengan konsep Manajeman Qolbu-nya. (alm) Jefri al-Buchori atau yang biasa dikenal dengan sebutan Uje, ustadz gaul yang banyak disukai kalangan muda. Arifin Ilham, seorang ustadz yang memiliki paket andalan dzikir yang kerap mengundang derai air mata. Yusuf Mansur, seorang ustadz yang pernah dikenal dengan layanan SMS Kun Fayakun dengan tagline “Kuburkan dan Selesaikan Semua Masalah Secara Instan bersama Ustadz Yusuf Mansur.” Beliau digemari oleh kalangan eksekutif dan sering diundang berceramah di hotel-hotel elit.26
Televisi kita juga memiliki ustadz bernama Solahuddin Mahmud atau yang kondang disebut ustadz Solmed, ia suka menunjukkan barang-barang mewahnya ke publik, dan ia juga dikenal sebagai ustadz yang kontroversial, salah satunya yang paling santer diberitakan infortainment ketika ia diduga menentukan tarif tinggi dalam berceramah. Hingga saat ini pemirsa masih bisa menikmati ceramah dari Muhammad Nur Maulana di acara “Islam Itu Indah” yang disiarkan oleh Trans TV, ustadz ini menjadi kondang karena kelucuannya dalam menyampaikan ceramahnya. Memiliki ciri khas sapaan “jamaah oh jamaah…” di awal ceramahnya.27
Beberapa kalangan memuji cara ceramah Nur Maulana karena dianggap telah membawa warna baru dalam dunia ceramah. Namun juga tidak sedikit yang berpendapat bahwa gaya ceramah Nur Maulana membawa kesakralan agama ke
26Shohifur Ridho’i, “Subyektivitas Ustadz Selebritis”, 13. 27 Ibid.
(21)
titik terendah dengan performance-nya yang berlebihan, kurang berwibawa dan kemayu. Felix Siauw, pendakwah Islam yang lebih memilih dipanggil “motivator” ketimbang “ustadz”. Felix Siauw sangat gencar mempropagandakan “hidup sukses dengan syar’i”. Ia juga banyak menulis buku dan aktif di media sosial, memberi kultwit di semesta twitter dan kata-kata indah bernada motivasi di fanpage facebook nya.28
Beberapa contoh yang disebut di atas merupakan bentuk dari komodifikasi agama di mana pasar mengambil peran atas kebangkitan Islam pasca Orde Baru. Dan hari ini kita berada dalam abad informasi dan virtual atau zaman citra dan pencitraan. Wacana keagamaan masa kini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan citra visual (visual image) sebagai unsur pembentuk utamanya. Keberagamaan di zaman ini tak ubahnya pengukuhan terhadap pencitraan religiositas seseorang. Simbol-simbol agama dijadikan standar untuk mengukur keberagamaan seseorang. Substansi dari agama itu sendiri jadi simbolik-binerik.29
Fenomena konsumsi produk islami ini juga menunjukkan bahwa ekspresi keimanan menjadi lebih individual daripada sebelumnya, juga dengan munculnya Islam di ranah publik serta konsumsi masif atas produk islami ini tidak serta merta mengubah wajah Islam Indonesia yang cenderung moderat. Dalam perspektif ini, agama bukan hanya dipandang sebagai sesuatu yang bersifat doktrinal-ideologis yang bersifat abstrak, tetapi ia muncul dalam bentuk-bentuk material, yakni dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks inilah, agama dipandang sebagai bagian dari kebudayaan. Identitas-identitas keagamaan bahkan biasanya lebih mudah
28 Ibid., 14.
29 Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi (Jakarta Selatan: Mizan
(22)
ketika dimaterialisasi melalui cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, agama dalam konteks ini adalah “praktik keagamaan” bukan melulu “doktrin keagamaan”.
Dewasa ini keberadaan Habaib di Indonesia memainkan peran penting dalam pembentukan etos religiositas Islam kontemporer melalui kontesasi acara majelis bersama sebagai upaya membawa “kedamaian”. Gagasan “kedamaian” tersebut dihadirkan kembali melalui pagelaran acara majelis taklim, majelis shalawat, majelis dzikir, dan sebagainya. Ide mengenai “kedamaian” ini menjadi “nilai” yang dilekatkan dan dilangsungkan dalam pergelaran acara tersebut juga ternyata secara simultan (baca: serentak) membentuk strandarisasi audiens yang mengikuti acara tersebut.
Namun gagasan “kedamaian” tersebut sebagai ide Islamisasi nusantara yang dihadirkan kembali lewat acara itu ternyata tidak hanya sebagai ritus mengungkapkan kecintaan kepada nabi, melainkan juga sebagai ritus penginstitusian genealogi Sayyid dan Syarif. Disamping itu, upaya diselenggara-kan pagelaran acara tersebut juga menjadi sesuatu yang terus-menerus direproduksi dan dimungkinkan oleh sejarah panjang perjalanan Habaib yang berdiaspora (baca: tersebar) di Indonesia dengan menggunakan modal-modal religius (religious capital).
Cara tersebut menurut Woodward yang dikutip oleh Moller, dapat dengan mudah mendapatkan ‘hati’ orang-orang elit dan orang-orang Muslim di Asia Tenggara. Para Habaib belakangan ini melanjutkan dengan menekankan kontribusi tasawuf untuk penyebaran Islam secara damai dan mengutuk cara-cara
(23)
para pendukung “gaya eksoteris Islam” yang mengarah kepada fundamentalisme dan ekstremisme. Penekanan pada mistisisme dan metode dakwah “damai” telah mewarnai prinsip-prinsip Alawiyyin di mana pun mereka berada, dari generasi ke generasi hingga saat ini.30 Hal yang sama juga disebutkan oleh Moller, sikap dan
cara islamisasi di Jawa terjadi secara “damai”. Jalan “damai” tersebut barangkali masih terwariskan sampai sekarang. Beberapa ahli studi Islam pun menyebutkan ada hubungan yang erat antara proses islamisasi awal di Indonesia (Hindia-Belanda), dengan Islam kontemporer yang digambarkan sebagai Islam yang toleran, moderat, pluralis, dan damai.31
Dalam proses interaksi sosial yang berlangsung secara terus menerus, tindakan yang dilakukan tidak bisa lepas dari simbol yang melekat pada tindakan tersebut, dan simbol tersebut memiliki makna yang diberikan oleh seseorang sebagai respons reaktif terhadap simbol itu melalui proses berpikir dan interpretasi terhadap tindakan yang ada. Maka, melalui studi ini peneliti berupaya untuk menelusuri kembali relevansi agama terutama dalam dakwah terkait dengan peran Habaib. Dengan mengkaji adanya praktik-praktik kepentingan dakwah menuju kepentingan ekonomi. Kajian seperti ini masih jarang atau bahkan masih cenderung dikesampingkan, karena masih cenderung dianggap tabu untuk mengkritisi aktivitas dakwah yang menyangkut peran sang Habaib.
Penelitian ini mencoba melihat Habaib sebagai ‘subjek’ dalam teorinya Slavoj Žižek melalui konsep triadik: The Real, The Imaginary, dan The Simbolic yang dipinjam Žižek dari psikoanalisa Lacanian. Selanjutnya peneliti akan
30 Andre Moller, Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (Jakarta: Nalar, 2005), 52. 31 Ibid.
(24)
menelaahnya secara filosofis tentang bagaimana ideologi bekerja dalam praktik-praktik komodifikasi agama melalui subjek Habaib tersebut. Penelitian ini tidak memfokuskan pada satu subjek Habib, namun beberapa Habib yang ada di Indonesia dan tidak dimaksudkan untuk kajian lapangan. Oleh karena itu, subjek-subjek yang disebut dalam penelitian ini ditunjuk secara random menurut data-data yang peneliti temukan di dalam penelitian-penelitian oleh peneliti lain sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dideskripsikan peneliti, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana kiprah subjek Habaib dalam dimensi simbolik melalui praktik komodifikasi agama?
2. Bagaimana ideologi bekerja dalam praktik komodifikasi agama melalui subjek Habaib menurut Slavoj Žižek?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kiprah subjek Habaib dalam dimensi simbolik melalui praktik komodifikasi agama.
2. Untuk mengetahui kerja ideologi dalam praktik komodifikasi agama melalui subjek Habaib menurut Slavoj Žižek.
(25)
D. Kegunaan Penelitian
Yang dinamakan sebuah penelitian, disamping memiliki tujuan, disisi lain juga memiliki kegunaan. Kegunaan penelitian yang ingin peneliti capai adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperluas wacana kebudayaan tentang hadirnya Habaib ditengah-tengah kita melalui macam-macam model dakwahnya yang merupakan salah satu bentuk ragam ekspresi Islam-Indonesia dewasa ini, mengingat kebudayaan selama ini sering kali diremehkan, disalahfahami, diabaikan, dan hanya diterima dengan dengan gamang. Penelitian ini akan menyelidiki dan menunjukkan apa yang mungkin pada mulanya terlihat sepeleh, namun ternyata mempertaruhkan keberlang-sungan Islam-Indonesia sebagai bangsa dan Negara. Penelitian ini juga akan menjadi sumbangsih kecil bagi wacana kebudayaan, khususnya dalam konteks culture studies.
2. Kegunaan Praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh masyarakat, khususnya kalangan akademisi, agar membuka kesadaran kita bahwa ketika agama dipertunjukkan di ruang-ruang publik kita dan pada saat yang sama ia menjadi komoditas yang nilainya sama seperti barang dan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang bersifat finansial, maka pada saat itu kita telah mereduksi kesalehan kita ke dalam semesta barang-barang, dimana
(26)
antara yang sakral (agama) dan yang profan (komoditas) menjadi kabur batas-batasnya, atau bahkan telah melebur jadi satu entitas.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengkaji beberapa pembahasan yang berhubungan dengan tema ini, meskipun ide dalam penelitian ini berasal dari sebuah penelitian yang telah dilakukan dan ditunjang oleh beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan yang peneliti bahas, dan juga karena kajian tentang Habaib di Indonesia masihlah sangat jarang dilakukan. Inilah yang menjadi daya tarik peneliti dalam mengangkat tema tersebut. Dalam tinjauan pustaka ini, peneliti menemukan beberapa penelitian yang sedikit relevan dengan tema yang peneliti bahas, diantaranya:
“Dakwahtainment: Komodifikasi Industri Media di Balik Ayat Tuhan”.32 Tulisan ini ditulis oleh Aris Saefullah. Dalam tulisanya ia mengatakan bahwa fenomena dakwahtainment di satu pihak menjadikan adanya representasi ruang bagi kehidupan religius dalam masyarakat modern. Ayat-ayat Tuhan bisa membahana dan mengisi ruang publik global karena bantuan media massa. Dengan demikian, peranan media massa bagi dakwah sangat strategis.
Tulisan selanjutnya berjudul “Diskursus Identitas Umat Islam dalam Industri Televisi (Dari Polemik Islam Fundamental-Liberal hingga Komodifikasi
32Aris Saefullah, “Dakwahtainment: Komodifikasi Industri Media di Balik Ayat Tuhan”, Jurnal
(27)
Islam Populer)”33 karya Iswandi Syahputra. Dalam tulisannya, Syahputra
membidik persoalan identitas umat Islam di era industri, khususnya yang berkaitan dengan industri televisi. Menurutnya, saat ini media turut mengambil peran bagaimana identitas Islam dikonstruksi oleh media, selanjutnya dikonsumsi oleh khalayak dan akhirnya diproduksi ulang oleh media, demikian seterusnya bagai sirkuit yang bergerak memutar: produksi—konsumsi—produksi.
Kemudian tulisan dari Nur Rosyid, yang berjudul “Bershalawat Bersama Habib: Transformasi Baru Relasi Audiens Muslim NU di Indonesia”34 yang
menjelaskan mengenai dinamika perkembangan tradisi shalawatan modern di Indonesia sebagai bagian dari industri musik Nusantara yang menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara proses komodifikasi tradisi shalawatan dengan reproduksi audiens dan lembaga yang ada di belakangnya.
Skripsi yang ditulis oleh Zafirah Quroatun ‘Uyun yang berjudul “Komodifikasi Tokoh Agama Dalam Tayangan Iklan Televisi (Studi Kasus Ustadz Maulana dalam Iklan Operator Seluler Telkomsel Versi Haji).”35 Dalam skripsi
ini, ‘Uyun membidik Industri iklan sebagai agen dalam memanipulasi audiens (konsumen). Ia menganalisis komodifikasi tokoh agama yang dilakuakn oleh Telkomsel versi haji 2013. Telkomsel menggunakan jasa ustadz Maulana untuk visualisasi iklan tersebut. Dalam kaitannya dengan pokok perkara komodifikasi,
33 Iswandi Syahputra, “Diskursus Identitas Umat Islam dalam Industri Televisi (Dari Polemik
Islam Fundamental-Liberal hingga Komodifikasi Islam Populer)”, Jurnal Komunikasi Profetik, Vol. 2 No. 2 (Oktober 2009).
34 Nur Rosyid, “Bershalawat Bersama Habib: Transformasi Baru Relasi Audiens Muslim NU di
Indonesia”, Jurnal Jantra: Balai Pelestarian Nilai Sejarah dan Tradisi, Vol. VII No. 2 (Desember 2013).
35 Zafirah Quroatun ‘Uyun, “Komodifikasi Tokoh Agama dalam Tayangan Iklan Televisi (Studi
Kasus Ustadz Maulana dalam Iklan Operator Seluler Telkomsel Versi Haji)” (Skripsi, UIN Sunan Ampel, 2013).
(28)
ustadz Maulana tidak hanya dijadikan komoditas untuk dijual dengan membidik target pangsa pasar tertentu, tetapi juga menjadi legalitas utama untuk produk-produknya, bahwa Telkomsel versi haji 2013 siap melayani umat.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Komodifikasi Agama dalam Iklan Televisi Nasional”36 dari Sulistriani Nurhasanah. Dalam skripsinya, Nurhasanah membedah bagaimana komodifikasi agama bekerja dalam Iklan. Iklan-iklan yang menjadi sorotannya adalah larutan Cap Kaki Tiga dibintangi oleh ustadzah Mama Dedeh, larutan Cap Badak yang dibintangi Deddy Mizwar, Telkomsel Ibadah dibintangi ustadz Nur Maulana dan kosmetik wardah oleh Inneke Koesherawati. Penanda bahwa ada komodifikasi agama dalam praktik iklan tersebut dilihat dari model yang pesohor Islam (Mama Dedeh dan Nur Maulana pada iklan Cap Kaki Tiga dan Telkomsel Ibadah), semua iklan yang disebut tadi para aktornya memakai busana muslim dan beberapa di antaranya mengambil gambar Masjid sebagai latarnya. Selain itu yang paling tampak adalah semua iklan tersebut dihiasi dengan ucapan-ucapan khas Islam seperti assalamualaikum dan alhamdulillah. Tampaknya Nurhasanah meneliti iklan ini ketika bulan ramadhan tiba, di mana televisi berbenah dan mengatur strategi, dan produk-produk dalam iklan berganti pakaian sesuai dengan momentum.
Dan Terakhir Tesis dari Hudriansyah yang berjudul “Komodifikasi Agama Dalam Pengajian: Kajian Atas Kelompok Pengajian Ar-Rahman dan Masyarakat
36 Sulistriani Nurhasanah, “Komodifikasi Agama dalam Iklan Televisi Nasional” (Skripsi, UIN
(29)
Bugis Migran Di Bontang, Kalimatan Timur”37 lebih memfokuskan pada fungsi
ritual dan pengajian, khususnya dalam pengajian Ar-Rahman dalam kaitannya dengan keterlibatan masyarakat Bugis di kota Bontang, Kalimantan Timur. Hudriansyah mengklaim bahwa ketika media pengajian dimanfaatkan sebagai arena transaksi kepentingan, maka akan terjadi pergeseran fungsi dan peran pengajian ditengah-tengah masyarakat, begitu juga dengan peran kiai.
Berdasarkan uraian atas pustaka diatas, peneliti belum menemukan kajian yang bersifat filosofis, terutama bagaimana isu-isu kebudayaan tersebut dilihat sebagai suatu ruang untuk melihat lebih jauh tentang Islam keindonesiaan kita. Fenomena Habaib dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang peneliti posisikan sebagai wacana kebudayaan kontemporer serta implikasinya terhadap identitas kita, akan bisa memungkinkan terbukanya wacana-wacana ke depan yang lebih luas dan emansipasif.
Persoalan ini tidak semata-mata disebabkan oleh jejaring media yang semakin luas, tetapi pada saat yang sama, ternyata hal ini meniadakan jarak hubungan spasial dan temporal, sehingga membuat kita segera melakukan pendefinisian ulang atas identitas yang sudah mencair. Untuk melihat fenomena tersebut perlu kajian yang mendalam dan tentu saja salah satunya pisau teori yang memadai.
Untuk itulah melalui penelitian ini, peneliti ingin meneliti kajian tersebut dengan menghadirkan wacana ‘subjek’ dari Slavoj Žižek dengan melalui seperangkat teori psikoanalisa yang ia pinjam dari Jacques Lacan. Peneliti juga
37 Hudriansyah, “Komodifikasi Agama dalam Pengajian: Kajian Atas Kelompok Pengajian
Ar-Rahman dan Masyarakat Bugis Migran di Bontang, Kalimatan Timur” (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2011).
(30)
menganggap bahwa pendekatan teoretik pun sudah cukup memadai untuk menga-nalisisnya. Selanjutnya penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana ideologi bekerja dalam praktik komodifikasi agama di Indonesia Pasca Orde Baru, khususnya lewat Habaib.
F. Kerangka Teoretik
Sebagaimana yang telah peneliti singgung diatas, bahwa penelitian ini akan menggunakan teori ‘subjek’ dari Slavoj Žižek, dan selanjutnya menelaah bagaimana ideologi bekerja dalam komodifikasi agama melalui subjek Habaib dengan teori tersebut.
Gagasan ‘subjek’ Žižekian bertumpu pada konsep psikoanalisa Jacques Lacan. Sudah diketahui bahwa Lacan merupakan tokoh psikoanalisis setelah Freud yang mengatakan bahwa alam bawah sadar terstruktur seperti bahasa. Bahasa sendiri merupakan sesuatu kerangka filosofis yang paling banyak mendapat perhatian dari filsuf-filsuf poststrukturalisme dan postmodernisme, di mana Lacan sebagai satu-satunya penganjur psikoanalisis yang banyak dikutip saat itu dan setelahnya.
Subjek pada masa poststrukturalisme dan postmodernisme justru disingkir-kan. Subjek menjadi ringkih dan reduktif di dalam semesta bahasa. Apa yang disebut sebagai ‘metafisika kehadiran’ juga menjadi gagal lantaran subjek selalu direpresentasikan oleh bahasa. Pada titik inilah posisi Žižek menjadi penting sebab secara terang ia melawan konsepsi-konsepsi dasar filsafat poststruktura-lisme dan postmodernisme yang kaitanya dengan subjek tadi.
(31)
Filsuf asal Slovenia ini ingin membangkitkan lagi subjek setelah cukup lama dikubur oleh sederet nama-nama besar seperti Derrida, Faucault, Saussure, Julia Kristeva, dan Althusser. Pemikiran Slavoj Žižek memberi warna baru dalam arena filsafat kontemporer,38 dan ia adalah filsuf paling mapan saat ini dan dipuji
layaknya selebritis karena pemikiran-pemikiranya yang autentik, unik dan sering kali urakan.
Dasar pemikiran Žižek bertumpu pada konsep triadik The Real, The Imaginary dan The Symbolic yang ia pinjam dari pemikiran Lacan. Untuk memasuki khazanah pemikiran Žižek kita mesti memahami dulu apa yang disebut dengan masing-masing dari tiga fase dalam psikoanalisa Lacanian tersebut. Dibawah ini penulis akan menjabarkan secara singkat masing-masing fase itu.
Fase pertama dari perjalanan subjek dalam psikoanalisa Lacanian adalah The Real. Fase ini merupakan fase yang paling dasar. Secara sederhana, The Real adalah dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang belum terbahasa-kan,39 di mana pada tatanan ini subjek belum memiliki subjektivitasnya sendiri. Ia
tidak dapat melihat antara dirinya dengan Liyan (other). Pada tatanan ini, satu-satunya dorongan yang ada dalam diri subjek adalah dorongan need (kebutuhan). Pada fase ini, kebutuhan seorang anak (sebagaimana diilustrasikan oleh Lacan) selalu terpenuhi. Anak tidak pernah merasa kurang dan ia selalu berada dalam situasi yang ‘penuh’ dan ‘utuh’. Oleh karena itu, The Real selalu melampaui
38 Mulai Abad 21 istilah ‘filsafat kontemporer’ mulai memiliki pengertian yang baru. Adalah
Slavoj Žižek dan Alain Badiou yang dalam pemikiranya diidentikkan dengan istilah tersebut, ‘filsafat kontemporer’ sebenarnya disematkan pada filsafat periode postrukturalisme dan postmodernisme. Lihat Martin Sunjaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (Yogyakarta: Resist Book, 2012), Vii.
39 Robertus Robet, Manusia politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme
(32)
bahasa dan merupakan suatu kehilangan yang tak dapat diraih kembali ketika seseorang sudah masuk ke dalam bahasa.
Fase kedua adalah The imaginary. Fase ini sering disebut fase ‘cermin’ (cermin disini bisa berarti harfiah maupun cermin dalam arti citra diri dan orang lain di sekitarnya). Bagi Lacan, manusia pada dasarnya lahir secara prematur dalam arti bahwa mereka tidak dapat langsung mengkoordinasikan gerak dan organ-organ tubuhnya sampai usia tertentu. Anak kemudian memahami dan mengatasi fragmentasi tubuh ini dengan mengidentifikasi dirinya melalui cermin. Pada titik ini sang anak akan melihat dirinya sendiri di cermin. Ia akan melihat pada bayangannya, dan kemudian melihat kembali kepada oknum sebenarnya (ibunya atau beberapa orang lainnya), kemudian melihat kembali pada citraan cermin. Pada saat yang sama, sang anak melihat ia tampak seperti yang lainnya juga. Entitas ini dilihat sang anak di cermin, wujud utuh ini akan menjadi ‘diri’, yaitu entitas yang ditandai oleh kata ‘Aku’. Apa yang sebenarnya terjadi adalah suatu identifikasi kesalah-pengenalan. Sang anak melihat sebuah citra di cermin dan ia berpikir bahwa citra tersebut adalah ‘Aku’. Tetapi itu bukanlah sang anak, itu hanyalah sebuah citra.40
Tahap cermin adalah dorongan internalnya dipicu dari keterpengaruhan menuju antisipasi. Bagi si subjek, yang terperangkap dalam identifikasi spasial, hal ini membentuk fantasi silih berganti dari citra tubuh yang terfragmentasi sampai ke wujud totalitasnya yang saya anggap ortopedis sifatnya. Dan akhirnya, menuju asumsi tentang perisai pelindung sebuah identitas yang teralienasi, yang akan menandai perkembangan penuh mental si subjek dengan strukturnya yang kaku.41
40 Ibid., 74-75.
41 Sebagaimana yang dikutip Robertus Robet dalam Jacques Lacan, Ecrits (London: Routledge,
(33)
Gambar 1.1 (Fase The Imaginary)
Fase cermin merupakan suatu proses identifikasi dengan sang-lain yang sama (the same other). Fase ini tidak berahir manakala sang anak beranjak dewasa. Ia berlangsung terus dan menjadi tatanan The Imaginary dalam diri manusia. Fase cermin menjadi tameng ketika identitas diri terealisasi, dan pada saat yang sama ia menandai seluruh perkembangan mental subjek dengan strukturnya yang ketat.42 Gambaran kesatuan diri dialami secara imajiner lewat
cermin. Namun sayangnya di dalam proses pembelajaran ini manusia mengalami alienasi. Alienasi ini muncul karena ada rasa ingin bersatu dengan bayangan yang dipantulkan di “cermin” tersebut. Ada rasa kerinduan yang tidak pernah terwujud akan citra diri yang tergambar pada “cermin” kehidupan. Identitas diri (self identity) hanya bisa dialami manusia sejauh ia mengidentifikasi dirinya sendiri dengan sang-lain yang imajiner (the imaginary other), mengalienasikan diri dan meletakkan identitasnya di luar diri sendiri serta menaruhnya dalam imajinasi gandanya (his double).43 Ketika ego terbentuk dalam proses identifikasi ini, ego
42 Thomas Kristianto, Redefinisi Subjek, 39.
(34)
dengan sendirinya mengalami keretakan, sang anak terbelah antara ‘dirinya’ dan ‘imaji mengenai dirinya’. Keretakan ini tinggal selamanya dan selamanya pula manusia berupaya menyatukan diri yang retak ini.44
Fase yang ketiga adalah The Symbolic. Yang menandai lepasnya anak dari The Imaginary—kendati tak lepas sepenuhnya—adalah bahasa. Ketika sang anak mulai belajar bahasa dan memaknainya, ia mulai masuk ke dalam The Symbolic. Namun, bahasa membuat sang anak semakin jauh atau terpisah dengan dirinya. Bahasa memberikan alienasi besar manakala sang anak membuat identifikasi dengannya. Karena melalui bahasa, sang anak akan mendeskripsikan dirinya dengan kata.45
Sebagai fase dimana realitas telah terbahasakan, maka The Symbolic merupakan arena dimana setiap orang mengambil tempat di dalamnya. Setiap orang dengan sendirinya masuk dan berdiam dalam The Symbolic. Tatanan The Symbolic ini dipersatukan dan dibina oleh rantai penanda atau chain of signifier. Konsep penanda ini ditakik dari Ferdinand de Saussure, yang menjelaskan bahwa bahasa dibentuk melalui sistem penandaan yang terdiri dari dua bagian, yakni penanda dan yang ditandai (signifier dan signified). ‘Penanda’ adalah gambar mental dari bunyi tanda, sementara ‘yang ditandai’ adalah konsep yang diasosiasikan dengan bunyi tersebut. Dengan mengatakan bahwa rantai penandaan adalah instasi yang merekatkan dan menyatukan The Symbolic, maka acuanya adalah pada keseluruhan jaringan dari keseluruhan penanda yang ada.46 Misalkan,
44 Robertus Robet, Manusia Politik, 76. 45 Thomas Kristiatmo, Redefinisi Subjek, 40. 46 Robertus Robet, Manusia politik, 77.
(35)
signifier adalah biru dan signified adalah laut, namun signified bisa saja diartikan menjadi langit, club sepak bola chelsea, fakultas ushuluddin dan sebagainya.
Gambar 1.2 (Fase The Symbolic)
Tetapi The Symbolic juga menandai suatu kekuranagn (lack) subjek. Kondisi lack ini mengisyaratkan bahwa subjek akan terus bergerak untuk mencapai The Real, namun tentu saja pergerakannya selalu gagal. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, The Real adalah sesuatu sebelum bahasa atau belum terbahasakan. Oleh karena itu, tidak ada kehilangan atau kekurangan dalam The Real. Kondisi hubungan primordial antara sang anak dan ibunya dalam The Real akan selalu dirindukan oleh subjek dan pada saat yang sama subjek merasa kehilangan ketika ia masuk ke dalam The Symbolic. The Real tidak dapat dimediasi dengan bahasa dan merupakan suatu kehilangan yang tak dapat diraih kembali ketika subjek telah masuk ke dalam jejaring bahasa.
Kemudian menjadi jelas hubungan antara The Real dengan The Symbolic, yakni bahwa subjek selalu berada dalam perbatasan antara The Symbolic dan The Real. Melalui The Symbolic subjek berusaha memahami, meraih, mengungkapkan
(36)
The Real dan mencoba kembali ke dalam kesatuan primordialnya namun selalu terlempar kembali. Kesenjangan abadi ini menghasilkan trauma.47
Setelah peneliti menjabarkan konsep triadik psikoanalisa Lacanian yang melihat perkembangan subjek dari waktu ke waktu, dan bagaimana hubungan tarik menarik antara The Symbolic dengan The Real ketika subjek berada dalam kondisi lack dan selanjutnya menghasilkan kondisi yang traumatik tentang bayangan kebersatuan dari hubungan primordialnya itu. Selanjutnya peneliti akan sedikit memberi pintu masuk tentang bagaimana ideologi bekerja menurut Slavoj Žižek yang juga menjadi bahasan penting dalam penelitian ini.
Tony Myers dalam bukunya tentang pemikiran Žižek, menyatakan bahwa ada tiga jenis ideologi pada kerangka teoretik Žižekian. Pertama, ideologi dengan bentuk paling murninnya adalah doktrin (Ideological Doctrine). Kedua, ideologi yang bekerja dengan efektif berkembang menjadi kepercayaan yang diinstitusikan (Ideological Belief), atau dalam istilah Althusser disebut sebagai ideological state apparatus (ISA). Ketiga, yang lazim ditemui sehari-hari dan dianggap sebagai yang paling tidak ideologis adalah spontaneity atau ritual (Ideological Ritual). Spontaneity disini merujuk pada sesuatu yang dianggap biasa dan dipercaya sebagai sesuatu yang normal.48 Namun hanya pada ideologi jenis ketiga yang
bekerja dengan cara sangat halus dan efektif, sebab ia tidak disadari sebagai ideologi. Artinya, ideologi jenis ini bukan diperlakukan sebagai sebuah ideologi, ia telah menyatu dengan subjek sehingga mustahil bagi subjek untuk mengkritisi-nya. Ketika subjek mengira ia sedang berpikir dan memaknai sesuatu dengan
47 Ibid., 79.
(37)
orisinil, pada saat itulah ia telah hidup dalam ideologi bentuk ketiga.49 Žižek
sendiri mengatakan:
Ideologi is not simply a ‘false consciousness’, an illusory representation of
reality, it is rather this reality itself which is already to be conceived as
‘ideological’- ‘ideological’ is a social reality whose very existence implies the
non-knowledge of ats participants as to its essence.50
Jika menggunakan kerangka teori di atas, maka subjek Habaib yang menjadi pokok kajian ini berada dalam fase The Symbolic. Habaib tersebut merupakan suatu ‘penanda’ dimana ia adalah subjek yang berkekurangan setelah terlepas dari The Real. Simbol-simbol keagamaan yang tumpah di ruang publik kita tak lain adalah bahasa. Ceramah-ceramah (dalam arti seluas-luasnya) yang dilakukan secara masif di ruang publik merupakan tindakan radikal dan suatu upaya pergerakan ke arah The Real untuk meraih kembali hubungan primordialnya. Karena Habaib berada dalam The Symbolic, maka pada saat yang sama ia tidak dapat menghindari suatu kerja ideologi disana. Ideologi selalu bekerja dalam The Symbolic sebab ia pada dirinya adalah bahasa. Ideologi tersebut penulis sederhanakan sebagai praktik komodifikasi agama, sebagaimana yang ditekankan Zizek sendiri bahwa ideologi adalah ‘tindakan’.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu hal yang diperlukan dalam suatu penelitian. Penggunaan metode penelitian yang tepat dapat menghindari kemung-kinan timbulnya penyimpangan-penyimpangan sehingga data yang diperoleh
49 Robertus Robet, Manusia politik, 79. 50 Slavoj Žižek, The Sublime Object, 15-16.
(38)
benar-benar objektif dan dapat dipertanggung-jawabkan. Oleh karena itu metode penelitian dalam karya ilmiah ini meliputi:
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu kajian pustaka (library research) dan dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang berkaitan dengan objek penelitian untuk dijadikan bahan referensi dan sumber data. Dalam penelitian ini sumber data yang dimaksud adalah sumber data yang tertulis (dokumentasi).
2. Sumber data
Dalam proses pencarian data, peneliti mengumpulkan berbagai sumber data yang diambil dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum. Sumber data tersebut bisa berupa artikel, majalah, jurnal, buku, skripsi, tesis maupun internet. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer
Sumber data primer merupakan sumber data proporsional yang digunakan dalam penelitian ini. Tetapi mengingat bahwa peneliti tidak menemukan satu buku utuh pun yang membahas tentang tema yang peneliti kaji, terlebih tentang Habaib, maka sumber data yang peneliti pakai adalah tulisan-tulisan yang tersebar dibeberapa sumber data. Salah satu buku utama yang sedikit relevan dan menjadi pijakan bagi
(39)
peneliti untuk menggali sumber data yang konkrit adalah buku “Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer.” Terj. Ahmad Muhajir (Depok: Komunitas Bambu, 2012) yang disusun oleh Greag Fealy dan Sally White. Judul aslinya “Expressing Islam: religious life and politics in Indonesia.” Dalam buku ini ada beberapa tulisan yang sedikit relevan dengan tema yang peneliti kaji.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber informasi pendukung dari sumber data primer, sumber data tersebut bisa berupa artikel, majalah, jurnal, buku, skripsi, tesis maupun internet yang terkait Habaib, komodifikasi agama dan teori Slavoj Žižek.
3. Validitas data
Dalam rangka pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan kriteria derajat kepercayaan (credibility), yakni dengan melakukan inkuiri seketat mungkin, sehingga mencapai kepercayaan terhadap hasil temuan, kemudian menunjukkan derajat kepercayaan terhadap hasil temuan dengan membuktikan kenyataan ganda penelitian. Sementara tekhnik pemeriksaan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi, yaitu peneliti dapat me-receck temuanya dengan membandingkan dengan berbagai sumber.
(40)
4. Metode pengolahan data
Setelah data-data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam teknik pengolahan data ini pendekatan yang dipakai adalah pendekatan filosofis. Adapun metode pengolahan data sebagai berikut:
a. Melakukan analisis dan klarifikasi atas data yang terkumpul secara sistematis dan metodis.
b. Melakukan interpretasi atau menangkap makna atas data-data yang telah dianalisis oleh peneliti sebelumya.
c. Menuangkan hasil pembahasan ke dalam bentuk berupa laporan penelitian secara sistematis dan metodis.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan merupakan bagian dari persyaratan suatu karya ilmiah yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berhubungan antara satu sama lain. Adapun hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab, masing-masing bab melingkupi suatu bahasan tertentu yang menunjang penelitian ini. Oleh karena itu, sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitin, tinjauan pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, menjabarkan hal-hal yang terkait dengan Habaib, budaya populer dan komodifikasi agama.
(41)
Bab ketiga, membahas subjek Habaib melalui konsep-konsep kunci dalam psikoanalisa Žižek-Lacanian.
Bab keempat, menganalisis suatu kerja ideologi dalam praktik komodifi-kasi agama melalui subjek Habaib menurut Slavoj Žižek.
Bab kelima, adalah penutup dimana dari bab-bab sebelumnya ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran bagi kemungkinan penelitian selanjutnya. Adapun bagian akhir adalah lampiran-lampiran yang berkaitan dengan penyusunan skripsi ini yang meliputi daftar pustaka, glosarium, juga riwayat hidup peneliti.
(42)
BAB II
HABAIB
DAN KOMODIFIKASI AGAMA
Untuk mengawali pembahasan pada bagian ini, perlu peneliti jelaskan sekilas terkait pembahasan kedepan. Berangkatnya kajian ini bermula pasca runtuhnya rezim Orde Baru, dimana perisiwa itu juga menjadi titik mula bagaimana Islam melakukan negosiasi dan simbiosisme dengan pasar. Hal itu merupakan cikal bakal bagaimana budaya populer telah bekerja secara halus dalam Islam. Pasca runtuhnya Orde Baru, media juga mengalami industrialisasi. Media telah beralih dari ruang kuasa negara menuju ruang kompetisi pasar. Akibatnya, yang terjadi saat ini adalah pergeseran fungsi media. Media tak lagi memberikan pesan yang berorientasi pada public needs, melainkan justru pada public wants. Media tidak hanya menyampaikan konten berupa khotbah-khotbah keagamaan, namun juga bagaimana praktik keagamaan ditampilkan dalam bingkai budaya media. Berdasarkan fakta tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam media telah terjadi komodifikasi. Komodifikasi agama dalam media pun tidak bisa dihindari. Akibatnya agama telah dijadikan sebagai konten media, dan pemeluknya dijadikan sebagai pasar. Simbol-simbol agama yang bertebaran di ruang publik kita merupakan salah satu contoh dari indikasi transaksi komersial tersebut.
(43)
A. Habib: Gelar Ulama Arab-Indonesia
Islam adalah agama terbesar ke dua di dunia, agama Islam yang di turunkan kepada nabi Muhammad ini mempunyai banyak tradisi alkuturasinya di setiap negara, karena Islam sebenarnya adalah agama yang fleksibel, mampu masuk dalam budaya apapun di penjuru belahan dunia. Walaupun demikian, banyak sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa kebudayaan Islam itu berasal dari negeri Arab, kebudayaan Islam seperti yang dianggap kebanyakan orang misalkan dari segi musik gabus dan nasyid yang itu dianggap sebagai kebudayaan Islam sendiri. Padahal sebenarnya Islam sendiri tidak mempunyai kebudayaan yang real.
Barangkali peneliti menyebutnya Arabisme tepatnya bagi penganut Islam yang berhaluan Arab, masyarakat awam di butakan dengan pengkultusan bahwa negeri Arab adalah negeri suci karena disana agama Islam diturunkan dan nabi Muhammad dilahirkan. Namun jika kita telisik lebih dalam kenapa Islam dan nabi Muhammad akhirnya diturunkan dan dilahirkan di negeri Arab tersebut, adalah karena pada masa itu negeri Arab menjadi negeri yang paling jahiliyah. Banyak orang berperang antar suku, pemerkosaan, perbudakan, pemujaan berhala dan masih banyak lagi. Kebudayaan Arab memang sangat kental dengan kekerasan dan kejahilan, maka tak heran jika Allah menurunkan Islam dan nabi Muhammad di negeri tersebut tak lain adalah untuk mengubah kehidupan sosial masyarakat disana.
Dewasa ini masih banyak masyarakat awam yang dibutakan dengan hal ini, mereka seringkali menggap segala sesuatu yang datang dari Arab adalah suatu
(44)
kebenaran hakiki. Misalnya fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak orang-orang keturunan Arab yang mengklaim bahwa dirinya adalah keturunan dari nabi Muhammad, mereka seringkali di panggil Habib. Para Habib inilah yang di yakini masyarakat Muslim yang berhaluan Arab sebagai keturunan dari nabi Muhammad yang sudah dijamin Allah masuk surga karena mempunyai darah keturunan nabi.
Namun agak aneh memang dengan statement bahwa mereka sudah dijamin oleh Allah masuk surga, jika seperti ini berarti Allah tidak adil, bagaimana dengan dosa-dosa si Habib? Padahal Habib juga hanyalah seorang manusia yang kebetulan saja dilahirkan dari keturunan nabi. Allah telah mengatakan bahwa manusia hanya bisa di bedakan dari amal dan perbuatannya, maka jelas jika seperti ini sebenarnya tak ada jaminan bagi si Habib untuk masuk surga begitu saja karena mereka tetaplah manusia pada umumnya.
Yang menggelisakan lagi adalah tindakan masyarakat yang menggenera-lisir para ulama Arab ini dengan sebutan Habib. Sebuah “gelar kehormatan” yang cenderung terdapat unsur pujian di dalamnya. Uniknya gelar untuk para keturunan nabi ini juga hanya lazim dikenal di Indonesia. Padahal jika ditelisik lebih dalam, ada juga sebagian dari mereka ini yang bertindak diluar aqidah, sehingga sebutan tersebut menjadi sangat tidak bermakna. Oleh sebab itu, kenan kiranya bila peneliti menjelaskan terlebih dulu definisi gelar tersebut.
1. Definisi Habib
Memang tidak banyak yang tahu darimana asal muasal sebutan Habib. Orang awam hanya paham, Habib identik dengan ulama keturunan Arab dengan stereotip berjanggut tebal dan bersorban. Publik hanya mengetahui
(45)
bahwa Habib adalah pendakwah yang harus dihormati. Selama ini doktrin yang berkembang di masyarakat Muslim bahwa seseorang yang bergelar Habib adalah manusia yang mulia yang wajib dihormati dan dimuliakan. Perkara orang tersebut saleh serta alim atau tidak itu urusan lain. Yang terpenting, di dalam darahnya mengalir darah nabi. Nasab itu yang membuat mereka wajib dihormati secara absolut oleh umat Islam. Doktrin ini sudah mengakar dan tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Akibatnya terkadang doktrin yang terlalu kuat juga dimanfaatkan oleh beberapa Habib untuk mendapatkan pengikut sebanyak mungkin. Gelar Habib yang disandangnya membuat orang percaya begitu saja dengan yang diucapkan. Memang para Habib memiliki nasab sampai ke nabi, dan kita harus mengakui dan menghormati itu. Namun, nasab tersebut tidak serta merta membuatnya terhindar dari kesalahan dan dosa. Karena terlepas dari unsur nasab, mereka seperti manusia kebanyakan yang tidak luput dari dosa.
Secara harfiah Habib berarti “yang tercinta”1 atau “kekasih”.2 Berakar
dari kata hubb yang berarti “cinta”. Semakna dengan kata muhibb yang
berarti “pencinta”, sedangkan orang yang dicintai disebut mahbuub. Istilah
Habib ini, di kalangan Arab-Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat dari nabi Muhammad (Bani Hasyim)3 dan lazim
1 Maftuh Ahnan, Kamus Arab Indonesia-Arab, Arab-Indonesia (Gresik: CV Bintang Pelajar,
2003), 310.
2 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, Cet. Ke-1 (Yogyakarta:
Pondok pesantren Al Munawwir, 1984), 247.
3 Bani Hasyim adalah salah satu marga dalam suku Quraisy yang merujuk kepada Hasyim bin
Abdul Manaf. Hasyim adalah ayah dari kakek nabi Muhammad, dan anggota dari marga ini disebut Hasyimiyah. Bani Hasyim merupakan anggota dari marga Bani Abdul Manaf, marga yang paling terhormat dalam suku Quraish. Selain bani Hasyim, cabang lainnya dari marga Bani Abdul Manaf adalah Bani Muththalib dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Selain
(46)
disematkan bagi mereka yang memiliki jalur keturunan (nasab) dari Hasan4
ataupun Husain5 ke Ali bin Abi Thalib6 dan Fathimah Az-Zahra7 putri
baginda nabi Muhammad.8 Di Indonesia sendiri mayoritas Habib ini
kebanyakan berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abu Thalib.
Istilah sosial sebagai keturunan Rasulullah ini sepadan dengan gelar Syarif (feminimnya Syarifah), Syarif artinya yang terhormat atau yang mulia dan merupakan sebutan gelar kehormatan untuk keturunan cucu nabi Muhammad dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Sepadan juga dengan gelar Sayyid (feminimnya Sayyidah). Sayyid adalah sebutan untuk gelar kehormatan bagi keturunan nabi yang berasal dari Husain bin Ali bin Abu Thalib. Karenanya mereka mendapat posisi yang terhormat. Golongan ini
itu Bani Hasyim juga menurunkan Bani Abbasiyah yang kemudian menjalankan kekhalifahan setelah mengalahkan Bani Umayyah. Abdul Manaf sendiri sebenarnya berarti “abdi (hamba) dari Manaf”. Sedangkan Manaf adalah salah satu dewa yang dipuja-puja oleh bangsa Arab suku Quraish dan sekitarnya pada masa pra-Islam.
4 Hasan bin Ali bin Abu Thalib adalah anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, dan
cucu pertama dari Muhammad. Menurut hampir seluruh sekte Syi’ah, Ia merupakan Imam kedua, sedangkan sekte lainnya menyebut bahwa Imam kedua adalah saudaranya Husain bin Ali. Walaupun begitu, ia merupakan salah seorang figur utama baik dalam Sunni dan Syi’ah karena ia merupakan Ahlul Bait dari Nabi Muhammad SAW. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke-2 setelah ayahnya terutama bagi tarekat Syadziliyyah.
5 Husain bin Ali bin Abu Thalib adalah cucu dari Nabi Muhammad yang merupakan putra dari
Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Husain merupakan Imam ketiga bagi kebanyakan Mazhab Ahlul Bait (Syi’ah), dan Imam kedua bagi yang lain. Ia dihormati oleh Sunni karena ia merupakan Ahlul Bait. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah ayah dia, terutama bagi tarekat Qadiriyyah di seluruh dunia dan tarekat Alawiyyah di Hadramaut. Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Perayaan kesyahidan nya disebut sebagai Hari Asyura (10 Muharram).
6 Keturunan Ali bin Abi Thalib sering pula disebut dengan Alawiyin atau Alawiyah. Keturunan Ali
melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan, dalam bahasa Arab Syarif berarti bangsawan sedangkan Sayyid berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari nabi Muhammad, mereka dihormati oleh golongan Sunni dan Syi’ah.
7 Fatimah Az Zahra adalah putri bungsu nabi Muhammad SAW dari pernikahannya dengan istri
pertamanya, Khadijah.
8 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-putri Nabi, Studi Historis Kafaah Syarifah, Cet. Ke-1
(47)
terdiri dari beberapa kesukuan yang saling bersaing untuk dapat menjadi pemimpin suku lainnya.9
Umumnya disematkan pula marga di belakang gelar para Habib ini, seperti Basyaiban, Baraqbah, Al-Aydrus, Al-Haddad, Al-Attas, As-Shihab, As-Seggaf dan lainnya. Atas makna inilah para Habib memiliki posisi yang terhormat di kalangan umat Islam sejak dahulu kala. Bukan hanya sebab nasab, tetapi juga karena kiprah dakwah mereka dalam penyebaran Islam di penjuru dunia termasuk Indonesia.
Di sisi lain ada pendapat bahwa pihak Ali bin Abi Thalib juga memiliki keturunan dari isteri-isteri lainnya, tetapi mereka bukan termasuk dzurriyyah atau keturunan nabi Muhammad, karena bukan dilahirkan dari rahim Fatimah, yang mana anak kandung nabi. Namun perlu dipertegas lagi bahwa gelar Habib tersebut terutama ditujukan kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mumpuni dari golongan keluarga tersebut.
Gelar Habib juga berarti panggilan kesayangan dari cucu kepada kakeknya dari golongan keluarga tersebut. Diperkirakan di Indonesia terdapat sebanyak 1, 2 juta orang yang masih hidup yang berhak menyandang sebutan ini. Berdasarkan catatan organisasi yang melakukan pencatatan silsilah para Habib ini yaitu Rabithah Alawiyah,10 menurutnya ada sekitar 20 juta orang di
9 Van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 61-62.
10 Rabithah Alawiyah adalah suatu organisasi massa Islam yang bergerak di bidang sosial
kemas-yarakatan. Pada umumnya organisasi ini menghimpun WNI keturunan Arab, khususnya yang memiliki keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak lama setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Organisasi ini semula berpusat di Hadramaut, daerah hunian baru bagi migran dari Mekkah. Sekarang pusat kegiatan terdapat di Tanah Abang, Jakarta, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi Habib terbanyak.
(48)
seluruh dunia yang dapat menyandang gelar ini (dari golongan Sayyid) dari 114 marga. Dan hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar Habib.11
Secara historis, hampir semua orang Arab yang ada di Nusantara berasal dari Hadhramaut (Yaman Selatan atau bangsa Hadhrami). Kaum Hadhrami yang datang ke Indonesia ini berasal dari Gujarat, India. Awalnya mereka yang bermigrasi ke Gujarat adalah kaum Sayyid. Di Hadhramaut sendiri ada empat golongan masyarakat, yakni golongan Sayyid/Syarif, golongan Syekh (elit agama pribumi), golongan Gabili (warga suku-suku), dan Masakin (golongan budak).12
Perjalanan orang-orang Hadhrami ke Nusantara pada awalnya dilakukan dengan menggunakan kapal kayu, mula-mula mereka harus ke pelabuhan Al-Mukalla atau Al-Syhir, kemudian berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Sri Langka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian sebagian besar menetap di pulau Sumatera, terutama di Palembang, yang lainnya menyebar ke berbagai kepulauan Nusantara, termasuk diantaranya ke Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.13
Sebagai sebuah komunitas, masyarakat keturunan Arab sudah sejak lama bermukim di wilayah Batavia. Setidaknya selain bertujuan untuk berdakwah atau menyebarkan agama Islam, migrasi mereka ke Batavia juga mempunyai motif ekonomi untuk melebarkan jaringan perdagangan. Wajar jika sepak terjang mereka, baik di ranah sosial keagamaan ataupun ekonomi
11 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Habib, diakses pada jam 22.00 WIB, tanggal 11 Maret 2017. 12 Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara, 32-48.
(49)
sangat diperhitungkan bagi pemerintah Hindia Belanda. Jumlah mereka pada saat itu tidak pernah melebihi beberapa ratus orang, namun kehadiran mereka sangat terasa. Di tempat ini, awalnya mereka berdagang,14 lantas mulai
mengembangkan sayap aktivitasnya ke bidang keagamaan. Tak ayal kesempatan politik terbuka yang diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, mereka manfaatkan untuk menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Batavia.
Seperti dalam komunitas-komunitas Arab lain di Jawa, mata pencaharian pokok mereka di Batavia pada umumnya menekuni bidang pekerjaan di sektor ekonomi, yakni menjadi pedagang eceran (retail) yang dilakukan dengan cara berkeliling. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: kain, khususnya katun impor, batik, pakaian, barang-barang mebel, batu mulia, minyak wangi, barang-barang dari kulit, dan makanan. Selain itu, sebagian dari mereka juga terjun ke dalam perdagangan kredit (angsuran) atau yang dikenal sebagai tukang kredit. Bidang pekerjaan lainnya yang dijalankan mereka adalah menjadi pemberi pinjaman dengan bunga yang relatif tinggi (rentenir).15
Sebagian besar orang-orang Arab di Nusantara termasuk di Batavia bisa dikatakan 95% adalah Sayyid dan 5% adalah Syarif. Golongan ini juga mempunyai kekuasaan untuk melakukan kegiatan keagamaan. Contoh dari
14 Dalam Staatblad van Nederlandsce Indie tahun 1879 No. 48, bahwa orang Arab diperkenankan
untuk berdagang dan berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, seperti ke Semarang, Surabaya, Riau, Bintan, Palembang, Bengkulu, Banjarmasin, Pontianak, Makasar, Kupang dan lainnya.
15 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 153-154. Lihat juga dalam
ensiklopedia di portal resmi pemprov DKI Jakarta:
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/756/arab, diakses pada jam 14.45 WIB, tanggal 5 Agustus 2017.
(50)
kesukuan yang terpandang dari golongan Sayyid adalah yang mempunyai marga Al-Idrus, Al-Attas, dan Al-Habsyi. Untuk golongan ini masyarakat memberikan penghormatan dengan cara mencium tangan saat menyalami mereka dan juga adanya larangan terhadap kaum perempuan untuk menikah di luar dari kelompok mereka.
Para ulama asal Hadhramaut ini lebih mudah diterima masyarakat setempat karena kesamaan paham dan sifat-sifat kemanusiaan dan kulturalnya yang tidak jauh berbeda dengan budaya asli (baca: pribumi). Para ulama Arab ini selain mengajarkan agama serta peletak dasar bagi terbentuknya proses kebudayaan, juga telah melakukan perubahan lembaga pendidikan Islam melalui organisasi Jamiat Khaer dan Al Irsyad yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar.
Bagi sebagian besar hampir tidak ada orang-orang Arab golongan Sayyid ini yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri, juga tidak ada dari mereka yang menjadi petani. Mereka memegang peranan dalam bidang keagamaan dan pemerintahan yang selalu dianggap sebagai kedudukan yang terhormat. Oleh sebab itu mereka mendapat penghormatan dalam masyarakatnya dengan sebutan “tuan” atau orang yang “terhormat”. Hal ini berlangsung terus sampai turun temurun. Golongan ini dikenal sebagai orang yang sangat dalam ilmu agamanya dan cenderung memonopoli dunia ilmu di Hadhramaut, sehingga untuk bekerja yang sifatnya memerlukan tenaga jarang sekali mereka lakukan. Maka apabila terpaksa untuk bekerja mereka hanya menjadi pengawas saja.
(1)
Elvita, Irma. “Peranan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf Terhadap Aktivitas Majelis Ta’lim Nurul Musthofa di Ciganjur, Jakarta Selatan (1998-2009)”. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia, 2010.
Hudriansyah. “Komodifikasi Agama Dalam Pengajian: Kajian Atas Kelompok
Pengajian Ar-Rahman dan Masyarakat Bugis Migran Di Bontang,
Kalimatan Timur”. Tesis. Yogyakarta: UGM, 2011.
Nurhasanah, Sulistriani. “Komodifikasi Agama dalam Iklan Televisi Nasional”.
Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Ridho’i, Shohifur. “Subyektivitas Ustadz Selebritis dan Praktik Komodifikasi
Agama di Indonesia Pasca 1998”. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2015.
Rosyid, Nur. “Pembentukan Hasrat Bersam Habib dalam konteks kapitalisme
Lanjut”. Skripsi. Yogyakarta: UGM, 2015.
Siswanto, Zuhdi. “Patriotisme: Primordialisme Masyarakat Marind Menghadapi
Kosmopolitanisme Mifee-Mp3ei di Merauke”. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2014.
Tanggang, Nur Ani Br. “Fetisisasi gaya hidup hijau dalam masyarakat kapitalis”.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2017.
‘Uyun, Zafirah Quroatun. “Komodifikasi Tokoh Agama Dalam Tayangan Iklan Televisi (Studi Kasus Ustadz Maulana dalam Iklan Operator Seluler
Telkomsel Versi Haji)”. Skripsi. Surabaya: Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel, 2013.
4. Majalah:
Majalah Cahaya Nabawiy. Edisi 100. Pasuruan: Yayasan Sunniyah Salafiyah,
2011.
5. Internet:
http://cahayanabawiy.com/ “Tentang Cahaya Nabawiy” (diakses pada jam 17.00
WIB, 16 Juni 2017).
http://cinemapoetica.com “Muslim Sosial dalam Dua Film Nurman Hakim”
(2)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Habib “Pengertian Habib” (diakses pada jam 22.00 WIB, 11 Maret 2017).
http://majalahlangitan.com/pp-sunniyah-salafiyah-lebarkan-sayap-untuk-berdakwah/ “Profil Habib Taufiq” (diakses pada jam 17.00 WIB, 16 Juni
2017).
http://mihrabhajiumroh.com/2/ARTIKEL/9/SEKILAS-TENTANG-HABIB-
TAUFIQ-ASSEGAF-PENASEHAT-DAN-OWNER-UMROH-HEMAT-MIHRABTOURS “Profil Habib Taufiq” (diakses pada jam 15.00 WIB, 16
Juni 2017).
http://mihrabhajiumroh.com/ “Tentang Mihrabtours” (diakses pada jam 21.00
WIB, 16 Juni 2017).
https://www.academicindonesia.com/biodata-habib-syech-abdul-qodir-assegaf/ “Profil Habib Syekh” (diakses pada jam 16.30 WIB, 15 Juni 2017).
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/756/arab “Tentang Orang Arab
(3)
GLOSARIUM
Alienasi: Mulainya pengenalan Anak terhadap ego.
Budaya Populer (Popular Culture): Sebuah kategori kebudayaan yang dicirikan oleh sifat-sifat permukaan, selera umum, dan motif publisitas.
Budaya Massa (Massa Culture): Sebuah kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga Adorno cenderung dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal atau rendah.
Citra (Image): Sesuatu yang tampak oleh indra, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Citra Cermin (Mirror Image): Satu fase penting perkembangan anak dalam psikoanalisis Lacan, tatkala ia pertama kali mengenal dirinya lewat cermin. Yang dilihatnya tak lebih dari citraan atau representasi semu dari dirinya yang sesungguhnya.
Cultural Studies: Mengacu pada kajian kebudayaan dengan berbagai pendekatan
dan metode analisis seperti seni, antropologi, semiotika, psikoanalisis, politik, dan lain-lain.
Ego: Mekanisme psikis yang berfungsi mengatur pembentukan realitas.
Ego Ideal: Mekanisme psikis dalam psikoanalisis Lacanian yang memampukan kita mengidentifikasi diri dengan orang lain, serta menjadikannya sebagai model dalam menjalani kehidupan.
Fantasi: Sebuah strategi yang dilakukan oleh subyek untuk menghindari serba kekurangannya.
Fetis (Fetish): Setiap objek yang di dalamnya dianggap bersemayam ruh atau kekuatan tertentu, sehingga menimbulkan pengaruh magis dan daya pesona (dalam antropologi) dan rangsangan seksual tertentu (dalam seksualitas).
Fetisisme (Fetishism): Sikap yang menganggap adanya kekuatan, ruh atau daya pesoan tertentu yang bersemayam pada objek tertentu.
Fetisisme Komoditi (Commodity Fetishism): Suatu sikap yang menganggap adanya kekuatan, daya pesona atau makna sosial tertentu yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki produk (komoditi).
(4)
Habib: Sebuah gelar kehormatan yang diberikan khusus kepada golongan Sayyid dan Syarif. Mereka yang menyandang gelar ini setidaknya harus mempunyai sifat ‘mencintai’ dan ‘dicintai’.
Hadhrami: Orang Arab yang ada di Nusantara yang berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Hasrat (Desire): Sebuah mekanisme psikis berupa gejolak rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan, yang selalu berupa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang telah hilang selamanya dalam diri
setiap manusia dewasa, yaitu kepuasan “bersatu” dengan Ibu.
Hibrida (Hybrid): Perkembangan secara bersama dua spesies (dalam biologi) atau dua molekul, yang menghasilkan spesies atau molekul baru.
Ideologi (Ideology): Sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam pelbagai media dan tindakan sosial.
Jouissance: Semacam kepuasan atau kenikmatan yang luar biasa.
Kastrasi: Penyerahan sebagian hasrat kepada Liyan.
Kesatuan Primordial: Suatu kesatuan yang dihasilkan dari model identifikasi masyarakat yang berlandaskan pada sejarah pembentukan identitasnya yang didapatkan secara natural sebagai sesuatu yang terberi.
Komodifikasi (Commodification): Sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, hingga menjadi komoditi.
Komoditas (Commodity): Segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan.
Konsumerisme (Consumerism): Manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.
Lack: Suatu kondisi berkekurangan yang terjadi pada subyek, lack terjadi pada fase simbolik.
Liyan/little other (l/o): Selalu merujuk kepada sang lain-imaginer, yakni semua pandangan yang kita pakai untuk menggantikan kehilangan dalam diri.
Liyan/Big Other (L/O): Selalu merujuk kepada yang Simbolik, baik kepada individu yang dianggap mewakili yang Simbolik itu sendiri (misalnya polisi, guru, dll) atau pun institusinya (misalnya hukum, pendidikan, dll).
(5)
Masyarakat konsumer (Consumerism society): Masyarakat yang menciptakan nilai-nilai berlimpah ruah melalui barang-barang konsumer, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan.
Masyarakat kapitalis (Capitalist society): Sebuah masyarakat yang pola kehidupan dan budayanya dilandasi oleh fondasi ideologi ekonomi kapitalisme.
Object petit a: Objek penyebab hasrat.
Penanda (Signifer): Citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau benda.
Petanda (Signifed): Konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda.
Sayyid: Sebutan gelar kehormatan bagi keturunan nabi yang berasal dari Husain bin Ali bin Abu Thalib.
Sublimasi: Pengalaman akan jouissance, yaitu momen ketika dorongan telah
sampai pada objeknya di level The Imaginary dan The Symbolic. Momen
dimana subjek bisa menangkap atau mengalami suatu kesan dan menyadarinya hanya pada saat momen itu sudah berlalu.
Subjek (Subject): Manusia sebagai individu yang dibentuk secara sosial lewat bahasa, pengetahuan dan ideology yang telah ada.
Subjektivitas: Segala kondisi dan tindakan yang bersifat individu yang dilandasi kesadaran diri.
Syarif: Sebutan gelar kehormatan untuk keturunan cucu nabi Muhammad dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib.
Symptom: Semacam gejala yang dialami subjek. Menurut Lacan, symptom adalah
realitas yang bisa ditangkap dan dibaca sebagai representasi dari sesuatu
yang jauh terpendam dalam kehidupan subjek atau masyarakat. symptom
sebagai hal terpenting untuk dipahami secara mendalam, karena dari
interpretasi symptom-lah semua kerja psikoanalisa dimulai.
The Real: Fase ketika Sang Anak selalu dalam kondisi penuh.
The Imaginary: Fase ketika Sang Anak mulai mengidentifikasi dirinya melalui cermin.
The Symbolic: Realitas yang telah terbahasakan, suatu fase ketika segala sesuatu dimediasi oleh bahasa.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Fu’ad Hasyim
Tempat & Tanggal Lahir : Lamongan, 09 September 1994
Agama : Islam
Alamat Asal : Jl. Sidomuncul, RT/RW 003/004, Kebalandono,
Babat, Lamongan
Nomer Hp : 085735033824
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
1. MI Ma’arif, Kebalandono-Babat-Lamongan (2002-2007)
2. MTsN Model, Plaosan-Babat-Lamongan (2007-2010)
3. MA Ma’arif Sunan Drajat, Banjaranyar-Paciran-Lamongan (2010-2013)
4. UIN Sunan Ampel Surabaya (2013-2017)
Orang Tua:
1. Bapak : Abdul Syukur
2. Ibu : Sugiati
Keahlian Khusus:
1. Bermain Forex (Foreign Exchange) & Binary
2. Menggambar
Pengalaman:
1. Kandidat Lomba Lari (2006)
2. Pramuka (2008-2009)
3. Kandidat Lomba Gambar (2009)
4. Pencak Silat Pagar Nusa (2009)
5. Pencak Silat Gaspi (2011)
6. Pencak Silat Pernafasan (2012)
7. Osis MA (2012)
8. Pesma UINSA (2013-2014)
9. PMII (2014)
10.Pengurus HMJ (2015-2016)
11.Les Bahasa Inggris di Pare-Kediri (2016)