BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia - Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomo

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen Di Indonesia 1. Sejarah hukum perlindungan konsumen Manusia dalam memenuhi kebutuhannya, baik dari segi fisik maupun

  rohani. Kebutuhan yang ada tersebut dapat dibagi ke dalam 3 tingkatan, yakni kebutuhan primer yang sifatnya boleh dikatakan urgen, kebutuhan sekunder, dan terakhir adalah kebutuhan tersier. Namun bagaimanapun, seperti dalam teori ekonomi pada umumnya, sudah jelas dinyatakan bahwa kebutuhan tersebut tidak akan mungkin untuk terpenuhi seluruhnya, karena benda dan/atau jasa yang ada jumlahnya terbatas sedangkan sifat manusia sendiri tidak akan pernah merasa

  28

  puas. Seperti dikatakan oleh Winardi, bahwa apabila semua benda-benda/alat- alat yang dibutuhkan manusia terdapat dalam jumlah yang berlimpah ruah, seperti umpamanya udara, maka tidak akan ada lagi kebutuhan akan ilmu ekonomi ataupun ahli-ahli ekonomi.

  Selain daripada, di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas tersebut, manusia tetap menginginkan segalanya berjalan dengan baik dan tertib. Namun demikian, tetap haruslah disadari bahwa kebutuhan setiap orang berbeda-beda yang tentunya berpotensi untuk menimbulkan benturan satu dengan lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dibuat suatu aturan bersama yang akan menjadi pedoman yang harus ditaati untuk meminimalkan potensi

  29 benturan tadi.

  Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan "diversifikasi" produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan kepada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar

  30 negeri.

  Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, di sisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana seringkali konsumen berada pada posisi yang lemah, dan

  31 pelaku usaha berada pada posisi yang menguntungkan.

  Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan 29 Janus sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi (Medan: Penerbit Bina Media, 2000), hlm. 30. 30 Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 11.

  distribusi produk barang dan jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak

  32

  terpuji. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan

  33 serta penerapan standar yang merugikan konsumen.

  Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen

  34

  untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan, pada konsumen yang

  35

  menyebabkan konsumen tidak memiliki kedudukan yang "aman". Padahal jika dilihat dari kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha kedudukan mereka berada dalam posisi yang seimbang.

  Hal tersebut ternyata bukanlah gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda konsumen di seluruh dunia.

  Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan salah satu cabang baru ilmu hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen atau yang kadang kala dikenal juga

  36

  dengan hukum konsumen (consumers law). Sebenarnya hukum konsumen dan

  32 Sri rezeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: CV. Mandar Madju, 2000), hlm. 32. 33 34 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Loc.Cit.

  Zumrotin K.Susilo, Penyambung Lidah Konsumen (Jakarta: Puspa Swara, 1996) hlm.

  11. 35 Sri rezeki Hartono, Op.Cit., hlm. 33. hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan

  37 dan dibuat batasannya.

  Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan

  38

  perlindungan konsumen (consumers movement ). Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (era 1960-an - 1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian

  39

  bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19, dimana pada Tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya di New York, dan menyusul pada Tahun 1898 di bentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer 's League) yang pada kelanjutannya semakin

  40 berkembang pesat meliputi 20 negara bagian.

  Di Tahun 1938, sesuai dengan tuntutan keadaan amandemen terhadap The

  Food and Drugs Act yang melahirkan The Food, Drugs and Cosmetics Act. Pada

  era 1960-an, sejarah gerakan perlindungan konsumen mengalami perubahan penting ditandai pada saat Presiden AS, John F. Kennedy menyampaikan pidato kenegaraan berjudul "A Special Message of Protection the Consumer Interest" di hadapan Kongres Amerika Serikat dimana dikemukakan 4 (empat) hak konsumen

  41

  42

  (dikenal juga sebagai consumer hill of rights) sebagai berikut: a.

  The right to safety - to be protected against the marketing of goods that 37 are hazardous to health or life.

  

Az.Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada

Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1995), hlm. 64-65. 38 39 Shindarta, Loc.Cit. 40 Ibid., hlm. 35. 41 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 12-13.

  Ahmadi Miru & Sutarman yodo, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2004), hlm. 39. b.

  The right to be Informed - to be protected against fraudulent, deceitful, or

  grossly, misleading information, advertising, labeling, and other practices, and to be given the facts needed to make informed choices.

  c.

  The right to choose - to be assured wherever possible, access to a variety

  of products and services at competitive prices. And in those industries in which competition is not workable and government regulation is substitued there should be assurance of satisfactory quality and services at fair prices.

  d.

  The right to ke heard - to be assured that eonsumcr intercsts will receivet

  full and sympatketic considtration m tke formulation of govemment policy . and fair and expeditious treatment m its odministrative tribunals

  Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1955 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga merumuskan

  43

  berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi: a.

  Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

  b.

  Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.

  c.

  Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.

  d.

  Pendidikan konsumen.

  e.

  Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

  f.

  Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

  Pemikiran ke arah perlindungan konsumen dilatar belakangi oleh berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif industrialisasi yang 43 Muhammad Eggi H. Suzetta, “Pengetahuan Hukum Untuk Konsumen,”

  menimbulkan banyak korban karena memakai atau mengonsumsi produk-produk

  44 industri.

  Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada Tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita

  45 itu.

  Proses lahirnya suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 bab dan 65 Pasal membutuhkan

  46

  waktu tidak kurang dari 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari: a.

  Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15 – 16 Desember 1975.

  b.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek Tahun 44 1979-1980). 45 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 28. 46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 15-16.

  Az. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU Nomor 8 c.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (proyek Tahun 1980-1981).

  d.

  Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI), Perlindungan konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan UUPK, pada Tahun 1981.

  e.

  Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, Tahun 1997; dan, f.

  Dewan Perwakilan Rakyat RI, Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang UUPK, Desember 1998.

  Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan tersebut berujung pada disetujuinya UUPK oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku efektif satu Tahun kemudian.

  47 2.

  Pengertian konsumen Para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van

  48

  ). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara

  goederen en diensten

  konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas: a.

  Konsumen dalam arti umum yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

  b.

  Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha.

  c.

  Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

  Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam undang- undang dan penelitian ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) UUPK disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

  Ternyata pengertian konsumen dalam UUPK tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga (bystander) yang dirugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa. Dalam pengertian konsumen ini adalah “syarat untuk tidak diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen

  49 antara (intermediate consumer).

3. Pengertian hukum perlindungan konsumen

  Mengenai istilah, dalam berbagai literatur ditemukan dua istilah mengenai hukum yang membicarakan mengenai konsumen. Kedua istilah ini seringkali disama artikan, namun ada pula yang membedakannya dengan mengatakan bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah

  50

  berbeda satu sama lain. Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan kegunaan produk barang dan/atau jasa antara penyedia dan penggunanya dalam hubungan

  51

  bermasyarakat. Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

  52 bermasyarakat.

  49 50 (diakses 19 Mei 2015).

4. Hak dan kewajiban konsumen

  N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Panta Rei, 2005 ), hlm. 30. 51 A.Z. Nasution. Op.Cit., hlm. 23.

  Berdasarkan Pasal 4 UUPK, konsumen memiliki beberapa hak sebagai

  53

  berikut : a.

  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

  b.

  Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

  c.

  Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

  d.

  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

  e.

  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  f.

  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

  g.

  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

  h.

  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Berbagai macam hak konsumen di atas, secara garis besar dapat

  54

  dikelompokkan dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar yaitu: 53 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan a.

  Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

  d.

  Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 54 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 46-47. 55 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

  b.

  Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  55 a.

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, akan tetapi juga hak- hak yang dimiliki oleh pelaku usaha sebagai berikut :

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

  b.

  c.

  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

  b.

  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

  Adapun kewajiban-kewajiban konsumen berdasarkan Pasal 5 UUPK adalah sebagai berikut: a.

  Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan; c. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.

5. Hak dan kewajiban pelaku usaha

  c.

  Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

  d.

  Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  e.

  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Dari rumusan hak-hak pelaku usaha di atas, terlihat bahwa UUPK tidak hanya melindungi pihak konsumen saja. Hal tersebut dikarenakan banyaknya konsumen- konsumen nakal yang dapat merugikan pelaku usaha yang jujur dan beritikad baik. Maka dari itu dibentuklah UUPK yang menegakkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Dengan perlindungan tersebut diharapkan pelaku usaha akan mampu untuk bersaing secara sehat dan jujur dalam memasarkan

  56 produknya.

  Selain hak-hak, UUPK juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus diemban oleh pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah

  57

  sebagai berikut : a.

  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

  b.

  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, 56 perbaikan, dan pemeliharaan.

  

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Konsiderans, Huruf f. 57 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

  c.

  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.

  d.

  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

  e.

  Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

  f.

  Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  g.

  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

6. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha secara detail. Semua diatur dalam bab 4 UUPK yang terdiri dari 10 Pasal , mulai dari

  Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Semua pengaturan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa

  58 yang berkualitas.

  Apabila melihat pada rasio UUPK, maka akan terlihat jelas bahwa UUPK memang tidak hanya sekedar melindungi konsumen saja. UUPK juga pelaku usaha yang jujur dan beritikad baik. Adapun rasio UUPK yang dimaksud adalah

  59

  sebagai berikut: a.

  Meningkatkan harkat dan martabat konsumen.

  b.

  Menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.

  Akan tetapi tetap pertimbangan utama pengaturan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha adalah dalam rangka melindungi kepentingan konsumen (yang beritikad baik) karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat

  60 keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.

  Adapun larangan yang ada dalam Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para

  61

  pelaku usaha pabrikan atau distributor di Negara Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 9 sampai dengan Pasal 17 pada pokoknya berisi larangan bagi pelaku usaha dalam memasarkan produknya baik dalam mempromosikan maupun

  58 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Penjelasan Umum, Paragraf 7 59 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Konsiderans, Huruf d. 60 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Penjelasan Umum, Paragraf 5-6. mengiklankan barang dan/atau jasa yang dapat menyesatkan konsumen dan juga

  62 melanggar etika.

  Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK dapat

  63

  dibagi dalam dua larangan pokok sebagai berikut: a.

  Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan, dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

  b.

  Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar atau tidak akurat yang dapat menyesatkan konsumen.

  Apabila terbukti terjadi pelanggaran atas larangan-larangan di atas, maka terhadap pelaku usaha yang bersangkutan dan/atau pengurusnya dapat dilakukan

  64

  65

  penuntutan pidana. Secara spesifik, sanksi atas pelanggaran sebagai berikut : a.

  Pelaku usaha yang melangar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

  b.

  Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 62 (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun atau

  

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Bab IV, Pasal 9-17. 63 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 8. 64 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab XIII, Pasal 61. 65 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

  pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

B. Keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

  Ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam, macam produk barang, maka perlu keseriusan LPKSM perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit semata dengan

  

66

  mengabaikan kualitas produk barang. Problematika yang muncul dengan kehadiran LPKSM adalah kelanjutan dari fungsi serupa yang selama ini telah dijalankan oleh lembaga-lembaga konsumen sebelum berlakunya UUPK. Ada pandangan kehadiran LPKSM merupakan bentuk intervensi negara terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dari kelompok masyarakat, namun di sisi lain, ia diperlukan untuk memberikan jaminan accountability lembaga-lembaga konsumen tersebut, sehingga kehadiran LPKSM ini betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

  Hal ini disebabkan oleh masih banyak produk tidak bermutu dan palsu yang beredar bebas di masyarakat, apalagi, masyarakat pedesaan yang belum memahami efek atau indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obat-obatan, dan masih banyak lagi.

  Ketidaktahuan masyarakat dapat memberi peluang pelaku usaha atau penjual

  67 untuk membodohi masyarakat dengan produk yang tidak memenuhi standar. 66 Marianus Gaharpung, “Perlindungan Hukum konsumen korban atas tindakan pelaku usaha,” Jurnal yustika, Volume III, No.1, Juli, 2000 hlm. 42.

  Oleh karena itu, LPKSM dan cabangnya di daerah harus mengontrol dengan sungguh-sungguh kelayakan produk barang yang dipasarkan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang tertib niaga dan hukum perlindungan konsumen agar mereka tidak terjebak tindakan pelaku usaha yang hanya memprioritaskan keuntungan dengan mengorbankan masyarakat.

  Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diharapkan sering melakukan sosialisasi melalui media massa agar masyarakat selektif serta hati-hati dalam membeli produk barang yang muncul di pasaran. Selain itu, unit pengaduan masyarakat perlu dibentuk sebagai sarana pengaduan masyarakat yang dirugikan dari produk barang yang digunakan. Hasil temuan LPKSM yang disampaikan masyarakat juga harus mendapat tindak lanjut dan penyelesaian secara tuntas. Diharapkan pula kehadiran LPKSM bukan justru berpihak kepada

  68 pelaku usaha atau penjual dengan mengorbankan konsumen.

  Berkaitan dengan implementasi perlindungan konsumen, UUPK mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana tertuang dalam Pasal 44, yakni sebagai

  69

  berikut: 1.

  Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat.

  2. LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

  3. Tugas LPKSM meliputi kegiatan: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang 68 dan/atau jasa; Ibid., hlm. 121. b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

  Penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia perlu didukung oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Untuk meningkatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan

  70 konsumen. Salah satu peran masyarakat adalah LPKSM .

  Penyelenggaraan pengawasan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya, UUPK mengatur bahwa yang menyelenggarakan adalah pemerintah, masyarakat, dan LPKSM. Pengawasan oleh pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan LPKSM dapat disampaikan kepada Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait. Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila hasil pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

  71 membahayakan konsumen.

  Pelaksanaan pembinaan serta pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menurut UUPK berada pada Menteri Perdagangan, secara hierarki (struktural dan fungsinya) dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, yang kemudian dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan konsumen. Sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan perannya yang mengacu pada Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-Dag/Per/3/2005, upaya pembinaan serta pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut terkait dengan perumusan kebijakan, standar, norma, kriteria dan prosedur, bimbingan teknis, serta evaluasi pelaksanaan di bidang kerja sama, informasi dan publikasi perlindungan konsumen, analisis penyelenggaraan perlindungan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha, pelayanan

  72 pengaduan serta fasilitasi kelembagaan perlindungan konsumen.

1. Proses dan tata cara pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

  Masyarakat Proses dan tata cara pendaftaran LPKSM diatur dalam Keputusan Menteri

  (Kepmen) Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran LPKSM. LPKSM yang telah diakui oleh pemerintah karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, perlu melakukan pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK). Kewenangan penerbitan TDLPK ada pada menteri. Menteri kemudian melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPK kepada bupati/walikota. 71 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Pasal 30.

  Bupati/walikota bisa melimpahkan kembali kewenangan kepada kepala dinas. TDLPK diterbitkan berdasarkan tempat kedudukan atau domisili LPKSM. TDLPK tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM dalam menjalankan kegiatan penyelenggaraan perlindungan konsumen bisa mempergunakan TDLPK kantor pusat dan dibebaskan dari

  

73

  pendaftaran untuk memperoleh TDLPK. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 6, tata cara pendaftarannya yakni sebagai berikut: a.

  Permohonan untuk memperoleh TDLPK diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada bupati/walikota melalui kepala dinas setempat, dengan mengisi formulir Surat Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (SP-TDLPK) model A sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.

  b.

  Jika kewenangan pemberian TDLPK dilimpahkan kepada kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3. Permohonan diajukan langsung kepada kepala dinas setempat dengan mengisi formulir SP- TDLPK model A, sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.

  c.

  Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditandatangani oleh pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penanggung jawab, atau kuasanya.

  Proses permohonan pendaftaran TDLPK perlu melampirkan dokumen-

  74

  dokumen sebagai berikut: a.

  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berstatus badan hukum (yayasan) melampirkan: 1)

  Salinan akta notaris pendirian badan hukum/yayasan yang telah mendapatpengesahan badan hukum dari menteri hukum dan hak azasi manusia atau instansi yang berwenang. 2)

  Salinan kartu tanda penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku.

  3) Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari lurah/kepala desa setempat.

  b.

  LSM yang tidak berstatus badan hukum maupun yayasan melampirkan: 1)

  Salinan akta notaris pendirian LSM atau akta notaries yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang.

2) Salinan KTP pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku.

  3) Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari lurah/kepala desa setempat.

2. Status dan kedudukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

  Status dan kedudukan LPKSM bisa dibatalkan oleh pemerintah jika mengandung aspek-aspek berikut ini: a.

  Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen.

  b.

  Terbukti melakukan kegiatan pelanggaran atas ketentuan UUPK dan peraturan pelaksanaannya.

  Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha bisa mengadukan ke LPKSM agar suara dan haknya bisa diperjuangkan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian tugas-tugas LPKSM, di samping memberikan informasi dan memberikan nasihat kepada konsumen, lembaga ini juga bisa memperjuangkan hak-hak konsumen.

  Oleh karena itu, konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar bisa mengadukannya ke LPKSM yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Banyak konsumen di Indonesia yang hanya melakukan pengaduan dengan mengirimkan surat ke pihak pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya. Ada juga yang menulis dan mengirimkan surat pembaca ke berbagai macam media massa. Meskipun diakui cara-cara tersebut baik dan barangkali bisa memberikan hasil yang memuaskan, ada cara lain yang kiranya bisa dilakukan. Cara yang dimaksud adalah dengan meminta bantuan LPKSM untuk membantu menyelesaikan masalah. LPKSM akan membantu para konsumen yang ingin mengadukan hak- haknya. konsumen bisa datang langsung atau melalui telepon. Dengan bantuan LPKSM , biasanya konsumen yang akan mengadukan haknya juga memperoleh banyak pengetahuan hukum yang sangat berarti sebagai bekal atau dasar untuk menyelesaikan masalahnya, termasuk dalam penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha nantinya. Oleh LPKSM bersama pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.

  Berdasarkan ketentuan UUPK yang berlaku, pemerintah hanya mengakui LPKSM yang memenuhi syarat. Persyaratan LPKSM yang diakui pemerintah

  75

  yakni sebagai berikut: a.

  Terdaftar di pemerintah kabupaten/kota.

  b.

  Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

  3. Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam perlindungan konsumen Munculnya gerakan "konsumerisme" dan segala permasalahannya ke pekaan masih relatif baru. Kepopuleran dan paham konsumerisme ini baru mendapat perhatian dunia bisnis maupun birokrasi sejak Presiden Amerika Serikat Kennedy pada Tahun 1962 mengukuhkan adanya hak-hak konsumen, pengukuhan ini timbul atas desakan konsumen di Amerika pada Tahun 1930-an yang sudah mulai mempertanyakan adanya ketidakadilan dalam memperoleh, pelayanan, baik jasa pelayanan yang disediakan oleh industri maupun pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. konsumen mulai mempermasalahkan adanya ketidaksesuaian harga dengan mutu barang atau jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan jasa secara bebas dan canggih di negara liberal itu telah menimbulkan mekanisme defensif di kalangan konsumen dan mulai terdapat

  76 ketidakpercayaan akan informasi sepihak yang disampaikan para produsen.

  Di sisi lain, pemerintah dengan inisiatifnya sendiri memang sudah menyediakan pelayanan umum kepada masyarakat atau konsumen, jauh sebelum 75 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan Konsumen Swadaya masyarakat, Bab II, Pasal 2 ayat (1). upaya perlindungan konsumen ini ada. Misalnya fasilitas kereta api, pelayanan rumah sakit umum, jalan raya, dan angkutan transportasi.

  Semua ini dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada konsumen dan memastikan konsumen dapat menggunakan fasilitas umum tersebut dengan biaya yang murah dan bahkan tanpa membayar, tetapi sebenarnya konsumen dalam menggunakan pelayanan tersebut, tidaklah gratis. Mereka sudah membayarnya melalui pajak. Hanya saja, sampai saat ini kenyataannya masih banyak konsumen yang belum memperoleh kepuasan dalam menggunakan pelayanan publik meskipun pemerintah telah berubah status menjadi penyedia jasa monopoli. Dengan bangkitnya kesadaran konsumen ini tampaknya aparat pemerintah belum siap menerima tuntutan dan masyarakat baik dalam segi dana

  77 maupun SDM-nya.

  Keadaan ini mungkin akan diperburuk lagi dengan adanya pernyataan pemerintah sehingga siapa yang punya uang dialah yang mendapat pelayanan.

  Berhubungan dengan hampir segala bentuk layanan yang disediakan oleh birokrasi pemerintah dalam kehidupan sehari-hari seperti PAM, listrik, telepon.

  KTP, IMB, dan lain-lain sering berakhir dengan kekecewaan. Segala kemudahan akan segera diperoleh masyarakat jika uang pelicin tersedia. Pada dasarnya para aparatlah yang tahu apakah suatu pengurusan KTP misalnya, cepat atau lambat. Merekalah yang tahu sistem bekerjanya. masyarakat hanya bisa pasrah. Sebagai anggota masyarakat yang telah membayar pajak yang mencoba untuk melawan dengan pelayanan yang diberikan, malah akan merugikan dirinya sendiri baik dari segi waktu dan tenaga. Terdapat berbagai jenis layanan yang disediakan oleh Pemerintah, pelayanan yang bersifat profit misalnya jasa telekomunikasi, air minum, angkutan, pelayanan yang bersifat monopoli, misalnya PLN dan pelayanan yang sifatnya nonprofit seperti KTP, catatan sipil, IMB, imigrasi, dan lain-lain.

  The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara

  bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi PBB Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan itu adalah struktur kelompok-kelompok konsumen yang independen, di mana dinyatakan dalam paragraf pertama bahwa pemerintah-pemerintah berbagai negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok- kelompok konsumen. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti di bidang perlindungan konsumen.

  Keberadaan kelompok konsumen tentu saja berbeda dengan organisasi konsumen. Pada hakikatnya kelompok konsumen lebih merupakan pengelompokan konsumen pada berbagai sektor, misalkan kelompok konsumen pemegang kartu kredit, kelompok konsumen barang-barang elektronik, dan sebagainya. Apabila dikatakan bahwa kelompok konsumen bertindak dalam kapasitasnya selaku konsumen. Adapun organisasi-organisasi konsumen merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Di dalam segala aktivitasnya tentu saja organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer representation). Walaupun demikian, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.

78 Prinsip kebebasan (independence) merupakan karakteristik penting, baik

  Tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advis yang mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan perdagangan.

  78 Ibid., hlm. 123-124. 79 Yusuf Shofie, Loc.Cit.

  80

  Artinya, organisasi konsumen seperti YLKI bertindak mewakili kepentingan- kepentingan dan pandangan-pandangan konsumen dalam suatu kelembagaan yang dibentuk, baik atas prakarsa produsen dan asosiasinya maupun prakarsa pemerintah.

  Tataran kebijakan (policy) ketika menangani pengaduan-pengaduan konsumen, organisasi konsumen sering dihadapkan pada konstruksi perwakilan.

  Tidak boleh mengizinkan kebebasan tindakan dan komentar mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan-pesan sponsor/pesan-pesan tambahan.

  f.

  bagi organisasi konsumen maupun kelompok konsumen. Mengenai karakteristik ini terdapat 6 (enam) kualifikasi kebebasan yang harus dimiliki organisasi konsumen dan kelompok konsumen:

  79 a.

  Tidak boleh menerima iklan-iklan untuk alasan-alasan komersial apa pun dalam publikasi-publikasi mereka.

  d.

  Harus nonprofit malang dalam profil aktivitasnya.

  c.

  Kemajuan perdagangan akan tidak ada artinya jika diperoleh dengan cara cara yang merugikan konsumen.

  b.

  Harus secara eksklusif mewakili kepentingan-kepentingan konsumen.

  e.

  Indah Sukmaningsih berpendapat bahwa bertahun-tahun Yayasan Lembaga konsumen Indonesia berusaha bekerja untuk membuat keadaan sedikit lebih menguntungkan kondisi konsumen, dengan hasil-hasil survei dan penelitian yang dilakukan, mencoba untuk mengubah keadaan melalui dialog dengan para pengambil keputusan dan juga membantu konsumen untuk memecahkan masalahnya dalam berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Hasilnya Sebagian dapat tercapai, tapi lebih banyak yang tak terselesaikan. Pada beberapa tulisan yang ada di media massa disebutkan bahwa jika pelayanan birokrasi masih seperti

  81 sekarang, sulit rasanya bagi Indonesia untuk dapat bersaing di abad XXI.

  Ada beberapa indikator pelayanan umum yang baik, yakni sebagai

  82

  berikut: a.

  Terbukaan Adanya informasi pelayanan, yang dapat berupa loket informasi juga dimiliki dan terpampang jelas, kotak saran, dan layanan pengaduan, dilengkapi juga dengan petunjuk pelayanan. Dalam keterbukaan, mencakup upaya publikasi, artinya penyebaran informasi yang dilakukan melalui media atau bentuk penyuluhan tentang adanya pelayanan.

  b.

  Kesederhanaan Mencakup prosedur pelayanan dan persyaratan pelayanan. Prosedur pelayanan meliputi pengaturan yang jelas terhadap prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat yang akan menggunakan pelayanan, yang dilengkapi dengan alur proses. Adapun persyaratan pelayanan adalah administrasi yang jelas.

  c.

  Kepastian 81 Ibid.

  Terpampang dengan jelas waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan petugas pelayanan. Kantor pelayanan hendaknya mencantumkan jam kerja kantor untuk pelayanan masyarakat, jadwal pelayanan dan pelaksanaannya. Untuk biaya pelayanan, pengaturan tarif dan penerapannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adanya pengaturan tugas dan penunjukan petugas haruslah pasti dan sesuai dengan keahlian.

  d.

  Keadilan Tidak membedakan si kaya dan si miskin, laki-laki atau perempuan, merata dalam memberikan subjek pelayanan tidak diskriminatif.

  e.

Dokumen yang terkait

KEHIDUPAN TRANSMIGRAN JAWA DI DESA SUKA DAMAI, KECAMATAN GEREUDONG PASE, KABUPATEN ACEH UTARA (1987-2000) Skripsi Sarjana Dikerjakan O

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal - Pemanfaatan Lignin Isolat Lindi Hitam Dari Toba Pulp Lestari

0 0 31

I. IDENTITAS RESPONDEN No. Identitas Keterangan - Pengaruh Penilaian Kinerja, Kompensasi Dan Jenjang Karir Terhadap Tingkat Intention to Leave Karyawan Pada PT. Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Penilaian Kinerja, Kompensasi Dan Jenjang Karir Terhadap Tingkat Intention to Leave Karyawan Pada PT. Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk - Efektifitas Fermentasi Gula Sebagai Atraktan Nyamuk

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

ABSTRAK PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP MANAJEMAN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Trade-Off Theory - Pengaruh Perputaran Piutang dan Perputaran Persediaan Terhadap Net Profit Margin pada Perusahaan Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perputaran Piutang dan Perputaran Persediaan Terhadap Net Profit Margin pada Perusahaan Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Pengaruh Perputaran Piutang dan Perputaran Persediaan Terhadap Net Profit Margin pada Perusahaan Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 2 11