BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu. - Pengaruh Komitmen Organisasional, Penjualan Adaptif , Orientasi Smart-Working Dan Kepuasan Hubungan Kerja Terhadap Kreativitas Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Kinerja Bisnis IBO Dalam Multi Le

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan erat dan mendasari

  adanya penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah seperti yang terlihat dalam Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti Alat analisis Hasil penelitian

  Analisis Pengaruh Komitmen Bisnis

  Independent Business Owner Structural

  Purwo

  (IBO) Dan Penjualan Equation komitmen bisnis

  1 Agung Adaptif Terhadap Modelling berpengaruh positif

  Wicaksono Kinerja Bisnis IBO (SEM) terhadap kinerja bisnis IBO

  Dalam Multilevel

  Marketing (MLM)

  (2006) Adanya hubungan positif antara kepuasan hubungan, kepuasan dengan margin, dan kepuasan dengan produk terhadap komitmen

  Structural

  Dinamika Wiraniaga dalam bentuk kesetiaan Lina Equation

  2 Multilevel Marketing dengan wiraniaga (upline) Soeratman Modelling

  (2002) dan kesetiaan dengan merek (SEM) produk. Yang kemudian juga berpengaruh secara positif terhadap loyalitas dalam bentuk business bulders . Lanjutan

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti Alat analisis Hasil penelitian

  “Analisis Pengaruh

Perilaku Penjualan dan Adanya pengaruh positif

Kemampuan karakteristik tenaga penjual Mendengarkan untuk terhadap perilaku penjualan,

  Structural Meningkatkan Kinerja pengaruh positif pemantauan Tenaga Penjual” Suryaningsih Equation diri terhadap kemampuan

  3

  (Studi pada Tenaga mendengarkan, dan kedua

  Susilowati Modelling

  Penjual yang hubungan tersebut juga

  (SEM)

  

Menggunakan Sistem berpengaruh signifikan

Multilevel Marketing terhadap kinerja tenaga

di Kota Semarang) penjualan.

  (2004)

  Menumbuhkan Kinerja MLM

  Structural

  Melalui Promosi dan Orientasi Luky Equation

  4 Promosi Penjualan Smart Working berpengaruh Susilowati Modelling

  Dan Orientasi positif terhadap kinerja

  (SEM) Smart-Working

  (2008) Pengaruh

  Kompetensi, Kompensasi dan regresi linier Terdapat hubungan yang

  Kepuasan Kerja berganda kuat dan positif antara Didik

  5 Terhadap Kinerja (Multiple kompetensi, kompensasi Hadiyatno

  Karyawan pada PT Regression dan kepuasan kerja terhadap Ciomas Adisatwa ). kinerja karyawan

  Linier

  Balikpapan (2012)

  Terdapat hubungan yang Meningkatkan positif antara kinerja baik

  Kinerja Pemasaran Analisis Jalur secara individu dan team

  6 Dengan Kreativitas Widodo (path terhadap kreativitas strategi, Strategi pemasaran analysis ) dan kreativitas strategi

  (2008) berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Multi Level Marketing (MLM) Pengertian dan Prinsip MLM

  Sistem pemasaran Multi Level Marketing mula-mula diterapkan oleh suatu perusahaan nutrisi di California, AS, sektar tahun 1930-an. Munculnya MLM pada dasarnya suatu respon terhadap peluang usaha yang ada karena kekakuan yang dialami traditional marketing channel.

  Dinamika yang terjadi dalam channel of distribution, memang melahirkan berbagai bentuk dan pola distribusi yang pada dasarnya mencoba mengatasi berbagai konflik yang terjadi pada traditional marketing channel yang ada.

  Mullti Level Marketing merupakan suatu cara penjualan. sebagaimana suatu bisnis, MLM memenuhi persyaratan sebagai bisnis murni, yaitu bisnis pemasaran.

  Bisnis pada dasarnya adalah suatu kegiatan individu maupun organisasi untuk menghasilkan suatu produk kemudian menjualnya untuk mendapatkan keuntungan.

  Demikian juga halnya dengan MLM, dimana MLM harus ada produknya baik benda maupun jasa. Tanpa produk bukanlah MLM, boleh jadi arisan berantai atau penggandaan uang, dan sebagainya. Bahkan produk MLM harus memenuhi kriteria tertentu supaya dapat bertahan. Produk tersebut dijual. Penjualan ini yang merupakan kunci.

  MLM merupakan salah satu dari berbagai cara yang dapat dipilih oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk memasarkan, mendistribusikan, ataupun menjual produknya melalui pengembangan armada pemasar, distributor, atau penjual langsung secara mandiri (independent), tanpa campur tangan dari perusahaan (Soeratman, 2002:270). Sistem MLM ini memangkas jalur distribusi dalam penjualan konvensional karena tidak melibatkan distributor atau agen tunggal dan grosir atau sub agen, tetapi langsung mendistribusikan produk kepada distributor independent yang bertugas sebagai pengecer atau penjual langsung pada konsumen. Dengan cara tersebut biaya pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji, dan komisi tenaga penjualan), yang totalnya mencapai 60% dari harga jual dapat dialihkan kepada distributor independen dengan suatu sistem berjenjang, yang umumnya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau omset distributor yang

  Metode Distribusi Konvensional Multi Level Marketing

  Produsen Pelanggan Produsen Pelanggan Grosir

  Pelanggan Distributor Pelanggan Eceran Pelanggan

  Distributor Pelanggan Pelanggan Pelanggan Distributor Pelanggan arus barang arus uang

  Sumber : Penelitian Susan (1997)

Gambar 2.1 Perbedaan antara metode distribusi konvensional

  

dengan multi level marketing

  Bisnis MLM ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, tentu dengan wajar. Keuntungan sesuai dengan prestasi yang diberikan. Dengan adanya keuntungan ini, bisnis tersebut berkelanjutan. Keuntungan dapat merupakan pemupukan modal, dapat dijadikan sumber untuk berkembang.

  Ciri dari MLM pada upaya pengembangan penjualan melalui suatu jaringan individu-individu yang secara mandiri mengembangkan usahanya sendiri dengan bertindak sebagai distributor. Mereka yang berusaha paling keras dalam kegiatan ini akan mencapai tingkat yang paling tinggi dan dengan demikian akan menerima imbalan finansial paling besar.

  Multi Level Marketing yang baik biasanya bergabung dalam APLI. Setiap

  perusahaan yang ingin bergabung dalam APLI, diteliti dahulu apakah memenuhi persyaratan sebagai perusahaan yang bergerak dalam penjualan langsung, dalam hal ini MLM. Bagi perusahaaan yang sudah bergabung dalam APLI berarti sudah melewati masa selektif yang ketat. Sebaliknya perusahaan yang mengaku-ngaku saja sebagai perusahaan MLM, tidak akan mendaftar APLI.

  MLM tidak ada pembatasan penghasilan dari distributor, yang bekerja keras akan mendapatkan penghasilan yang besar. Oleh karenanya, tekad untuk menjual menjadi inti dari MLM. Waktu yang dicurahkan tidak terikat, dalam arti terserah pada distributor yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya perlu dipahami pengertian MLM agar dapat diketahui apa sebenarnya cara distribusi ini. Menurut APLI Multi Level

  

Marketing adalah metode pemasaran barang atau jasa dari sistem penjualan langsung

  melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang/jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya.

  Perilaku tertentu yang harus dituntut bagi seseorang untuk menjadi anggota MLM, yakni setiap orang yang mempunyai jaringan sosial, baik ikatan keluarga, kerabat, alumni, dan sebagainya. Multi Level Marketing merupakan suatu cara atau metode menjual barang secara langsung kepada pelangggan melalui jaringan yang dikembangkan oleh distributor indepeden yang memperkenalkan para distributor berikutnya; pendapatan yang dihasilkan distributor terdiri dari laba eceran dan laba grosir ditambah dengan pembayaran-pembayaran berdasarkan penjualan total dari kelompok yang dibentuk oleh distributor yang bersangkutan.

  Definisi lain untuk MLM menurut Tampubolon (2009:35) adalah sebuah cara mendistribusikan dan menjual produk atau jasa melalui jaringan dari berbagai anggota mandiri sebagai mitra usaha, yaitu suatu cara yang sesungguhnya serupa tetapi tidak sama dengan penjualan tradisional melalui jaringa n outlet.

  Semua penjualan Multi Level Marketing dilakukan melalui penjualan langsung. Penjualan langsung dirumuskan oleh Direct Selling Association sebagai berikut Penjualan barang-barang konsumsi langsung ke-perorangan, di rumah-rumah maupun di tempat kerja mereka, melalui transaksi yang diawali dan diselesaikan oleh tenaga penjualnya. MLM dapat juga dinamakan pemasaran jaringan (network

  marketing ) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

  Sumber : Bisnis Online (2012)

Gambar 2.2. Network Marketing

  Kekuatan dari MLM terletak pada, sampai seberapa jauh masing-masing individu yang terkait dalam jaringan tersebut mampu mengembangkan jaringan bisnisnya. Dengan pola ini, bilamana jaringan yang terbentuk semakin membesar dengan sendirinya volume penjualan akan semakin membesar pula karena masing- masing individu berperan aktif sebagai penjual dan konsumen sekaligus, dan putusnya jaringan karena pengunduran diri distributor akan berpengaruh terhadap volume penjualan dan jaringan lainnya. Jadi, pengembanngan organisasi akan efektif jika distributor pada setiap tingkatan melakukan hal yang sama. Setiap distributor yang terlibat dalam kegiatan penjualan bukan merupakan karyawan perusahaan, dan mereka itu memperkerjakan dirinya sendiri.

  Perusahaan akan membantu para distributor awal untuk merekrut distributor- distributor selanjutnya, demikian seterusnya, dengan mengadakan seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan peluang usaha di seluruh negeri. Angka pertumbuhan penjualan perusahaan itu sepenuhnya bergantung kepada keterlibatan distributor mereka dalam menjual produk itu dan dalam merekrut lebih banyak distributor lagi.

  Mekanisme Kerja MLM

  Pengembangan MLM dimulai dengan pembentukan organisasi penjualan sendiri. Tindakan pertama yang dilakukan seorang calon anggota adalah memperoleh seorang sponsor. Sponsor berasal dari distributor yang sudah ada atau orang yang ditunjuk oleh perusahaan untuk mensponsori setelah calon anggota langsung disponsori oleh perusahaan pada permulaannya.

  Lazimnya perusahaan memberikan kartu tanda anggota agar distributor dapat membeli produk dari perusahaan MLM untuk dijual kepada pelangggan atau untuk digunakan diri sendiri. Setiap distributor harus berlatih dahulu sebelum distributor diiizinkan untuk turut menjual.

  Mengecerkan produk merupakan langkah pertama menuju pendapatan tambahan. Seorang distributor dengan volume bisnis yang telah ditentukan akan dapat memesan produk-produk langsung dari perusahaan yang bersangkutan. Makin besar volume maka semakin besar pula potongan harga. Jika telah dicapai potongan harga maksimum, maka distributor dapat memperoleh bonus poin dan lain-lain. Agar penghasilan distributor berlipat ganda maka dikembangkan jaringan penjualan.

  Jaringan penjualan yang dibentuk dapat terwujud berbagai tingkatan distributor (bertingkat satu, dua, tiga, dan seterusnya) yang digambarkan sebagai berikut :

  Sponsor

  Distributor Tgkt. I Tgkt. II

  Sumber : Wikipedia.com

Gambar 2.3 Tingkatan Distributor Dalam MLM

  Tingkatan distributor akan mempengaruhi penghitungan penghasilan. Oleh karena itu organisasi dari penjualan harus dapat dikendalikan oleh distributor.

  Semakin banyak anggota pada setiap tingkatan, maka lebih banyak waktu dan perhatiaan yang dilimpahkan untuk melakukan pemantauan dan pengendalian.

2.2.2. Komitmen Organisasional

  Menurut Anderson dan Weitz (1992:64) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai suatu keinginan dari kegiatan untuk membangun hubungan yang stabil dengan kesungguhan untuk memberi pengorbanan guna menjaga atau mempertahankan hubungan tersebut. Harapan akan kelangsungan hubungan, kesungguhan untuk berinvestasi, kesediaan melakukan pengorbanan guna memperoleh keuntungan jangka panjang merupakan indikasi yang sangat penting untuk dibangun dalam suatu komitmen kerja sama.

  Komitmen organisasi didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadinya (Wiener dalam Darlis, 2002:88). Sedangkan menurut Mowday et al., dalam Darlis, (2002:88) komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Komitmen organisasi bisa tumbuh disebabkan individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan menerima nilai yang ada di dalam dalam Kartika, 2010:42).

  Pelayanan relationship marketing, menekankan bahwa memelihara suatu hubungan adalah dibangun dengan dasar saling percaya. Seperti halnya dengan konsumen loyal terhadap merek, merupakan proses yang harus dilalui.

  Menurut Husselid dan Day dalam Ribhan, (2008:93); komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja.

  Komitmen dapat didefinisikan sebagai derajat keterlibatan relatif dari individu terhadap organisasi (Mowday, Porter dan Steers dalam Ribhan, 2008:93) Derajat keterlibatan tersebut oleh mereka dicirikan melalui tiga faktor, yaitu:

  1. Penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai–nilai organisasi;

  2. Kemampuan untuk mengarahkan diri dan usahanya bagi keberhasilan organisasi;

  3. Keinginan yang kuat untuk berkembang bersama organisasi.

  Menurut (Mowday et al., dalam Wicaksono, 2006:13) komitmen organisasional merupakan hubungan kekuatan relatif yang luas antar individu dengan organisasi, yang karakteristiknya dapat meliputi: 1.

  Adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas tujuan nilai-nilai organisasi,

2. Kesediaan untuk berusaha yang sebesar-besarnya untuk organisasi, dan 3.

  Adanya keinginan yang pasti untuk mengetahui keikutsertaan dalam organisasi.

  Menurut Imron (2007:6) komitmen organisasi adalah rasa memiliki karyawan organisasi/perusahan. Tingkat komitmen yang tinggi baik secara formal struktural atau secara psikologis dapat mendorong kedekatan hubungan antara anggota organisasi dengan perusahaan tempatnya bekerja.

  Komitmen menyatakan tingkat tertinggi dari keterikatan relasional, dimana komitmen akan menciptakan suatu kondisi tertentu yang menimbulkan ketergantungan, yang apabila seimbang, akan menumbuhkan rasa aman dan adanya dorongan untuk mempertahankannya. Ketergantungan yang berada pada saat yang tepat dapat meningkatkan kinerja, dimana ketergantungan berdasarkan pilihan maupun kebutuhan, memberikan landasan dimana komitmen organisasional dapat dibangun (Imron, 2007:6).

  Soeratman (2002:271) menyatakan bahwa adanya komitmen dalam hubungan bisnis bagi wiraniaga dapat dibangun melalui penciptaan kepuasan atas bisnis tersebut yang meliputi kepuasan dengan produk, kepuasan margin dan kepuasan hubungan dengan wiraniaga (upline). Dalam penelitian ini faktor yang membentuk komitmen bisnis tersebut diidentifikasi kembali dalam variabel kepuasan dengan produk dan kepuasan hubungan bisnis dengan mitra atau upline sebagai variabel penduga dari komitmen bisnis IBO.

2.2.3. Penjualan Adaptif

  Adaptive selling merupakan kemampuan mengadaptasikan atau mengubah

  perilaku secara efektif saat berinteraksi dengan pembeli sesuai dengan tuntutan situasi penjualan yang meliputi bentuk pertemuan dan karakteristik pembeli yang dihadapi saat itu.

  Tenaga penjualan yang lebih berpengalaman diharapkan memiliki basis pengetahuan dan pemahaman yang lebih banyak mengenai situasi menjual dan mempunyai kemampuan untuk mengerahkan ketrampilan-ketrampilan sesuai dengan tugas-tugas penjualan. Jadi ada tekanan bagi tenaga penjualan yang berpengalaman untuk dianggap dapat menggunakan ketrampilan menjual. Aspek penting dari penjualan adalah pencapaian mereka pada tujuan-tujuan kinerja, sehingga tenaga penjualan yang berpengalaman lebih potensial untuk merasa malu jika dianggap tidak mampu. Dengan demikian akan meningkatkan orientasi kinerja mereka.

  Selain lima pendekatan personal selling yaitu stimulus response selling,

  

mental state selling, need satisfaction selling, problem solving selling dan

consultative selling seorang wiraniaga yang baik harus menguasai konsep adaptive

  

selling . Konsep ini sangat penting karena seorang wiraniaga biasanya harus

  menghadapi konsumen dengan kepribadian, gaya komunikasi, kebutuhan, motivasi dan tujuan berbeda-beda.

  Weitz et al dalam Pujiastuti (2006:17) mendefinisikan penjualan adaptif sebagai upaya untuk merubah perilaku penjualan selama ataupun setelah terjadinya interaksi dengan pelanggan yang didasarkan pada informasi yang diterima mengenai situasi penjualan.

  Menurut Vink and Verbeke (1993:21) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perilaku adaptif penjualan dikaitkan dengan karakteristik organisasi.

  Dikembangkan pendekatan pemrosesan informasi khusus, mereka tertarik pada hubungan kausal antara karakteristik organisasi, orientasi intrinsik, ekstrinsik, gaya atribusi, dan motivasi tenaga penjual untuk bekerja lebih keras atau lebih pintar

  Spiro and Weitz (1990:63) melakukan penelitian mengenai konseptualisasi penjualan adaptif dan pengukurannya untuk mengetahui lebih lanjut dimensionalisasi dari variabel penjualan adaptif serta menguji hubungan penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh positif dari penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Menurut Boorom et al., dalam Wicaksono (2006:20) penjualan adaptif adalah kemampuan penjual untuk membuat dan memodifikasi pesan-pesan melalui komunikasi interaktif dengan pelanggan.

  Dalam mengembangkan pengukuran mengenai pelaksanaan aktivitas penjualan adaptif. Spiro and Weitz (1990:67) dalam penelitiannya mengusulkan predisposisi dalam enam aspek dilihat dari sudut pandang tenaga penjual

  1. Mengenali bahwa pendekatan penjualan yang berbeda diperlukan untuk situasi penjualan yang berbeda

  2. Percaya diri terhadap kemampuannya untuk menggunakan teknik pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi tertentu

  3. Percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengubah pendekatan penjualan yang dilakukannya selama interaksi dengan pelanggan

  4. Memiliki pengetahuan dalam mengenali situasi penjualan yang berbeda dan menetapkan strategi penjualan yang tepat untuk masing – masing situasi tersebut

  5. Memiliki sekumpulan informasi mengenai situasi penjualan sebagai masukan dalam melakukan penjualan adaptif

  6. Melakukan aktivitas dengan menerapkan pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi penjualan yang berbeda Tenaga penjualan yang sukses adalah mereka yang dapat mengadaptasikan gaya komunikasinya secara tepat dalam interaksi dengan pelanggan, sehingga seorang penjual harus mengenali dan menyesuaikan gaya komunikasi yang berbeda pada setiap pelanggan (Spiro and Fine dalam Wicaksono, 2006:20). Sehingga

  (Wicaksono, 2006:20) berpendapat bahwa tenaga penjualan yang dapat mengadaptasikan gaya mereka sesuai dengan situasi akan mempunyai keuntungan yang stratejik melebihi mereka yang tidak dapat menyesuaikan gaya komunikasinya.

  Robinson et al., (2002:117) dalam penelitiannya menemukan bahwa skala pengukuran penjualan adaptif dapat diringkas menjadi 4 yaitu:

  1. Percaya diri terhadap kemampuannya untuk menggunakan variasi dari pendekatan penjualan yang berbeda

  2. Percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengubah pendekatan penjualan selama berinteraksi dengan pelanggan

  3. Melakukan aktivitas dengan menerapkan pendekatan penjualan yang berbeda dalam situasi penjualan yang berbeda

  4. Memiliki sekumpulan informasi tentang situasi penjualan untuk membantu adaptasi Menurut Boorom et al., dalam Wicaksono (2006:23) praktek aktual dari penjualan adaptif juga ditentukan oleh jenis latihan yang diterima dalam metode presentasi, peragaman produk yang tersedia, pengetahuan produk dan perilaku pelanggan, nilai ekonomi relatif dari suatu transaksi, dan pengeluaran personal untuk waktu dan upaya yang dibutuhkan guna memperoleh informasi.

2.2.4. Orientasi Smart-Working Dalam berbisnis, pelanggan adalah salah satu aset yang sangat menentukan.

  Tanpa adanya pelanggan, sebuah usaha atau bisnis tidak dapat berkembang dengan baik.

  Menurut Afram (2012:51) ada tujuh faktor yang harus dilakukan untuk mengambil hati para pelanggan:

  1. Mengetahui keinginan pelanggan 2.

  Mengetahui pola pikir dan kebiasaan pelanggan 3. Mengetahui alasan konsumen membeli 4. Mengenal konsumen lebih dekat Membuat konsumen merasa nyaman 6. Menggunakan trik yang dapat menarik perhatian konsumen 7. Membuat konsumen merasa beruntung

  Lebih lanjut Afram (2012:182) menyatakan bahwa pada dasarnya menjadi seorang penjual tidak hanya membuat barang dagangan laku saja, namun juga berusaha memperkenalkan barang dagangan kepada para pelanggan, membuat mereka ingin tahu, tertarik dan kemudian ingin memilikinya.

  Disamping itu Afram (2012:182) juga menyatakan bahwa ada delapan cara yang bisa dilakukan untuk menjadi seorang penjual yang sukses:

  1. Pandai membuat first impression Untuk mengambil hati para konsumen, buatlah mereka merasa senang dengan sambutan yang akan anda berikan. Setidaknya, penjual harus bisa memberikan 3S+1A (senyum, salam, sapa dan antusias) pada setiap pelanggan yang datang kepada penjual.

  2. Memiliki cita-cita yang tinggi Seorang penjual yang sukses harus memiliki cita-cita yang tinggi. Cita- cita tersebut akan selalu mendorong semangat penjual dalam kondisi penjualan yang pasang maupun surut 3. Menjadi teman para pelanggan

  Salah satu strategi pemasaran yang wajib dilakukan penjual adalah menjadikan setiap konsumen tidak hanya sebagai raja, melainkan juga sebagai teman penjual. Memiliki integritas

  Seorang penjual yang baik harus mampu membuat para pelanggan percaya dan menumbuhkan hubungan dengan konsumen. Hubungan dengan konsumen akan memberikan pengaruh positif bagi kelangsungan bisnis penjualan.

  5. Memiliki kreativitas Penjual harus mampu melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda dan menarik sehingga pelanggan akan tertarik dan kemudian membeli produk yang ditawarkan.

  6. Memiliki komitmen Seorang penjual harus berkomitmen kuat dalam bisnis penjualannya.

  Komitmen yang kuat akan mendorong seorang penjual untuk lebih giat mencapai cita-citanya.

7. Memiliki keuletan

  Seorang penjual yang sukses juga harus memiliki keuletan, keuletan sangat berperan dalam penjualan. Tanpa sebuah keuletan seorang penjual tidak akan dapat bertahan lama dalam bisnis penjualannya 8. Memiliki keinginan untuk terus belajar

  Seorang penjual harus memiliki keinginan untuk terus belajar. Belajar dari siapa saja untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam penjualan, agar selalu dapat mengikuti perkembangan zaman yang selalu melahirkan penjual-penjual yang lebih hebat.

  Menurut Raynalldi dan Hamsal (2008:46) penguasaan pengetahuan tentang 1.

  Mempertebal rasa percaya diri 2. Mampu menangani konsumen secara lebih arif 3. Dapat menghindari kesan presentasi penjualan yang terlalu mekanis 4. Merangsang tenaga penjual lebih menyukai pekerjaannya 5. Membuka kesempatan meniti jenjang karier yang lebih tinggi.

  Implementasi working smart dibutuhkan di dalam situasi pekerjaan yang berbeda. Hal tersebut, bermakna karyawan yang sangat trampil mungkin ataupun tidak menjalankan aktivitas penjualan secara efektif, tergantung pada pengetahuan yang dimiliki seorang karyawan. Sebagai contoh, tanpa pengetahuan, bahkan karyawan yang sangat terampil sekalipun mungkin akan mengalami kinerja yang buruk. Itulah sebabnya mengapa, kriteria yang digunakan memisahkan karyawan yang berpretasi dengan mereka yang tidak, yaitu mereka dibedakan melalui kriteria yaitu karyawan yang tidak memiliki pengetahuan untuk mengelola working

  

smart, dengan mereka yang memiliki pengetahuan yang trampil. Hasilnya melalui

  karyawan dengan kategori yang memiliki pengetahuanlah yang selalu lebih unggul khususnya ketika mereka berhadapan dengan tugas mereka (Rentz et Al dalam Wahyuni 2010:2).

  Sujan et al., dalam Susilowati (2008:4) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa smart working and hard working akan menghasilkan kinerja penjualan, ditambahkan bahwa dalam smart working praktek dalam penjualan yang beradaptasi secara baik berhubungan dengan kinerja penjualan.

  Weitz and Sujan dalam Sunarso (2007:14) menyatakan bahwa salah satu penjual cerdas dalam bekerja ketika melakukan interaksi dengan konsumen, karena bagaimanapun tenaga penjual merupakan pihak yang melakukan kontak langsung dengan konsumen.

  Menurut Sasongko (2008:12) orientasi pola bekerja cerdas, akan menciptakan efektivitas yang diharapkan, dimana hal tersebut ditandai dengan meningkatnya kinerja tenaga penjualan seiring meningkatnya penerimaan penjualan. Temuan penting akan konsep orientasi pola bekerja cerdas (working smart), pada studi Sujan

  

et al ., dalam Sasongko (2008:12) yaitu dengan mendefinisikan bekerja cerdas sebagai

  manifestasi 1. pelaksanaan dalam perencanaan untuk menentukan kesesuaian perilaku dan aktivitas penjualan,

  2. pemilikan kepercayaan dan kapasitas untuk terlibat dalam berbagai perilaku dan aktivitas penjualan, dan

  3. pengubahan perilaku dan aktivitas penjualan berdasar pertimbangan situasional.

  Oleh sebab itu, variabel orientasi pola bekerja cerdas (working smart) merupakan tujuan dari implementasi sebuah strategi yang tepat dan terarah, dimana dalam hal ini adalah keahlian tenaga penjualan dalam aktivitas penjualan dirumuskan sebagai arah dari sebuah strategi penjualan dan variabel orientasi pembelajaran dan orientasi pengawas sebagai pilihan strategi yang tepat.

2.2.5. Kepuasan Hubungan Kerja

  Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja. Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang karyawan, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan. Pada MLM seorang

  

upline sangat berperan dalam berkembang jaringan yang dibentuknnya. Seorang

upline harus menciptakan hubungan bisnis yang nyaman bagi para dowline dan selalu

  menjaga situasi kerja yang kondusif sehingga dowline dapat lebih baik dalam berkinerja dan juga lebih baik dalam memperluas jaringan yang baru.

  Menurut Handoko (2000:193) Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagaimana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.

  Hackman dan Oldham menguraikan yang dikutip Robbin (2006:447), inti dari pekerjaan adalah sebagai berikut :

  1. Skill Varienty Semakin banyak variasi tugas yang dilakukan oleh pegawai dalam pekerjaannya, semakin menantang pekerjaan bagi mereka.

  2. Task Identity Sejauh mana pekerjaan menuntut diselesaikannya suatu pekerjaan yang utuh dan dapat dikenali.

  3. Task Significane Sejauh apa dampak pekerjaan yang dilakukan dapat mempengaruhi pekerjaan atau bahkan kehidupan orang lain. Hal ini akan membawa dampak penghargaan psikologis.

  4. Autonomy Sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan , ketidakketergantungan, dan keleluasaan untuk mengatur jadwal pekerjaannya, membuat keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan yang dipakai.

  5. Feedback

  Sejauh mana pelaksanaan kegiatan pekerjaan menghasilkan informasi bagi individu mengenai keefektifan kinerjanya. Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh tanggapan terhadap nilai intrinsic dan extrinsic reward. Yang dimaksud dengan nilai

  

intrinsic reward yaitu timbulnya suatu perasaan dalam diri pegawai karena pekerjaan

  yang dilakukan. Yang termasuk dalam extrinsic reward adalah perasaan suka akan pekerjaannya, rasa tanggung jawab, tantangan dan pengakuan. Extrinsic reward adalah situasi yang terjadi diluar pekerjaan, misalnya karena bekerja dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan, maka pegawai mendapatkan upah, gaji, dan bonus.

  Teori - teori Kepuasan Kerja

  Teori kepuasan kerja akan dikemukakan enam orientasi umum terhadap kepuasan kerja, yang kesemuanya mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja serta menggambarkan proses yang menentukan kepuasan kerja bagi individu.

  1. Teori Ketidaksesuaian Kepuasan atau ketidakpuasan dengan aspek pekerjaan tergantung pada selisih

  (discrepancy) antara apa yang dianggap telah didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yang “diinginkan” dari karakteristik pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anda. Seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara kondisi-kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan, semakin besar ketidakpuasannya, Jika lebih banyak jumlah faktor pekerjaan yang diterima secara minimal dan kelebihannya menguntungkan (misalnya : upah ekstra, jam kerja yang lebih lama) orang yang bersangkutan akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang diinginkan.

  2. Teori Keadilan (Equity Theory).

  Teori keadilan memerinci kondisi-kondisi yang mendasari seorang bekerja akan menganggap fair dan masuk akal insentif dan keuntungan dalam pekerjannya.

  Teori ini telah dikembangkan oleh Adam dan teori ini merupakan variasi dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah “input”, “hasil”, “orang bandingan” dan “keadilan dan ketidak adilan‟. Input adalah sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti : pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan atau perlengkapan pribadi yang dipergunakan untuk pekerjaannya. Hasil adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang pekerja yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti : upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.

  Menurut teori ini, seorang menilai fair hasilnya dengan membandingkan hasilnya : rasio input-nya dengan hasil : rasio input seseorang/sejumlah orang bandingan. Orang bandingan mungkin saja dari orang-orang dalam organisasi maupun organisasi lain dan bahkan dengan dirinya sendiri dengan pekerjaan- pekerjaan pendahulunya. Teori ini tidak memerinci bagaimana seorang memilih orang bandingan atau berapa banyak orang bandingan yang akan digunakan. Jika rasio hasil input seorang pekerja adalah sama atau sebanding dengan rasio orang bandingannya, maka suatu keadaan adil dianggap ada oleh para pekerja. Jika para pekerja menganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan ketidakadilan dianggap adil.

  3. Teori Dua Faktor Teori ini diperkenalkan oleh Herzberg dalam tahun 1959, berdasarkan atas penelitian yang dilakukan terhadap 250 responden pada sembilan buah perusahaan di

  Pittsburg. Dalam penelitian tersebut Herzberg ingin menguji hubungan kepuasan dengan produktivitas.

  Herzberg mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfie atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan fakor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain: a. Prestasi yang diraih (achievement),

  b. Pengakuan orang lain (recognition),

  c. Tanggungjawab (responsibility), d. Peluang untuk maju (advancement),

  e. Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self),

  f. Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth)

  4. Teori Keseimbangan (Equity Theory) Teori ini dikembangkan oleh Adam pada tahun I960 menyebutkan beberapa komponen yaitu input, outcome, comparison person, dan equity-in-equity. Pandangan

  Wexley dan Yukl pada tahun 1977, mengemukakan beberapa komponen dari teori keseimbangan di antaranya yaitu (Mangkunegara, 2001:120),: a. Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, misalnya pendidikan. pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja.

  b. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai, misalnya upah, keuntungan tumbahan. status simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri.

  c. Comparison person adalah seorang pegawai dalam organisasi yang sama seseorang pegawai dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya.

  d. Equity-in-equity adalah teori yang menyatakan seorang pegawai dalam organisasi merasa puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara

  

input-outcome dirinya dengan perbandingan input outcome pegawai lain (comparison

  

person ). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka pegawai

  tersebut akan merasa puas, Tetapi, apabila terjadi tidak seimbang (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu over compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan dirinya) dan sebaliknya under

  

compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan pegawai lain yang

menjadi pembanding atau comparison person).

  5. Teori Pemenuhan Kebutuhan Pandangan Mangkunegara (2001:121) menjelaskan bahwa teori kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai. Oleh karena itu, seorang pegawai akan merasa puas apabila pegawai mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, maka pegawai itu akan merasa tidak puas.

  6. Teori Pandangan Kelompok Sosial Mangkunegara (2001:121) menyatakan bahwa teori kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Pada hakikatnya, teori pandangan kelompok sosial atau acuan tersebut oleh pegawai dijadikan tolok ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi. pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan.

2.2.6. Kreativitas Strategi Pemasaran

  Kreativitas merupakan sebuah proses pemikiran intelektual yang membutuhkan sebuah kesepakatan hebat atas usaha-usaha kognitif (Shalley dalam Widodo, 2008:155). ketika menguji bagimana dampak kreativitas atas perusahaan dari sebuah perspektif pemasaran, paling tidak peneliti dapat membuktikan bermanfaat untuk mengidentifikasikan lingkup minat pada hubungan kreativitas/bisnis yang berpengaruh langsung pada kinerja pemasaran dan kesuksesan bisnis secara keseluruhan.

  Semua inovasi berasal dari ide kreatif. Keberhasilan strategi pemasaran, pengenalan produk baru antar lain pelayanan jasa yang baru tergantung pada seseorang atau tim yang mempunyai ide cemerlang dan mampu mengembangkan dalam bentuk rencana-rencana dan strategi yang jelas yang bermula dari pendekatan psikologis kreativitas tradisional yang memfokuskan pada karakteristik kreativitas seseorang (Khamidah, 2004:16).

  Pengujian terhadap pengaruh kreativitas dengan melihat pada efek faktor kontekstual pada kretivitas individu dianggap penting karena kreativitas merupakan langkah kritis dalam proses inovasi, yang menjamin bahwa faktor lingkungan dapat meningkatkan atau menahan kreativitas individu (Shalley dalam Widodo 2008:156).

  Bila lingkungan dan distruktur untuk mendukung kreativitas perilaku yang kreatif boleh jadi berkontribusi terhadap produktivitas jangka panjang dan keinovatifan organisasi.

  Kreativitas organisasi merupakan kreasi sebagai nilai, produk baru yang bermanfaaat, pelayanan, ide, prosedur, atau proses yang dilakukan oleh individu yang bekerja sama dalam sistem sosial yang rumit. Perilaku kreatif individu akan didefenisikan sebagai pengembangan solusi berhubungan dengan pekerjaan (job) dimana diputuskan sebagai pembaruan dan kesesuaian dengan situasi (Shalley dalam Widodo 2008:159). Penelitian (Woodman et all dalam Widodo 2008:159) memberikan konsep dimana karakteristik individu akan mendukung perilaku yang kreatif dan pada akhirnya bermuara pada kreativitas organisasi. Sejalan dengan Widodo (2008:169) menyatakan bahwa semakin baik kinerja individu dan team maka akan berdampak positif terhadap kreativitas strategi.

  Bentuk asli dari pemasaran langsung adalah kunjungan penjualan lapangan. Sekarang ini kebanyakan perusahaan industri sangat mengandalkan penjual profesional untuk melaksanakan tugas penjualan langsung. Selain itu, banyak perusahaan konsumen menggunakan tenaga penjualan langsung (Wibowo, 2009:39).

  Menurut Mondy (2008:257) penilaian kinerja (performance appraisal) adalah sistem formal untuk menilai dan mengevaluasi kinerja tugas individu atau tim.

  Penilaian kinerja merupakan faktor penting untuk suksesnya manajemen kinerja. Meskipun penilaian kinerja hanyalan salah satu unsur manajemen kinerja, sistem tersebut penting karena mencerminkan secara langsung rencana strategi organisasi.

  Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2012:9) menyatakan kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.

  Menurut Mathis and Jackson (2009:34) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana individu yang ada bekerja:

1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, 2.

  Tingkat usaha yang dicurahkan, 3. Dukungan organisasi.

  Standar kinerja adalah elemen penting dalam sebuah proses review terhadap kinerja dari pegawai. Standar kinerja menjelaskan bahwa apa yang diharapkan oleh atasan dari para pekerja sehingga harus dipahami oleh pekerja. Menurut Wibowo (2012:73) terdapat dua maksud diperlukannya standar kinerja: 1.

  Membimbing perilaku pekerja untuk menyelesaikan standar yang telah dibangun.

  Apabila manajer menciptakan standar kinerja pekerja dengan pekerja dan memperjelas apa yang diharapkan, hal tersebut akan merupakan latihan yang berharga. Hal ini karena orang menginginkan melakukan pekerjaan yang dapat diterima.

  2. Untuk standar kinerja adalah menyediakan dasar bagi kinerja pekerja dapat dinilai secara efektif dan jujur

  Sampai standar kinerja dibuat, penilaian sering bias terhadap perasaan dan evaluasi subjektif. Tanpa memandang pendekatan dan bentuk yang digunakan dalam program review kinerja dan penilaian, proses klasifikasi dari apa yang diharapkan merupakan hal yang penting jika program berjalan efektif. Standar kinerja merupakan cara terbaik untuk melakukannya. Menurut Wibowo (2012:229) pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara:

  1. Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi,

  2. Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbadingan, 3.

  Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja, 4. Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu prioritas perhatian,

  5. Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas, 6.

  Mempertimbangkan penggunaan sumber daya, 7. Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.

  Studi Spiro dan Weitz (1990:67) dalam penelitiannya menyatakan pengukuran kinerja tenaga penjualan merupakan penjabaran keberhasilan atas indikator-indikator prestasi kerja yang sesungguhnya dicapai oleh seorang tenaga penjualan atau organisasi karena melaksanakan aktivitas dan tanggung-jawab dengan baik. Lebih lanjut memandang kinerja tenaga penjualan dipandang sebagai akibat dari keberhasilan dalam mengimplementasikan strategi–strategi tertentu. Bagi tenaga penjualan pencapaian kinerja adalah sebuah bukti atas keberhasilan mereka dalam melakukan aktivitas penjualan khususnya mengelola pelanggan secara cerdas dan agresif.

  Challagalla dan Shervani dalam Wicaksono (2006:31) mengartikan kinerja adalah suatu tingkat dimana tenaga penjual dapat mencapai target yang telah dibebankan kepada dirinya. Kinerja tenaga penjualan adalah suatu tingkat dimana tenaga penjualan dapat melakukan tugas ataupun pekerjaaanya dengan baik dan bertanggung jawab secara efektif. Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa kegiatan bisnis IBO adalah berwiraniaga, berdagang, atau melakukan penjualan, maka yang menjadi tujuan baginya dalam interaksi bisnis tersebut adalah tercapainya suatu kinerja yang diinginkan atau memperoleh profitabilitas.

  Studi Challagalla dan Shervani dalam Noordin (2007:4) menyatakan bahwa kinerja tenaga penjualan merupakan suatu tingkatan dimana tenaga penjualan dapat mencapai target penjualan yang ditetapkan pada dirinya. Kinerja sebagai sebuah konstruk mungkin akan lebih penting dalam konteks penjualan, kinerja tenaga penjualan sering berakibat langsung pada pendapatan perusahaan. Ukuran kinerja memainkan peran kunci dalam memantau apakah tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek organisasi sesuai dengan aspirasi yang diinginkan.

2.3. Kerangka Konseptual

  Menurut Anderson dan Weitz (1992:64) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai suatu keinginan dari kegiatan untuk membangun hubungan yang stabil dengan kesungguhan untuk memberi pengorbanan guna menjaga atau mempertahankan hubungan tersebut. Harapan akan kelangsungan hubungan, kesungguhan untuk berinvestasi, kesediaan melakukan pengorbanan guna memperoleh keuntungan jangka panjang merupakan indikasi yang sangat penting untuk dibangun dalam suatu komitmen kerja sama.

  Spiro and Weitz (1990:63) melakukan penelitian mengenai konseptualisasi penjualan adaptif dan pengukurannya untuk mengetahui lebih lanjut dimensionalisasi dari variabel penjualan adaptif serta menguji hubungan penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh positif dari penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Menurut Boorom et al., dalam Wicaksono (2006:20) penjualan adaptif adalah kemampuan penjual untuk membuat dan memodifikasi pesan-pesan melalui komunikasi interaktif dengan pelanggan.

  Sebagian besar kinerja penjualan bersumber pada kemampuan penjual untuk membuat dan memodifikasi pesan-pesan melalui komunikasi interaktif dengan pelanggan.( Boorom et Al., dalam Wicaksono, 2006:8). komunikasi yang baik sangat membantu IBO dalam memasarkan produknya kepada konsumen. Kemampuan seorang IBO dalam berkomunikasi kepada pelanggan akan berdampak kepada kinerjanya dalam melakukan penjualan.

  Menurut Afram (2012:182) pada dasarnya menjadi seorang penjual tidak hanya membuat barang dagangan laku saja, namun juga berusaha memperkenalkan barang dagangan kepada para pelanggan, membuat mereka ingin tahu, tertarik dan kemudian ingin memilikinya.

  Implementasi working smart dibutuhkan di dalam situasi pekerjaan yang berbeda. Hal tersebut, bermakna karyawan yang sangat trampil mungkin ataupun tidak menjalankan aktivitas penjualan secara efektif, tergantung pada pengetahuan yang dimiliki seorang karyawan. Weitz and Sujan dalam Sunarso (2007:14) menyatakan bahwa salah satu faktor kunci meningkatkan kinerja tenaga penjual adalah dengan membuat tenaga penjual cerdas dalam bekerja ketika melakukan yang melakukan kontak langsung dengan konsumen.

  Menurut Cue dan Gianakis dalam Eviyanti (2001:9) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hal penting dalam teori dan praktek karena mempengaruhi kapasitas kerja agar menghasilkan kinerja yang efisien dan dapat memenuhi pekerjaan dengan sukses.

  Penelitian (Woodman et all dalam Widodo 2008:159) memberikan konsep dimana karakteristik individu akan mendukung perilaku yang kreatif dan pada akhirnya bermuara pada kreativitas organisasi. Sejalan dengan Widodo (2008:169) menyatakan bahwa semakin baik kinerja individu dan team maka akan berdampak positif terhadap kreativitas strategi.

  Berkaitan dengan variabel-variabel yang ditetapkan untuk mengidentifikasi kinerja bisnis IBO, maka kerangka pemikiran teoretis yang telah dibangun dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  Komitmen Organisasional Penjualan adaptif

  Kinerja Bisnis Kreativitas Strategi

  IBO Pemasaran Orientasi Smart- Working Kepuasan hubungan kerja

Gambar 2.4. Kerangka Konseptual

2.4. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, didasarkan pada tinjauan kepustakaan dan kerangka konseptual yang telah dikembangkan di atas adalah sebagai berikut: Hipotesis 1 : Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kreativitas strategi pemasaran.

  Hipotesis 2 : Perilaku penjualan adaptif berpengaruh positif terhadap kreativitas strategi pemasaran.

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Pengelolaan Sampah dan Partisipasi Pedagang Dalam Menjaga Kebersihan Lingkungan di Pasar Terapung Kec. Tembilahan Kota Kab. Indragiri Hilir Riau Tahun 2015

0 0 14

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pendukung Keputusan - Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Mata Pelajaran Lintas Minat kurikulum 2013 Menggunakan Algoritma Weighted Product dan Analytical Hierarchy Process

0 0 16

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kecerdasan Buatan - Sistem Pakar untuk Mendiagnosis Penyakit Sinusitis Menggunakan Algoritma Certainty Factor dan Forward Chaining

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Dukungan Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Spiritual Pasien Stroke di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 22

Aplikasi Terapi Murottal Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Pre Operasi Fraktur Dengan Kecemasan di Ruang Rindu B3 RSUP.HAM Medan

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Konsumen Membeli Koran Sindo pada PT. Media Nusantara Informasi Biro Medan

0 0 28

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1. Pengkajian Keperawatan - Aplikasi Teknik Relaksasi Otot Progresif untuk Mengatasi Masalah Nutrisi dalam Asuhan Keperawatan Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di Rindu B2A RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara 2.1.1 Pengertian Kanker Payudara - Aplikasi Teknik Relaksasi Otot Progresif untuk Mengatasi Masalah Nutrisi dalam Asuhan Keperawatan Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di Rindu B2A RSUP Haji Adam M

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Aplikasi Teknik Relaksasi Otot Progresif untuk Mengatasi Masalah Nutrisi dalam Asuhan Keperawatan Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di Rindu B2A RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 9

Pengaruh Komitmen Organisasional, Penjualan Adaptif , Orientasi Smart-Working Dan Kepuasan Hubungan Kerja Terhadap Kreativitas Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Kinerja Bisnis IBO Dalam Multi Level Marketing PT Oriflame Indonesia Di Medan

0 0 47