Ruang Fungsi dan Waktu dalam Syair Tanah (1)
Ruang, Fungsi, dan Waktu dalam Syair Tanah Lahir
Zulfa Wikarya Nasrulloh*
Berbicara manusia, saya selalu berkeinginan mengetahui manusia dari segala sudut pandang.
Dari hal terkecil yang membentuk manusia secara biologis, sampai faktor psikologis di dalam
tubuhnya untuk merespon faktor sosiologis yang menekannya secara eksistensial. Manusia
sebagai organisme dalam tatanan struktur personal, sampai manusia sebagai organisme dalam
tatanan ekosistemnya.
Organisme merupakan makhluk hidup yang tersusun dari sel-sel. Sel merupakan struktur terkecil
dari konstruksi tubuhnya yang bersifat fungsional. Setiap sel memiliki fungsi tertentu yang
secara sadar melakukan regenerasi sel demi menjaga eksistensi dirinya. Regenerasi tersebut
dinamakan senesance. Selain itu secara sadar sel-sel tersebut merencanakan kematiannya,
berhenti beregenerasi, atau gejala ini biasa disebut apoptosis.
Seekor katak terlahir sebagai kecebong dengan ekor dan insang di tubuhnya. Sel-sel yang
membentuk ekor dan insang itu adalah respon kerjasama sel-sel didalam tubuh katak untuk
merespon ruang (air) agar ia bisa tetap bertahan di dalamnya. Ketika ruang berubah materi, yakni
dari air ke darat, respon sel-sel itu pun mengalami perubahan. Senecance katak merubah dirinya
dari keadaan berekor dan berinsang menjadi organisme berkaki panjang dan memiliki paru-paru.
Demikianlah katak merespon ruang dalam struktur fisiknya.
Jelas ada persinggungan hebat antara ruang dan fungsi dalam kaitannya eksistensi makhluk
hidup. Lantas bagaimana dengan Rudy Ramdani (RR) dalam merespon dan memaknai ruang dan
fungsi di dalam puisinya?
Pertanyaan di atas lahir dari salah satu puisi dalam kumpulan puisi Syair Tanah Lahir (Penerbit
Asasupi: 2013). Puisi tersebut berjudul Demi Waktu (2005) yang menurut Lukman Asya
(Sastrawan yang memberi pengantar buku) merupakan puncak keheningan RR yang didukung
penghayatan tematik yang kuat.
Sedangkan saya menemui puisi itu dan melihat kecenderungan yang berbeda dalam memahami
ruang. Dari tiga sub bab di dalam buku tersebut (Syair, Tanah, dan Lahir) puisi tersebut berada di
sub bab Lahir. Ada upaya senecance pada waktu melalui makna ruang dan fungsi di dalam
narasinya. Seorang penyair tentu memiliki pilihan dalam memperlakukan tema apapun, termasuk
waktu.
Ruang
Saya membaca ruang di tangan RR bukan hanya sebagai teritorial atau denotasi struktur ruang,
tetapi sebuah konotasi perpanjangan diri (extension of life) RR dalam menghadapi tema-tema
tertentu. Ruang bukan hanya batas dan place yang memengaruhi objek di dalamnya, tetapi ruang
dalam perspektif RR adalah hasil dari citraan diri yang menciptakan makna atau fungsi tertentu.
Hal ini menjadikan ruang bukan hanya mendorong aku lirik menyesuaikan diri agar berfungsi
dan hidup (existential), tetapi menjadikan fungsi diri sebagai pencipta ruang yang diinginkan
(personal impresif).
Di dalam puisi Demi Waktu, ruang merupakan sebuah existential place sekaligus personal
impresif. Waktu sebagai tema dalam puisi ini menempati bentuk denotatifnya dalam imaji jam.
Jam yang dimasuki sepasang manusia hingga terjadi pembenturan fungsi secara struktur. Pada
persinggungan itu, manusia di dalamnya melawan struktur jam dan menempatkannya sebagai
ruang baru.
Jam sebagai struktur memiliki batas-batas pemaknaan yang membentuk konotasi sosial
(pemaknaan atas ruang). Yakni sebuah benda yang dengan angka dan jarum di dalamnya
menandai waktu, menyeret manusia pada perubahan dirinya. Jam sebagai imaji waktu
merupakan ruang yang menciptakan fungsi bagi aku lirik yang masuk ke dalamnya. RR
memaknai waktu sebagai sebuah ruang yang siapapun dapat masuk dan eksis di dalamnya tanpa
perlu permisi pada siapapun. Konotasi sosial jam (waktu) tidak bermilik sehingga aku lirik dapat
menerobos struktur jam begitu saja.
tanpa salam,
kita pun masuk ke dalam jam
menghantam kaca dan angka, tapi
jarum itu tetap berdetak, bertalu-talu menghantam kita
Jam di dalam sajak ini tidak kehilangan normanya. Detak jam masih merupakan penanda
berjalannya waktu, dimana aku lirik yang masuk ke dalamnya mendapatkan impresi dari norma
tersebut. Jadi waktu merupakan sebuah ruang yang terbuka sekaligus mengancam. Dikehendaki
manusia untuk dimasuki sekaligus terdapat kesadaran untuk dikendalikan waktu. Semisal
seseorang yang tercitrakan melalui diksi “mu” yang tentu merupakan pecahan dari “kita” yang
menemani aku lirik di dalam ruang waktu tersebut.
kau pun dibuatnya oleng ke arah senja, lalu matamu
yang kulihat kini berkaca-kaca
mencoba membaca cahaya
mengeja jingga yang luntur diam-diam
ke legam matamu yang kian malam
“pada siapa kekasihmu kini?”
Nampak sekali posisi aku lirik menyaksikan realitas di dalam jam tersebut merupakan
“kepanjangan diri”nya (extension of self) yang terimajikan secara visual. Ia menyaksikan
seseorang menghadapi waktu, menghadapi impresi ruang yang membuat ia menafsir cahaya
jingga yang luntur diam-diam ke legam matamu yang kian malam sebagai usia atau dampak
norma waktu yang mengancam tokoh “mu”.
“pada siapa kekasihmu kini?” pertanyaan itu menciptakan proyeksi hubungan di antara mereka.
Ruang sebagai space konotasi sosial yang bertingkat yang ditentukan oleh respon materi di
dalam ruang tersebut. Ini kaitannya dengan makna fungsi itu sendiri. Biasanya di dalam sebuah
kebudayaan kita membedakan ruang sebagai ruang publik, ruang privat, dan ruang suci (Danesi
dan Peron 1999:194-198) yang tentu menempati fungsi dan respon yang berbeda. Misalnya
seseorang tentu dapat memasuki pasar dengan seenaknya tanpa perlu ijin seperti ketika
memasuki kamar seseorang. Percakapan di dalam ruang itu pun tentu berbeda. Semakin terbatas
akses pada suatu ruang, maka semakin terbuka pula ketabuan wacana yang dibincangkan. Dari
pertanyaan di dalam puisi tersebut, nampak bahwa jam merupakan sebuah ruang privat.
Dampak dari hal di atas adalah sebuah norma baru yang memungkinkan apapun dapat
diungkapkan secara verbal. Pemaknaan ruang di dalam puisi tersebut membuat aku lirik
menetapkan relasi antara dirinya dan dunia diluar dirinya. Di dalam ilmu semiotik, hal ini disebut
prosemik (proxemics). Prosemik merupakan sistem tanda yang memberikan makna terhadap
relasi antara Ego (titik labuh) dan sekitarnya.
Titik labuh (anchor) aku lirik di dalam sajak itu adalah relasi dirinya dengan tokoh “mu” dan
ruang waktu dalam imaji jam. Hingga kita dapat melihat respon aku lirik pada ruang tersebut. Ini
nampak pada imaji berikut.
jarum itu tetap berdetak, berdegup bagi jantungku
berulang-ulang dan lamban saja, rasanya
di sini, aku semakin yakin jika tiap suara adalah usia
sekerjap nyawa di perjalanan, tak henti menanti henti
dengan segala kegaduhan itu, kusaksikan kerentaan
terus menarik tubuhku semakin dalam ke dalam
malam, membenamkanku pada kegelapan
pada piatu cahaya yang sabar lagi tegar
Ikon cahaya dan suara di dalam imaji di atas adalah materi di dalam ruang waktu, atau sebuah
indeks. Suara detak jam bagi aku lirik sama halnya dengan usia. Kegaduhan suara detak jam
berfungsi secara eksistensi untuk memengaruhi cahaya yang semakin lama terus menarik
tubuhku semakin dalam ke dalam malam, membenamkanku pada kegelapan. Imaji demikian
membuat aku lirik merasakan hal yang sama dengan tokoh “mu” yang juga sama-sama
merasakan kehadiran waktu sebagai ancaman.
Lantas apa makna ancaman bagi aku lirik dan tokoh “mu”? Saya menafsirkannya melalui larik
selanjutnya. “ke mana kau yang raib selepas magrib?” aku teriak pertanyaan tersebut jika
disandingkan dengan pertanyaan sebelumnya, “pada siapa kekasihmu kini?” menciptakan
ikonositas pada posisi perasaan aku lirik dan tokoh “mu”. Indeks tentang posisi cahaya dan
waktu di dalam ruang jam tersebut membawa aku lirik dan tokoh “mu” pada perasaan yang
sama, yakni sama-sama kehilangan.
Aku lirik kehilangan tokoh “mu” selepas maghrib. Penanda ini erat kaitannya dengan indeks
waktu dan cahaya yang telah dibangun di larik sebelumnya. Lalu ia pun berteriak ke..
ke segala angka, kepada jeda di antara gerak
yang bertalu-talu, di jantungku
di urat keningku, sedang
bayangmu saja tak terbayang di bayangku
Makna perpisahan di dalam puisi tersebut menempatkan posisi aku lirik dan tokoh “mu” yang
berpisah. Keduanya berada di dimensi yang berbeda secara lahiriah (bentuk dan bayangan di
dalam pikiran aku lirik). Pandangan RR pada persoalan ruang, nampak pada bait puisi di atas.
jeda di antara gerak/yang bertalu-talu di jantungku merupakan seseorang yang mendapatkan
posisi. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan pemaknaan waktu yang mengancam tersebut.
Titik labuh (anchor) imaji awal yang menempatkan mereka pada tempat yang sama yakni sebuah
jam (ruang waktu), menciptakan sebuah entitas makna. Perpisahan yang RR maksudkan
bertumpu pada permasalahan waktu. Waktu adalah sebuah ruang yang secara struktur merupakan
ruang tempat tokoh aku dan “mu” secara biologis berubah atau bergerak menuju renta, usia
adalah angka, dsb.
Kenangan menjadi bagian dari pemaknaan pada ruang tersebut.
jauh di atas kepala, milyaran bintang tampak perak
menyala, sejenak, sempat kuingat sesat
sebelum kita berangkat, kau tatap gugusan cahaya
berwarna sepi, kau yakin di arah sana, tepat
di bawahnya waktu bermukim di dalam jam
tapi semuanya telah berlalu, beberapa lama,
hentak yang terus diciptakan jarum untuk waktu
telah menempatkanku di sebuah subuh
sesuatu ruang begitu rindang, di sekitarnya
udara tampak gembira,
berduyun-duyun menuju daun
menjadi embun, berhimpun begitu rimbun
kemudian, perlahan aku hayati kau sebagai kemarin
terperangkap di sebuah petang, masih bertanya
tentang semua mengenai waktu
lamat-lamat, kudengar detak dadamu menjadi
jarum di dalam jam, tak sanggup
buat diam
Jelas dalam puisi tersebut tercitra latar waktu yang menempatkan aku lirik dan tokoh “mu”
dalam satu peristiwa puitis. Yakni dari sebuah petang sampai subuh. Demikianlah waktu secara
struktur yang saya maksudkan. Lantas kenangan pada ruang-ruang waktu tersebut mau tidak mau
dikonstruksi waktu sebagai ruang struktur yang mengancam aku lirik. Ini terlihat pada larik
tapi semuanya telah berlalu, beberapa lama,
hentak yang terus diciptakan jarum untuk waktu
telah menempatkanku di sebuah subuh
Tapi ruang waktu di dalam puisi ini merupakan sebuah ruang impresif yang diciptakan dari
pembenturan kepanjangan diri (extension of self) aku lirik dengan sebuah jam sebagai sebuah
struktur bagi makna waktu. Tidak heran jika kenangan dan permasalahan di antara aku lirik dan
tokoh “mu” di dalam puisi itu berada di dalam waktu dan menempatkan waktu sebagai subjek
yang juga hadir dan membentuk dirinya.
Waktu menjadi masalah yang dipertanyakan keduanya,
kemudian, perlahan aku hayati kau sebagai kemarin
terperangkap di sebuah petang, masih bertanya
tentang semua mengenai waktu
Waktu menjadi ruang bagi aku lirik untuk mengingat tokoh “mu” yang pernah hilang di suatu
petang.
lamat-lamat, kudengar detak dadamu menjadi
jarum di dalam jam, tak sanggup
buat diam
Pembacaan pada puisi Demi Waktu, membuat saya percaya pada sebuah keniscayaan waktu.
Waktu adalah ruang yang hadir dan membentuk organisme di dalamnya. Waktu menempati
sebuah posisi teritorial yang impersif.
Jika ruang adalah sesuatu yang mendorong aku lirik menyesuaikan diri agar berfungsi
dan hidup (existential) dan menjadikan fungsi diri sebagai pencipta ruang yang diinginkan
(personal impresif). Waktu hanyalah sebuah ruang bagi perpanjangan diri (extension of life)
seseorang, dimana kehadirannya dapat dirasakan dan kadang menjadi ancaman namun tidak
dapat diciptakan atau dikendalikan.
*Pegiat, penikmat, dan pemerhati sastra. BPP ASAS 2014-….
Zulfa Wikarya Nasrulloh*
Berbicara manusia, saya selalu berkeinginan mengetahui manusia dari segala sudut pandang.
Dari hal terkecil yang membentuk manusia secara biologis, sampai faktor psikologis di dalam
tubuhnya untuk merespon faktor sosiologis yang menekannya secara eksistensial. Manusia
sebagai organisme dalam tatanan struktur personal, sampai manusia sebagai organisme dalam
tatanan ekosistemnya.
Organisme merupakan makhluk hidup yang tersusun dari sel-sel. Sel merupakan struktur terkecil
dari konstruksi tubuhnya yang bersifat fungsional. Setiap sel memiliki fungsi tertentu yang
secara sadar melakukan regenerasi sel demi menjaga eksistensi dirinya. Regenerasi tersebut
dinamakan senesance. Selain itu secara sadar sel-sel tersebut merencanakan kematiannya,
berhenti beregenerasi, atau gejala ini biasa disebut apoptosis.
Seekor katak terlahir sebagai kecebong dengan ekor dan insang di tubuhnya. Sel-sel yang
membentuk ekor dan insang itu adalah respon kerjasama sel-sel didalam tubuh katak untuk
merespon ruang (air) agar ia bisa tetap bertahan di dalamnya. Ketika ruang berubah materi, yakni
dari air ke darat, respon sel-sel itu pun mengalami perubahan. Senecance katak merubah dirinya
dari keadaan berekor dan berinsang menjadi organisme berkaki panjang dan memiliki paru-paru.
Demikianlah katak merespon ruang dalam struktur fisiknya.
Jelas ada persinggungan hebat antara ruang dan fungsi dalam kaitannya eksistensi makhluk
hidup. Lantas bagaimana dengan Rudy Ramdani (RR) dalam merespon dan memaknai ruang dan
fungsi di dalam puisinya?
Pertanyaan di atas lahir dari salah satu puisi dalam kumpulan puisi Syair Tanah Lahir (Penerbit
Asasupi: 2013). Puisi tersebut berjudul Demi Waktu (2005) yang menurut Lukman Asya
(Sastrawan yang memberi pengantar buku) merupakan puncak keheningan RR yang didukung
penghayatan tematik yang kuat.
Sedangkan saya menemui puisi itu dan melihat kecenderungan yang berbeda dalam memahami
ruang. Dari tiga sub bab di dalam buku tersebut (Syair, Tanah, dan Lahir) puisi tersebut berada di
sub bab Lahir. Ada upaya senecance pada waktu melalui makna ruang dan fungsi di dalam
narasinya. Seorang penyair tentu memiliki pilihan dalam memperlakukan tema apapun, termasuk
waktu.
Ruang
Saya membaca ruang di tangan RR bukan hanya sebagai teritorial atau denotasi struktur ruang,
tetapi sebuah konotasi perpanjangan diri (extension of life) RR dalam menghadapi tema-tema
tertentu. Ruang bukan hanya batas dan place yang memengaruhi objek di dalamnya, tetapi ruang
dalam perspektif RR adalah hasil dari citraan diri yang menciptakan makna atau fungsi tertentu.
Hal ini menjadikan ruang bukan hanya mendorong aku lirik menyesuaikan diri agar berfungsi
dan hidup (existential), tetapi menjadikan fungsi diri sebagai pencipta ruang yang diinginkan
(personal impresif).
Di dalam puisi Demi Waktu, ruang merupakan sebuah existential place sekaligus personal
impresif. Waktu sebagai tema dalam puisi ini menempati bentuk denotatifnya dalam imaji jam.
Jam yang dimasuki sepasang manusia hingga terjadi pembenturan fungsi secara struktur. Pada
persinggungan itu, manusia di dalamnya melawan struktur jam dan menempatkannya sebagai
ruang baru.
Jam sebagai struktur memiliki batas-batas pemaknaan yang membentuk konotasi sosial
(pemaknaan atas ruang). Yakni sebuah benda yang dengan angka dan jarum di dalamnya
menandai waktu, menyeret manusia pada perubahan dirinya. Jam sebagai imaji waktu
merupakan ruang yang menciptakan fungsi bagi aku lirik yang masuk ke dalamnya. RR
memaknai waktu sebagai sebuah ruang yang siapapun dapat masuk dan eksis di dalamnya tanpa
perlu permisi pada siapapun. Konotasi sosial jam (waktu) tidak bermilik sehingga aku lirik dapat
menerobos struktur jam begitu saja.
tanpa salam,
kita pun masuk ke dalam jam
menghantam kaca dan angka, tapi
jarum itu tetap berdetak, bertalu-talu menghantam kita
Jam di dalam sajak ini tidak kehilangan normanya. Detak jam masih merupakan penanda
berjalannya waktu, dimana aku lirik yang masuk ke dalamnya mendapatkan impresi dari norma
tersebut. Jadi waktu merupakan sebuah ruang yang terbuka sekaligus mengancam. Dikehendaki
manusia untuk dimasuki sekaligus terdapat kesadaran untuk dikendalikan waktu. Semisal
seseorang yang tercitrakan melalui diksi “mu” yang tentu merupakan pecahan dari “kita” yang
menemani aku lirik di dalam ruang waktu tersebut.
kau pun dibuatnya oleng ke arah senja, lalu matamu
yang kulihat kini berkaca-kaca
mencoba membaca cahaya
mengeja jingga yang luntur diam-diam
ke legam matamu yang kian malam
“pada siapa kekasihmu kini?”
Nampak sekali posisi aku lirik menyaksikan realitas di dalam jam tersebut merupakan
“kepanjangan diri”nya (extension of self) yang terimajikan secara visual. Ia menyaksikan
seseorang menghadapi waktu, menghadapi impresi ruang yang membuat ia menafsir cahaya
jingga yang luntur diam-diam ke legam matamu yang kian malam sebagai usia atau dampak
norma waktu yang mengancam tokoh “mu”.
“pada siapa kekasihmu kini?” pertanyaan itu menciptakan proyeksi hubungan di antara mereka.
Ruang sebagai space konotasi sosial yang bertingkat yang ditentukan oleh respon materi di
dalam ruang tersebut. Ini kaitannya dengan makna fungsi itu sendiri. Biasanya di dalam sebuah
kebudayaan kita membedakan ruang sebagai ruang publik, ruang privat, dan ruang suci (Danesi
dan Peron 1999:194-198) yang tentu menempati fungsi dan respon yang berbeda. Misalnya
seseorang tentu dapat memasuki pasar dengan seenaknya tanpa perlu ijin seperti ketika
memasuki kamar seseorang. Percakapan di dalam ruang itu pun tentu berbeda. Semakin terbatas
akses pada suatu ruang, maka semakin terbuka pula ketabuan wacana yang dibincangkan. Dari
pertanyaan di dalam puisi tersebut, nampak bahwa jam merupakan sebuah ruang privat.
Dampak dari hal di atas adalah sebuah norma baru yang memungkinkan apapun dapat
diungkapkan secara verbal. Pemaknaan ruang di dalam puisi tersebut membuat aku lirik
menetapkan relasi antara dirinya dan dunia diluar dirinya. Di dalam ilmu semiotik, hal ini disebut
prosemik (proxemics). Prosemik merupakan sistem tanda yang memberikan makna terhadap
relasi antara Ego (titik labuh) dan sekitarnya.
Titik labuh (anchor) aku lirik di dalam sajak itu adalah relasi dirinya dengan tokoh “mu” dan
ruang waktu dalam imaji jam. Hingga kita dapat melihat respon aku lirik pada ruang tersebut. Ini
nampak pada imaji berikut.
jarum itu tetap berdetak, berdegup bagi jantungku
berulang-ulang dan lamban saja, rasanya
di sini, aku semakin yakin jika tiap suara adalah usia
sekerjap nyawa di perjalanan, tak henti menanti henti
dengan segala kegaduhan itu, kusaksikan kerentaan
terus menarik tubuhku semakin dalam ke dalam
malam, membenamkanku pada kegelapan
pada piatu cahaya yang sabar lagi tegar
Ikon cahaya dan suara di dalam imaji di atas adalah materi di dalam ruang waktu, atau sebuah
indeks. Suara detak jam bagi aku lirik sama halnya dengan usia. Kegaduhan suara detak jam
berfungsi secara eksistensi untuk memengaruhi cahaya yang semakin lama terus menarik
tubuhku semakin dalam ke dalam malam, membenamkanku pada kegelapan. Imaji demikian
membuat aku lirik merasakan hal yang sama dengan tokoh “mu” yang juga sama-sama
merasakan kehadiran waktu sebagai ancaman.
Lantas apa makna ancaman bagi aku lirik dan tokoh “mu”? Saya menafsirkannya melalui larik
selanjutnya. “ke mana kau yang raib selepas magrib?” aku teriak pertanyaan tersebut jika
disandingkan dengan pertanyaan sebelumnya, “pada siapa kekasihmu kini?” menciptakan
ikonositas pada posisi perasaan aku lirik dan tokoh “mu”. Indeks tentang posisi cahaya dan
waktu di dalam ruang jam tersebut membawa aku lirik dan tokoh “mu” pada perasaan yang
sama, yakni sama-sama kehilangan.
Aku lirik kehilangan tokoh “mu” selepas maghrib. Penanda ini erat kaitannya dengan indeks
waktu dan cahaya yang telah dibangun di larik sebelumnya. Lalu ia pun berteriak ke..
ke segala angka, kepada jeda di antara gerak
yang bertalu-talu, di jantungku
di urat keningku, sedang
bayangmu saja tak terbayang di bayangku
Makna perpisahan di dalam puisi tersebut menempatkan posisi aku lirik dan tokoh “mu” yang
berpisah. Keduanya berada di dimensi yang berbeda secara lahiriah (bentuk dan bayangan di
dalam pikiran aku lirik). Pandangan RR pada persoalan ruang, nampak pada bait puisi di atas.
jeda di antara gerak/yang bertalu-talu di jantungku merupakan seseorang yang mendapatkan
posisi. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan pemaknaan waktu yang mengancam tersebut.
Titik labuh (anchor) imaji awal yang menempatkan mereka pada tempat yang sama yakni sebuah
jam (ruang waktu), menciptakan sebuah entitas makna. Perpisahan yang RR maksudkan
bertumpu pada permasalahan waktu. Waktu adalah sebuah ruang yang secara struktur merupakan
ruang tempat tokoh aku dan “mu” secara biologis berubah atau bergerak menuju renta, usia
adalah angka, dsb.
Kenangan menjadi bagian dari pemaknaan pada ruang tersebut.
jauh di atas kepala, milyaran bintang tampak perak
menyala, sejenak, sempat kuingat sesat
sebelum kita berangkat, kau tatap gugusan cahaya
berwarna sepi, kau yakin di arah sana, tepat
di bawahnya waktu bermukim di dalam jam
tapi semuanya telah berlalu, beberapa lama,
hentak yang terus diciptakan jarum untuk waktu
telah menempatkanku di sebuah subuh
sesuatu ruang begitu rindang, di sekitarnya
udara tampak gembira,
berduyun-duyun menuju daun
menjadi embun, berhimpun begitu rimbun
kemudian, perlahan aku hayati kau sebagai kemarin
terperangkap di sebuah petang, masih bertanya
tentang semua mengenai waktu
lamat-lamat, kudengar detak dadamu menjadi
jarum di dalam jam, tak sanggup
buat diam
Jelas dalam puisi tersebut tercitra latar waktu yang menempatkan aku lirik dan tokoh “mu”
dalam satu peristiwa puitis. Yakni dari sebuah petang sampai subuh. Demikianlah waktu secara
struktur yang saya maksudkan. Lantas kenangan pada ruang-ruang waktu tersebut mau tidak mau
dikonstruksi waktu sebagai ruang struktur yang mengancam aku lirik. Ini terlihat pada larik
tapi semuanya telah berlalu, beberapa lama,
hentak yang terus diciptakan jarum untuk waktu
telah menempatkanku di sebuah subuh
Tapi ruang waktu di dalam puisi ini merupakan sebuah ruang impresif yang diciptakan dari
pembenturan kepanjangan diri (extension of self) aku lirik dengan sebuah jam sebagai sebuah
struktur bagi makna waktu. Tidak heran jika kenangan dan permasalahan di antara aku lirik dan
tokoh “mu” di dalam puisi itu berada di dalam waktu dan menempatkan waktu sebagai subjek
yang juga hadir dan membentuk dirinya.
Waktu menjadi masalah yang dipertanyakan keduanya,
kemudian, perlahan aku hayati kau sebagai kemarin
terperangkap di sebuah petang, masih bertanya
tentang semua mengenai waktu
Waktu menjadi ruang bagi aku lirik untuk mengingat tokoh “mu” yang pernah hilang di suatu
petang.
lamat-lamat, kudengar detak dadamu menjadi
jarum di dalam jam, tak sanggup
buat diam
Pembacaan pada puisi Demi Waktu, membuat saya percaya pada sebuah keniscayaan waktu.
Waktu adalah ruang yang hadir dan membentuk organisme di dalamnya. Waktu menempati
sebuah posisi teritorial yang impersif.
Jika ruang adalah sesuatu yang mendorong aku lirik menyesuaikan diri agar berfungsi
dan hidup (existential) dan menjadikan fungsi diri sebagai pencipta ruang yang diinginkan
(personal impresif). Waktu hanyalah sebuah ruang bagi perpanjangan diri (extension of life)
seseorang, dimana kehadirannya dapat dirasakan dan kadang menjadi ancaman namun tidak
dapat diciptakan atau dikendalikan.
*Pegiat, penikmat, dan pemerhati sastra. BPP ASAS 2014-….