Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lant
Faith Liberta Aieda Muhammad
Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lantunan Dzikir dalam
Kehidupan Sufisme atau Mistisme Islam
Mendengarkan musik berarti membuka diri terhadap suatu pengaruh, kepada suatu
vibrasi dari asal usul super human “yang menghasilkan suara” untuk membangkitkan gaung
suara dalam diri, dari satu wilayah primordial dan untuk membangkitkan sebuah kerinduan
dalam diri untuk bersatu dengan esensinya sendiri. Seperti itulah salah satu pandangan dari
beberapa orang yang menggeluti dunia mistis dalam beragama. Dunia mistis islam atau dalam
hal lain sering disebut dengan sufisme merupakan sebutan bagi orang-orang yang menggeluti
dunia tasawuf. Mistik sendiri berasal dari bahasa Yunani myein, “menutup mata”. Mistik telah
disebut “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang luas,
mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal-yang mungkin disebut
kearifan,cahaya, cinta dan nihil. 1
Mistik dalam ajaran Kristen disebut Illusionis, Budha disebut Dharma dan diajarkan
lewat Upanishad, Hindu diajarkan melalui Bhagavad Gita sedangkan Islam disebut Tasawuf atau
Sufisme. Sedangkan pengertian tasawuf sendiri, menurut Said Agil Siradj dalam ceramahnya
yaitu shuf yang berarti bulu domba, sebab pada zaman dahulu orang-orang yang ahli beribadah,
orang yang zuhud, mengasingkan diri di gua atau padang pasir dan orang yang banyak riyadlah,
pakaian mereka menggunakan
bulu domba, seperti sahabat atau muridnya Nabi Isa yang
memakai baju putih disebut hawariyyin, maka orang sufi disebut sufiyun, seperti fiil madi yang
1
Evelyn Underhill, Mysticsm; A study in the Nature and Development of Man’s Spiritual Conciusness (1911: edisi
paperback, New York, 1956)
1
ditambahi dua huruf menjadi khumasi, bunyinya tashawwafa , artinya memakai bulu domba,
taqammasha artinya memakai gamis, tasar wala, artinya memakai celana2
Olehnya dapat dilihat, bahwasanya tasawuf atau sufisme sebagai cara dan kegiatan
beragama yang bagaimana dapat menuju serta memperoleh kesadaran tunggal. Ajaran tasawuf
yang paling urgen adalah proses penyucian jiwa atau batin. Dan salah satu cara bentuk penyucian
jiwa yang digunakan oleh para sufi adalah dengan musik spiritual atau dalam istilah tasawuf
dikenal dengan as-samā‘, yaitu mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi. 3Hal ini
juga diungkapkan oleh salah satu sufi terkemuka yaitu Dzunnun Al-misri sebagaimana dikutip
oleh seorang peneliti Nicholson
“Musik adalah pengaruh surga yang mendorong hati untuk mencari Tuhan. Karenanya
barang siapa yang mendengarkan (dengan baik) secara rohaniah ia tengah mendekati Tuhan.
Tetapi barang siapa mendengarkan hanya untuk sensasi, maka la termasuk orang yang tidak
beriman.”4
Dalam hal ini jelas, bahwa banyak dari sufi-sufi yang memilih jalan musik atau dalam
bahasa sufi sendiri disebut As-sama untuk memperoleh kesadaran ilahiah. Sasaran ahli mistik
dengan musik ini digunakan untuk terus bertahan dalam peleburannya dengan ilahi. Pengalaman
ini selalu dianggap sebagai situasi bebas karunia ilahi, yang merasuki manusia, dan pengalaman
ini sering disebut dengan ekstase. Dalam keadaan ekstase ini seorang sufi dapat kehilangan
ingatan dan daya hilang kesadarannya. 5 Sama boleh jadi bermula dengan adanya suara merdu
atau bahkan suatu kata tak diengaja yang mempesona para sufi karena suara itu cocok dengan
keadaan jiwanya dan dengan demikian memberikan suatu peningkatan kejiwaan. Patut diketahui
bahwasanya pada abad pertengahan islam, gangguan saraf dan penyakit mental sering diobati
dengan sarana music, seperti disarankan oleh Ibn Sina. 6 Kemudian dari hal inilah yang
2
KH. Said Aqil Siraj, pada kuliah Tasawuf Program S2 SKI STAINU Ciganjur, Sabtu, 19 Oktober 2013
3
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, Hlm. 2.
4
Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridlaan Allah, terj. A. Nashir
Budiman, hlm. 63
5
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, hlm. 226
6
Op. Cit hlm. 228
2
menyebabkan para peneliti masa kini, memasukkan musik dan lantunan zikir sebagai cara untuk
pengobatan.
Dzikir dengan Akustik merupakan sejumlah getaran suara dimana nada suara dzikir
senada dengan nada musik yang bisa dijadikan terapi Audio. Pada saat lantunan murotal dzikir
diputar dengan volume antara level 4 sampai dengan 5, irama teratur dan bit rate/ ketukan 60 –
80 mm fitech 220 – 800 Hz dan intensitas 60 dB selama 30 menit suara atau getaran udara
diterima daun telinga. Stimulus dzikir melalui musik ini dikirim melalui akson serabut saraf
ascenden menuju Neuron diReticular Activating System (RAS) atau melalui neuro transmitter
yang berperan pada ARAS. Pada RAS stimulating akan disaring bermanfaat atau tidak lalu
intervensi ini dikirim keatas bagian talamus, kortek cerebri. Korpus kolosum, sedangkan dikirim
ke bawah menuju saraf otonom dan sistem Neuro Endokrin. Setelah musik lantunan dzikir
diproses temporalis pada cortek selebri, kemudian dikirim ke kortek Asosiasi yang merupakan
tempat paling tinngi dari proses berfikir daya ingat bahasa bicara bermusik dan daya pikir
simbolik. Dari kortek serebri informasi yang berupa musik dzikir dikirim ke sistem limbik yang
bertanggung jawab terhadap dalam pengendalian emosi, proses belajar daya ingat.
Dan saat music dzikir diputar, seluruh daerah sistem limbik dirangsang dan menghasilkan
perasaan dan ekspresi. Di sistem limbic adanya musik dzikir juga merangsang sekresi
feniletilamin yang merupakan suatu Neuro Amin yang bertanggung jawab pada perasaan cinta.
Selanjutnya musik dzikir masuk ke korpus kolosum mengaktifkan Zat listrik dan biokimia.
Stimulus suara music lantunan dzikir selain dikirim ke bagian atas otak, dikirim juga ke bawah
yaitu sistem saraf otonom yang selanjutnya ke sistem neuroendokrin yang mempengaruhi saraf
parasimpatis sehingga menyebabkan sistem saraf parasimpatis berada di atas sistem saraf
simpatis sehingga menghasilkan suatu respon kondisi rileks. Dimana saraf parasimpatis akan
bekerja menurunkan frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, merileksasikan otot dan merangsang
gelombang alpha otak yang menghasilkan kondisi rileks. Stimulus berupa bantuan lantunan
dzikir juga dikirim ke sistem neuroendokrin yang dipengaruhi oleh sistem stimulus suara yang
berirama melalui tiga jalur utama yang menyebabkan pelepasan endorphin oleh kelenjar pituitari
sehingga mengurangi nyeri, dan mempengaruhi keadaan mood seseorang.
3
Yang kedua stimulus music lantunan dzikir akan memberikan Berkurangnya sekresi
neuropeptida menyebabkan sistem saraf parasimpatis pengaruhnya di atas sistem saraf simpatis
sehingga menghasilkan kondisi rileks. Keadaan ini menyebabkan penurunan pelepasan
katekolamin oleh medula adrenal, sehingga terjadi penurunan frekuensi denyut jantung, tekanan
darah, hambatan pembuluh darah dan konsumsi oksigen oleh tubuh. Mekanisme ketiga yang
berkaitan dengan penurunan neuropeptida akan me n y e b a b k a n p e n u r u n a n k a d a r
kortikosteroid dan adrenal yaitu CRH dan ACTH sehingga glukosa darah menurun.
7
Penelitian ini senada dengan yang kemudian diteliti oleh Sukarni, Mardiyono dan Made
desak wanten bahwa Hasil pene litian ini telah membutikan bahwa i n tervensi keperawatan
mandiri melalui terapi mendengarkan dzikir pada pasien SKA mempunyai pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan kecemasan. Walaupun demikian intervensi mendengarkan dzikir
tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab tunggal penurunan kecemasan. Pasien SKA yang
dirawat mempunyai masalah yang sangat komplek sehingga membutuhkan perawatan yang
holistic dan perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang mandiri
disamping tindakan kolaboratif. 8
Begitu pula yang terjadi dalam kalangan sufi, dimana bahwa kekhusyuan dalam zikir dan
bermeditasi sehingga ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika salah sebuah anggota badannya
diamputasi, atau ia berada dalam di luar kesadarannya sama sekali sehingga tidak merasakan
gigitan kala jengking atau ular berbisa.9 Menzikirkan asma Allah dalam hubungan ini amat
penting dalam Qur’an dikatakan bahwa Tuhan memiliki asma yang paling indah. Ini menjadi
dasar bagi suatu teologi nama ilahi tersendiri. 10Tetapi perlu diketahui kemudian bahwasanya
lantunan zikir dengan penyebutan asma Tuhan secara keliru dianggap member gawat bagi si
pemakai atau orang sekelilingnya. Di segi inilah dalam zikir asma, kebijaksanaan pembimbing
mistik khususnya diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid, yang bila tidak dibimbing
7
2011 Ellen Covey yang dikutip Kaheel, 2012,). Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan.
8
Sukarni, Mardiyono, Ni made Desak Wanten “Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan pada Pasien Sindrom
Koroner Akut” Poltekes
9
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk Hlm. 265
10
4
Abu Hamid Al-ghazali, Al maqsud al Asna’fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al Husna,
dapat terkena bahaya rohani dan mental yang gawat.11 Mungkin hal ini berkaitan dengan aspek
mistik yang terdapat pada suatu asma Allah, dan juga berkaitan dengan bagaimana kejiwaan
sesorang, yang menjadikan dalam hal ini dibutuhkan seorang guru. Hal ini juga kemudian
menjadikan sebuah tradisi dalam islam, tentang pentingnya Sanad.
Zikir dari hati mengakibatkan keakraban pelakunya yang menjadikan seakan seluruh
tubuhnya terdiri atas hati. Setiap anggota tubuhnya adalah sebuah hati yang mengingat tuhan.
Keadaan ini digambarkan oleh Imam Qusyairi dalam kitabnya kitab as-suluk yang memuat
gambaran mengesankan tentang pengalaman dzikir yang menakjubkan. Dalam berdzikir ini sang
sufi sudah melampui tidur dan istirahat. Dia hidup khusus dalam dzikir, yang tak mau
ditinggalkan barang sesaat. Dalam dzikir semacam ini anggota badan ikut serta. Mula-mula
anggota badan itu ikut bergerak, lalu gerakannya bertambah kuat, sehingga menjadi bunyi dan
suara. Suara-suara itu melafadzkan dzikir dan dapat didengar pada seluruh tubuh sang sufi
kecuali lidahnya.12
Menurut Ihwān as-Şāfa, saat mendengarkan musik yang indah atau melantunkan zikir,
maka jiwa manusia akan terangkat tinggi menjulang ke alam rūhani. 13 Hal ini bukan sebuah yang
terjadi di saat itu juga, tetapi dapat terjadi karena seni musik merupakan kesenian yang
keindahannya dapat dinikmati melalui indera pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum
datangnya Islam. Di Jazirah Arab, ada banyak ragam cara untuk menikmati seni musik yang
indah sesuai dengan kondisi hati para penikmatnya. Bahkan tak sedikit orang banyak menikmati
musik sebagai media untuk bersenang-senang dengan cara berpesta pora. Di tempat-tempat
pertunjukan musik, mereka menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang
dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita hamba sahaya (budak). Tidak
ada pemusik laki-laki atau orang merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap
sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki terhormat.14
11
Ahmad Ibn Ata’illah Asy-sakandariyah, Miftah al-Falah wa Misbah al Arwah, Beirut
12
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, Hlm. 219
13
Alwi Shihab, Islam Inklusif, 234.
14
Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad Fulex Bisri, dkk 9-10.
5
Inilah tradisi yang memang telah berlangsung di timur tengah secara berabad-abad. Dan
perlu dibaca, bahwa tradisi sufistik telah ada pada zaman nabi, dan bahkan tradisi pembacaan
syair-syair telah muncul sebelum islam masuk. Hal ini dapat diketahui dengan adanya ajang
pembacaan syair di pasar ukaz, dimana hal ini kemudian termasuk kedalam ajang maskunilitas.
Kemudian dari hal ini muncul pertanyaan, apakah pendengar yang sepenuhnya terisi oleh
tuhan, boleh membiarkan dirinya dirasuki oleh music atau oleh suara apapun? Bangkitnya jiwa
oleh suara musik dan lantunan zikir sering kemudian diikuti oleh tubuh untuk menari-nari,
menyobek baju, kadang-kadang timbul kekuatan luar biasa dari dalam dirinya yang seolah-olah
ia seperti kerasukan. Inilah keadaan yang harus diperoleh sang sufi atau justru penguasaan
dirinya sepenuhnyakah yang begitu mengesankan?.
Dalam sejarah sufi islam sendiri, peristiwa ini agaknya terjadi kira-kira pada tahun 900.
Awal paruh abad ke-9, di Baghdad didirikan sama’ khana, yaitu rumah-rumah tempat para sufi
mendengarkan music dan membiarkan
dirinya hanyut dalam ekstase. Kaum ortodoks
menganggap apa yang terjadi di rumah-rumah itu sangat memalukan. Mereka merasa sangat
keberatan bahwa antara lain pakaian sering dirobek-robek pada sama’. Hal inilah yang kemudian
ahli-ahli teori sufi khususnya membicarakan masalah itu ketika kemudian pemuda-pemuda
tampan ikut serta dalam sama, dan menambah besarnya kebahagiaan rohani.
15
Pengarang-pengarang maupun penulis dari abad ke-10 dan ke-11 menulis panjang lebar
mengenai bahaya yang terdapat dalam sama’.
Tari tidak mempunyai dasar syariat dan tasawuf……..tetapi karena gerakan yang
ditimbulkan karena ekstase dan praktek untuk menimbulkan ekstase menyerupai tarian, ada
peniru-oeniru yang tidak bertanggung jawab yang melakukan tanpa batas dan itu mereka
jadikan sebagai ajaran agama…..lebih baik pemula untuk tidak diizinkan mengikuti pagelaran
music agar untuk mereka tidak menjadi bejat. (H 416,430)
Kalimat terakhir ini tentunya disetujui oleh hampir semua Pembina rohani yang
memimpin tarekat-tarekat moderat, karena ada kemungkinan bahwa seorang pemula hanya
15
6
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, , hlm 229
mengalami kenikmatan indrawi dan bukan kenikmatan rohani pada waktu ia mendengarkan
music atau berputar-putar sendiri. 16
Tentang musik dan tarian memang tidak hanya berkisar di daerah Timur tengah, tetapi di
India, Sama’ dianjurkan oleh tarekat Chisthi. Tarekat yang salah satu mursyid utamanya yaitu
Sahruwardi. Sama’ kemudian juga dikomentari oleh Sahruwardi yang selain dikenal sebagai
seorang pengikut Tasawuf juga seorang ahli filsafat, bahwa
Musik tidak membangkitkan sesuatu yang tadinya tidak ada di dalam hati. Jadi siapa
yang inti hatinya terpaut pada sesuatu yang lain di luar tuhan, oleh muik ia digerakkan kea rah
inderawi. Tetapi siapa yang hatinya terikat pada Tuhan, oleh music didoong untuk melakukan
kehendak-Nya. Yang palsu disapu oleh cadar kedirian, dan yang benar ditutup oleh cadar
kebatinan. Cadar kedirian adalah cadar duniawi yang kelam dan cadar kebatinan adalah cadar
kebatinan adalah cadar surgawi yang penuh kecahayaan.
Khalayak umum mendengarkan msik sesuai dengan wataknya dan para pemula
mendengarkan dengan gairah dan takjub, sedangkan para wali memperoleh bayangan tentang
karunia dan anugrah ilahi karena mendengarkan musik. Mereka adalah para arif, dan bagi
mereka mendengarkan berarti renungn. Tetapi akhirnya ada pula ‘mendengarkan’ bagi mereka
yang telah mencapai kesadaran kesempurnaan rohani: melalui musik Tuhan menampakkan
dirinya tanpa cadar.17
Dari penjelasan diatas jelas tergambarkan bagaimana pengaruh music dalam periode sufi
sendiri. Dimana Perkembangan musik dalam budaya Islam sendiri juga beragam, Ada musik
yang disebut musik sufi, ada musik yang biasa ditampilkan untuk hadirin di sebuah majelis ilmu
ta‘līm, ada juga musik yang menembus dunia hiburan. Dan dari gambaran di atas, ternyata dalam
sejarahnya dapat disimpulkan bahwa musik dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbagai
macam tujuan. Dari tujuan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mejadikan
sebagai hiburan, bermotif ekonomi, bahkan ada juga yang menggunakan musik sebagai menu
untuk pemenuhan hawa nafsu belaka.18
16
Op. cit Hlm 230.
17
Margareth Smith, Readings from the mystics of Islam, London, Hlm. 100
18
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi, , 39.
7
Dalam menjawab permasalahan di atas, ternyata cukup beraneka ragam pendapat.
Sebagian kalangan ada yang membuka telinganya lebar-lebar terhadap setiap lagu dan warna
musik, dengan alasan bahwa mendengar musik itu sesuatu yang indah dan baik bagi hamba
Allah dan Allah membolehkannya. Sebagian yang lain dengan nada mengharamkan. Menurut
mereka musik atau lagu adalah berasal dari setan. Karena itu, ia akan menghalangi manusia
untuk berżikir kepada Allah dan mengerjakan shalat. Apalagi yang didengar itu adalah suara
perempuan, karena suara perempuan dengan tidak menyanyi saja adalah aurat. Ada juga
kelompok muslim yang ragu untuk menentukan hukum musik. Mereka hanya mengikuti salah
satu pendapat sesuai kebutuhan mereka, sehingga mereka selalu berubah-ubah pandangan
terhadap hukum musik dan lagu. 19
Pertentangan boleh tidaknya musik dalam dunia sufi, ternyata tidak menghalangi para
sufi untuk tetap memperdengarkan musik. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa karangan sufi
yang membahas tentang music. Bahkan para ulama’ yang berciri sufi, yang menghalalkan musik
semakin banyak, di antaranya adalah para filosof Islam dan para tokoh spiritual Islam. Al-Kindi
(filosof Islam abad 9), merupakan seorang pemikir yang pertama kali memiliki perhatian khusus
mengenai musik. Ia menggunakan musik tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagi obat
untuk penyakit jiwa dan raga. Al-Farābi (filosof Islam abad ke 10), pernah membuat buku
tentang teori musiknya yang berjudul Kitāb al- Musīqa al-Kabīr. Ibn Sina (filosof Islam abad ke
11), dalam dua buah bukunya, yaitu asy-Syifā’ dan an-Najdāt, menulis satu bab khusus yang
membicarakan tentang musik. Kemudian Ibn Bajjah (filosof Islam abad ke 12), seorang filosof
Islam dari Andalusia, pernah mengarang sebuah buku tentang musik yang juga diberi judul Kitab
al-Musīqa, yang menurut sejarah buku ini sangat terkenal di Barat sebagaimana Kitab al-Musīqa
karangan al-Farabi yang terkenal di Timur. Sedangkan para ulama’ sufi yang membahas musik
dan menggunakannya antara lain: Abū Naşr as-Sarāj, Abd al-Kārim Ibn Hawāzīn, al-Qusyairi,
al-Hujwīri, Abū Hāmid al-Gazāli, Ahmād al-Gazāli, Jalāl ad-Dīn Rūmi dan masih banyak lagi. 20
Hingga kemudian hal ini diperkuat oleh seorang sufi, yang dalam kalangan sufisme
terkenal dengan sebutan Grand Sufi. Dalam hal ekstase dalam sufi, Junaid mengungkapkan
dalam sebuah syair yang dikutip oleh Nasr :
19
Op. cit 40-41
20
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, Hlm. 78
8
"Ekstaseku adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia
yang menunjukkan padaku kehadiranan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa antara musik dan tarian spiritual adalah sebagai bagian
dan ritual ketaatan para sufi yaitu sebagai cara berdzikir kepada Allah SWT. 21 Sama' ini
mempunyai kekuatan yang berasal dari manifestasi Allah SWT. Karena pada awalnya, jiwa
manusia bersatu dengan jiwa Universal, yaitu Allah SWT. Kemudian musik berfungsi di dalam
hati untuk dirasakan, sebagai pembangkit atas jiwa yang terperangkap dalam ikatan kehidupan
duniawi22.
Seorang ahli fikih pernah mengkritik Rumi karena tarian mistiknya yang dianggap
menyimpang dari aturan syariat (bid’ah). Dengan cerdik, Rumi yang juga ahli fikih balik
bertanya kepada pengkritiknya tadi:
“Seumpama aku tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh
jasmaniku sudah sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makan yang haram, bolehkah aku
makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tersebut menjawab, “Bol eh,
dengan mengemukakan kaedah Ushul al-fiqh, al-darurah tubi’ih al-mahzurah”. Rumi kemudian
menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga dan akan mati jika tanpa tarian. Kalau tubuh
jasmani saja diperbolehkan untuk memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh
ruhani? Itupun seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut Rumi, yang baginya sama’
adalah sesuatu santapan ruhani seperti halnya zikir”.
Ibn Ajibah, seorang sufi dari tarekat Syażiliyah, merangkum ajaran-ajaran spiritual dari
beberapa guru sufi dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari sebuah
pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan as-samā‘.
1. Tawajjud (mencari ekstase). Yaitu orang yang telah bersumpah menolak dunia secara
total, kemudian ia menari, bergerak ritmis dan sebagainya secara metodis, meniru tampilan
21
Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Islam Manifestasi, hlm. 609
22
Op. Cit
9
emosi ekstase ( wajd) mensimulasikan ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk
merespon panggilan batin.
2. Wajd (ekstase emosi), yaitu dalam diri seseorang mendengar apa yang menimpa hati
dan menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakannya, bisa berupa hasrat yang
menggairahkan dan menggelisahkan, atau satu kecemasan yang menakutkan.
3. Wijdan (ekstase pertemuan). Tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan
indahnya kehadiran yang semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan pingsan
4. Wujūd puncak dari ritual ini, dan Ibn Ajibah mengatakan: “Ketika pertemuan ini
selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap, dan segala pengetahuan dan meditasi
tersucikan, terjadilah ekstasi (wujūd).23
Dari sinilah kemudian dikatakan bahwa keadaan ekstase atau mabuk menyebabkan orang
mistik tidak mengetahui apa-apa kecuali tuhan dan ketika ia melihat segala sesuatu seperti satu.
Kemudian dari saat ini muncul omongan-omongan berupa syair maupun tarian-tarian sebagai
perwujudan dari ekstase para sufi. Dan bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan spiritualitas. Al Ghazali dalam kitabnya Bawariq al-‘Ilma’ Fi al-Radd ‘Ala Man
Yuharrim as-sama‘ Bi al-Ijma‘ berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan tabir hati, serta
mampu menggelorakan rasa cinta yang mendalam kepada Ilahi, sehingga mampu mengantarkan
seorang sufi kederajat kesempurnaan dan menjadikannya sampai ketingkat yang tertinggi
(musyahadah). Sehingga dalam hal bermusik dan berzikir di kalangan sufi, sangat bermanfaat
karena sebagai penghantar kesadaran ilahi, yang mana sebagai tujuan dalam kehidupan
keberagamaanya.24
23
Op. Cit ,Hlm. 607-608
24
Abdul Aziz, Jurnal Tasawuf dan Seni Musik, Tajdid Hlm. 57-86
10
Daftar Pustaka
Al Qardawy, Y. terj Bisri, A. F. d., 2003. Nasyid versus Musik Jahiliyah. Bandung: Mujahid
Press.
Al-Qardawy, Y. :. terj. Zuhairi. Misrawy., 2000. Islam Dan Seni tari. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Ata'Illah, A. I., n.d. Miftah al-falah wa Misbah Al-Arwah. Damaskus: Beirut.
Aziz, A., 2014. Tasawuf dan Seni Musik. Jurnal Tajdid, pp. 57-86.
Coyey, E. dalam Kaheel, D., 2012. Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Ghazali, A. H. A.-., n.d. Al-Maqsad al asna sebagai karya Aqidah Al-ghazali. [Online]
Available at: https://www.academia.edu/27115867/AL-MAQSAD_ALASNA_SEBAGAI_SEBUAH_KARYA_AKIDAH_AL-GHAZALI
[Accessed 2017 Juni 13].
Glasse, C. terj Masudi, G. A., 1996. Ensiklopedia islam ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhaya, A., 2003. Bersufi melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad AlGhazali. Yogyakarta: Gama Media.
Nasr, S. H. & dkk, T. S. A., 2003. Ensiklopedia tematis Spiritual Islam Manifestasi. Bandung:
Mizan.
Nicholson, R. A. terj. Budiman, N., 1995. Aspek Rohaniah Peribadatan Silam di dalam Mencari
Keridlaan Allah. Jakarta : 1995.
Schimmel, A., terj Djoko, Sapardi. & dkk, 2000. Dimensi Mistik Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab, A., 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Smith, M., 1950. Readings From the Mystics of Islam. London: s.n.
STAINU, K.H Said Aqiel., 2013. Tasawuf. Ciganjur: s.n.
Sukarni, Mardiyono & Wanten, N. m. D., n.d. Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan Pada
Pasien Sindrom Koroner Akut. Jurnal Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bandung, pp. 572-580.
Underhill, E., 1956. Mysticsm; A study in the Nature and Development of MAn's Spiritual
Conciusness. New York: Paperback.
11
Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lantunan Dzikir dalam
Kehidupan Sufisme atau Mistisme Islam
Mendengarkan musik berarti membuka diri terhadap suatu pengaruh, kepada suatu
vibrasi dari asal usul super human “yang menghasilkan suara” untuk membangkitkan gaung
suara dalam diri, dari satu wilayah primordial dan untuk membangkitkan sebuah kerinduan
dalam diri untuk bersatu dengan esensinya sendiri. Seperti itulah salah satu pandangan dari
beberapa orang yang menggeluti dunia mistis dalam beragama. Dunia mistis islam atau dalam
hal lain sering disebut dengan sufisme merupakan sebutan bagi orang-orang yang menggeluti
dunia tasawuf. Mistik sendiri berasal dari bahasa Yunani myein, “menutup mata”. Mistik telah
disebut “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang luas,
mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal-yang mungkin disebut
kearifan,cahaya, cinta dan nihil. 1
Mistik dalam ajaran Kristen disebut Illusionis, Budha disebut Dharma dan diajarkan
lewat Upanishad, Hindu diajarkan melalui Bhagavad Gita sedangkan Islam disebut Tasawuf atau
Sufisme. Sedangkan pengertian tasawuf sendiri, menurut Said Agil Siradj dalam ceramahnya
yaitu shuf yang berarti bulu domba, sebab pada zaman dahulu orang-orang yang ahli beribadah,
orang yang zuhud, mengasingkan diri di gua atau padang pasir dan orang yang banyak riyadlah,
pakaian mereka menggunakan
bulu domba, seperti sahabat atau muridnya Nabi Isa yang
memakai baju putih disebut hawariyyin, maka orang sufi disebut sufiyun, seperti fiil madi yang
1
Evelyn Underhill, Mysticsm; A study in the Nature and Development of Man’s Spiritual Conciusness (1911: edisi
paperback, New York, 1956)
1
ditambahi dua huruf menjadi khumasi, bunyinya tashawwafa , artinya memakai bulu domba,
taqammasha artinya memakai gamis, tasar wala, artinya memakai celana2
Olehnya dapat dilihat, bahwasanya tasawuf atau sufisme sebagai cara dan kegiatan
beragama yang bagaimana dapat menuju serta memperoleh kesadaran tunggal. Ajaran tasawuf
yang paling urgen adalah proses penyucian jiwa atau batin. Dan salah satu cara bentuk penyucian
jiwa yang digunakan oleh para sufi adalah dengan musik spiritual atau dalam istilah tasawuf
dikenal dengan as-samā‘, yaitu mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi. 3Hal ini
juga diungkapkan oleh salah satu sufi terkemuka yaitu Dzunnun Al-misri sebagaimana dikutip
oleh seorang peneliti Nicholson
“Musik adalah pengaruh surga yang mendorong hati untuk mencari Tuhan. Karenanya
barang siapa yang mendengarkan (dengan baik) secara rohaniah ia tengah mendekati Tuhan.
Tetapi barang siapa mendengarkan hanya untuk sensasi, maka la termasuk orang yang tidak
beriman.”4
Dalam hal ini jelas, bahwa banyak dari sufi-sufi yang memilih jalan musik atau dalam
bahasa sufi sendiri disebut As-sama untuk memperoleh kesadaran ilahiah. Sasaran ahli mistik
dengan musik ini digunakan untuk terus bertahan dalam peleburannya dengan ilahi. Pengalaman
ini selalu dianggap sebagai situasi bebas karunia ilahi, yang merasuki manusia, dan pengalaman
ini sering disebut dengan ekstase. Dalam keadaan ekstase ini seorang sufi dapat kehilangan
ingatan dan daya hilang kesadarannya. 5 Sama boleh jadi bermula dengan adanya suara merdu
atau bahkan suatu kata tak diengaja yang mempesona para sufi karena suara itu cocok dengan
keadaan jiwanya dan dengan demikian memberikan suatu peningkatan kejiwaan. Patut diketahui
bahwasanya pada abad pertengahan islam, gangguan saraf dan penyakit mental sering diobati
dengan sarana music, seperti disarankan oleh Ibn Sina. 6 Kemudian dari hal inilah yang
2
KH. Said Aqil Siraj, pada kuliah Tasawuf Program S2 SKI STAINU Ciganjur, Sabtu, 19 Oktober 2013
3
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, Hlm. 2.
4
Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridlaan Allah, terj. A. Nashir
Budiman, hlm. 63
5
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, hlm. 226
6
Op. Cit hlm. 228
2
menyebabkan para peneliti masa kini, memasukkan musik dan lantunan zikir sebagai cara untuk
pengobatan.
Dzikir dengan Akustik merupakan sejumlah getaran suara dimana nada suara dzikir
senada dengan nada musik yang bisa dijadikan terapi Audio. Pada saat lantunan murotal dzikir
diputar dengan volume antara level 4 sampai dengan 5, irama teratur dan bit rate/ ketukan 60 –
80 mm fitech 220 – 800 Hz dan intensitas 60 dB selama 30 menit suara atau getaran udara
diterima daun telinga. Stimulus dzikir melalui musik ini dikirim melalui akson serabut saraf
ascenden menuju Neuron diReticular Activating System (RAS) atau melalui neuro transmitter
yang berperan pada ARAS. Pada RAS stimulating akan disaring bermanfaat atau tidak lalu
intervensi ini dikirim keatas bagian talamus, kortek cerebri. Korpus kolosum, sedangkan dikirim
ke bawah menuju saraf otonom dan sistem Neuro Endokrin. Setelah musik lantunan dzikir
diproses temporalis pada cortek selebri, kemudian dikirim ke kortek Asosiasi yang merupakan
tempat paling tinngi dari proses berfikir daya ingat bahasa bicara bermusik dan daya pikir
simbolik. Dari kortek serebri informasi yang berupa musik dzikir dikirim ke sistem limbik yang
bertanggung jawab terhadap dalam pengendalian emosi, proses belajar daya ingat.
Dan saat music dzikir diputar, seluruh daerah sistem limbik dirangsang dan menghasilkan
perasaan dan ekspresi. Di sistem limbic adanya musik dzikir juga merangsang sekresi
feniletilamin yang merupakan suatu Neuro Amin yang bertanggung jawab pada perasaan cinta.
Selanjutnya musik dzikir masuk ke korpus kolosum mengaktifkan Zat listrik dan biokimia.
Stimulus suara music lantunan dzikir selain dikirim ke bagian atas otak, dikirim juga ke bawah
yaitu sistem saraf otonom yang selanjutnya ke sistem neuroendokrin yang mempengaruhi saraf
parasimpatis sehingga menyebabkan sistem saraf parasimpatis berada di atas sistem saraf
simpatis sehingga menghasilkan suatu respon kondisi rileks. Dimana saraf parasimpatis akan
bekerja menurunkan frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, merileksasikan otot dan merangsang
gelombang alpha otak yang menghasilkan kondisi rileks. Stimulus berupa bantuan lantunan
dzikir juga dikirim ke sistem neuroendokrin yang dipengaruhi oleh sistem stimulus suara yang
berirama melalui tiga jalur utama yang menyebabkan pelepasan endorphin oleh kelenjar pituitari
sehingga mengurangi nyeri, dan mempengaruhi keadaan mood seseorang.
3
Yang kedua stimulus music lantunan dzikir akan memberikan Berkurangnya sekresi
neuropeptida menyebabkan sistem saraf parasimpatis pengaruhnya di atas sistem saraf simpatis
sehingga menghasilkan kondisi rileks. Keadaan ini menyebabkan penurunan pelepasan
katekolamin oleh medula adrenal, sehingga terjadi penurunan frekuensi denyut jantung, tekanan
darah, hambatan pembuluh darah dan konsumsi oksigen oleh tubuh. Mekanisme ketiga yang
berkaitan dengan penurunan neuropeptida akan me n y e b a b k a n p e n u r u n a n k a d a r
kortikosteroid dan adrenal yaitu CRH dan ACTH sehingga glukosa darah menurun.
7
Penelitian ini senada dengan yang kemudian diteliti oleh Sukarni, Mardiyono dan Made
desak wanten bahwa Hasil pene litian ini telah membutikan bahwa i n tervensi keperawatan
mandiri melalui terapi mendengarkan dzikir pada pasien SKA mempunyai pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan kecemasan. Walaupun demikian intervensi mendengarkan dzikir
tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab tunggal penurunan kecemasan. Pasien SKA yang
dirawat mempunyai masalah yang sangat komplek sehingga membutuhkan perawatan yang
holistic dan perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang mandiri
disamping tindakan kolaboratif. 8
Begitu pula yang terjadi dalam kalangan sufi, dimana bahwa kekhusyuan dalam zikir dan
bermeditasi sehingga ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika salah sebuah anggota badannya
diamputasi, atau ia berada dalam di luar kesadarannya sama sekali sehingga tidak merasakan
gigitan kala jengking atau ular berbisa.9 Menzikirkan asma Allah dalam hubungan ini amat
penting dalam Qur’an dikatakan bahwa Tuhan memiliki asma yang paling indah. Ini menjadi
dasar bagi suatu teologi nama ilahi tersendiri. 10Tetapi perlu diketahui kemudian bahwasanya
lantunan zikir dengan penyebutan asma Tuhan secara keliru dianggap member gawat bagi si
pemakai atau orang sekelilingnya. Di segi inilah dalam zikir asma, kebijaksanaan pembimbing
mistik khususnya diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid, yang bila tidak dibimbing
7
2011 Ellen Covey yang dikutip Kaheel, 2012,). Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan.
8
Sukarni, Mardiyono, Ni made Desak Wanten “Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan pada Pasien Sindrom
Koroner Akut” Poltekes
9
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk Hlm. 265
10
4
Abu Hamid Al-ghazali, Al maqsud al Asna’fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al Husna,
dapat terkena bahaya rohani dan mental yang gawat.11 Mungkin hal ini berkaitan dengan aspek
mistik yang terdapat pada suatu asma Allah, dan juga berkaitan dengan bagaimana kejiwaan
sesorang, yang menjadikan dalam hal ini dibutuhkan seorang guru. Hal ini juga kemudian
menjadikan sebuah tradisi dalam islam, tentang pentingnya Sanad.
Zikir dari hati mengakibatkan keakraban pelakunya yang menjadikan seakan seluruh
tubuhnya terdiri atas hati. Setiap anggota tubuhnya adalah sebuah hati yang mengingat tuhan.
Keadaan ini digambarkan oleh Imam Qusyairi dalam kitabnya kitab as-suluk yang memuat
gambaran mengesankan tentang pengalaman dzikir yang menakjubkan. Dalam berdzikir ini sang
sufi sudah melampui tidur dan istirahat. Dia hidup khusus dalam dzikir, yang tak mau
ditinggalkan barang sesaat. Dalam dzikir semacam ini anggota badan ikut serta. Mula-mula
anggota badan itu ikut bergerak, lalu gerakannya bertambah kuat, sehingga menjadi bunyi dan
suara. Suara-suara itu melafadzkan dzikir dan dapat didengar pada seluruh tubuh sang sufi
kecuali lidahnya.12
Menurut Ihwān as-Şāfa, saat mendengarkan musik yang indah atau melantunkan zikir,
maka jiwa manusia akan terangkat tinggi menjulang ke alam rūhani. 13 Hal ini bukan sebuah yang
terjadi di saat itu juga, tetapi dapat terjadi karena seni musik merupakan kesenian yang
keindahannya dapat dinikmati melalui indera pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum
datangnya Islam. Di Jazirah Arab, ada banyak ragam cara untuk menikmati seni musik yang
indah sesuai dengan kondisi hati para penikmatnya. Bahkan tak sedikit orang banyak menikmati
musik sebagai media untuk bersenang-senang dengan cara berpesta pora. Di tempat-tempat
pertunjukan musik, mereka menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang
dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita hamba sahaya (budak). Tidak
ada pemusik laki-laki atau orang merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap
sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki terhormat.14
11
Ahmad Ibn Ata’illah Asy-sakandariyah, Miftah al-Falah wa Misbah al Arwah, Beirut
12
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, Hlm. 219
13
Alwi Shihab, Islam Inklusif, 234.
14
Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad Fulex Bisri, dkk 9-10.
5
Inilah tradisi yang memang telah berlangsung di timur tengah secara berabad-abad. Dan
perlu dibaca, bahwa tradisi sufistik telah ada pada zaman nabi, dan bahkan tradisi pembacaan
syair-syair telah muncul sebelum islam masuk. Hal ini dapat diketahui dengan adanya ajang
pembacaan syair di pasar ukaz, dimana hal ini kemudian termasuk kedalam ajang maskunilitas.
Kemudian dari hal ini muncul pertanyaan, apakah pendengar yang sepenuhnya terisi oleh
tuhan, boleh membiarkan dirinya dirasuki oleh music atau oleh suara apapun? Bangkitnya jiwa
oleh suara musik dan lantunan zikir sering kemudian diikuti oleh tubuh untuk menari-nari,
menyobek baju, kadang-kadang timbul kekuatan luar biasa dari dalam dirinya yang seolah-olah
ia seperti kerasukan. Inilah keadaan yang harus diperoleh sang sufi atau justru penguasaan
dirinya sepenuhnyakah yang begitu mengesankan?.
Dalam sejarah sufi islam sendiri, peristiwa ini agaknya terjadi kira-kira pada tahun 900.
Awal paruh abad ke-9, di Baghdad didirikan sama’ khana, yaitu rumah-rumah tempat para sufi
mendengarkan music dan membiarkan
dirinya hanyut dalam ekstase. Kaum ortodoks
menganggap apa yang terjadi di rumah-rumah itu sangat memalukan. Mereka merasa sangat
keberatan bahwa antara lain pakaian sering dirobek-robek pada sama’. Hal inilah yang kemudian
ahli-ahli teori sufi khususnya membicarakan masalah itu ketika kemudian pemuda-pemuda
tampan ikut serta dalam sama, dan menambah besarnya kebahagiaan rohani.
15
Pengarang-pengarang maupun penulis dari abad ke-10 dan ke-11 menulis panjang lebar
mengenai bahaya yang terdapat dalam sama’.
Tari tidak mempunyai dasar syariat dan tasawuf……..tetapi karena gerakan yang
ditimbulkan karena ekstase dan praktek untuk menimbulkan ekstase menyerupai tarian, ada
peniru-oeniru yang tidak bertanggung jawab yang melakukan tanpa batas dan itu mereka
jadikan sebagai ajaran agama…..lebih baik pemula untuk tidak diizinkan mengikuti pagelaran
music agar untuk mereka tidak menjadi bejat. (H 416,430)
Kalimat terakhir ini tentunya disetujui oleh hampir semua Pembina rohani yang
memimpin tarekat-tarekat moderat, karena ada kemungkinan bahwa seorang pemula hanya
15
6
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, , hlm 229
mengalami kenikmatan indrawi dan bukan kenikmatan rohani pada waktu ia mendengarkan
music atau berputar-putar sendiri. 16
Tentang musik dan tarian memang tidak hanya berkisar di daerah Timur tengah, tetapi di
India, Sama’ dianjurkan oleh tarekat Chisthi. Tarekat yang salah satu mursyid utamanya yaitu
Sahruwardi. Sama’ kemudian juga dikomentari oleh Sahruwardi yang selain dikenal sebagai
seorang pengikut Tasawuf juga seorang ahli filsafat, bahwa
Musik tidak membangkitkan sesuatu yang tadinya tidak ada di dalam hati. Jadi siapa
yang inti hatinya terpaut pada sesuatu yang lain di luar tuhan, oleh muik ia digerakkan kea rah
inderawi. Tetapi siapa yang hatinya terikat pada Tuhan, oleh music didoong untuk melakukan
kehendak-Nya. Yang palsu disapu oleh cadar kedirian, dan yang benar ditutup oleh cadar
kebatinan. Cadar kedirian adalah cadar duniawi yang kelam dan cadar kebatinan adalah cadar
kebatinan adalah cadar surgawi yang penuh kecahayaan.
Khalayak umum mendengarkan msik sesuai dengan wataknya dan para pemula
mendengarkan dengan gairah dan takjub, sedangkan para wali memperoleh bayangan tentang
karunia dan anugrah ilahi karena mendengarkan musik. Mereka adalah para arif, dan bagi
mereka mendengarkan berarti renungn. Tetapi akhirnya ada pula ‘mendengarkan’ bagi mereka
yang telah mencapai kesadaran kesempurnaan rohani: melalui musik Tuhan menampakkan
dirinya tanpa cadar.17
Dari penjelasan diatas jelas tergambarkan bagaimana pengaruh music dalam periode sufi
sendiri. Dimana Perkembangan musik dalam budaya Islam sendiri juga beragam, Ada musik
yang disebut musik sufi, ada musik yang biasa ditampilkan untuk hadirin di sebuah majelis ilmu
ta‘līm, ada juga musik yang menembus dunia hiburan. Dan dari gambaran di atas, ternyata dalam
sejarahnya dapat disimpulkan bahwa musik dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbagai
macam tujuan. Dari tujuan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mejadikan
sebagai hiburan, bermotif ekonomi, bahkan ada juga yang menggunakan musik sebagai menu
untuk pemenuhan hawa nafsu belaka.18
16
Op. cit Hlm 230.
17
Margareth Smith, Readings from the mystics of Islam, London, Hlm. 100
18
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi, , 39.
7
Dalam menjawab permasalahan di atas, ternyata cukup beraneka ragam pendapat.
Sebagian kalangan ada yang membuka telinganya lebar-lebar terhadap setiap lagu dan warna
musik, dengan alasan bahwa mendengar musik itu sesuatu yang indah dan baik bagi hamba
Allah dan Allah membolehkannya. Sebagian yang lain dengan nada mengharamkan. Menurut
mereka musik atau lagu adalah berasal dari setan. Karena itu, ia akan menghalangi manusia
untuk berżikir kepada Allah dan mengerjakan shalat. Apalagi yang didengar itu adalah suara
perempuan, karena suara perempuan dengan tidak menyanyi saja adalah aurat. Ada juga
kelompok muslim yang ragu untuk menentukan hukum musik. Mereka hanya mengikuti salah
satu pendapat sesuai kebutuhan mereka, sehingga mereka selalu berubah-ubah pandangan
terhadap hukum musik dan lagu. 19
Pertentangan boleh tidaknya musik dalam dunia sufi, ternyata tidak menghalangi para
sufi untuk tetap memperdengarkan musik. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa karangan sufi
yang membahas tentang music. Bahkan para ulama’ yang berciri sufi, yang menghalalkan musik
semakin banyak, di antaranya adalah para filosof Islam dan para tokoh spiritual Islam. Al-Kindi
(filosof Islam abad 9), merupakan seorang pemikir yang pertama kali memiliki perhatian khusus
mengenai musik. Ia menggunakan musik tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagi obat
untuk penyakit jiwa dan raga. Al-Farābi (filosof Islam abad ke 10), pernah membuat buku
tentang teori musiknya yang berjudul Kitāb al- Musīqa al-Kabīr. Ibn Sina (filosof Islam abad ke
11), dalam dua buah bukunya, yaitu asy-Syifā’ dan an-Najdāt, menulis satu bab khusus yang
membicarakan tentang musik. Kemudian Ibn Bajjah (filosof Islam abad ke 12), seorang filosof
Islam dari Andalusia, pernah mengarang sebuah buku tentang musik yang juga diberi judul Kitab
al-Musīqa, yang menurut sejarah buku ini sangat terkenal di Barat sebagaimana Kitab al-Musīqa
karangan al-Farabi yang terkenal di Timur. Sedangkan para ulama’ sufi yang membahas musik
dan menggunakannya antara lain: Abū Naşr as-Sarāj, Abd al-Kārim Ibn Hawāzīn, al-Qusyairi,
al-Hujwīri, Abū Hāmid al-Gazāli, Ahmād al-Gazāli, Jalāl ad-Dīn Rūmi dan masih banyak lagi. 20
Hingga kemudian hal ini diperkuat oleh seorang sufi, yang dalam kalangan sufisme
terkenal dengan sebutan Grand Sufi. Dalam hal ekstase dalam sufi, Junaid mengungkapkan
dalam sebuah syair yang dikutip oleh Nasr :
19
Op. cit 40-41
20
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, Hlm. 78
8
"Ekstaseku adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia
yang menunjukkan padaku kehadiranan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa antara musik dan tarian spiritual adalah sebagai bagian
dan ritual ketaatan para sufi yaitu sebagai cara berdzikir kepada Allah SWT. 21 Sama' ini
mempunyai kekuatan yang berasal dari manifestasi Allah SWT. Karena pada awalnya, jiwa
manusia bersatu dengan jiwa Universal, yaitu Allah SWT. Kemudian musik berfungsi di dalam
hati untuk dirasakan, sebagai pembangkit atas jiwa yang terperangkap dalam ikatan kehidupan
duniawi22.
Seorang ahli fikih pernah mengkritik Rumi karena tarian mistiknya yang dianggap
menyimpang dari aturan syariat (bid’ah). Dengan cerdik, Rumi yang juga ahli fikih balik
bertanya kepada pengkritiknya tadi:
“Seumpama aku tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh
jasmaniku sudah sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makan yang haram, bolehkah aku
makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tersebut menjawab, “Bol eh,
dengan mengemukakan kaedah Ushul al-fiqh, al-darurah tubi’ih al-mahzurah”. Rumi kemudian
menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga dan akan mati jika tanpa tarian. Kalau tubuh
jasmani saja diperbolehkan untuk memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh
ruhani? Itupun seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut Rumi, yang baginya sama’
adalah sesuatu santapan ruhani seperti halnya zikir”.
Ibn Ajibah, seorang sufi dari tarekat Syażiliyah, merangkum ajaran-ajaran spiritual dari
beberapa guru sufi dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari sebuah
pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan as-samā‘.
1. Tawajjud (mencari ekstase). Yaitu orang yang telah bersumpah menolak dunia secara
total, kemudian ia menari, bergerak ritmis dan sebagainya secara metodis, meniru tampilan
21
Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Islam Manifestasi, hlm. 609
22
Op. Cit
9
emosi ekstase ( wajd) mensimulasikan ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk
merespon panggilan batin.
2. Wajd (ekstase emosi), yaitu dalam diri seseorang mendengar apa yang menimpa hati
dan menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakannya, bisa berupa hasrat yang
menggairahkan dan menggelisahkan, atau satu kecemasan yang menakutkan.
3. Wijdan (ekstase pertemuan). Tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan
indahnya kehadiran yang semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan pingsan
4. Wujūd puncak dari ritual ini, dan Ibn Ajibah mengatakan: “Ketika pertemuan ini
selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap, dan segala pengetahuan dan meditasi
tersucikan, terjadilah ekstasi (wujūd).23
Dari sinilah kemudian dikatakan bahwa keadaan ekstase atau mabuk menyebabkan orang
mistik tidak mengetahui apa-apa kecuali tuhan dan ketika ia melihat segala sesuatu seperti satu.
Kemudian dari saat ini muncul omongan-omongan berupa syair maupun tarian-tarian sebagai
perwujudan dari ekstase para sufi. Dan bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan spiritualitas. Al Ghazali dalam kitabnya Bawariq al-‘Ilma’ Fi al-Radd ‘Ala Man
Yuharrim as-sama‘ Bi al-Ijma‘ berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan tabir hati, serta
mampu menggelorakan rasa cinta yang mendalam kepada Ilahi, sehingga mampu mengantarkan
seorang sufi kederajat kesempurnaan dan menjadikannya sampai ketingkat yang tertinggi
(musyahadah). Sehingga dalam hal bermusik dan berzikir di kalangan sufi, sangat bermanfaat
karena sebagai penghantar kesadaran ilahi, yang mana sebagai tujuan dalam kehidupan
keberagamaanya.24
23
Op. Cit ,Hlm. 607-608
24
Abdul Aziz, Jurnal Tasawuf dan Seni Musik, Tajdid Hlm. 57-86
10
Daftar Pustaka
Al Qardawy, Y. terj Bisri, A. F. d., 2003. Nasyid versus Musik Jahiliyah. Bandung: Mujahid
Press.
Al-Qardawy, Y. :. terj. Zuhairi. Misrawy., 2000. Islam Dan Seni tari. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Ata'Illah, A. I., n.d. Miftah al-falah wa Misbah Al-Arwah. Damaskus: Beirut.
Aziz, A., 2014. Tasawuf dan Seni Musik. Jurnal Tajdid, pp. 57-86.
Coyey, E. dalam Kaheel, D., 2012. Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Ghazali, A. H. A.-., n.d. Al-Maqsad al asna sebagai karya Aqidah Al-ghazali. [Online]
Available at: https://www.academia.edu/27115867/AL-MAQSAD_ALASNA_SEBAGAI_SEBUAH_KARYA_AKIDAH_AL-GHAZALI
[Accessed 2017 Juni 13].
Glasse, C. terj Masudi, G. A., 1996. Ensiklopedia islam ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhaya, A., 2003. Bersufi melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad AlGhazali. Yogyakarta: Gama Media.
Nasr, S. H. & dkk, T. S. A., 2003. Ensiklopedia tematis Spiritual Islam Manifestasi. Bandung:
Mizan.
Nicholson, R. A. terj. Budiman, N., 1995. Aspek Rohaniah Peribadatan Silam di dalam Mencari
Keridlaan Allah. Jakarta : 1995.
Schimmel, A., terj Djoko, Sapardi. & dkk, 2000. Dimensi Mistik Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab, A., 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Smith, M., 1950. Readings From the Mystics of Islam. London: s.n.
STAINU, K.H Said Aqiel., 2013. Tasawuf. Ciganjur: s.n.
Sukarni, Mardiyono & Wanten, N. m. D., n.d. Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan Pada
Pasien Sindrom Koroner Akut. Jurnal Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bandung, pp. 572-580.
Underhill, E., 1956. Mysticsm; A study in the Nature and Development of MAn's Spiritual
Conciusness. New York: Paperback.
11