Pola insentif dan Disinsentif dalam Stra

Pola insentif dan Disinsentif dalam Strategi Pengarusutamaan Resiko Bencana di
Perkotaan (Keuangan dan Penganggaran)
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D1
1. Latar Belakang
Wilayah perkotaan di Indonesia banyak yang secara geografis sangat rentan terhadap resiko
bencana, baik bencana yang secara alami diakibatkan oleh peristiwa alam (natural disaster)
seperti gempa, tsunami, meletusnya gunung api, banjir, kekeringan, epidemi penyakit dll maupun
yang diakibatkan oleh hal lain yang diakibatkan non-alam (man-made disaster) seperti
kebakaran, keracunan, sampah dll. Dalam upaya penanggulangan resiko bencana ini telah
disadari perlunya koordinasi yang menyeluruh dari seluruh komponen masyarakat dengan
tahapan yang lengkap mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan
pengendalian dalam masalah penganggulangan bencana, tidak heran peran pemerintah kota
sangatlah signifikan selaku pemangku pengelolaan dan manajemen perkotaan terhadap isue ini.
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas
PBP) bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dalam dokumen Arahan Kebijakan
Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia (2002) telah mengamanatkan perlunya langkahlangkah strategis untuk melindungi setiap warga negara di wilayah perkotaan dengan langkahlangkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan setelah bencana
terjadi. Sehingga disadari bahwa upaya pencegahan dan mitigasi bencana ini memerlukan
kebijakan strategis dalam manajemen perkotaan yang mengarusutamakan resiko bencana.
Dari fakta-fakta yang terjadi selama kurun dasawarsa terakhir saja, bisa kita lihat bagaimana
parahnya kerusakan yang diakibatkan oleh bencana, khususnya bencana alam. Tsunami yang
melanda NAD tahun 2004 dan Selatan Pulau Jawa misalnya atau banjir besar di DKI Jakarta

serta bencana-bencana lainnya telah mengakibatkan kerugian materiil maupun moril yang sangat
besar. Upaya pemulihan bencana banjir di Jakarta tahun 2002 misalnya diperkirakan menelan
biaya 15 trilyun rupiah. Apalagi bencana tsunami di NAD yang tidak terhitung berapa jumlah
kerugian secara materiil sehingga dijadikan bencana alam tingkat dunia yang menyerap dana
puluhan trilyun rupiah dari berbagai sumber pendanaan asing mapun local dan nasional.
1 Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran.
-1-

Tabel 1. Biaya Penanggulangan Bencana Besar Sepanjang 2004 -2007
No

Nama Bencana

1

Tsunami Aceh & Nias 26 Desember
2004
Flu Burung' (2004 -2005)
Letusan Merapi-April 20069


2
3

Kerugian Ekonomi (US$ milvar)
Langsung
Tidak
Total
Langsung
2.92
1.53
4.45
0.6
-

-

4
5

0.6

20,000 orang
mengungsi
3.1
3

Gempa Yogyakarta -27 Mei 2006
2.5
0.7
Lumpur Panas Sidoarjo Jawa Timur
1.2
1.8
-29 Mei 2006
6
Tsunami di selatan Jawa 17 Juli 2006
0.031
0.063
0.094
7
Banjir Jabodetabek hingga Februari
0.7

0.7
2007
TOTAL (US$ milyar)
12
 3.1 persen dari PDB Indonesia (2007)
(110.4 triliun rupiah)
 15.8 persen dari total APBN 2007
Sumber: Bappenas, 2009, Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan,
Strategi, dan Operasi)

Dengan demikian disadari bahwa pengarusutamaan resiko bencana (PRB) di daerah manapun,
dalam hal ini khususnya daerah perkotaan akan melibatkan dan cenderung akan sangat intensif
dalam masalah pendanaan. Terlebih lagi karena pasca desentralisasi dan otonomi daerah yang
diperluas setelah UU No 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU no. 32 dan
33 Tahun 2004, masalah anggaran menjadi hal yang krusial karena melibatkan mekanisme
perimbangan keuangan yang tidak sesederhana seperti masa sebelum reformasi yang cenderung
kepada pendekatan keuangan pusat dan daerah yang tersentralisasi.
Keterlibatan dan partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat juga sangat diperlukan
dalam masalah penanggulangan resiko bencana khususnya di daerah perkotaan. Untuk potensi
bencana yang beresiko diakibatkan oleh bencana alam misalnya, infrastruktur perkotaan yang

dimiliki sepenuhnya oleh masyarakat dan tidak terkait pada ranah kepentingan public juga
menjadi factor penentu kesiapan penanggulanagan bencana, demikian pula untuk resiko bencana
yang non-alam seperti kebakaran dan sampah dimana partisipasi mayarakat yang berakibat
langsung pada beban dan biaya materiil sangat banyak dibutuhkan. Ditingkat yang lebih tinggi,
pemerintah pusat (nasional) sesuai dengan kewenangannya memang dapat mengambil peranan

-2-

dominan dalam upaya pengarusutamaan resiko bencana ini, namun pada implementasinya
pemerintah kota yang seharusnya dapat lebih berperan dominan.
Kesemuanya ini kemudian ditanggapi oleh perkembangan kelembagaan dengan keluarnya UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini bertujuan memberikan dasar
hukum yang jelas bagi perubahan paradigma berpikir serta bertindak terkait dengan upaya
pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana secara lebih tersistem dan mengakomodasi
kepentingan semua pihak. Secara singkat tabel berikut menampilkan beberapa perbedaan
mendasar antara sistem yang diamanatkan UU ini dan sistem sebelumnya yang relatif dapat
dianggap sebagai upaya merubah paradigma pemahaman tentang isu mitigasi bencana di
Indonesia
Tabel 2, Perbandingan Paradigma Penanggulangan Bencana Sebelum dan Sesudah UU. No. 24
Tahun 2007

Sebelum UU No. 24/2007

Setelah UU No. 24/2007

Dasar Hukum

Bersifat sektoral

Berlaku umum dan mengikat seluruh
departemen, masyarakat dan lembaga non
pemerintah

Paradigma

Tanggap darurat

Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi

Lembaga


Bakornas PB, Satkorlak dan
Satlak

BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota

Peran Masyarakat

Terbatas

Melibatkan masyarakat secara aktif

Pembagian Tanggung
Jawab

Sebagian besar pemerintah
pusat

Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten


Perencanaan Pembangunan

Belum menjadi bagian aspek
perencanaan pembangunan

 Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko
Bencana (RAN PRB)
 Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
 Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko
Bencana (RAD PRB)

Pendekatan Mitigasi

Kerentanan

Analilsa resiko (menggabungkan antara
kerentanan dan kapasitas)

Forum kerjasama antar

pemangku kepentingan

Belum ada

National Platform (akan)
Provincial Platform (akan)

-3-

Alokasi Anggaran

Tanggung jawab pemerintah
pusat

Tergantung pada tingkatan bencana

Pedoman Penanggulangan
Bencana

Terpecah dan bersifat sektoral


Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB
dan BPBD

Keterkaitan Dengan Tata
Ruang

Belum menjadi aspek

Aspek bencana harus diperhitungkan dalam
penyusunan tata ruang

Sumber: Bappenas, 2009, Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi,
dan Operasi)

Dengan melihat aspek peran masyarakat, pembagian tanggung jawab, dan alokasi anggaran,
kareananya masalah pendanaan terhadap pengarusutamaan resiko bencana di wilayah perkotaan
harus mengakomodasi pula perlunya menjaring partisipasi total masyarakat yang tentunya karena
terkait dengan potensi akan berujung pada masalah pendanaan secara mandiri dari daerah kota
dan masyarakat kota karenanya dibutuhkan pengembangan mekanisme system insentif dan

disinsentif dari manajemen penganggaran untuk pemanfaatan ruang kota dalam rangka
penurunan resiko bencana.yang sesuai dengan aturan perimbangan keuangan yang berlaku; baik
sebelum maupun sesudah mitigasi bencana.
2. Tinjauan Pustaka
Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu
potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi
bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana
gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa dibeberapa wilayah perkotaan Indonesia
ditenggarai merupakan wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana
tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta
potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa
wilayah perkotaan di Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang
tinggi.
Disamping itu, terdapat potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang juga sangat
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indicator misalnya likuifaksi, persentase bangunan
yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya

-4-

ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki
kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan
jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator diatas, perkotaan Indonesia merupakan
wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi pula.
Demikian pula bila dilihat dari tingkat kerentanan bencana di wilayah perkotaan di Indonesia: (i)
kerentanan fisik (infrastruktur), (ii) sosial kependudukan, dan (iii) ekonomi, semuanya
memperkirakan sangat rentannya wilayah perkotaan di Indonesia.2
1. Kerentanan fisik (infrastruktur)
Menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor
berbahaya (hazard) tertentu. Melihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase
kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan
listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka
perkotaan Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase
kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan tinggi
sementara di lain pihak persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi,
jaringan PDAM, jalan KA tergolong rendah.
2. Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan
jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk
wanita, maka kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita
melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (manmade
disaster), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka
pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi.
3. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi
yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya
2 Disadur dari dokumen Bakornas PBP dan ITB (2002), Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di
Indonesia, hal. 6

-5-

tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
(sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.
Dengan demikian secara jelas dapat disimpulkan bahwa hamper seluruh daerah perkotaan di
Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana karena secara potensi bencanan dan tingkat
kerentanan bencana, indicator-indikator yang diperoleh secara fakta dan perkiraan memanglah
tinggi.
2.1. Kelembagaan
Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya UndangUndang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan
pelaksana

terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Dimensi
baru dari rangkaian peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah:
(1) Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan proaktif dimulai dari
pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2) Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para pemangku
kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi.
(3) Penanggulangan

bencana

sebagai

bagian

dari

proses

pembangunan

sehingga

mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana.
Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan
pelaksanaan. Sementara proses pengembangan kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang
tidak kalah penting adalah memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai
mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah
pengembangan kebijakan di tingkat nasional; dimana trend yang terjadi adalah pendirian Badan

-6-

Penanggulangan Bencama Daerah (BPBD) yang pada prakteknya memang tidak semudah
membalikkan tangan karena daerah juga memiliki keterbatasan pendanaan dan sumber daya
sehingga bentuk insentif dan disinsentif sangat diperlukan
2.1. Insentif dan Disinsentif
Sebenarnya, topik insentif dan disinsentif dalam anggaran seringkali dikaitkan secara konsep
dengan adanya paradigma kebebasan memilih secara rasional untuk setiap orang. Skema insentif
dan disinsentif dianggap suatu terobosan baru dalam pendekatan pembangunan, dimana dalam
ekonomi salah satu elemen pemikirannya adalah “people respond to incentives”. Banyak bukti
memperlihatkan bahwa masyarakat akan merespon secara signifikan terhadap insentif bahkan
dalam situasi dimana masyarakat perilakunya dianggap tidak rasional; yang biasanya terjadi bila
suatu kondisi income tertentu sudah terpenuhi. Dengan system insentif dan disinsentif ini maka
perubahan perilaku akan berkembang dengan sendirinya secara alamiah setelah insentif dan
disinsentif tidak lagi dianggap perlu.
Insentif adalah suatu skema yang dianggap dapat menjadi pilihan bila tingkat utility masyarakat
meningkat, sedangkan disinsentif adalah kebalikannya. Dengan adanya system insentif dan
disinsentif, suatu program atau kebijakan pemerintah diharapkan dapat lebih efektif
implementasinya karena mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dengan tanpa adanya
unsur compulsory atau pemaksaan yang lebih menonjolkan sisi abusement of power-nya. Selain
itu system ini akan membutuhkan waktu lebih pendek dari pencapaian tujuan suatu program
pembangunan yang didorong melalui perubahan perilaku secara gradual melalui pendidikan atau
sosialisasi program.
Disisi lain, kesadaran akan pentingnya sebuah program pembangunan disadari bukanlah hanya
tentang urusan pilihan yang rasional. Perilaku manusia secara ekonomi dengan pertimbangan
opportunity cost juga dikhawatirkan akan menimbulkan perilaku revealed preference di
masyarakat. Dimana ada upaya menutupi tingkat utility masyarakat yang sebenarnya dengan
upaya membebankan biaya peningkatan utility pada pihak lain. Karenanya sisi pendidikan dan
sosialisasi juga sangatlah penting dalam menumbuhkan kesadaran pentingnya mencapai tujuan

-7-

sebuah program pembangunan. Namun secara empiris, penelitian yang memiliki bahsan topic
tentang efektifitas sistem insentif memang banyak yang mendukung thesis bahwa incentives
adalah alat yang paling powerful dalam mengubah perilaku masyarakat.
3. Insentif dan Disinsentif dalam Mitigasi Bencana Daerah Perkotaan
Kondisi pengarusutamaan resiko bencana daerah perkotaan di Indonesia yang ada sebelum dan
bahkan sesudah UU No. 24 Tahun 2007 belumlah dapat dikatakan baik. Masih banyak Kota-kota
di Indonesia bahkan kota yang secara potensi dan tingkat kerentanan bencana tinggi sekalipun
belum memenuhi amanat undang-undang ini sekalipun telah dibentuk badan penanggulangan
bencana di tingkat provinsi tempat kota tersebut berada. Penanganan bencana di daerah kota
masih mengandalkan satkorlak atau satlak pada beberapa SKPD yang memiliki kewenangan
parsial. Secara kelembagaan ini memang ini merupakan kelemahan karena UU No. 24 tahun
2004 secara eksplisit hanya mewajibkan pembentukan BPBD di tingkat propinsi dan “tidak
wajib” untuk kabupaten kota. Dalam Lampiran Perka BNPB 3/2008 Bab III hanya disebutkan
“Dalam

membentuk

BPBD,

Pemerintah

Provinsi

dan

Pemerintah

Kabupaten/Kota

berkoordinasi dengan BNPB. Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk
BPBD Kabupaten/Kota, maka tugas dan fungsi PB diwadahi dengan organisasi yang
mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi PB”
Bahkan dalam Pasal 2 Permendagri 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penaggulangan Bencana Daerah hanya disebutkan bahwa pemerintah kabupaten kota
“dapat” membentuk BPBD. Aturan ini seringkali diterjemahkan sebagai ketentuan bahwa
kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko bencana tinggi maka wajib membentuk BPBD
kabupaten/kota. Tapi bagi kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko bencana kecil maka
tidak wajib membentuk BPBD dan fungsi-fungsi PB dikerjakan oleh Satlak atau satkorlak
penanggulanagan bencana pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sesuai untuk itu.
Seringkali deviasi kebijakan pemerintah kabupaten/kota dari program nasional dengan tidak
membentuk BPBD dan perangkatnya diperkuat dengan argument bahwa kondisi dan kapasitas
keuangan pemerintahnya tidak atau belum memadai, demikian juga dengan alasan keterbatasan
resource lainnya seperti SDM dan infrastruktur.

-8-

Dengan demikian, UU No. 24 Tahun 2007 mengandung mandate penuh terhadap pemerintah
propinsi namun tidak mengandung makna mandate penuh terhadap pelaksanaa UU ini di tingkat
kabupaten/kota sehingga pendekatan lain yang perlu dilakukan adalah pencapaian program
melalui system insentif dan disinsentif. Memang terdapat pendekatan lain yang patut
dipertimbangkan yaitu system voluntary mechanism, namun skema voluntary ini diketahui lebih
efektif penggunaannya bila dikomplementari dengan insentif (Kodrat Wibowo, 2005).
Skema insentif-disinsentif dapat dilakukan melalui dua mekanisme yaitu mekanisme tax-subsidy
dan kompensasi. Dalam mekanisme tax-subsidy, terdapat reward dan punishment terhadap
deviasi dari rata-rata kontribusi atau partisipasi dari pihak lainnya. Sedangkan mekanisme
kompensasi adalah dimungkinkannya subsidi dari pihak satu kepada kontribusi atau partisipasi
dari pihak lainnya.
Secara mendasar, masalah penanggulangan bencana di daerah perkotaan akan melibatkan tiga
pihak minimal, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kota, sedangkan
dalam paradigm perimbangan keuangan pusat daerah tidak dikenal istilah pajak upeti dari kota
kepada propinsi atau kepada pusat karenanya pendekatan yang cocok untuk system insentif dan
disinsentif dalam pengarusutamaan resiko bencana daerah perkotaan adalah mekanisme
kompensasi dimana pemerintah pusat dan/atau pemerintah propinsi dapat memberikan
kompensasi berupa belanja subsidi, hibah, maupun belanja bantuan sosial yang dapat
dianggarkan dalam APBN dan APBD propinsi kepada pemerintah kota yang menunjukkan
compliance-nya lewat pembentukan BPBD. Mekanisme insentif dan disinsetif dari pemerintah
pusat dapat juga ditambahkan dengan persyaratan lain yaitu dengan menilai anggaran program
penanggulangan berbasis kinerja yang memiliki aspek pemenuhan capaian program
penanggulangan bencana yang eksternalitas positifnya dapat juga dinikmati oleh daerah kota di
propinsi lain yang memiliki keunikan serupa dalam tingkat potensi dan kerentanan bencana.
Dengan kata lain, pemerintah kota yang akan melibatkan program-program BPBD-nya dengan
BPBD kota di propinsi lain melalui kerjasama atau skema resource sharing akan mendapatkan
kompensasi lebih dibanding BPBD pemerintah kota. Demikian juga halnya dengan pemerintah
propinsi dapat memberikan extra kompensasi kepada pemerintah kota bila program

-9-

penanggulangan bencana daerahnya akan menimbulkan eksternalitas positif terhadap
kota/kabupaten yang berada disekitarnya dalam satu propinsi yang sama.
Kemungkinan lainnya adalah secara tegas melakukan mekanisme tax-subsidy melalui modifikasi
sederhana dimana walaupun tidak ada system pajak upeti dari pemerintah kota ke pemerintah
pusat dan propinsi, namun pemerintah pusat dan propinsi memiliki kewenangan untuk menolak
RAPBD, mengurangi, menangguhkan, bahkan menghentikan aliran dana perimbangan seperti
DAU, DBH dan DAK kepada pemerintah kota yang tidak comply terhadap kebijakan nasional
yang diamanatkan UU. Wacana terhadap penggunaan kewenangan mekanisme perimbangan
keuangan pusat daerah ini memang bukanlah hal baru, namun sepertinya sulit dilakukan karena
aspek-aspek non teknis anggaran yang seringkali dikedepankan. Bahkan PP No. 19/2010 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Wakil Pemerintah di Wilayah
Provinsi yang jelas memperkuat posisi gubernur dalam memberikan sanksi pada bupati/walikota
yang melakukan pelanggaran berat terkait aspek terkait kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan
pelanggaran sumpah atau janji ditenggarai tidak dapat menggunakan anggaran sebagai alat
insentif-disinsentif dalam pengarusutamaan resiko bencana.
Bila melibatkan partisipasi penanggulangan bencana dari pihak diluar pemerintahan misalnya
swasta dan masyarakat umum, mekanisme kompensasi juga terlihat sebagai mekanisme yang
paling memungkinkan karena sudah mandulnya kewenangan pemerintah kota dalam
memberlakukan pajak baru melalui Peraturan daerah (PERDA) sesuai amanat UU No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun wacana tentang penggunaan alat
diskon atau potongan/keringanan jenis pajak daerah tertentu sebagai insentif atau disinsentif
denda yang di perda-kan ditingkat propinsi atau kota masih memungkinkan untuk digunakan
guna mendorong partisipasi masyarakat baik pengusaha maupun masyarakat umum lainnya.

Tabel 3. Skema Insentif yang Dapat Ditempuh Pemerintah Pusat dan Propinsi Untuk
Mendanai Pengarusutamaan Resiko Bencana Daerah Perkotaan
1. Capitation grant

Sejumlah uang untuk setiap
penerima manfaat tetap yang

Tidak terbatas: pemerintah
pusat menanggung semua biaya
yang dikeluarkan oleh program

Terbatas: pemerintah pusat
menanggung semua biaya yang
dikeluarkan oleh program

- 10 -

diberikan kepada pelaksana
program lokal.

2. Block grant

Sejumlah uang diberikan
kepada pemerintah kota
sebagai tambahan sumber daya
yang telah ada.

3. Matching grant

Hibah dari pemerintah
pusat/propinsi
yang disesuaikan dengan
proporsi tertentu dari anggaran
di tingkat kota

ini. Sistem ini dapat
mempengaruhi penyedia lokal
untuk memaksimalkan output
tanpa mempertimbangkan biaya
yang harus dikeluarkan.
Pemerintah pusat dengan
demikian hanya dapat
mempengaruhi implementasi
dan penyediaan program
melalui pembuatan aturan yang
hati-hati dan monitoring secara
ketat serta mengaudit hasil
yang dicapai oleh pem lokal.
Tanpa syarat: pemerintah
pusat/propinsi tidak membatasi
pemerintah kota dengan
sejumlah persyaratan dan hal
ini akhirnya secara efektif
meningkatkan anggaran dari
pemkot.
Tidak terbatas: Setiap bentuk
pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah kota akan
disesuaikan dengan anggaran
pemerintah pusat/propinsi, hal
ini menyebabkan pemerintah
pusat/propinsi kehilangan
kontrol yang besar terhadap
anggarannya

tersebut sampai dengan suatu
tingkat pengeluaran maksimum
tertentu. Ini akan membantu
mengontrol pengeluaran
pemerintah pusat, tetapi juga
berdampak pada tidak
tercakupnya banyak
pihak yang semestinya
mendapatkan manfaat dari
program tersebut.

Bersyarat: Pemerintah pusat
meminta pemkot untuk
menggunakan dana hanya
untuk program
pengarusutamaan resiko
bencana
Terbatas: Pemerintah
pusat/propinsi akan
menyesuaikan pengeluaran
yang dilakukan oleh pemkot
pada rasio tertentu dan sampai
pada nilai pengeluaran
maksimum tertentu. Rencana
ini membutuhkan suatu desain
yang amat hati-hati karena
rasio penyesuaian dan jumlah
maksimum akan mempengaruhi
pola pengeluaran pemkot.

Khusus untuk pihak non pemerintah dalam hal ini masyarakat, baik pengusaha maupun
masyarakat umum bentuk insentif dan disinsentif dapat dilakukan juga melalui mekanisme yang
bukan insentif-disinsentif berupa moneter namun berupa penghargaan atau pemberian predikat
baik atau buruk yang diberikan oleh pemerintah pusat atau propinsi kepada pihak masyarakat
yang memberikan partisipasi dan kontribusinya yang nyata dan dipandang mampu mendorong
pula pada peningkatan partisipasi dan kontribusi dari masyarakat yang lebih luas lagi.
Melihat kemungkinan-kemungkinan dan hambatan-hambatan yang mungkin akan terjadi
setelahnya

diatas,

jelas

dalam

pelaksanaannya,

system

insentif-disinsentif

untuk

pengarusutamaan resiko bencana daerah perkotaan ini akan menghadapi tantangan yang tidak
mudah terkait pada masalah perangkat kelembagaan yang masih belum sempurna dimana
interpretasi dari peraturan dan perundang-undangan dari tiap stakeholders akan berbeda-beda
sesuai dengan interest mereka masing-masing.

- 11 -

4. Isu-Isu yang Harus Diperhatikan dalam Proses Penganggaran
1. Dasar hukum pemberian dana insentif dalam bentuk subsidi, hibah ataupun bantuan social
telah dibatasi oleh PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
Dalam PP ini Pasal 6 Ayat 5 dengan jelas menetapkan bahwa Dana bantuan sosial berpola
hibah disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana,
sedangkan

pembentukan

BPBD

atau

pengakomodasian

PRB

daerah

perkotaan jelas sekali terjadi sebelum bencana datang (pra bencana).
Selanjutnya Pasal 8 dalam PP ini juga hanya menyebutkan tentang
penyediaan fasilitas dari pemerintah pusat atau daerah terhadap partisipasi
masyarakat yang akan memberikan atau mengumpulkan dana bencana.
Dana insentif dalam PP ini hanya dimungkinkan dimasukkan sebagai
komponen dari dana belanja penanggulangan bencana yang memang
eksplisit termasuk didalamnya untuk pendanaan kegiatan pra bencana.
2. Bila melihat karakteristik urusan yang akan didanai oleh belanja
pemerintah pusat, maka dana kompensasi PRB daerah perkotaan ini dapat
dianggap sebagai prioritas nasional yang diharapkan dapat pula dialirkan
pendanaannya melalui alternative dana alokasi khusus (DAK), namun seperti
sudah diketahui umum, besaran DAK tidak pernah berjumlah signifikan,
terlebih dengan adanya syarat dana pendamping dari daerah yang mungkin
akan memberatkan bagi kota-kota yang secara kemmapuan keuangan masih
terbatas atau prioritas anggaran untuk bencana dari RPJP, RPJM, bahkan
resntranya tidaklah dianggap penting.
3. Ketiadaan definisi yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan
bencana, akan mempengaruhi arah kebijakan Pemerintah Daerah dalam urusan Penanggulangan
Bencana, termasuk penganggaran. Belum tersedianya aturan yang jelas tentang penetapan status
bencana (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) ini juga mempengaruhi Pemerintah Daerah

- 12 -

dalam pengelolaan sumber pendanaan penanggulangan bencana terutama yang berasal dari
APBD dan DAK.
4. Dana kompensasi insentif PRB daerah perkotaan akan berbenturan dengan kebiasaan
penggunaan mekanisme lama yaitu Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana yang masih
diambil dari “dana tak tersangka” yang birokrasinya tidak mudah dan makan waktu.
5. Dibutuhkannya pemahaman yang sejalan antara pihak eksekutif dan legislatif dalam
menentukan bentuk mekanisme sistem insentif-disinsentif yang optimal terkait dengan masih
banyaknya hal-hal berbentuk supra-struktur utamanya kelembagaan dalam pengarusutamaan
resiko bencana daerah perkotaan.
6. Diperlukannya formulasi tentang penentuan besaran dana kompensasi insentif yang tidak
berlaku sama rata untuk setiap daerah kota. Formulasi ini dipandang perlu guna memastikan
efisiensi dan optimalisasi penggunaan dana yang tidak sedikit. Indikator-indikator penentu
besaran dana kompensasi insentif perlu dibangun dengan mempertimbangkan derajat potensi dan
kerentanan bencana daerah kota selain indikator kapasitas keuangan dan atau jumlah penduduk
daerah kota tersebut.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengembangan system insentif dan disinsentif untuk pengarusutamaan resiko bencana daerah
perkotaan merupakan upaya yang mutlak harus dipersiapkan. Kelemahan yang ada yang
dihadapi pengembangan sistem ini ditenggarai oleh belum padunya perangkat pendukung utama
yaitu kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Dari aturan keuangan pemerintahan baik pusat dan daerah yang telah ada, ditenggarai bahwa
pola yang sudah masih dapat dimanfaatkan dalam upaya melaksakan system insentif dan
disinsentif pengarusutamaan resiko bencana di daerah perkotaan. Namun dalam jangka panjang
pendekatan modifikasi mekanisme penganggaran untuk insentif-disinsentif harus dirubah

- 13 -

menjadi suatu system yang utuh dan tidak berkesan hit and run serta berkesan kebijakan tambal
sulam.
Dibutuhkan satu mekanisme yang optimal dimana dana penanggulangan bencana dapat
diupayakan tidak menjadi beban anggaran seperti opsi asuransi internasional terutama dari
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Sehingga system insentif-disinsentif dapat dilakukan
tanpa membahayakan prioritas anggaran serta kapasitas keuangan yang ada. Pemerintah pusat
sebenarnya dapat pula menggunakan mekanisme asuransi ini melalui pembelian catastrophe
Bonds (obligasi bencana) yang diterbitkan melalaui platform dukungan World Bank yang disebut
MultiCat Program dimana pemerintah pusat dengan kapasitas keuangannya yang paling kuat
dapat menerbitkan bonds tersebut dan memperoleh dana dari masyarakat. Bila terjadi bencama
maka pemerintah dapat menggunakan dana tersebut secara cepat pada saat dibutuhkan; dengan
kata lain ini adalah bentuk asuransi bencana yang berbentuk catastrophe bonds.
Guna memperkuat alasan penggunaan APBN dan APBD sebagai sumber utama dalam system
mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengarusutamaan resiko bencana daerah perkotaan,
maka diperlukan suatu mekanisme kerjasama antar daerah secara horizontal domestic maupun
internasional yang akan mengentalkan prinsip pentingnya eksternalitas dari hasil progam
penanggulangan bencana baik pada saat sebelum, berlangsungnya bencana dan setelah bencana.

TINJAUAN PUSTAKA
Asia Foundation and ADB (2002), Panduan Analisis dan Advokasi Anggaran Pemerintah Daerah
di Indonesia
Bappenas (2009), Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan,
Strategi, dan Operasi).
Bakornas PBP (2002), Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Di Indonesia
Kodrat Wibowo, (2004), Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembiayaan Sektor Publik Sebagai
Perwujudan Hak dan Kewajibannya dalam Penyediaan Barang dan Jasa Publik, Jurnal
Sosio Humanitas, Universitas Langlang Buana.
UNDP (2008), Safer Communities through Disaster Risk Reduction

- 14 -

World Bank (2008), Insuring against natural disaster risk: New catastrophe bond issuance
platform
LAMPIRAN:

World Bank: Insuring against natural
disaster risk: New catastrophe bond issuance
platform
Date:28 Oct 2009
Source(s):World Bank, the (WB)
Over the past decade, there has been an increase in the intensity and damage caused by natural
disasters worldwide. 'Natural' disasters do not distinguish between developed and developing
countries. But emerging countries have been hit the hardest, experiencing 7% GDP loss due to
destruction caused by natural disasters between 1977 and 2001 alone, according to a paper coauthored by World Bank expert Eugene Gurenko.
Only three percent of potential losses in developing countries are insured (compared to 45
percent in developed countries). As a result, such events exact a devastating toll on public
finances when governments have to cover the costs of emergency and relief efforts, as well as
reconstruction work. And yet, most of these countries are unable to access international
insurance and reinsurance markets to cover themselves against such contingent liabilities.
“High and volatile insurance premiums, the complexity of contracts, and the insurance industry’s
limited capacity to absorb extreme risks bar many countries from accessing the international
insurance markets,” says Ivan Zelenko, head of derivatives and structured finance at the World
Bank Treasury.
Countries highly vulnerable to catastrophic 'natural' disasters needed an innovative approach to
optimize their risk coverage and premium terms, and mitigate the impact on government
budgets.
Harnessing the Power of Capital Markets for Post-disaster Reconstruction
With over US$150 trillion in assets, the international capital markets have the depth and liquidity
to absorb huge risks and generate timely payouts. Various financial instruments have evolved for
this purpose, including catastrophe bonds. These bonds allow investors to diversify their assets
and pay much higher interest rates to compensate for the risk of the issuer not repaying the
principal in the event of a major catastrophe.

- 15 -

But many disaster-prone countries cannot access these sophisticated financial instruments.
The World Bank just launched a new catastrophe bond issuance platform —the MultiCat
Program— that will allow governments and public entities in these countries to buy insurance on
affordable terms in the form of a catastrophe bond. These bonds will provide a government with
immediate access to liquidity to fund emergency relief operations after a 'natural' disaster, thus
reducing volatility in fiscal budgets while avoiding the need to set up idle reserves.
Mexico, one of the most experienced governments in catastrophe risk management, had already
issued a catastrophe bond in 2006 to cover itself against earthquake risk. But the new MultiCat
Program goes well beyond any single peril catastrophe bond by allowing governments and
public entities to access the catastrophe bond markets through a framework supported by the
Bank.
The MultiCat platform is flexible and can support a variety of structures, including the pooling of
multiple perils (earthquake, hurricane, rainfall) in different regions. The pooling of different risks
helps to attract new investors, enlarging the investor base and lowering the insurance premium
over time.
Mexico: Leading in Innovative Financial Risk Management Solutions for 'Natural'
Disasters
The Bank worked in partnership with Mexico to develop the MultiCat Program. The multi-donor
trust fund, the Global Facility for Disaster Reduction and Recovery, financed the risk modeling
analysis needed to assess the probability and severity of catastrophic events in the country.
Mexico became the first country to issue a $290 million series of notes using the MultiCat
Program earlier this month.
“The demonstration effect of this transaction for other emerging market countries cannot be
overstated,” says Issam Abousleiman, head of Banking Products, World Bank Treasury. “It has
paved the way for other highly exposed countries to manage their fiscal volatility by transferring
extreme weather-related risks to capital markets.”
Expanding Catastrophe Risk Financing
All bonds issued under the platform will carry the MultiCat brand name and use a common legal
structure and documentation, with the World Bank acting as arranger. Thus, issuing countries
will benefit from the Bank’s expertise in identifying and pooling risks, as well as its experience
in pulling together highly complex transactions and attracting a broad range of investors.
This type of risk financing is an important component in the strategic framework for catastrophe
risk management advocated by the Bank Group. Traditionally, the Bank’s work in developing
countries has been limited to post-disaster reconstruction lending. The Bank now offers a suite of
products and services to help countries develop approaches to managing the risk of external
shocks since traditional post-disaster responses can be costly, inefficient, and difficult to manage
when a country is in crisis.

- 16 -

“A comprehensive approach to disaster risk management involves risk assessment, institutional
capacity building, investments in risk mitigation, emergency preparedness, and catastrophe risk
financing,” says Phillip Anderson, acting director of Banking and Debt Management in the
World Bank Treasury.
“The MultiCat Program is an important addition to the products and services offered by the
World Bank to help member countries take responsibility and plan ahead of time to manage the
risk of natural disasters."
These products and services are most effective as part of a broader catastrophe risk management
strategy that involves layering resources based on the severity and frequency of natural disasters
for highly exposed countries. For instance, governments can cover small and recurrent losses by
building national reserves. They can use contingent financing to access capital after a disaster
occurs. More severe but less frequent losses can be covered by insurance and/or reinsurance; and
major 'natural' disasters can be transferred to the capital markets through insurance-linked
securities such as catastrophe bonds.
http://go.worldbank.org/E1SSPGFT00

- 17 -