Tinjauan Literatur Modernitas dan Spirit (2)

Tinjauan Literatur: ‘Modernitas dan Spiritualitas Islam dalam Jaringan Baru Sufi Indonesia 1’
Fazar R. Sargani (1106059221)
Berkembangnya kaum modernis Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 yang terinspirasi oleh
gerakan modernisasi Islam di Mesir memiliki dampak tersendiri terhadap marjinalisasi tradisi sufisme
di Indonesia. Tujuan para kaum modernis Islam tersebut untuk membebaskan agama dari hal-hal
kuno dan melepaskan potensinya bagi kepemimpinan spiritual dalam dunia modern. Walaupun para
kaum modernis di Timur Tengah tetap mengapresiasi tradisi sufi, nampaknya hal tersebut kurang
terjadi di Indonesia. Tradisi sufisme menjadi sasaran kritikan kaum modernis yang memandang sufi
sebagai sesuatu yang bisa dengan mudah terjerumus dalam penyekutuan Tuhan karena sifatnya yang
longgar dalam menerima kepercayaan lokal, juga karena dinilai bebrapa bilai dari sufisme
berlawanan dengan hukum Islam. Tuduhan-tuduhan semacam ini pada tradisi sufi dapat dengan
mudah menyebar mengingat pada 1910-an berdiri organisasi Islam modern yang tumbuh secara
cepat.
Para ahli seperti Arberry (1950), Geertz (1960b, 1968) dan Gellner (1981, 1992) secara ilmiah melihat
bahwa sufisme dapat dipastikan akan pudar mengingat perubahan sosail modernisasi sanget
membantu pergantian ritual emosional sufi dan praktik mistik dengan skriptualisme para ulama yang
berpusat di kota. Mengingat agama yang akan bertahan adalah agama yang dapat melakukan
rasionalisasi struktural dan doktrinal skriptual yang terdapat pada ciri agama mapan Ibrahimiah
(Islam modern, Kristen). Intinya menurut para ahli bahwa Islam yang akan terus berkembang adalah
Islam modern, bukan islam pra-modern yang karakteristiknya terdapat dalam sufisme.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tradisi sufisme Islam kadang dikacaukan dengan aliran-aliran

kebatinan. Keduanya memiliki perbedaan walaupun mengalami pengalaman yang hampir serupa,
yakni marjinalisasi secara struktural. Berdirinya Departemen Agama yang kemudian dengan rigid
mendefinisikan agama dengan beberapa klasifikasi yang wajib dipenuhi –yang secara tak langsung
sangat mencerminkan agama-agama Ibrahimiah- membuat aliran-aliran kebatinan seperti Aliran Jiwa
Indonesia Pancasila dan Majapahit, Ngelmu Sejati dan Perjalanan, Pangestu Sumarah dan lain-lain
tak mendapat legtimasi untuk eksis di Indonesia.
Paling tidak dari tulisan Howell ini dapat dilihat adanya dua faktor penyebab utama tradisi sufisme
bisa kembali ke permukaan bahkan hingga dapat menjadi sebuah fenomena di kota. Yang pertama
adalah faktor perubahan sosial-ekonomi yang dialami oleh masyarakat kota khususnya dan Indonesia
umumnya hasil dari strategi pembangunan Orde Baru. Urbanisasi yang cepat dan terjadi di beberapa
1 Dalam buku Urban Sufism. Van Bruinessen, Martin & Howell, Julia Day. Rajawali Pers. 2008

tempat sekaligus di Indoensia mendorong pembauran yang terjadi di area pemukiman. Horizon
kultural kaum urban kemudian berkembang dan memiliki karakter kosmopolitan, menyeimbangi
suasana kerja yang dibangun berdasar pada instrumen rasional dan rasionalitas kritis. Urbanisasi dan
rural-urban migration menjadi transformasi kultural yang dialami oleh banyak orang di Indoensia
pada saat itu. Hal ini tidak terlepas dari program pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah yang
berhasil meningkatkan angka melek huruf remaja pada tahun 1970 higga 40% sedangkan lulusan
Sekolah Menengah Atas meningkat sebesar 4% pada tahun yang sama. Tak hanya itu, pemerintah
Orde Baru dalam usahanya melakukan perluasan perndidikan, memberikan biaya bagi lembaga

pendidikan berbasis Islam (pesantren). Kemudian memfasilitasi para lulusan pesantren untuk
meneruskan studinya di universitas atau lembaga pendidikan tinggi yang berhubungan dan diminati
oleh para lulusan pesantren.
Kondisi di atas menunjang tumbuh kembangnya kelas menengah baru, pekerja kerah putih di
korporasi besar dan birokrasi. Meningkatnya kelas menengah juga diikuti meningkatnya minat
terhadap eksplorasi agama yang dipeluk oleh seseorang dan memperdalam kesalehannya. Para
muslim kelas menengah dan elit pada tahun 1980-an dan 1990-an memenuhi minatnya tersebut
melalui sejumlah sumber pendidikan Islam yang tak ada sebelumnya seperti internet, di samping
sumber-sumber seperti buku , majalah, pamflet dan kolom surat kabar. Studi-studi mengenai Islam
yang semakin berkembang tak hanya oleh kalangan pesantren atau dari dalam Islam itu sendiri tetapi
juga dari kalangan akademisi dan peneliti yang sering disebut sebagai Islamis juga menjadi bahan
sumber pemenuhan minat pendalaman agama. Juga didukung munculnya dai-dai atau penceramah
di media masa yang menyampaikan bentangan luas penafsiran tekstual dan gaya keagamaan. Namanama seperti Zainuddin MZ, Abdullah Gymnastiar, Jefry al-buchory, Yusuf Mansyur sering menghiasi
layar televisi swasta nasional.
Yang kedua yakni faktor kaum-kaum intelektual Islam yang bisa merehabilitasi nama sufisme.
Beberapa di antara mereka bisa dibilang sebagai intelekltual Islam neo-modernis, tetapi yang lainnya
belum tentu. Pada tahun 1970-an, situasi mulai berubah ketika banyak gerakan intelektual yang
merehabilitasi atau mengkomunikasikan kembali sufisme lewat syair bergendre sufi, tokoh utamanya
yakni Abdul Hadi, dan rekomunikasi dan reintroduksi sufisme lewat buku dan acara televisi yang
dilakukan oleh Hamka. Mereka hendak menyampaikan pada khalayak mengenai esensi dari sufisme

atau tasawuf yang positif bagi kehidupan modern dan dapat dipelajari melalui bacaan umum dan
tanpa harus terikat dengan tarekat (sufi order).
Kemudian ada para intelektual Islam yang bisa disebut sebagai intelektual neo-modernis yang
mengadvokasi, mereintroduksi dan juga melembagakan sufisme. Pionir dari intelektual neo-

modernis ini seperti Nurcholish Madjid, Haidar Bagir, Jalaluddin Rakhmat dan lain-lain. Perbedaan
antara kaum neo-modernis ini dengan kaum modern pendahulunya adalah mereka menawarkan
pemahaman atas konteks historis wahyu yang ada. Mereka beranggapan bahwa dengan menekankan
pada konteks dan substansi, akan dapat mengungkap secara lebih baik makna etika universal jika
dibandingkan dengan penafsiran harafiah/literal/skriptual yang dipahami seara konvensional. Mereka
juga melakukan analisa hermeneutik dan histori-empiris untuk dapat menarik konteks dari teks yang
diteliti. Mereka juga melakukan pendekatan kritis-rasional terhadap permasalah agama, dan
cenderung mendorong otonomi personal bagi para muridnya.
Para kaum neo-modernis ini kemudian mendirikan think tank Islam dan lembaga pendidikan Islam
yang komersil bagi orang dewasa. Pada 1986 Paramadina di dirikan di Jakarta oleh Nurcholish
Madjid, kemudian pada tahun 1990-an lahir lembaga-lembaga dengan model yang sama dengan
Paramadiana, di antaranya Tazkiya Sejati, ICNIS (Intensive Course and Networking for Islamic Science)
yang didirikan oleh dosen-dosen IAIN, IIMaN (Indonesian Islamic Media Network) yang didirikan oleh
para pendiri penerbit buku Mizan dan lain-lain. Lembaga-lembaga ini menyediakan jasa semacam
kuliah tentang agama Islam. Juga di dalamnya terdapat mata kuliah atau pelajaran mengenai

tasawuf/sufisme yang sangat populer khususnya di Paramadina. Demikian maka lembaga-lembaga ini
secara tidak langsung melalui pendidikan mengenai tasawuf yang ditawarkannya, melawan segala
bentuk stereotip yang berkembang di masyarakat.
Strategi-strategi yang digunakan oleh lembaga-lembaga ini dalam menyediakan kuliah untuk para
‘mahasiswanya’ yang tertarik dengan sufisme berbeda dengan tarekat pada umumya. Bentuk kuliah
singkat yang dilanjutkan diskusi dengan pembicara-pembicara tertentu (untuk Paramadina,
Nurcholish Madjid sedangkan Tazkiya Sejati oleh Jalaluddin Rakhmat) dan kegiatan workhsop
dikombinasikan dengan tempat-tempat atau lingkungan sosial yang mendukung seperti hotel
berbintang, terbukti digemari dan populer. Selain itu IIMaN dan ICNIS menggunakan sarana internet
untuk menyampaikan studi mengenai tasawuf kepada publik. Selain itu, khususnya ICNIS,
memberikan fasilitas forum bagi yang tertarik dengan gagasan New Age seperti Quantum Learning,
Reiki, Celestine Phropecy, IQ & EQ Spiritual dan lain-lain. Sedangkan Yayasan Tazkiya Sejati berfokus
pada misi untuk memperkenalkan tasawuf pada kaum urban lewat ceramah-ceramah Jalaluddin
Rakhmat. Tazkiya Sejati yang hanya berfokus pada tasawuf menerbitkan buku yang berjudul Mafatih
al-Jinan atau Kunci-Kunci Surga yang dikumpulkan oleh Jalaluddin Rakhmat sendiri. Walaupun
Tazkiya Sejati memfasilitasi pendidikan mengenai tasawuf, tetapi mereka tidak menawarkan
bimbimngan spiritual yang penuh bagi para hadirinnya seperti yang diberikan tarekat. Para
penceramah dan para (jika bisa dikatakan) pengikutnya hanya terikat pada relasi kontrak yang

terbatas. Tak hanya TazkiyaSejati, lembaga-lembaga pendidikan Islam komersial yang masanya

pendek tidak menyediakan bimbingan spiritual yang penuh meskipun memperkenalkan jalan untuk
para mahasiswanya jika ingin endapat pengajaran sufi konvensional dengan melakukan safari religi ke
tempat-tempat tarekat seperti pesantren Suryalaya pusat tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah dan
memlalui koneksi para dosen atau penceramah yang beberapa di antaranya merupakan guru di
tarekat (wakil talqin).