Artikel Independensi Politik dan Kebebas

Independensi Politik dan Kebebasan Perempuan Indonesia: Implikasi
Logis dari Islam dan Demokrasi untuk Menegakkan Demokrasi Islam di
Indonesia*
By: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

ABSTRAKSI

Hingga kini, perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai masalah berkaitan dengan
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Atas dasar itu, kita harus menemukan solusi signifikan
untuk menghadapi permasalahan tersebut. Adapun solusi yang dipilih oleh penulis adalah
partisipasi perempuan dalam politik (indendensi politik). Pengewajantahan independensi
politik perempuan mengharuskan adanya “kebebasan”. Kebebasan dapat terwujud dengan
mengimplementasikan nilai-nilai Islam dan demokrasi. Ini adalah salah satu jalan untuk
menegakkan Pemerintahan Demokrasi Islam yang berdasarkan pada Pancasila; jadi
pemberdayaan perempuan Indonesia dapat terealisasi. Pemberdayaan harus mengafirmasi
fitrah perempuan, yakni kesadaran dalam pengembangan keluarga karena itu merupakan
aspek inheren yang penting pada diri perempuan. Pada akhirnya, partisipasi perempuan
dalam ruang privat (keluarga) dan ruang publik (politik) berimplikasi pada penegakan dan
penguatan Gerakan Kebangkitan Islam.
Kata Kunci: Perempuan, Politik, Kebebasan, Islam dan Demokrasi.


Dewasa ini, isu gender merupakan isu kontroversial yang terkemuka dalam kancah
perkembangan global. Itu diindikasikan dengan ditetapkannya isu gender sebagai salah satu
dari delapan target "Sasaran Pembangunan Milenium” (Millennium Development Goals/
MDGs) yang disepakati oleh beberapa Negara di dunia, termasuk Indonesia. Isu gender
berkaitan erat dengan persoalan universal di mana “pemberdayaan perempuan” sebagai inti
(center of gravity) dari isu tersebut. Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan tidak
hanya terbatas pada tataran psikologi dan moral, tetapi juga merambah pada sektor ekonomi,
sosial, dan politik (bahkan kebudayaan, serta pertahanan dan keamanan), di mana semua itu
dibalut dalam bingkai nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.
Dalam platform pembangunan Indonesia, keadilan dan kesetaraan gender telah
menjadi perhatian, khususnya dalam dunia politik. Itu tercermin dengan kelahiran UndangUndang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang mempertegas arahan partisipasi
politik perempuan pada jalur-jalur lembaga politik. Di Indonesia, menurut data statistik,
jumlah (kuantitas) populasi perempuan melebihi laki-laki. Tetapi sangat disayangkan, secara
facktual, keterwakilan perempuan dalam kancah politik berbanding terbalik. Kesempatan
dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan perempuan sangat penting untuk ditingkatkan,
baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Padahal,

pada


faktanya,

perempuan

Indonesia

masih

menghadapi

banyak

permasalahan, yaitu dalam sektor sosial, ekonomi, politik, dan lainnya. Dalam bidang sosial,
kita masih menyaksikan rendahnya kualitas pendidikan Ibu (serta anak-anak, terutama
perempuan) dan juga berlaku pada kesehatan yang terkait dengan fungsi reproduksi
perempuan. Keterpurukan itu diperparah dengan pandangan kultural tertentu yang tidak
memberikan ruang kondusif bagi peningkatan peran perempuan, termasuk dalam sektor
tradisional. Itu dapat berimplikasi pada rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga, juga
menyempitnya kesempatan bagi perempuan untuk melakukan mobilitas horisontal dan
vertikal

Sementara itu, dalam bidang ekonomi, partisipasi perempuan dalam aktivitas ekonomi
masing rendah karena lebih dikonsentrasikan pada sektor konsumtif dan pelayanan jasa yang
lebih mengandalkan otot dan keringat. Terlebih lagi sistem upah/gaji yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan menunjukkan ketidakadilan pada sektor ekonomi. Selain itu,
merebaknya perdagangan anak dan perempuan dewasa ini menambah deretan permasalahan
perempuan. Lalu, kurangnya dukungan pemerintah dalam partisipasi perempuan dalam sektor
usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Selanjutnya, dalam bidang politik, sebenarnya Indonesia sudah memulai partisipasi
aktif perempuan dalam institusi/lembaga politik dan pembuat keputusan (pemangku
kebijakan). Sayangnya, pengetahuan para pemangku kebijakan tentang politik yang
berkeadilan dan bermartabat masih rendah. Kemudian, persyaratan 30 persen kursi parlemen
bagi perempuan belum terpenuhi. Itu karena perempuan tidak memiliki kesiapan untuk
menyambut tawaran tersebut, baik dari segi sumber daya, pengetahuan, keterampilan,
moralitas, integritas atau komitmen, dan pertanggungjawaban.
Dari pemaparan di atas mengindikasikan bahwa perempuan harus menemukan solusi
atau memilih salah satu jalan untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi
perempuan. Dalam hal ini, penulis memilih independensi politik sebagai jalan untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Diharapkan kehadiran perempuan dalam kancah
politik dapat menjadikan dunia politik sebagai tempat untuk merealisasikan pemberdayaan

perempuan. Itu dapat terwujud karena dunia politik sangat strategis dalam pembuatan hukumhukum, penetapan anggaran-pembiayaan, dan juga pengawasan implementasi hukum. Jadi,
menurut hemat penulis, peran perempuan dalam pembuatan keputusan di parlemen (salah
satu aspek dalam dunia politik) dapat berpengaruh besar pada kemajuan perempuan, terutama
dalam optimalisasi pemanfaatan aset masyarakat (modal sosial) yang dapat memberdayakan
masyarakat. Telah terbukti di berbagai Negara, seperti Iran, Italia, dan Kuba; hal itu
dilakukan oleh perempuan, terutama yang berkiprah di dunia politik.
Dalam kaca mata penulis, kebebasan perempuan Indonesia dalam dunia politik
merupakan jalan untuk merealisasikan Pemerintahan yang bernafaskan “demokrasi” dan
“nilai-nilai Islam”. Hal itu mengingat dasar Negara Indonesia (Pancasila) berdasarkan pada
nilai-nilai Islam, salah satunya Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama). Namun, kondisi
negeri ini tidak kondusif untuk menjadi Republik Islam karena Indonesia merupakan negara
majemuk yang terdiri dari berbagai latar belakang, suku, bangsa, agama, kepercayaan, dan
keragaman lainnya. Jadi, langkah paling bijaksana adalah mencoba untuk mensintesikan
antara “nilai-nilai” Islam dan demokrasi (sistem politik yang digunakan di Indonesia). Itu
karena nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai universal yang menekankan pada keadilan.
Menurut hemat penulis, titik temu antara demokrasi dan Islam adalah “kebebasan”.
Jadi, kebebasan adalah unsur yang terkandung atas sintesis antara “demokrasi” dan “Islam”.
Kebebasan perempuan dalam kedua hal tersebut dapat merealisasikan Pemerintahan
Demokrasi Islam dalam menyokong pemberdayaan perempuan. Selain itu, kebebasan
perempuan, terutama dalam ranah politik, akan mendorong peningkatan peran aktif

perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perspektif Islam, peran perempuan itu

ditempatkan sangat strategis. Seperti termaktub dalam sebuah hadits Rasulullah SAW,
“Perempuan itu ibarat tiang Negara, manakala baik (berkualitas) perempuan di suatu negara,
maka maka baiklah negara itu. Manakala rusak kaum perempuannya, rusaklah Negara itu”.
Adapun hal esensial yang harus diperjuangkan oleh perempuan sesungguhnya
bukanlah menuntut hak perempuan, tapi membangun “kesadaran”. Karena penuntutan hak
bertentangan dengan kaidah logika; apabila perempuan menuntut hak berarti perempuan
merasa ada hak yang dirampas oleh pihak lain di luar dirinya, baik disebabkan oleh sistem
maupun individu. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal perempuan mengafirmasi
posisinya sebagai subordinat. Kesadaran pada akhirnya akan mengarahkan pada
pemberdayaan perempuan karena mereka yang lebih mengetahui permasalahan yang
berhubungan dengan dirinya.
Dalam pemberdayaan perempuan, kita jangan melupakan unit terkecil dalam
kelambagaan masyarakat adalah “keluarga”, di mana “Ibu” mengambil peranan penting di
dalamnya. Dengan demikian, kualitas Ibu dalam memerankan “pembimbing” dan “pendidik”
dalam keluarga akan memengaruhi kualitas rasa saling percaya dalam masyarakat yang
kemudian akan melahirkan kemampuan pemberdayaan diri dan karya-karya konstruktif.
Berdasarkan kaca mata penulis, salah satu implikasi kiprah perempuan Indonesia
dalam ranah privat dan publik adalah perwujudan Pergerakan Kebangkitan Islam. Islam

sangat concern terhadap perubahan sosial, bahkan kedatangan Islam telah mangangkat harkat
dan martabat perempuan Arab pada masa jahiliyah. Seperti dinyatakan oleh Imam Khomeini
bahwa aksi yang terpenting untuk menolong perempuan untuk keluar dari sistem sosial dan
ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka, yakni dengan memperbaiki dan menyediakan
hak-hak bagi perempuan dalam ranah privat (keluarga) dan publik (masyarakat). Oleh karena
itu, perempuan sendiri yang seharusnya menentukan apakah mau “berdaya” atau
“diperdaya”; jawaban ada di tangan anda, para perempuan Indonesia.

*Artikel tersebut merupakan intisari dari makalah yang dikirim kepada panitia Konferensi
Islamic Awakening Movement 2012, di Iran.