EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-1516 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN EXPLORATION ON DEMOCRATIC VALUES AND PRACTICES IN WAJO’ HISTORIC KINGDOM IN THE 15 TH AND 16 TH CENTURY AND THEIR COMP

EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-15/16 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN EXPLORATION ON DEMOCRATIC VALUES AND PRACTICES IN WAJO TH AND 16 ’ HISTORIC KINGDOM IN THE 15 TH CENTURY AND THEIR COMPATIBILITY WITH THE MODERN DEMOCRATIC SYSTEM

Wahyuddin Halim

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar wahyuddin.halim@anu.edu.au

Abstract

This paper explores the practice of democratic values in political system of the traditional Bugis state or kingdom of Wajo’ in South Sulawesi during its golden era around the end of the 15 th and the early 16 th century. Long before similar values were established in the 18 th century Europe, in Wajo’ they had been part of the state system, developing Wajo’ as unique kingdom among other Bugis-Makassar kingdoms in the southern Sulawesi. Some scholars have claimed Wajo’ as ‘democratic-aristocratic kingdom’ (Pelras, 2006), ‘aristocratic republic’ (Mattulada, 1991a), and ‘democratic kingdom’ (Abidin, 1983). Based on literature review on the traditional manuscripts (B. Lontara’), as have been transliterated and explained by some scholars of Bugis history and culture, I describe some democratic practices in Wajo’ political and moral system (pangngadereng), such as the state’s acknowledgment and respect to its people’s right for freedom, the freedom of speech, the existence of a board of the highest lords which is similar to people’s representative body in the modern political system, the king election, and the people’s equal right before the law.

Keywords: Democracy, local wisdom, political system, Wajo ’ kingdom, freedom

Abstrak

Tulisan ini menggali praktik nilai-nilai demokrasi dalam sistem politik dari kerajaan Bugis tradisional Wajo ’ di Sulawesi Selatan selama era kejayaannya pada sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Lama sebelum nilai-nilai yang kurang lebih sama dipraktikkan di Eropa pada abad ke-18, nilai-nilai tersebut telah menjadi sistem kerajaan di Wajo’, dan membuatnya menjadi kerajaan yang cukup unik di antara kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di bagian selatan Pulau Sulawesi. Beberapa sarjana telah menyebut Wajo’ sebagai ‘kerajaan aristokratik demokratis’ (Pelras, 2006), ‘republik aristokratis’ (Mattulada, 1991a) dan ‘kerajaan demokratis’ (Abidin, 1983). Berdasarkan atas pembacaan cermat atas sejumlah manuskrip tradisional (Bugis: Lontara’), sebagaimana ditransliterasi dan diulas oleh beberapa pakar sejarah dan budaya Bugis, penulis mendeskripsikan beberapa praktik dasar demokrasi dalam sistem politik dan moral (pangngadereng) seperti pengakuan dan penghormatan kerajaan atas hak-hak kebebasan rakyatnya, adanya kebebasan berbicara, adanya dewan pertuanan tertinggi yang agak menyerupai dewan perwakilan rakyat di sistem demokrasi politik modern, sistem pemilihan raja dan kesamaan hak semua orang di hadapan hukum.

Kata kunci: Demokrasi, Kearifan Lokal, Sistem Politik, Kerajaan Wajo’, Kebebasan

Pendahuluan

Menjelang akhir milennium kedua, sejumlah negara di Eropa Timur, misalnya, menumbangkan

Sudah sejak lama di kalangan budayawan pemerintahan totaliter mereka yang telah dan pemerintah lokal di Indonesia mencuat berkuasa hampir setengah abad. Sementara itu, gagasan menggali, menginventarisasi, mereinvensi republik-republik pecahan Uni Soviet masih dan merevitalisasi kearifan lokal (local wisdom)

menuntaskan penggantian rezim tentang kepemimpinan (leadership) dan kepemerintahan Komunis yang telah berkuasa hampir 75 tahun (governance), khususnya yang memiliki kompatibilitas dengan suatu tatanan demokrasi baru. dengan kehidupan masyarakat modern. Gagasan

berjuang

seperti ini dipandang semakin penting terutama Perubahan politik yang luar biasa di setelah euforia kebebasan dan demokrasi

Eropa itu telah menjadi salah satu pemantik bagi menyeruak di sejumlah kawasan di dunia.

bangsa-bangsa di bagian dunia lainnya untuk

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 187 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 187

unsur-unsur berikut ini: (1) kedaulatan rakyat; dan sebagian besar Amerika Selatan kini boleh

(2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari dikatakan cukup wajar mengklaim diri sebagai

yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) bumi demokrasi. Afrika sedang mengalami

hak-hak minoritas; (5) jaminan atas hak-hak zaman reformasi demokratis yang tidak pernah

asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan terjadi sebelumnya. Salah satu pendorong

jujur; (7) proses hukum yang wajar; (8) munculnya Musim Semi Arab (Arab Spring)

kekuasaan pemerintah secara dalam satu dekade terakhir ini adalah semangat

pembatasan

konstitusional; (9) pluralisme sosial, ekonomi, bangsa-bangsa

dan politik sebagai elemen-elemen masyarakat ketatanegaraan mereka yang selama ini bersifat

sipil (CCE, 2007). Selain itu, diperlukan pula monarki absolutis dan otoritarian menjadi sistem

penghormatan terhadap nilai-nilai pemerintahan demokratis. Sementara itu, konsolidasi

adanya

toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat. demokrasi (liberal) terus berlangsung di sejumlah

Seperti diringkaskan oleh Friedman (1992, 75). negara di Asia, khususnya di India dan

‘Democracy implies that the people Indonesia.

organized into political communities Gejala mendunia ini meruntuhkan keraguan

are the ultimate source of sovereign banyak orang bahwa demokrasi, khususnya

power over their life spaces, which, in demokrasi liberal modern, adalah benda antik the modern era, constitute precisely

bounded territories. As “the executive khas Barat yang tidak dapat bersemi dengan organ” of the political community, the

subur dalam budaya non-Barat, lebih-lebih di state is sovereign over its territory only negeri-negeri Muslim. Namun, pengalaman

of the peopl e’s Indonesia, sebagai negara dengan konsentrasi

by

extension

sovereignty. For all its actions, the state penduduk Muslim terbesar di dunia, dalam

is accountable to the community’. membangun kehidupan bernegara yang demokratis

(Demokrasi menyiratkan makna bahwa telah banyak mendapat pujian. Menurut Mujani

orang-orang yang diatur dalam komunitas (2007), pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi

politik adalah sumber tertinggi dari turut meruntuhkan asumsi bahwa negeri-negeri

kekuasaan yang berdaulat atas ruang Muslim sangat tidak kompatibel dan kondusif

hidup mereka, yang persisnya, dalam sebagai lahan subur bagi tumbuhnya sistem

era modern, membentuk wilayah- politik demokratis. Di suatu dunia tempat

wilayah yang terikat. Sebagai “organ demokrasi dipraktikkan di negara-negara lainnya

pemerintahan” dari masyarakat politik seperti Jepang, Italia dan Venezuela, terlihat

tersebut, negara berdaulat atas wilayahnya bahwa lembaga-lembaga demokrasi secara sah hanya berkat perluasan kedaulatan orang-orang yang tinggal di dalamnya.

dapat mengaku menampung aspirasi universal Untuk seluruh tindakannya, negara manusia bagi kebebasan dan pemerintahan

bertanggung jawab kepada masyarakatnya). sendiri.

ternyata terus berlanjut dan meluas: dari

Prinsip-Prinsip Demokrasi, Kebebasan,

Mongolia, Taiwan sampai Yaman di Asia, dan

HAM, dan Civil Society dalam Kerajaan

dari Senegal, Gabon dan Kongo sampai Angola

Bugis-Makassar Tradisional

dan Afrika Selatan di Afrika.

sarjana telah berupaya Tulisan ini berupaya menunjukkan

Sejumlah

mengeksplorasi dan me-reinvensi nilai-nilai bahwa prinsip-prinsip atau sistem pemerintahan

demokrasi dalam kebudayaan Bugis-Makassar demokratis ternyata bukan sesuatu yang baru

masa lalu. H.A. Kadir Manyambeang, misalnya, dikenal

dan dipraktikkan dalam sejarah melakukan penelusuran terhadap bibit-bibit masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara,

demokrasi dalam kebudayaan etnik Makassar khususnya

ketika menyampaikan pidato pengukuhannya kenyatannya, unsur-unsur masyarakat demokratis

di awal

abad

ke-17. Pada

sebagai Guru Besar di Universitas Hasanuddin telah menjadi salah satu sistem kehidupan

(Ibrahim, 2003). Professor Andi Zainal Abidin, bermasyarakat di kawasan lain di dunia,

dalam beberapa karyanya (khususnya Wajo’ termasuk di Nusantara, pada sekitar satu atau dua

pada Abad XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah abad sebelum dipraktikkan di kedua benua yang

Terpendam Sulawesi Selatan [1983] dan disebutkan di atas. Dalam berbagai literatur

Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum, tentang demokrasi disebutkan bahwa, secara

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Negara dan Dunia Luar [1985]) mengemukakan (collective memory) anggota masyarakat, dan adanya tatanan kehidupan demokratis dalam

terutama pemikiran-pemikiran para negarawan, masyarakat Bugis Wajo’ di era kerajaan

ahli fikir (filsuf), dan cendekiawan mereka. historisnya. Sementara itu, Anwar Ibrahim dalam

Menurut Anderson (2003), kerajaan-kerajaan karyanya Sulesana: Kumpulan Esai tentang

Bugis tradisional yang terdiri atas kelompok Demokrasi dan Kearifan Lokal (2003) menulis

etnik tunggal memiliki tiga ciri utama: (1) tentang ide demokrasi dalam budaya Bugis-

bersifat konfederatif (gabungan antara kerajaan- Makassar, khususnya di kerajaan-kerajaan Gowa,

kerajaan kecil), (2) adanya penguasa tertinggi Bone, Soppeng, dan Luwu’. Para sarjana ini

(paramount rulers), dan (3) adanya batas-batas berpendapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi

kerajaan Bugis adalah dan kebebasan sedikit banyak dapat dilacak

teritorial.

Setiap

konfederasi unit-unit politik yang lebih kecil dalam kehidupan masyarakat di kerajaan-

(limpo) yang menggabungkan diri dalam rangka kerajaan historis Bugis-Makassar seperti Bone,

keuntungan bersama dan karena prestise menjadi Luwu, Gowa, Soppeng, dan dan kerajaan-

bagian dari suatu garis keturunan tertentu. kerajaan di kawasan Ajattappareng.

Menurut Abidin (1983: 145-6), salah Tulisan ini berupaya mengidentifikasi

satu keunikan kerajaan-kerajaan historis di dan mengekplorasi secara khusus nilai-nilai dan

Sulawesi bagian selatan di antara kerajaan- praktik demokrasi dalam kehidupan sosial,

kerajaan lokal di Nusantara adalah karena dalam politik, budaya, dan hukum masyarakat Wajo’,

kerajaan-kerajaan yang disebut pertama dikenal

adanya perjanjian pemerintahan antara raja yang menjadi fokus utama tulisan ini karena alasan-

khususnya di era kerajaan historisnya. 1 Wajo’

dilantik (termasuk tomanurung) dengan wakil- alasan yang akan dipaparkan lebih lanjut. Seperti

wakil rakyat. Dalam perjanjian tersebut, hak-hak dinyatakan

dan kewajiban kedua belah pihak ditetapkan mengeksplorasi prinsip-prinsip penegakan demokrasi

oleh Ibrahim

upaya

secara tegas. Menurut Abdullah (1985, 86), teori dalam masyarakat Bugis-Makassar bisa dilakukan

kontrak sosial yang diproklamirkan oleh pemikir dengan menelaah butir-butir kontrak pemerintahan

politik Prancis, Jean-Jacques Rousseau (1712- (governmental contract) antara Tomanurung

1778) dalam bukunya, Du contrat social ou (orang yang dipercaya turun dari langit untuk

Principes du droit politique (1762) sesungguhnya mengawali pemerintahan di satu kerajaan)

telah dipraktikkan dalam sistem kepemimpinan dengan rakyat atau raja dengan rakyat, tradisi

manusia Bugis sekitar 300 tahun sebelum teori lisan, karya-karya sastra, cerita-cerita rakyat

itu diperkenalkan oleh cendekiawan Eropa pada (folklore), lagu-lagu rakyat, ungkapan-ungkapan

abad ke-18. Menurut Abdullah (1985) lebih turun temurun sebagai hasil dari ingatan bersama

lanjut, unsur-unsur yang menjadi tekanan Rousseau dalam teorinya itu, seperti kebebasan,

1 Penamaan batas-batas kekuasaan pemimpin, hak-hak asasi Wajo’ (juga Gowa, Luwu’, rakyat, peran wakil-wakil rakyat, serta sanksi Bone dan Soppeng) sebagai kerajaan historis dalam

tulisan ini dilakukan untuk membedakannya dengan terhadap penguasa yang melanggar, telah

kerajaan sebelumnya

dipraktikkan dalam realitas dunia masyarakat masyarakat di Sulawesi bagian selatan pernah ada di

yang dipercayai oleh

Bugis dan menjadi prinsip hidup mereka sejak wilayah-wilayah yang kurang lebih sama, yaitu Cina.

abad ke-15.

Namun, berbeda dengan yang disebut pertama, Salah satu contoh bentuk kontrak kerajaan yang disebut kedua ini tidak dapat diketahui

keberadaannya secara pasti karena ketiadaan sumber- pemerintahan dalam masyarakat Bugis seperti

sumber informasi tentangnya

disebut di atas dapat dilihat dalam perjanjian dipertanggungjawabkan secara historis, seperti

antara rakyat Wajo’ dengan La Paléwo To prasasti, kronik, dan sebagainya. Penamaan ini juga

yang

dapat

Pa lipu’ ketika yang disebut terakhir dipilih mengikuti Mattulada (1998) yang meyatakan bahwa

menjadi Arung Matoa Wajo’ pertama sebagaimana “periode sejarah” dalam masyarakat di Sulawesi

termuat dalam Lontara’ Sukku’na Wajo’. Dalam Selatan itu bermula pada abad keempat belas yang

perjanjian itu disebutkan kewajiban seorang raja ditandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan

Gowa, Luwu’, Bone, Wajo’ dan Soppeng, sedangkan dalam mengayomi, memelihara, dan menyejahterakan periode sebelumnya disebut “periode prasejarah” rakyatnya (Abidin, 1983: 136-7).

yang dikenal hanya lewat kisah- kisah “mitologis” “Ikomisia najellokengngi’ Déwata Séuaé tentang Sawerigading yang termuat dalam ribuan

mala arung, mudongiri temmatippa’keng halaman kitab kolosal yang dikenal dengan nama I

tanaé, musalipuri temmacekké’i to Wajo’é, Lagaligo.

murojangengngi essowenni, mappale’

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 189 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 189

Makassar, menurut Abidin (1983 dan 1999: 130) (Hanya engkaulah yang ditunjukkan

dan beberapa sarjana lain (antara lain Mattulada kepada kami oleh Dewata Yang Esa

1991; Th. Chabot 1950), Kerajaan Wajo’ lebih diambil jadi raja, engkau menjaga negeri

unik lagi dalam hal prinsip dan budaya dari gangguan burung pipit agar tidak

demokrasi. Reid (1998: 147) menambahkan hampa, menyelimuti orang-orang Wajo’

bahwa sejak akhir abad ketujuh belas hingga agar tidak kedinginan, mengusahakan

akhir abad kesembilan belas, Wajo’ menjadi asal kebaikan kami siang-malam, menyampaikan

bagi sebagian besar pelayar pengusaha dari [permohonan kami] dan memohonkan

Sulawesi dan bagi para pelaut Bugis yang kebaikan kepada Dewata Yang Esa) termasyhur yang berdagang ke seluruh kepulauan

Indonesia dan Kamboja. Karena keunikannya itulah, dan karena alasan-alasan yang akan diulas

Menurut Abidin (1983) lebih lanjut, muatan perjanjian yang sama walau dengan

dalam paragraf-paragraf berikutnya, penulis redaksi yang berbeda juga ditemukan di kerajaan- setuju dengan pendapat sejumlah sarjana yang

karya-karyanya menjadi rujukan utama dalam kerajaan Bugis-Makassar lainnya, seperti Luwu’, Gowa, Bone, Soppeng,

dan Suppa’. Karena tulisan ini bahwa kerajaan Wajo’ lebih layak kesamaan ini, Abidin lantas mengajukan

disebut sebagai “kerajaan demokratis”. hipotesis bahwa raja-raja di Sulawesi Selatan

Menurut sumber-sumber historis, terutama pada permulaan abad ke-15 sebenarnya berasal

lontara’ 2 , Kerajaan Wajo’ bermula di sebuah dari satu wangsa (dynasty) yang sama (lihat juga

tempat yang dikenal dengan nama Cinnottabi’. 3 Abidin, 2003).

Awalnya, tempat ini sekedar menjadi tempat Dari segi adanya perjanjian antara raja

transit bagi para pelancong, pemburu dan orang- dan rakyatnya seperti dikemukakan di atas,

orang yang terusir dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya, terutama Cina (belakangan menjadi

kerajaan-kerajaan di Sulawesi bagian selatan di awal abad ke-15 dipandang memiliki keunikan di

bagian dari Kerajaan Bone dan Wajo’) dan antara kerajaan-kerajaan lain di Nusantara pada

Luwu’. Berada di wilayah perbatasan antara dua periode yang kurang lebih sama. Sistem

kerajaan besar awal Bugis ini (sekitar abad ke- pemerintahan pada kerajaan-kerajaan yang

14), dan kerajaan-kerajaan Bugis yang muncul selanjutnya seperti Bone, Soppeng,

dan disebut terakhir lebih bersifat monarki absolut

dan raja memiliki posisi lebih penting dan tinggi Sidenreng (mulai abad ke-15), Cinnotabi daripada kerajaan. Walaupun di setiap kerajaan

merupakan daerah berhutan lebat yang didiami oleh babi hutan, rusa, dan kerbau. Daerah ini

Bugis-Makassar terdapat pemerintah tertinggi (misalnya, Arung Matoa di

Wajo’, Arumpone di juga memiliki banyak danau kecil yang menjadi Bone, Pajung di Luwu’), mereka ini tidak dapat tempat yang baik untuk menangkap ikan. Ada juga kawasan yang luas untuk lahan pertanian

mengubah sistem kerajaan menjadi otokrasi. Selain itu, ada sejumlah halangan bagi mereka

dan di wilayah berpesisir pantai Teluk Bone di untuk bertindak despotik dan menjadi tirani,

bagian timur yang merupakan tempat yang sangat baik untuk menangkap ikan laut. Karena

salah satunya adalah hukum adat (Anderson, 2003: 10). Ketika mengulas tentang halangan-

pluralisme asal-usul para leluhur pendirinya (dari halangan bagi tindakan tirani seperti ini dalam

Bone, Luwu’, Soppeng), maka Kerajaan Wajo’ merefleksikan sistem pemerintahan yang disusun

masyarakat Sulawesi Selatan, sejarahwan Asia Tenggara Anthony Reid (1999: 128) menyebutkan

kesepakatan-kesepakatan yang bahwa seorang penguasa akan kehilangan

berdasarkan

dibuat antara kelompok masyarakat yang beragam latar belakang dengan mereka yang

otoritasnya apabila tidak memerintah menurut adat. Hal iniChabot menegaskan bahwa otonomi masyarakat setempat harus dihormati. Dengan

2 Lontara’ (biasa juga ditulis lontaraq) adalah kata lain, kerajaan dan adat hidup masyarakat

tulisan tangan dalam bahasa Bugis, Makassar dan tidak terikat oleh siapa yang sedang menjadi raja,

Mandar di atas daun lontar (palmyra palm) yang dan seorang raja diharapkan melayani kepentingan

merekam pengetahuan tentang, antara lain, sejarah, kerajaan, bukan sebaliknya, kerajaan melayani

budaya, hokum dan pengetahuan dalam masyarakat kepentingan raja. tersebut di atas. Pada saat yang sama, ia juga menjadi nama bagi aksara dalam bahasa Bugis-Makassar.

3 Saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo’.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

yaitu mencakup tiga hal: pertama, tidak (Patunru, 1964; Noorduyn, 1955; Abidin, 1985;

menghalangi kehendak orang; kedua, tidak dan Macknight, 1993).

melarang orang mengeluarkan pendapat; dan ketiga, tidak mencegah orang pergi ke selatan, ke

Dalam karyanya yang telah disebut di utara, ke barat, ke timur, ke atas atau ke bawah. muka, Abidin (1983: 146) mengajukan fakta- Penjelasan tersebut di atas lalu disusul dengan fakta berikut yang membuat Kerajaan Wajo’

menjadi unik. Pertama, di kalimat yang menyatakan, “Itulah adat

Wajo’ terdapat hukum

kemerdekaan kalian wahai orang-orang adat (B.

Wajo’, ade’) yang menjamin hak-hak kebebasan jagalah perbuatanmu dan k rakyat. Hal itu, misalnya, tercermin dalam

etahuilah dirimu”

filosofi atau semboyang orang-orang Wajo’ di masa lalu (yang kemudian termaktub dalam

(Abidin, 1985: 148).

Prinsip kemerdekaan ini menunjukkan lambang Kabupaten Wajo’ saat ini) yang

adanya pengakuan dan jaminan kerajaan berbunyi “maradéka to Wajo’é ade’nami

terhadap salah satu hak asasi warganya, yaitu napopuang ” (Orang-orang Wajo’ itu merdeka,

kebebasan. Salah satu butir dalam perjanjian hanya adat merekalah yang dipertuan). Prinsip

antara rakyat Wajo’ dengan La Tiringeng ini menegaskan hak-hak kebebasan rakyat Wajo’

menegaskan bahwa, “Ri laleng tampu’ mupi yang hanya taat kepada adat atau konstitusi yang

namaradéka to Wajo’é” (Bahkan semenjak dirumuskan berdasarkan konsensus/mufakat (B.

masih dalam kandungan, orang-orang Wajo’ itu assamaturuseng ). Hukum Adat inilah yang

sudah merdeka). Pernyataan seperti ini, yang belakangan dinamakan ade’ ammaradékangenna

menegaskan hak-hak kebebasan rakyat dan to Wajo’ (adat kemerdekaan orang-orang Wajo’)

kesamaan harkat dan martabat mereka dalam oleh La Tiringeng To Taba’ (abad ke-15), yang

kehidupan sosial, ekonomi dan politik, ternyata merupakan tokoh yang memegang peran kunci

baru digunakan sekitar dua abad kemudian di sebagai penasehat kerajaan dan pembela hak-hak

Eropa pada Revolusi Prancis di abad ke-16, dan asasi rakyat Wajo’ berhadapan dengan raja

digemakan di Amerika Serikat ketika para mereka, yaitu Arung Matoa (lihat ulasan lebih

pendiri negara ini menyatakan kemerdekaan jauh tentang ini di bawah).

bangsanya pada awal abad ke-18, yaitu dalam paragraf kedua the Declaration of Independence

Hukum Adat tentang hak-hak kebebasan orang-orang

yang berbunyi “… that all men are created Wajo’ ini diuraikan lebih jauh oleh

La Tiringeng dalam ungkapan yang terkenal equal” (bahwa semua manusia dilahirkan

sederajat) (lihat Urofsky, 1994: 4). Yang lebih berikut ini. maju lagi, karena memandang semua manusia

“Maradéka to Wajo’é, najajiang aléna pada hakikatnya dilahirkan merdeka atau bebas maradéka, tanaémi ata, naia to

serta memiliki harkat dan martabat yang sama di makkétanaé maradéka maneng, ade’

mata Déwata Séuwaé (Tuhan Yang Esa) 5 , La assamaturusennami napopuang ”. Taddampare Puang Ri Maggalatung (memerintah

(Orang Wajo’ itu merdeka dan 1491-1521), Arung Matoa Wajo’ ke-4, misalnya, dilahirkan merdeka, hanya negeri

memilih menyapa rakyatnya dengan panggilan mereka yang budak, pemilik negeri

semuanya merdeka, hanya adat hasil

permufakatan bersama yang dipertuan). pada awal abad ke-17 (untuk telaah filologis tentang Dalam 4 Lontara’ Sukku’na Wajo’ ,

kronik ini, lihat Noorduyn, 1955; Abidin, 1985; dan sepertij dikutip Abidin (1985: 148), disebutkan

Ilyas, 2011).

5 Dalam masyarakat Bugis pra-Islam, dewa

tertinggi disebut Déwata Séuwaé yang secara literal

4 Lontara’ Sukku’na Wajo’ (Kronik Induk/ berarti “Dewa yang esa”. Istilah ini berasal dari Lengkap Wajo’) adalah manuskrip terlengkap

bahasa Sanskerta “devata” (dewa-dewa kecil) dan tentang kerajaan Wajo’ yang merangkum dan

mungkin mulai dikenal dalam masyarakat Bugis menyeleksi manuskrip-manuskrip lain yang bertebaran

setelah masuknya pengaruh budaya dan bahasa mulai ditulis ulang (dalam aksara lontara’) pada

Sanskerta sejak zaman sejarah Sulawesi Selatan sekitar pertengahan abad ke-18 dan terus

sekitar akhir abad ke-14 (lihat Mattulada, 1998, 74- dimutakhirkan hingga awal abad ke-20. Bagian

5). Istilah lain yang lebih awal dikenal dan terpenting dalam manuskrip ini menceritakan tentang

digunakan masyarakat Bugis untuk kekuatan sejarah awal berdirinya Kerajaan Wajo’ pada

supranatual atau Tuhan adalah patotoé (yang pertengahan abad ke-14 hingga periode Islamisasi

menentukan nasib, toto’).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 191

“ana’ eppoku”, yang berarti anak-cucuku, bukan [penguasa tersebut] pada mereka yang telah “atakku” (hambaku).

memilihnya”.

Ahli sejarah Asia Tenggara, Professor Salah satu contoh yang menunjukkan Anthony Reid (1998: 147-148) melihat adanya

bahwa kerajaan berada di atas dan lebih penting hubungan antara ideologi kebebasan dalam

daripada seorang raja (Arung Matoa) dapat Kerajaan Wajo’ dengan watak kewirausahawan

dilihat dalam kisah ketika orang-orang Wajo’ orang-orang Wajo’. Menurut Reid (1998), watak

memilih Arung Matoa pertama, Petta La Paléwo seperti itulah yang memungkinkan Wajo’, sejak

To Palipu’ (m. 1474-1481). Seperti ditulis oleh akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-19

Patunru (1965: 40) dan Abidin (1985: 135-136), menjadi sumber utama pedagang perantau dari

pada awalnya, La Paléwo menolak dinobatkan Sulawesi dan pelaut-pelaut Bugis yang terkenal

menjadi Arung Matoa dan memohon maaf atas yang berdagang ke seluruh kepulauan Indonesia

penolakannya itu karena alasan bahwa dia itu dan bahkan sejauh Kamboja (lihat Lineton, 1975

seorang yang “dungu, penakut, miskin dan dan 1975b; Anderson, 2003).

lemah”. Dia juga berkata “Tidak pantas Wajo’ dipimpin oleh orang bodoh, penakut dan

Pandangan Abidin (1999) yang dikutip berikut ini, sekalipun perbandingannya dengan

miskin”. Petta La Tiringeng To Taba’, yang menjadi wakil orang-orang

Amerika Serikat mungkin agak berlebihan, bisa Wajo’ lalu berkata,

menggambarkan implikasi penerapan prinsip “Terima sajalah keputusan orang-orang Wajo’

kebebasan rakyat dalam Kerajaan Wajo’ pintar, Wajo’ berani, Wajo’ kaya,

Wajo’ saat itu.

karena

Wajo’ mampu, dan Wajo’ kuat”. 6 Daerah Wajo’ di kala itu merupakan

tempat kebebasan berpikir dan bernalar Argumentasi kedua yang diajukan bagi orang-orang yang datang berdiam

Abidin (1983) adalah bahwa raja Wajo’, yang di situ dari berbagai daerah seperti

dinamai Arung Matoa (raja para matoa), tidak Bone, Luwu’, Soppeng, dan Gowa, serta

bersifat turun-temurun (hereditary) melainkan kerajaan tertua Bugis, yaitu Cina

dipilih oleh lembaga yang beranggotakan 40 (=Pammana). Dapatlah disimpulkan

orang yang dikenal dengan Arung Patappuloé bahwa Wajo’ pada abad XV-XVI

(pertuanan 40 orang) atau Puangé ri Wajo’ merupakan “Amerikanya” Sulawesi

(penguasa/tuan di Wajo’). Bersama-sama dengan Selatan, di mana orang-orang yang tidak Arung Matoa, badan yang lebih menyerupai disukai di daerahnya masuk ke Wajo’

dan mempunyai kebebasan untuk parlemen dalam era modern ini merupakan

mengeluarkan pendapat (Abidin 1999, dewan penguasa tertinggi Kerajaan Wajo’ yang,

130). dalam ungkapan orang Wajo’, “paoppang

paléngengngi Tana Wajo’” (yang menengkurap Konsekuensi penting lain dari adanya

dan menengadahkan kerajaan Wajo’) (lihat juga jaminan hak kebebasan rakyat di atas adalah

bahwa di Wajo’, yang dipandang sebagai pemilik kerajaan adalah Arumpanua (yaitu rakyat dan

Mattulada, 1991b: 91).

Menurut Pelras (2006: 201), karena pemerintah), sementara yang dipertuan adalah

adanya sistem pemilihan raja dan penghargaan adat, bukan raja. Dengan kata lain, seperti telah

terhadap orang-orang Wajo’ sebagai to- dijelaskan sebelumnya, orang-orang Wajo’ tidak

maradéka (orang merdeka), Kerajaan Wajo’ terikat oleh perintah sang raja (Arung Matoa)

pada abad ke-16 dikenal sebagai sebuah jika perintah itu ternyata bertentangan dengan

“kerajaan aristokratik-demokratis”. Mattulada ade’ assamaturusenna to Wajo’é (konsensus

(1991a: 39) menyebut Wajo’ sebagai sebuah orang-orang Wajo’). Ini tentu saja berbeda

dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi

6 Dalam teks lontara’ (sebagaimana dikutip Selatan di mana justru arajang (the regalia) yang

Patunru [1965, 40] dan Abidin [1985, 135-6]), dipandang sebagai pemilik kerajaan (Abidin

percakapan itu tertulis --dalam transliterasi dari 1999: 130-135). Berkaitan dengan ini, sarjana

bahasa Bugis ke Latin-- sebagai berikut: “Makkedai Belanda, J. Noorduyn (2000: 114) menulis

Petta To Palipu’ “Massimangnga riala arung ri “Memang benar, orang yang terpilih sebagai

Wajo’. Bébé’ka’, celléangnga’, kasiasia’, madodommopa’, Arung Matoa adalah ‘penguasa tertinggi’, tetapi

natekkupastiniajai Wajo’ nalaoang ri olo to bébé’, to hanya dalam batasan-batasan yang ditetapkan

celléang, to kasiasi. Makkedai Petta La Tiringeng To oleh negerinya, rakyatnya dan para wakilnya. Di

Taba’, “Tarima mui assiturusenna Wajo’. Na Wajo’ sinilah

macca, Wajo’ warani, Wajo’ sugi, Wajo’ paullé, Wajo’ muatang”

terletak ketergantungan

mendasar

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

“republik aristokratis”. Setelah meneliti isi ketiga syarat pemilihan. Pada kenyataannya, ada perjanjian atau kontrak pemerintahan antara para

beberapa Arung Matowa yang dinilai sangat arung/penguasa awal dengan rakyat Wajo’ (yang

berhasil dalam memajukan Wajo’ justru berasal mencakup

perjanjian-perj anjian Cinnottabi’, dari kerajaan lain, seperti La Tadampare’ yang Majauleng dan Lapaddeppa’), sejarahwan Bugis-

berasal dari Kerajaan Bone. Makassar, Patunru (1965: 20) menyimpulkan

Menurut Mattulada (1991a), pemberian bahwa sistem pemerintahan kerajaan Wajo’ di

masa lalu memiliki unsur-unsur berikut: (1) Wajo’ menjadi Arung Matoa

peluang orang luar

ini tampaknya dimaksudkan agar dia bisa aristokratis demokratis; (2) berketuhanan yang bersikap adil atau tidak berat sebelah ketika esa (Déwata Séuwaé); (3) berkeadilan sosial; (4) harus mengambil keputusan-keputusan yang berprikemanusiaan; dan (5) berdasarkan hukum. berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah Adalah menarik, menurut penulis, bahwa kelima bawahannya (B. wanua) hanya karena dia unsur sistem pemerintahan Wajo’ yang baru saja misalnya berasal dari salah satu daerah tersebut. disebutkan di atas kedengarannya identik dengan Mattulada (1996) menambahkan bahwa dilihat sila-sila dalam Pancasila. dari mekanisme pemilihan para Arung Matoa,

Untuk menopang peristilahan yang dia kerajaan Wajo’lah yang meletakkan dasar gunakan ketika berupaya menggambarkan

‘achievement oriented leadership’, yaitu bentuk demokrasi dalam kerajaan Wajo’, Pelras

lahir atau terpilih (2006: 202) mengutip kesan dalam catatan harian

kepemimpinan

yang

berdasarkan prestasi dan potensi pribadi sang James Brooke, salah satu anak seorang Inggris

pemimpin. Dengan kata lain, para Arung Matoa masa Pencerahan, yang berkunjung ke Wajo’

terpilih bukan karena ascribed status mereka pada 1840, yang menyatakan sebagai berikut.

atau kesan sakralitas dan mitos yang mengitari Yang mengherankan adalah –meskipun

kehidupan mereka. Dalam lontara’ disebutkan diperintah oleh raja yang feodal dan

bahwa di antara syarat-syarat utama orang yang sering berubah-ubah; meskipun lamban,

akan menjadi Arung Matoa adalah jujur, berbelit-belit, dan memihak dalam

bijaksana, budiman, dan mempunyai sifat-sifat penegakan hukum yang melibatkan

yang baik. Dalam lontara’ juga disebutkan orang per orang — Wajo’ tetap patut

bahwa ketika merasa ajalnya sudah dekat, La diberi penghargaan, serta memiliki

Tadampare’ berpesan supaya penggantinya persamaan yang menakjubkan dengan

sebagai Arung Matoa kelak hanyalah orang yang pemerintahan zaman feodal Eropa...

memiliki empat sifat: kejujuran, kepintaran, Hanya saja, kritik atas kekurangan kemurahan hati, dan keberanian (Patunru, 1965: tersebut bukanlah kecaman, jika kita

menyadari bahwa di antara semua

negara di Timur... hanya orang Bugis Namun, seperti diamati oleh Anderson yang telah sampai pada tingkat

(2003: 12), perlu dicatat bahwa walaupun Arung pengakuan hak-hak warga negara, dan

Matowa Wajo’ dipilih oleh dewan adat yang satu-satunya yang telah membebaskan disebut Arung Patappuloé, yang layak untuk diri dari belenggu kelaliman. dipilih menduduki jabatan itu tetap saja terbatas

Di bagian lain, James Brooke (seperti pada mereka yang berasal dari kalangan dikutip dalam Reid, 1998: 149) . menyatakan bangsawan tinggi. Pada kenyataannya, semua

bahwa: yang akhirnya terpilih menjadi Arung Matoa Di antara semua bangsa di Timur, di

adalah keturunan dari para Arung di unit-unit antara semua penduduk yang menganut

politik yang sederajat atau lebih rendah, baik di agama Islam dari Turki hingga Cina,

wilayah Kerajaan Wajo’ maupun kerajaan hanya orang-orang Bugis-lah yang telah

tetangga seperti Boné atau Soppéng. Dengan sampai pada tingkatan hak-hak yang

kata lain, mereka yang bukan bangsawan, seperti diakui, dan telah membebaskan diri

kalangan to-décéng (orang baik-baik) dan to- mereka dari cengkeraman kesewenang-

maradéka (orang bebas), lebih-lebih kalangan wenangan.

ata (budak) tetap tidak punya peluang untuk dipilih menjadi Arung Matoa. Fakta unik lainnya dari Kerajaan 7 Wajo’

dibanding dengan kerajaan-kerajaan Bugis-

Makassar lainnya adalah bahwa Arung Matoa

7 Dalam sistem pranata sosialnya (B. wari’), Wajo’ bisa juga dipilih dari orang-orang luar

masyarakat Wajo’ terdiri atas lima tingkatan utama: Wajo’ selama dia memenuhi keriteria dan syarat-

(1) ana’mattola (anak-anak raja, putra/putri

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 193

Hal yang mungkin unik adalah, sekalipun atas, To Palipu’, “Temmuappammanareng akkarungeng dipilih, masa jabatan Arung Matoa terpilih tidak

matoaé ri ana’mu, ri eppomu narékko ditentukan batasnya. Namun demikian, jika

tennakennai assiturusenna to Wajo’é” (Engkau terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap

tidak akan mewariskan jabatan Arung Matowa ade’ (adat) dan panngaderreng (semacam

kepada anak-cucumu jikalau bukan karena konstitusi kerajaan), Arung Matoa (juga Batara

permufakatan orang Wajo’) (Patunru, 1983: 38). Wajo’) bisa setiap saat diberhentikan, diusir dari

Pada dasarnya, adanya prinsip demokrasi wilayah kerajaan atau bahkan dibunuh. Sebagai dalam pemilihan Arung Matoa Wajo’ dan contoh, Batara Wajo’ ke-3 (gelar raja Wajo’ penetapan batas-batas wewenang dan kekuasaan sebelum berganti menjadi Arung Matoa), La

tidak perlu begitu Pateddungi To Samallangi (m. 1466-1469) mencengangkan jika, secara antropologis, kita dipecat lalu dibunuh karena terbukti melakukan juga memahami bahwa dalam kerajaan serangkaian perbuatan asusila. Hukuman yang

mereka

mungkin

Wajo’ tidak dikenal adanya konsepsi tomanurung

sama juga menimpa La Samaléwa To Appakiu (secara literal berarti ‘orang yang turun’), yaitu (m. 1616-1621), Arung Matoa Wajo’ ke-17 yang kepercayaan bahwa leluhur para raja di tiap dipecat karena memerintah secara sewenang- kerajaan berasal dari seseorang yang turun dari wenang (lihat Patunru, 1965: 32-33, 53). langit atau manusia setengah dewa (lihat di

Karena dipilih, Arung Matoa Wajo’ tidak bawah). Dalam konsep tomanurung, kemunculan bisa mewariskan kedudukannya kepada putra/

seorang raja pertama putrinya. Itulah sebabnya, di Wajo’ tidak dikenal

atau

kehadiran

digambarkan secara mitologis sebagai berasal adanya putra/putri mahkota seperti yang terdapat

dari langit dan merupakan manusia setengah pada kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya

dewa. Mitos ini memberikan kepadanya (Mattulada 1991). Namun demikian, Pelras

kewibawaan yang tinggi sehingga mendapatkan (2006, 201) menulis, “Tidak ada jabatan dalam

kepatuhan dan penghormatan dari rakyatnya kerajaan Bugis manapun yang dianggap sebagai

(Mattulada, 1991a; lihat juga Friedericy, 1933). warisan mutlak, meski tak sedikit putra atau putri

Menurut Mattulada (1998: 27-48), konsep raja yang mewarisi takhta orang tuanya”. Pada

tomanurung diadopsi oleh kerajaan-kerajaan kenyataanya, ada beberapa putera Arung Matoa

utama di Sulawesi Selatan, khususnya Luwu’, Wajo’ yang belakangan menjadi Arung Matoa

Gowa, Bone dan Soppeng, untuk menjelaskan juga.

asal-usul kemunculannya seorang raja dan Maggalatung, La Tenripakado To Nampé dan La

Misalnya, dua putera

Puang

Ri

legitimasi tradisionalnya untuk menjadi pemimpin Pakoko’ To Pabbéle’, atau putra La Obbi

dalam masyarakatnya. Konsep ini sangat Settiraware (m. 1481-1486) (Arung Matoa ke-2),

menentukan dalam proses pelapisan struktur La Warani To Temmagiang yang masing-masing

sosial-politik dalam wilayah kerajaan-kerajaan mengikuti jejak bapak mereka menjadi Arung

khususnya, dan wilayah Matoa.

Bugis-Makassar

Austronesia pada umumnya. Sebaliknya, raja pertama

Namun demikian, perlu dicatat bahwa Wajo’ tidak disebut tomanurung karena

nama, asal-usul dan daerahnya telah diketahui kasus di atas itu bisa terjadi karena para putera oleh orang-orang yang mengusungnya menjadi raja ini memang, pada gilirannya, mampu raja (Abidin, 1999). Maka cerita-cerita rakyat mewujudkan dan merepresentasikan diri sebagai seputar kemunculan sosok pemimpin yang putera terbaik kerajaan Wajo’, misalnya karena berperan dalam terbentuknya Tana (negeri) kualifikasi pribadi dan prestasi yang menonjol,

yang memungkinkannya dipilih menjadi Arung Wajo’ terkesan lebih rasional dan historis, dan

Matowa oleh “parlemen” Wajo’, yaitu Arung mereka digambarkan sebagai sosok manusiawi dan duniawi saja (Mattulada, 1998).

Patappuloé (lihat Abidin: 1985). Itulah maksud dari salah satu pesan La Tiringeng To Taba’ saat

Ketiadaan unsur mitos dan legenda melantik Arung Matoa I yang telah disebutkan di

tomanurung dalam kemunculan seorang raja Wajo’ ini membawa implikasi sosio-antropologis lebih jauh. Selain prinsip relativisme dan

mahkota), yang berada di puncak hirarki sosial; (2) desakralitas status seorang Arung Matoa yang anakarung (anak-anak penguasa); (3) tau deceng

(orang-orang baik); (4) tau maradeka (orang-orang Wajo’ juga mengenal sistem

telah disebut di atas,

bebas); dan (5) ata (budak) yang merupakan kelas pelapisan sosial yang wataknya lebih egaliter,

sosial terendah. Lihat Pelras (1971, 188) dan Lineton fleksibel dan demokratis dibanding kerajaan- (1975, 85).

kerajaan Bugis-Makassar lainnya. Sebagai

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

lontara’. Lapisan elit pertama adalah arung yang masyarakat antara tau décéng (orang baik-baik)

terdiri atas anakarung, yaitu raja dengan dan ata (sahaya/abdi) selalu berpeluang untuk

lingkungan kerabat keluarga bangsawan yang meraih kesempatan menempati posisi-posisi

menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan politik sosial, budaya, ekonomi dan agama yang

pemerintahan secara turun-temurun, baik di pusat strategis dengan menjadi salah satu atau lebih

kerajaan maupun di daerah-daerah bawahannya. dari empat “kelompok fungsional” dalam

Anakarung menduduki status sosial tertinggi masyarakat Bugis, seperti disebutkan di bawah.

dalam masyarakat karena, secara genealogis, Walaupun demikian, kalangan non-Arung ini

leluhur mereka dipercaya bersambung hingga ke tetap saja tidak bisa menjadi penguasa formal

sosok tomanurung.

seperti Arung Matoa, Paddanreng (semacam Ketiga , dalam perumusan dan penetapan penguasa wanua, unit politik di bawah kerajaan),

Pabbaté (panglima perang) atau penguasa- apa yang dinamakan “ade’ assituruseng” yang

telah disebut di atas, keputusan diambil dengan penguasa wilayah yang lebih rendah lainnya. cara pemungutan suara terbanyak (voting).

Walaupun demikian, tidak jarang juga, Perubahan atau amandemen dan pembatalan kelompok sosial ini bahkan memiliki potensi

terhadap ade’ assituruseng ini pun harus tawar-menawar

dilakukan baik dengan cara musyawarah untuk kurang lebih sama dengan lapisan sosial ana’

sosial-politik-ekonomi

yang

mufakat (B. assipétanngareng) maupun pemungutan mattola (calon raja dan Arung Matoa),

suara (Abidin, 1983: 146; Mattulada, 1985: 324, anakarung (anak bangsawan), dan tau décéng

356). Dalam salah satu butir perjanjian (orang baik-baik) (Mattulada, 1991b: 22-23).

pemerintahan antara Arung Saotanré dengan Prinsip egalitarianisme atau kesamaan derajat

rakyat Wajo’ di Lappaddeppa’ disebutkan: manusia dalam masyarakat Wajo’ ini pulalah

Bilamana adat tetap tidak mengatur tampaknya yang mendorong orang-orang Wajo’ tentang suatu hal, maka para anggota

di masa lalu lebih menekankan prinsip

pemangku adat boleh meritokrasi dan prestasi dalam menilai status dan

dewan

bermusyawarah untuk membentuk adat peran seseorang ketimbang kadar nasab

baru yang dinamakan adek assituruseng, kebangsawanannya. Hal ini misalnya terefleksikan

adat berdasarkan persetujuan bersama. dalam pesan La Ta dampare’: “Aja’ muappabati’

Adat demikian boleh diubah, jikalau nasaba’ ampé kedonamitu taué nairisseng tau

ternyata dalam pelaksanaannya merugikan décéng

” (Janganlah suka menonjolkan nasab, rakyat dan negeri. Cara menetapkannya karena dari perilakulah seseorang bisa diketahui

ialah mupakat, dan kalau tidak dapat dicapai, oleh karena terdapat perbedaan

sebagai orang baik). Seperti diamati oleh pendapat, maka putusan diambil dengan

Anderson (2003: 15), “Terdapat kesempatan suara terbanyak. Jika jumlah pendapat

yang lebih besar untuk mencapai kemajuan yang berbeda sama, maka rancangan berdasar prestasi (achievement-based advancement)

adat ditolak (Abidin, 1999: 131). di Wajo’ daripada di kerajaan-kerajaan Bugis-

Makassar lainnya”. Abidin (1983: 146) menulis, “Jelas, sistem voting ini adalah karya Indonesia sendiri

Menurut Mattulada (1991a: 91), untuk dan bukan pengaruh Barat”. Ditilik dalam menjadi ‘elit strategis’ dalam masyarakat Bugis,

perspektif demokrasi modern, terlihat bahwa di kalangan to-maradéka ini harus memiliki satu

Wajo’ sejak abad ke-15 praktik demokrasi atau lebih di antara empat kualitas fungsional

prosedural seperti pemilihan Arung Matoa oleh utama manusia dalam konsepsi orang-orang

“dewan perwakilan rakyat” atau parlemen (yang Bugis-Makassar yang termuat dalam lontara’

terdiri atas Arung Pattappuloé atau Puangé ri yang dikenal “eppa’ sulapa” (empat sisi/segi):

Wajo’) dan pemungutan suara terbanyak dalam to-panrita (cendekiawan, ulama dan pemimpin

pengambilan keputusan-keputusan penting hampir

sepenuhnya identik dengan sistem demokrasi cerdikpandai), to-sugi (orang kaya/hartawan), to-

agama), to-acca atau to-sulésana (orang

yang baru dipraktikkan secara konsisten di warani (orang-orang

sejumlah negara Barat modern beberapa abad pahlawan) (Pelras, 2006; lihat juga Halim, 2004).

pemberani, kesatria,

berikutnya.

Menurut Mattulada (1991b: 92), keempat sosok Keempat, ideal ini, yang dia sebut sebagai ‘golongan dalam kerajaan Wajo’, terdapat fungsional’, termasuk lapisan elit kedua dalam suatu jabatan yang berfungsi sebagai lembaga

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 195 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 195

prinsip-prinsip hukum yang adil, tegas dan rakyat yang dilanggar oleh raja atau pejabat-

konsisten sebelum traktat dan konvensi-konvensi pejabat lain dalam kerajaan. Dia juga, atas nama

hukum di negara-negara Barat diperkenalkan rakyat, yang mengangkat (melantik) dan

secara global.

memecat raja setelah mendapat pertimbangan Salah satu ungkapan yang paling terkenal dan persetujuan Arung Patappuloé. Dalam

sejarah lontara’ tentang pelaksanaan hukum yang

Wajo’, tokoh yang memegang jabatan tegas dan adil adalah dari La Pagala Néné’ penting ini dalam periode yang cukup lama adalah La Tiringeng To Taba’. Mallomo (abad ke-16), seorang cendekiawan

dalam

Sidénréng (sekarang salah satu kabupaten di Menurut Andi Pabarangi (dalam Abidin,

Sulawesi Selatan) yang masih merupakan murid 1985), peran La Tiringeng takdapat dipisahkan

La Tadampare. Néné Mallomo menyatakan dari perjanjian awal antara rakyat dan raja Wajo’

bahwa “Ade’é temmakkéana’ temmakké’eppo” di La Paddeppa’ pada kira-kira tahun 1476 yang

(Hukum adat tidak mengenal anak dan tidak berhasil merumuskan prinsip-prinsip utama

mengenal cucu) (Abidin, 1983: 165). Pernyataan konstitusi kerajaan

ini dikemukakan oleh Néné’ Mallomo ketika dia perjanjian yang dirumuskan oleh Arung Saotanré

Wajo’. Sebagian isi

ditanya alasannya memutuskan dan menerapkan dengan rakyat tersebut termuat dalam kutipan

pidana mati kepada putranya sendiri yang berikut (Abidin, 1999: 130-131).

terbukti telah mencuri sepotong kayu milik orang lain.

(a) Arung Saotanré, adalah “ibu rakyat” yang bertugas membela hak-hak rakyat, mengangkat

Pidana mati juga pernah dijatuhkan oleh raja yang dipilih oleh dewan pemangku adat

Arung Matoa Wajo’ ke-13, La Pakoko’ To yang terdiri atas 40 orang anggota, memecat

Pabbéle’ (1564-1567) kepada putranya, La raja berdasarkan hasil musyarawah Arung

Pabbéle’, yang terbukti memperkosa wanita di Patappuloé (Dewan Empat Puluh Orang

kampung Totinco. Begitu juga ketika To Pemangku Adat).

Angkona (abad ke-15), Ranreng (penguasa unit (b) Oleh karena Arung Saotanré adalah pembela

politik persis di bawah Arung Matoa) hak-hak kebebasan rakyat, maka ia tidak

Béttémpola (salah satu negeri bagian Wajo’) boleh dipilih menjadi raja.

terbukti melanggar hukum pidana, dia dipecat (c) Hukum adat tetap (adek pura onro) tidak

dari jabatannya lalu diusir ke luar Wajo’ seumur boleh diubah, karena merupakan adat yang

hidup. Namun, jauh sebelum itu, yang lebih lahir dan tumbuh dengan masyarakat ....

tragis lagi adalah kasus pidana yang menimpa La (d) Jabatan Arung Matoa Wajo’ yang merupakan

Pateddungi To Samallangi’, raja Wajo’ ketiga ketua dewan empat puluh pemangku adat,

yang telah disebut di atas. Ketika terbukti telah tidak boleh diwariskan dan tidak boleh

memperkosa beberapa perempuan, Batara Wajo’ diwarisi, tetapi pemangku jabatan Arung

ke-3 ini lalu dipecat dari jabatannya oleh La Matoa harus dipilih oleh dewan pemangku

dibunuh oleh La adat. Dianjurkan calon itu berasal dari

Tiringeng

kemudian

Tenriumpu’ To Langi’ (yang belakangan kerajaan lain....

menjadi Arung Matow ketiga) (Abidin, 1983: 164-165; Lihat juga Laica Marzuki 1995, at

Ada aspek penting lain yang dapat passim ). Di sini, terlihat bahwa di masa kerajaan ditambahkan pada empat keunikan Kerajaan di Sulawesi Selatan, Wajo’ salah satunya, sanksi “demokratis” Wajo’ versi Abidin di atas, yaitu dan hukuman terhadap pelanggaran hukum adat aspek keadilan dan persamaan di hadapan hukum diberlakukan tanpa pandang bulu. Para penguasa (B. bicara). Aspek kelima ini memang bukan di masa lalu tampaknya sangat memegang teguh khas Wajo’, karena dalam kerajaan Bugis-

Makassar lainnya pun, misalnya di Soppéng dan filosofi orang Bugis, “Adaémmitu na totau,

Sidénréng, kasus penerapan hukum secara adil, molaitta gau’, rupaitta janci” (Karena kata-lah

maka kita menjadi manusia, yaitu sesuainya kata tegas dan konsisten juga tercatat dalam beberapa lontara’. Namun, aspek tersebut perlu diulas di dan perbuatan serta memenuhi janji) (Abidin,

sini dalam rangka menunjukkan bahwa selain menerapkan

nilai-nilai dan prinsip-prinsip Kembali ke peranan La Tiringeng, demokrasi, kebebasan dan HAM, Kerajaan

Patunru (1965) menyatakan bahwa lepas dari Wajo’ (juga kerajaan-kerajaan lain di Sulsel)

peran penting lima Arung Matoa Wajo’ yang

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

lebih dari enam abad silam tampak masih relevan Tenrilai, La Saléwangeng dan La Maddukelleng),

ditelaah sebagai sumber inspirasi, landasan etika La Tiringeng adalah tokoh besar Wajo’. Dia

dan pedoman dalam menata kehidupan sosial, hidup sezaman dengan empat Arung Matoa

hukum, politik dan pemerintahan di masa kini, Wajo’ yang pertama (hingga La Tadampare).

baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Selama hidupnya, La Tiringeng kerapkali

Di antara pesan-pesan La Tiringeng, dua mengambil

alih peranan

Arung

Matoa

di bawah ini mungkin tetap kompatibel untuk merumuskan berbagai undang-undang dan

keputusan penting tentang berbagai masalah digemakan di masa kini. Pertama, “Napoallebirengngi

sosial-politik Wajo’é, maradékaé, na malempu, na

Wajo’ di abad ke-15 dan 16, masa- mapaccing ri gau’ salaé, maréso mappalaong, masa ketika kerajaan ini dipandang mencapai na maparekki ri warang-paranna punjak kejayaannya (Abidin, 1985). Karena

to

”. (Yang

kecerdasan dan kebijaksanaannya juga, La Wajo’ mulia adalah karena

membuat orang