Energi Terbarukan dan Permasalahannya (1)

Energi Terbarukan dan Permasalahannya
Energi terbarukan (EBT) mulai di lirik setelah diadakannya Earth Summit di Rio De
Jeneiro pada tahun 1992 dimana dibahas tentang pemanasan global yang di duga adalah
akibat kegiatan ekonomi manusia yang menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca
(GRC) ke atmosfir yang salah satu komponen terbesarnya adalah emisi karbon dimana
kontributor no 2 terbesar adalah transportasi dan energi.
Sejak itu penggunaan EBT sebagai pembangkit listrik alternatif yang tidak menghasilkan
emisi karbon terus ditingkat walaupun secara ekonomi beberapa masih mahal di banding
sumber energi fossil tetapi demi menekan GRK maka EBT sering diberikan subsidi dalam
berbagai bentuk. Memang EBT adalah bentuk energi yang sangat ideal untuk masa depan
kehidupan manusia, tetapi saat ini EBT bukan tanpa masalah yang terkadang di
kesampingkan.
Energi terbarukan dapat di artikan sebagai energi yang terus menerus dapat menghasilkan
daya tanpa harus ada masukan bahan bakar, seperti Angin, Surya, Gelombang Laut, Panas
Bumi dan energi baru adalah jenis energi yang tidak memakai bahan bakar fosil, seperti
Nuklir dan Biomassa.
Energi Terbarukan (EBT) dapat di klasifikasikan menjadi bagi 2 berdasarkan sifat
pasokan dayanya yaitu intermiten dan primer. Intermiten adalah energi yang tidak dapat
memberikan daya 24 jam/sehari atau secara kontinyu seperti Angin dan Surya. Sementara
Primer adalah yang sifatnya dapat diandalkan untuk mensuplai daya secara kontinyu 24
jam/sahari seperti : Air, Panas Bumi, Biomassa dan Nuklir.

Tentunya PREMIS UTAMA dari Energi Terbarukan adalah : Tidak Menghasilkan Gas
Rumah Kaca.. tapi kita akan lihat bahwa premis tersebut sesungguhnya tidak dapat tercapai
paling tidak saat ini.
Masalah 1 : Penyimpanan
Dikarenakan sifatnya yang tidak dapat memasok daya secara kontinyu atau selama 24 jam
nonstop, sebagai contoh tenaga surya, tentunya pada malam hari tidak dapat menghasilkan
daya sehingga biasanya hanya ada solusi bagi intermiten yaitu : hybrid dengan fossil biasanya
Diesel dan gas turbin atau disimpan seperti baterai dan sistim penyimpanan energi lainnya
yang non-baterai.
Karena alasan inilah biaya listrik intermiten menjadi mahal dan sering mendapatkan
subsidi yang di sebut Feed-in-Tariff (FIT) untuk surya biasanya sekitar 25 sen USD/Kwh
sementara harga jual listrik ke masyarakat rata-rata 9 sen USD/kwh.
Di Indonesia biasanya sangat jarang di lakukan penyimpanan energi, di karenakan sistim
penyimpanan baterai bisa mencapai $200 - $500 per Kwh, sangat mahal tetapi lebih banyak
di pakai sistim Hybrid dengan Genset diesel yang akhirnya membuat emisi karbon padahal
awalnya memakai energi terbarukan adalah untuk menekan emisi karbon tapi justru malah
meningkatkan.
Sesungguhnya ada beberapa jenis sistim penyimpanan energi lainnya yang bukan baterai.
Salah satu yang paling handal adalah Pump Hydro. Pump Hydro adalah sistim penyimpanan


energi mempergunakan air yang sudah terbukti handal yang berkerja dengan gravitasi. Saat
jam puncak air di jatuhkan dari dam untuk menggerakan turbin. Lalu ketika beban tidak
puncak, turbin memompa air lagi ke atas. Indonesia memiliki hanya satu Pump Hydro yang
sedang di bangun di PLTA Cisokan menghasilkan daya 1040 MW dengan total biaya USD
800 Juta dimana USD 640 adalah bantuan Bank Dunia. Pump Hydro sering di pakai untuk
melakukan balancing load dari grid listrik karena memiliki kemampuan untuk menyimpan
energi saat beban rendah dan mensuplai pada saat beban puncak. Biaya penyimpanan energi
Pump Hydro saat ini adalah yang termurah dan paling banyak di gunakan di dunia dengan
kapasitas terpasang di dunia mencapai 127,000 MW dengan biaya investasi sekitar USD100 –
USD200 per Kwh energi yang di hasilkan. Pump Hydro juga sering di pergunakan untuk
menyimpan energi dari sistim Pembangkit Tenaga Angin.
Perbedaan utama Pump Hydro dengan PLTA lainnya adalah tidak membutuhkan volume
air yang besar dan area yang luas karena air di putar naik kembali sehingga turbin dapat
berkerja dua arah dibanding PLTA pada umumnya dimana turbin satu arah.
Masalahnya di Indonesia permasalahan penyimpanan energi di Indonesia hanya di jawab
dengan hybrid dengan fosil padahal ada beberapa solusi penyimpanan yang biaya nya lebih
murah daripada melakukan hybrid karena tanpa menjawab permasalahan penyimpanan maka
intermiten energi hanya menjadi beban yang kurang dapat di andalkan apalagi dengan subsidi
yang terus di berikan dalam bentuk FIT.
Masalah 2 : Faktor Kapasitas

Permasalahan berikutnya dari intermiten adalah faktor kapasitas (capacity faktor/FK) yaitu
rasio dari output yang sebenarnya dibanding potensi output bilamana beroperasi selama 24
jam. Faktor Kapasitas intermiten adalah yang terendah dibanding jenis pembangkitan lainnya.
Rata-rata FK Angin 31% dan Surya 23% - 30% bandingkan dengan Panas Bumi 66% dan
PLTU batubara 58%, sementara Nuklir adalah yang tertinggi 90% - 95%. -- Jadi bila
dikatakan bahwa Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) 10 MW maka
sesungguhnya daya yang di hasilkan hanyalah 20% - 25% jadi tidak lebih dari 2,5 MW. Jadi
Kekurangan 75% nya harus di hybrid dengan Genset atau Gas - artinya sama juga
meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Kita tahu bahwa Photovoltaic sangat berpengaruh terhadap panasnya sinar matahari,
sehingga sedikit saja awan menutup matahari maka daya yang di hasilkan akan turun dan hal
tersebut dapat terjadi beberapa kali dalam sehari - Hal yang sama dengan angin yang tidak
dapat meniupkan angin secara konsisten dengan kecepatan yang sama. Hal ini bukan saja
menyebabkan Faktor kapasitas yang rendah tetapi juga membuat masalah dalam
menyeimbangkan beban dalam grid bila daya turun-naik.
Faktor kapasitas adalah konsideran penting dalam mendesain sebuah perencanaan energi
karena bila proporsi sumber pembangkitan lebih benyak dengan faktor kapasitas rendah maka
akan mempengaruhi efisiensi, keseimbangan beban dan pada akhirnya harga jual listrik
menjadi mahal. – Sebaiknya rerata FK dalam sebuah grid harus di atas 50% untuk menjamin
pasokan yang lancar.


Masalah 3 : Luas Area
Salah satu permasalahan terbesar dalam pembangunan pembangkit listrik di Indonesia
adalah pembahasan lahan seperti di akui oleh Unit Pelaksana Program Pembangunan
Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) dalam salah satu jumpa pers. Banyak pembebasan
lahan membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun sebagai contoh PLTU Batang 2 X 1000
MW yang membutuhkan lahan seluas 226 hektare atau sekitar 1.130 meter per MW
membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk membebaskannya atau PLTA Jatigede 2 X 55
MW yang membutuhkan waktu 30 tahun untuk membebaskan 147 hektar yang di butuhkan
untuk waduk.
Area yang di butuhkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin tentunya lebih
luas lagi di banding PLTU batubara. Sebagai perbandingan untuk memberikan listrik kepada
1000 rumah Tenaga Surya membutuhkan lahan terbesar 3,3 hektar, Angin 2,4 hektar, batubara
0,29 hektar dan yang terkecil Nuklir 0,10 hektar. Dari diagaram dibawah dapat di lihat bahwa
Surya dan Angin memakai lahan yang luar biasa besar. Bayangkan pembebasan lahanya.
Sebagai negara kepulauan maka Indonesia mempunyai lahan daratan yang terbatas
dibanding negara lain. Indonesia memiliki kepadatana penduduk yang sangat padat sekitar
121 Km2 bandingkan dengan China yang berpenduduk diatas 1 milyar memiliki kepadatan
yang lebih tinggi 142 Km2 dan India 368 Km2 bahkan Singapore negara kecil ternyata
memiliki kepadatan 7148 km2 yang jauh lebih tinggi.

Artinya Indonesia tidak memiliki lahan yang luas dan harus berbagi untuk keperluan
perumahan, Pertanian dan Infrastruktur (termasuk energi). Tentunya dalam perencanaan
pembangkitan energi perlu di pertimbangkan pemakaian lahan yang kecil atau energi dengan
densitas yang tinggi.
Densitas Energi : Pemilihan sumber energi dengan energi densitas yang tinggi sebenarnya
adalah yang terbaik karena bukan saja membutuhkan bahan bakar yang kecil volumenya
tetapi jumlah lahan yang juga kecil. Sebagai perbandingan densitas energi batubara adalah
1000 Kwh/m2 dan Nuklir 12.500.000.000 kwh/m3 artinya dengan lahan yang kecil Nuklir
dapat menghasilkan energi ribuan kali lipat di banding batubara apalagi dibanding angin dan
surya.
Dari sisi penggunaan bahan bakar bandingkan untuk membangkitkan 1000 MW listrik,
sebuah PLTU batubara membutuhkan sekitar 2,5 juta ton batubara per tahun dengan nilai
USD 250 Juta, PLTD (diesel) membutuhkan 2 juta ton Diesel dengan nilai USD 320 Juta
sementara PLTN (nuklir) berbahan baku uranium hanya membutuhkan 250 ton Uranium
dengan nilai USD 50 Juta dan yang lebih tinggi lagi densitasnya adalah PLTN berbahan bakar
Thorium hanya membutuhkan 1 ton Thorium per tahun dengan nilai tidak lebih dari USD 0,5
Juta.

Masalah ke 4 : Kurva Bebek
Salah satu wilayah di Amerika yang memiliki komitmen tinggi terhadap energi terbarukan

adalah California, dengan target 30% EBT pada tahun 2020. Sepeti dibahas di atas, EBT,
khususnya Surya adalah intermitten dhanya dapat berkerja ketika ada matahari dengan peak
sekitar pk 12 - 13 sesudah menurun dan lewat pukul 16 sudah tidak dapat di harapkan
hasilkan listrik. Hal ini tidak akan menjadi masalah bila sistim tidak interkoneksi tetapi ketika
semuanya interkoneksi jatuhnya daya dalam jumlah besar lebih dari 10% akan membebani
jaringan interkoneksi (grid) untuk mengenjot daya melalui pembangkit lainnya. -- Ini terjadi
karena sampai saat ini tidak ada sistim storage energi yang efisien dan murah -- Karena
sebagian besar pembangkit listrik adalah base load yang tidak dapat menaikan daya dalam
waktu cepat maka untuk mencapai ini harus dipakai pembangkit yang dapat di pakai sebagai
peak load seperti genset diesel dan turbin gas yang biaya operasionalnya mahal. -- California
Independent System Operator (CAISO) adalah operator yang di tunjuk untuk
mengoperasikan dan mengkordinasikan seluruh jaringan listrik di California membuat sebuah
analisa tentang grid load bila terjadi peningkatan posri EBT sampai 33% pada tahun 2020 -Analisa tersrebut di buat dalam bentuk Kurva yang bentukanya mirip bebek maka di sebut
"Cal ISO Duck Curve" -- Menurut mereka akan di butuhkan daya lebih dari 13,000 MW yang
hanya di butuhkan 3 jam saja untuk mencapai load sebesar itu dalam waktu yang cukup
pendek maka di butuhkan gas turbin yang biayanya sangat mahal bahkan biaya pembangkitan
3 jam tersebut hampir sama dengan pembangkitan daya dengan base load selama 10 jam
artinya pastinya terjadi peningkatan biaya listrik yang akan dibebankan kepada pelanggan. -Skenario yang sama juga akan terjadi di Indonesia paska 2025 dimana saat itu porsi EBT
sudah di atas 25% (seharusnya) dan Interkoneksi seluruh Jaringan sudah akan terjadi (saat ini
interkoneksi baru Jawa - Bali.. itupun mungkin belum 100%).


Masalah 5 : Keekonomisan
Salah satu negara di dunia yang sangat komit dan mempergunakan EBT terbesar adalah
Jerman, 37,9% kebutuhan energi di pasok oleh EBT yang terdiri dari Nuklir 16% dan nonNuklir 21,9% (Angin, Surya, Biomassa, Hydro) dan target 2020 adalh 47% EBT.
Ambisi “Hijau” Jerman mulai berdampak kepada kas negara dengan anggaran subsidi
EBT mendekati USD 31 Milyar per tahun, Jerman sudah mulai kesulitan keuangan dan
parlemen dan masyarakat mulai bertanya karena dengan subsidi yang besar mengapa harga
listrik naik terus dan emisi karbon terus meningkat.
Sektor Industri EBT pun mengakui bahwa tanpa subdisi mereka tidak akan dapat bertahan
hidup karena sesungguhnya Angin dan Surya masih kurang ekonomis dari sisi bisnis.
Walaupun harga Phtovoltaic sudah turun jauh dari 10 tahun yang lalu tetapi karena faktor
kapasitas yang rendah membuat Angin dan Surya tidak ekonomis.
Pengalaman Jerman dalam mengelola EBT perlu di jadikan studi kasus sehingga ketika
Indonesia ingin melakukan tanggung jawab yang baik sebagai warga dunia dengan “Go
Green” dan meningkatkan penggunaan EBT Jangan sampai melakukannya dengan
memberikan subsidi yang meningkat terus bila perlu tanpa subsidi tetapi pada akhirnya
adalah masyarakat sebagai pembayar pajak yang harus di dahulukan, artinya listrik harus
tetap murah – dengan Kata lain “GO GREEN BUT CHEAP ELECTRICITY” – Apakah ini
mungkin ?? jelas sangat mungkin.


Karena yang akan mengoperasikan pembangkit listrik lebih dari 60% adalah swasta bukan
PLN dalam bentuk Independen Power Producer (IPP) maka masalah keekonomisan sebuah
pembangkit sangat penting karena mana ada pengusaha yang mau rugi karena bila
pembangkit tersebut tidak ekonomis dampaknya IPP akan menuntut pemerintah untuk subsidi
dalam bentuk FIT. Seorang ekonom energi, James Conca, menulis hasil penelitiannya tentang
keekonomisan beberapa jenis pembangkit yang di muat di majalah Forbes. -- Conca
menciptakan sebuah istilah EROI: Energy Return on Invesment. Sederhananya EROI adalah
ratio energi yang kembali dan yang di invest kan. Angka minimum keekonomisan adalah 7
(garis biru), bila angkanya bertambah besar maka energi tersebut mudah di dapat dan murah
listriknya maka sangat menguntungkan dan ekonomis.

Dapat di lihat bahwa tenaga Surya dan biomassa tidak ekonomis. Angin cukup ekonomis
tetapi bila di hybrid atau di tambah dengan penyimpanan maka tidak ekonomis. -- Justru
tenaga surya non-PV yang di sebut Consentrating Solar Power (SCP) dimana panas matahari
yang di konsentrasikan ke lensa bukan melalui photovoltaic justru yang lebih ekonomis.
Sayangnya jenis ini tidak di pergunakan di Indonesia. -- dan yang menarik adalah bahwa
yang paling ekonomis dan menguntungkan adalah nuklir.
Salah satu Orang Terkaya di dunia yang mendorong EBT adalah Bill Gates, pendiri
Microsoft, Ia menghabiskan lebih dari 10 tahun dan hampir USD 10 Milyar untuk membiayai
berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi baterai, Photovoltaic sampai Reaktor

Nuklir. Tujuan utama Gates adalah bukan untuk menjadi pengusaha energi tetapi untuk
mengentaskan kemiskinan di Afrika karena menurutnya hanya melalui energi yang bersih dan
murah kemiskinan dapat di atasi.

Pada akhirnya Gates memutuskan bahwa energi angin dan surya tidak dapat di andalkan
karena mahal dan tidak handal. Dalam interviewnya dengan Financial Times, Gates
mengatakan bahwa Angin dan Surya adalah teknologi yang tidak dapat menjawab
permasalahan energi saat ini. Menurut Gates salah satu energi yang dapat menjawab adalah
Nuklir khususnya teknologi Nuklir Generasi ke IV. Salah satu perusahaan Nuklir yang di
biayai oleh Gates adalah Terrapower.
Salah satu premis dari desain reaktor generasi IV yang saat ini masih dalam
pengembangan dan akan mulai beroperasi paska 2020 adalah biaya pembangunan dibawah
USD 3 juta/MW dan biaya produksi listrik dibawah USD 3 sen/kwH – Artinya harga tersebut
jauh di bawah harga jual listrik PLN ke masyarakat yang sekitar USD 9 sen/Kwh. Artinya
tidak ada subsidi.
Singkat kata, dari pembahasan tersebut di atas jelas bahwa satu-satunya energi terbarukan
yang dapat menjawab tantangan permasalahan adalah Nuklir.
Bila premis dari energi terbarukan adalah mengurangi emisi gas rumah kaca maka kita
tinggal melihat saja beberapa contoh di Eropa. Negara Eropa yang memiliki emisi terendah
adalah Sweden, Swiss dan Perancis dimana ketiga negara tersebut lebih dari setengah

energinya dari Nuklir dan selebihnya dari Hydropower. Sementara Jerman sebagai negara
dengan kapasitas pembangkit tenaga Surya dan Angin terbesar di dunia, justru menghasilkan
emisi karbon no 2 terbesar di Eropa --Dalam kasus jerman, penurunan GRK yang hanya 5%
padahal pemakain angin dan surya meningkat 13% jelas tidak terjadi penurunan secara
signifikan Mengapa? karena seperti kami jelaskan di atas, Angin dan surya bukanlah energi
primer atau base load energi tetapi intermitten sehingga harus dibackup dengan sumber
energi primer (base load) dan dalam hal Jerman lebih dari 47% memakai Batubara. Artinya
Premis Energi Terbarukan tidak tercapai kecuali Nuklir dan Hydro maka kebutuhan baseload
energi terpenuhi dengan emisi rendah, baru kemudian dapat di komplemen dalam skala kecil
dengan intermitten seperti Angin dan Surya yang tidak dapat lebih dari 10%. Nuklir jelas
tidak mengeluarkan emisi dan tidak perlu di Hybrid karena bukan intermiten artinya dapat di
jadikan energi primer dengan faktor kapasitas tertinggi 90%.
Nuklir memiliki densitas energi yang sangat tinggi artinya tidak membutuhkan lahan yang
besar dan volume memakai bahan bakar yang kecil juga. Nuklir khususnya Generasi ke IV
katagori SMR menjanjikan biaya yang jauh lebih murah daripada PLTU batubara tanpa emisi
dan tanpa pengrusakan alam. Nuklir yang di maksud adalah yang Kami sebut Nukllir Hijau,
yaitu Reaktor Nuklir berbahan bakar Thorium cair yang disebut Molten Salt Reactor.

Tiga Hambatan Utama Pengembangan Energi Terbarukan di RI
Jakarta - Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya potensi energi baru

terbarukan. Sayangnya, untuk memanfaatkannya menjadi listrik atau sumber energi lainnya,
tidaklah mudah.
Hal tersebut seperti diungkapkan Direktur PT Energy Biomassa Indonesia (EBI), Satrio
Astungkoro. Ia menyebut, setidaknya ada 3 masalah utama dalam pengembangan energi baru
terbarukan di Indonesia.
Hambatan utama yakni teknologi, pendanaan, dan ketersediaan bahan baku (biomassa),
merupakan permasalahan yang dialami PT EBI sebagai pengembang energi terbarukan.

Sebagai anak usaha PT Energy Management Indonesia (EMI), pihaknya harus konsisten
dalam upaya mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
"Saya yakin, meskipun mengalami beberapa kendala peluang, energi terbarukan di
Indonesia sangat terbuka lebar. Hal ini mengingat sumber energi fosil yang bisa habis,
ditambah negara-negara di dunia pun sudah sepakat untuk menggunakan energi baru
terbarukan di konferensi Paris kemarin," ujar Satrio, dalam keterangannya, Kamis
(17/12/2015).
Satrio menambahkan, sebagai BUMN dengan bidang usaha Konservasi, konversi energi
baru dan terbarukan masih mengandalkan dana pribadi untuk mengembangkan produksi
wood pellet sebagai sumber pengembangan. Wood pellet ini digunakan untuk bahan bakar
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB).
"Tapi kami tetap optimistis bahwa wood pellet mampu membawa keuntungan dan menarik
banyak investor, sebagai sumber daya energi pilihan selain migas atau fosil," tambahnya.
Selain 3 masalah utama tersebut, Peneliti Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam
menambahkan, pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia juga kurang berpihaknya
politik anggaran energi di Indonesia. Ia menyatakan, dari sisi politik, anggaran untuk
membangun energi saat ini belum banyak mengalami perubahan.
"Di era Presiden Jokowi memang ada perubahan pola subsidi energi dicabut cukup besar,
sehingga diharapkan tercipta ruang fiskal yang cukup besar yang bisa digunakan untuk
membangun infrastruktur, termasuk infrastruktur energi," ujar Roy.
Roy menjelaskan, meski ada anggaran membangun infrastruktur energi, namun
pembangunan lebih banyak dilakukan untuk membangun infrastruktur migas dan hal tersebut
membuktikan belum cukup seriusnya pemerintah melalui lembaga lembaganya baik
kementerian ESDM, Kementerian Riset, atau pun lembaga lain di bidang energi terbarukan.
"Permasalahan saat ini adalah bagaimana kemudian pemerintah membagi konsentrasi
antara energi migas dan energi terbarukan. Bagaimana mengolah energi migas secara benar
namun juga mengembangkan energi terbarukan, namun saat ini kebijakan energi terbarukan
belum dapat disinergikan kepada lembaga lembaga yang berwenang," lanjut Roy.
Indonesia sejatinya memiliki beberapa sumber energi yang memanfaatkan siklus alam
sebagai sumber energinya, beberapa siklus alam seperti air, angin, arus laut, dan panas bumi
telah banyak dikembangkan oleh perusahaan perusahaan baik swasta maupun BUMN di
Indonesia.
Dalam buku Rencana Induk Pengembangan Energi Baru Terbarukan 2010-2025,
Kementrian ESDM mencatat ada 6 provinsi yang memiliki potensi energi baru terbarukan
yang cukup besar, seperti Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Sumatera Utara, dan Aceh. ESDM juga mencatat bahwa untuk seluruh Indonesia, potensi
energi skala besar dan kecil tidak kurang dari 75.670 megawatt (MW), dan baru
dimanfaatkan sebesar 4.200 MW atau baru 5,6%.

Energi Terbarukan, Solusi Nyata untuk Indonesia

Indonesia membutuhkan energi - energi terbarukan. Kurangnya pasokan energi konsumsi energi per kapita Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia - adalah salah satu
faktor kunci yang menyebabkan rakyatnya terjebak dalam kemiskinan. Sementara era energi
modern (energi terbarukan) menyediakan, sistem energi yang memenuhi kebutuhan dasar
akan air bersih, fasilitas kesehatan,dan penerangan, serta pada saat yang sama mencegah
Indonesia untuk membuang tiga kali lipat emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil.
Meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak, batubara dan gas di negara
berkembang seperti Indonesia akan meningkatkan masalah perubahan iklim, yang saat ini
pun sudah menghancurkan kehidupan banyak masyarakat miskin.
Tidak ada yang tidak mungkin untuk pengembangan energi terbarukan yang aman dan
bersih di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumber daya
alam yang luar biasa berlimpah. Tenaga angin, air dan matahari yang bisa dimanfaatkan
sebagai energi alternatif, keberadaannya sangat mudah ditemui di berbagai pelosok negeri ini.
Saat ini potensi energi terbarukan yang begitu berlimpah di Indonesia, masih belum dilirik
dan dikembangkan secara serius oleh pemerintah. Anugerah yang begitu besar dari Tuhan ini
masih disia-siakan begitu saja. Saat ini dari total bauran energi (energy mix) Indonesia,
kontribusi energi terbarukan baru sekitar 5%, sementara 95% lainnya, masih digantungkan
pada bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas, dan batubara, yang cadangannya semakin
menipis dan tak begitu lama lagi akan segera habis. Begitu banyak hambatan dan tantangan
yang harus dihadapi oleh energi terbarukan untuk bisa berkembang di negeri ini, tantangan
dan hambatan terbesarnya adalah masih lemahnya komitmen pemerintah untuk
mengembangkan energi terbarukan, dan masih dipegangnya paradigma kuno yang
menganggap bahwa bahan bakar fosil seperti batubara adalah “panasea” untuk masalah
energi di Indonesia.
Potensi panas bumi Indonesia tercatat kurang lebih di angka 29.000 Gw dimana kapasitas
terpasang yang tercatat hanya diangka kurang lebih 1200 Mw. Bisa dibayangkan betapa
besarnya potensi yang belum terolah sama sekali, sehingga pertanyaanpun muncul mengapa
Pemerintah belum juga mengurangi ketergantungannya terhadap energi fosil?
Untuk tenaga air diperkirakan secara kasar potensi yang ada sebesar 75000 Mw,
sedangkan yang terpasang saat ini kurang lebih 6000 Mw untuk PLTA dan 228.000 Kw untuk
PLTMH. Belum lagi kita memasukkan perhitungan potensi tenaga surya yang tiada henti
selama setahun penuh, angin, biomas dan lainnya. Potensi inilah yang harus dimaksimalkan
untuk pemenuhan keadilan energi, juga dapat menjadi langkah pengurangan emisi gas rumah
kaca sebesar 26% seperti yang telah dijanjikan oleh Presiden SBY.
Sudah banyak cerita sukses yang membuktikan bahwa energi terbarukan memungkinkan
untuk segera diimplementasikan dan dikembangkan di Indonesia. Beberapa cerita sukses itu
adalah:
Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat
Sejak Januari 2009, warga Desa Cinta Mekar, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten
Subang, Jawa Barat, membangun dan mengelola pembangkit listrik mikrohidro sebesar 120
kilowatt. Mereka memanfaatkan aliran sungai di kampungnya. Lebih dari dua ratus warga

menikmati suasana terang di malam hari. Sekaligus mendapat manfaat lain dari jualan listrik
ke PLN.
Daerah yang sempat tercatat sebagai daerah tertinggal itu kini terang benderang di malam
hari selama lebih dari empat tahun.Yang membanggakan, mereka bergerak secara swadaya
membangun pembangkit listrik itu. Dengan memanfaatkan aliran sungai Ciasem, mereka
membangun pembangkit tenaga listrik air kecil atau mikrohidro. Dengan perangkat
sederhana, air sungai dibendung dan dialirkan ke turbin, lantas dikembalikan lagi ke sungai.
Teknik ramah lingkungan itu mampu menghasilkan listrik 120 kilowatt.
Kasepuhan Ciptagelar, Banten Kidul, Jawa Barat
Hingga saat ini Ciptagelar sendiri memiliki 9 buah pembangkit mikrohidro dan pikohidro
(mikrohidro dengan daya yang paling kecil). Pikohidro ini berdaya 500 Watt dan
penggunannya dari sore sampai pagi hari. Sedangkan mikrohidro memiliki daya 25 Kilowatt.
Sumber air untuk menggerakkan turbin di daerah Ciptagelar berasal dari sungai Cibarenodan.
Listrik ini juga dimanfaatkan untuk membuat siaran radio dan siaran televisi buatan
sendiri. Itu khusus untuk dokumentasi kegiatan-kegiatan warga seperti upacara-upacara adat
dan sebagainya. Lebih lanjut, saat ini listrik yang dihasilkan dari PLTMH dapat
didistribusikan ke sekitar 1.100 rumah yang ada di Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar sangat
memprioritaskan program pelestarian alam salah satunya dengan memanfaatkan aliran air
sungai melalui teknologi mikrohidro.
Pulau Mansinam, Papua Barat
Sayang sekali keindahan Pulau Mansinam selama ini kurang mendapat dukungan
infrastruktur yang memadai . Pulau Mansinam yang didiami oleh kurang lebih 100-150
kepala keluarga belum mendapat akses listrik dengan layak dari negara. Ketergantungan yang
sangat tinggi terhadap diesel membuat perawatan dan biaya bahan bakar pun sangat mahal.
Pulau Mansinam yang menjadi bagian penting dari Indonesia, sebagai ikon religi dan juga
pariwisata, seharusnya mendapatkan dukungan yang lebih baik dari pemerintah.
Di Pulau Mansinam, Greenpeace bersama masyarakat membangun pembangkit listrik
tenaga matahari dan angin sebesar 1 kilowatt (KW) untuk penerangan tempat ibadah bagi
masyarakat Mansinam yaitu gereja. Papua memiliki rasio kelistrikan yang berkisar diangka
33%, dimana angka ini sangatlah rendah dibanding rasio kelistrikan Indonesia pada
umumnya yang berada di angka 65,1%. Keadilan energi haruslah menjadi perhatian
pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan.
Apa yang Greenpeace lakukan di Pulau Mansinam seharusnya juga dapat dilakukan di
tempat lain di seluruh penjuru Indonesia. Potensi energi terbarukan, energi bersih yang relatif
lebih ramah lingkungan, harus dapat diwujudkan. Pemenuhan energi tidak boleh hanya
dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan yang cenderung mengkonsumsi energi
secara berlebihan. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang jauh dari jaringan transmisi dan
distribusi listrik seharusnya juga memiliki hak yang sama untuk bisa menikmati listrik.
Keadilan energi harus ditegakkan untuk Indonesia yang lebih maju.
Greenpeace yakin energi terbarukan merupakan penyelesaian masalah yang efektif untuk
masalah kelistrikan Indonesia. Dengan memanfaatkan potensi alam lokal yang tidak ada

habisnya, justru energi terbarukan inilah yang bisa menerangi bagian-bagian dari negara kita
ini yang letaknya tersebar dan sulit dijangkau. Sistem kelistrikan tersentralisasi dengan
pembangkit-pembangkit listrik skala besar dan jalur transmisi yang mahal yang diterapkan
selama ini justru akan mempersulit proses pendistribusian listrik ke daerah-daerah tersebut.
Sudah jelas, bagi negara kepulauan seperti Indonesia, energi terbarukan adalah solusi nyata,
yang bukan hanya cerdas tapi juga murah.

Energi terbarukan
Energi terbarukan energi yang berasal dari "proses alam yang berkelanjutan", seperti
tenaga surya, tenaga angin, arus air proses biologi, dan panas bumi.
Definisi "terbarukan"
Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya untuk
mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar nuklir dan fosil. Definisi paling umum
adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan
prosesnya berkelanjutan. Dengan definisi ini, maka bahan bakar nuklir dan fosil tidak
termasuk di dalamnya.
Energi berkelanjutan
Dari definisinya, semua energi terbarukan sudah pasti juga merupakan energi
berkelanjutan, karena senantiasa tersedia di alam dalam waktu yang relatif sangat panjang
sehingga tidak perlu khawatir atau antisipasi akan kehabisan sumbernya. Para pengusung
energi non-nuklir tidak memasukkan tenaga nuklir sebagai bagian energi berkelanjutan
karena persediaan uranium-235 di alam ada batasnya, katakanlah ratusan tahun. Tetapi, para
penggiat nuklir berargumentasi bahwa nuklir termasuk energi berkelanjutan jika digunakan
sebagai bahan bakar di reaktor pembiak cepat (FBR: Fast Breeder Reactor) karena cadangan
bahan bakar nuklir bisa "beranak" ratusan hingga ribuan kali lipat.
Alasannya begini, cadangan nuklir yang dibicarakan para pakar energi dalam ordo puluhan
atau ratusan tahun itu secara implisit dihitung dengan asumsi reaktor yang digunakan adalah
reaktor biasa (umumnya tipe BWR atau PWR), yang notabene hanya bisa membakar U-235.
Di satu sisi kandungan U-235 di alam tak lebih dari 0,72% saja, sisanya kurang lebih 99,28%
merupakan U-238. Uranium jenis U-238 ini dalam kondisi pembakaran "biasa" (digunakan
sebagai bahan bakar di reaktor biasa) tidak dapat menghasilkan energi nuklir, tetapi jika
dicampur dengan U-235 dan dimasukan bersama-sama ke dalam reaktor pembiak, bersamaan
dengan konsumsi/pembakaran U-235, U-238 mengalami reaksi penangkapan 1 neutron dan
berubah wujud menjadi U-239. Dalam hitungan menit U-239 meluruh sambil mengeluarkan
partikel beta dan kembali berubah wujud menjadi Np-239. Np-239 juga kembali meluruh
sambil memancarkan partikel beta menjadi Pu-239. Pu-239 inilah, yang meski tidak tersedia
di alam tetapi terbentuk sebagai hasil sampingan pembakaran U-235, memiliki kemampuan
membelah diri dan menghasilkan energi sebagaimana U-235. Bisa dibayangkan jika semua
U-238 yang jumlahnya ribuan kali lebih banyak daripada U-235, berhasil diubah menjadi Pu239, berapa peningkatan terjadi jumlah bahan bakar nuklir. Hal yang serupa juga terjadi
untuk atom [thorium-233] yang dengan reaksi penangkapan 1 neutron berubah wujud
menjadi U-233 yang memiliki kemampuan reaksi berantai (reaksi nuklir).

Itulah sebabnya mengapa negara-negara maju tertentu enggan meninggalkan nuklir meski
risiko radioaktif yang diterimanya tidak ringan. Reaktor pembiak cepat seperti yang dimiliki
oleh Korea Utara mendapat pengawasan ketat dari IAEA karena mampu memproduksi bahan
bakar baru Pu-239 yang rentan disalahgunakan untuk senjata pemusnah massal.
Di sisi lain para penentang nuklir cenderung menggunakan istilah "energi berkelanjutan"
sebagai sinonim dari "energi terbarukan" untuk mengeluarkan energi nuklir dari pembahasan
kelompok energi tersebut[butuh rujukan].
Sumber utama energi terbaharui :
Energi panas bumi
Energi panas bumi berasal dari peluruhan radioaktif di pusat Bumi, yang membuat Bumi
panas dari dalam, serta dari panas matahari yang membuat panas permukaan bumi. Ada tiga
cara pemanfaatan panas bumi:



Sebagai tenaga pembangkit listrik dan digunakan dalam bentuk listrik
Sebagai sumber panas yang dimanfaatkan secara langsung menggunakan pipa ke
perut bumi



Sebagai pompa panas yang dipompa langsung dari perut bumi

Panas bumi adalah suatu bentuk energi panas atau energi termal yang dihasilkan dan
disimpan di dalam bumi. Energi panas adalah energi yang menentukan temperatur suatu
benda. Energi panas bumi berasal dari energi hasil pembentukan planet (20%) dan peluruhan
radioaktif dari mineral (80%)[1]. Gradien panas bumi, yang didefinisikan dengan perbedaan
temperatur antara inti bumi dan permukaannya, mengendalikan konduksi yang terus menerus
terjadi dalam bentuk energi panas dari inti ke permukaan bumi.
Temperatur inti bumi mencapai lebih dari 5000 oC. Panas mengalir secara konduksi
menuju bebatuan sekitar inti bumi. Panas ini menyebabkan bebatuan tersebut meleleh,
membentuk magma. Magma mengalirkan panas secara konveksi dan bergerak naik karena
magma yang berupa bebatuan cair memiliki massa jenis yang lebih rendah dari bebatuan
padat. Magma memanaskan kerak bumi dan air yang mengalir di dalam kerak bumi,
memanaskannya hingga mencapai 300 oC. Air yang panas ini menimbulkan tekanan tinggi
sehingga air keluar dari kerak bumi[2].
Energi panas bumi dari inti Bumi lebih dekat ke permukaan di beberapa daerah. Uap
panas atau air bawah tanah dapat dimanfaatkan, dibawa ke permukaan, dan dapat digunakan
untuk membangkitkan listrik. Sumber tenaga panas bumi berada di beberapa bagian yang
tidak stabil secara geologis seperti Islandia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Filipina, dan
Italia. Dua wilayah yang paling menonjol selama ini di Amerika Serikat berada di kubah
Yellowstone dan di utara California. Islandia menghasilkan tenaga panas bumi dan
mengalirkan energi ke 66% dari semua rumah yang ada di Islandia pada tahun 2000, dalam
bentuk energi panas secara langsung dan energi listrik melalui pembangkit listrik. 86% rumah
yang ada di Islandia memanfaatkan panas bumi sebagai pemanas rumah[3][4].

Energi surya
Panel surya (photovoltaic arrays) di atas yacht kecil di laut dapat mengisi baterai 12 V
sampai 9 ampere dalam kondisi cahaya matahari penuh dan langsung.
Karena kebanyakan energi terbaharui berasal adalah “energi surya” istilah ini sedikit
membingungkan. Namun yang dimaksud di sini adalah energi yang dikumpulkan
secara langsung dari cahaya matahari.
Tenaga surya dapat digunakan untuk:
 Menghasilkan listrik menggunakan sel surya
 Menghasilkan listrik Menggunakan menara surya


Memanaskan gedung secara langsung



Memanaskan gedung melalui pompa panas



Memanaskan makanan Menggunakan oven surya.



Memanaskan air melalui alat pemanas air bertenaga surya

Tentu saja matahari tidak memberikan energi yang konstan untuk setiap titik di bumi,
sehingga penggunaannya terbatas. Sel surya sering digunakan untuk mengisi daya baterai, di
siang hari dan daya dari baterai tersebut digunakan di malam hari ketika cahaya matahari
tidak tersedia.
Tenaga Angin
Perbedaan temperatur di dua tempat yang berbeda menghasilkan tekanan udara yang
berbeda, sehingga menghasilkan angin. Angin adalah gerakan materi (udara) dan
telah diketahui sejak lama mampu menggerakkan turbin. Turbin angin dimanfaatkan
untuk menghasilkan energi kinetik maupun energi listrik. Energi yang tersedia dari
angin adalah fungsi dari kecepatan angin; ketika kecepatan angin meningkat, maka
energi keluarannya juga meningkat hingga ke batas maksimum energi yang mampu
dihasilkan turbin tersebut[5]. Wilayah dengan angin yang lebih kuat dan konstan
seperti lepas pantai dan dataran tinggi, biasanya diutamakan untuk dibangun "ladang
angin".
Tenaga air
Energi air digunakan karena memiliki massa dan mampu mengalir. Air memiliki massa
jenis 800 kali dibandingkan udara. Bahkan gerakan air yang lambat mampu diubah ke
dalam bentuk energi lain. Turbin air didesain untuk mendapatkan energi dari berbagai
jenis reservoir, yang diperhitungkan dari jumlah massa air, ketinggian, hingga
kecepatan air. Energi air dimanfaatkan dalam bentuk:
 Bendungan pembangkit listrik. Yang terbesar adalah Three Gorges dam di China.
 Mikrohidro yang dibangun untuk membangkitkan listrik hingga skala 100 kilowatt.
Umumnya dipakai di daerah terpencil yang memiliki banyak sumber air.



Run-of-the-river yang dibangun dengan memanfaatkan energi kinetik dari aliran air
tanpa membutuhkan reservoir air yang besar.

Biomassa
Tumbuhan biasanya menggunakan fotosintesis untuk menyimpan tenaga surya, udara, dan
CO2. Bahan bakar bio (biofuel) adalah bahan bakar yang diperoleh dari biomassa - organisme
atau produk dari metabolisme hewan, seperti kotoran dari sapi dan sebagainya. Ini juga
merupakan salah satu sumber energi terbaharui. Biasanya biomass dibakar untuk melepas
energi kimia yang tersimpan di dalamnya, pengecualian ketika biofuel digunakan untuk
bahan bakar fuel cell (misal direct methanol fuel cell dan direct ethanol fuel cell).
Biomassa dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar atau untuk memproduksi bahan
bakar jenis lain seperti biodiesel, bioetanol, atau biogas tergantung sumbernya. Biomassa
berbentuk biodiesel, bioetanol, dan biogas dapat dibakar dalam mesin pembakaran dalam
atau pendidih secara langsung dengan kondisi tertentu.
Biomassa menjadi sumber energi terbarukan jika laju pengambilan tidak melebihi laju
produksinya, karena pada dasarnya biomassa merupakan bahan yang diproduksi oleh alam
dalam waktu relatif singkat melalui berbagai proses biologis. Berbagai kasus penggunaan
biomassa yang tidak terbarukan sudah terjadi, seperti kasus deforestasi zaman romawi, dan
yang sekarang terjadi, deforestasi hutan amazon. Gambut juga sebenarnya biomassa yang
pendefinisiannya sebagai energi terbarukan cukup bias karena laju ekstraksi oleh manusia
tidak sebanding dengan laju pertumbuhan lapisan gambut.
Ada tiga bentuk penggunaan biomassa, yaitu secara padat, cair, dan gas [8]. Dan secara
umum ada dua metode dalam memproduksi biomassa, yaitu dengan menumbuhkan
organisme penghasil biomassa dan menggunakan bahan sisa hasil industri pengolahan
makhluk hidup.
Bahan bakar bio cair
Bahan bakar bio cair biasanya berbentuk bioalkohol seperti metanol, etanol dan biodiesel.
Biodiesel dapat digunakan pada kendaraan diesel modern dengan sedikit atau tanpa
modifikasi dan dapat diperoleh dari limbah sayur dan minyak hewani serta lemak. Tergantung
potensi setiap daerah, jagung, gula bit, tebu, dan beberapa jenis rumput dibudidayakan untuk
menghasilkan bioetanol. Sedangkan biodiesel dihasilkan dari tanaman atau hasil tanaman
yang mengandung minyak (kelapa sawit, kopra, biji jarak, alga) dan telah melalui berbagai
proses seperti esterifikasi.
Biomassa padat
Penggunaan langsung biasanya dalam bentuk padatan yang mudah terbakar, baik kayu
bakar atau tanaman yang mudah terbakar. Tanaman dapat dibudidayakan secara khusus untuk
pembakaran atau dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti diolah di industri tertentu dan
limbah hasil pengolahan yang bisa dibakar dijadikan bahan bakar. Pembuatan briket biomassa
juga menggunakan biomassa padat, di mana bahan bakunya bisa berupa potongan atau

serpihan biomassa padat mentah atau yang telah melalui proses tertentu seperti pirolisis untuk
meningkatkan persentase karbon dan mengurangi kadar airnya.Biomassa padat juga bisa
diolah dengan cara gasifikasi untuk menghasilkan gas.
Biogas
Berbagai bahan organik, secara biologis dengan fermentasi, maupun secara fisiko-kimia
dengan gasifikasi, dapat melepaskan gas yang mudah terbakar.
Biogas dapat dengan mudah dihasilkan dari berbagai limbah dari industri yang ada saat
ini, seperti produksi kertas, produksi gula, kotoran hewan peternakan, dan sebagainya.
Berbagai aliran limbah harus diencerkan dengan air dan dibiarkan secara alami berfermentasi,
menghasilkan gas metana. Residu dari aktivitas fermentasi ini adalah pupuk yang kaya
nitrogen, karbon, dan mineral.
Sumber energi skala kecil
 Piezoelektrik, merupakan muatan listrik yang dihasilkan dari pengaplikasian stress
mekanik pada benda padat. Benda ini mengubah energi mekanik menjadi energi
listrik.
 Jam otomatis (Automatic watch, self-winding watch) merupakan jam tangan yang
digerakkan dengan energi mekanik yang tersimpan, yang didapatkan dari gerakan
tangan penggunanya. Energi mekanik disimpan pada mekanisme pegas di dalamnya.


Landasan elektrokinetik (electrokinetic road ramp) yaitu metode menghasilkan energi
listrik dengan memanfaatkan energi kinetik dari mobil yang bergerak di atas landasan
yang terpasang di jalan. Sebuah landasan sudah dipasang di lapangan parkir
supermarket Sainsbury's di Gloucester, Britania Raya, di mana listrik yang dihasilkan
digunakan untuk menggerakkan mesin kasir.



Menangkap radiasi elektromagnetik yang tidak termanfaatkan dan mengubahnya
menjadi energi listrik menggunakan rectifying antenna. Ini adalah salah satu metode
memanen energi (energy harvesting).

Masalah
Estetika, membahayakan habitat, dan pemanfaatan lahan
Beberapa orang tidak menyukai estetika turbin angin atau mengemukakan isu-isu
konservasi alam ketika panel surya besar dipasang di pedesaan. Pihak yang mencoba
memanfaatkan teknologi terbarukan ini harus melakukannya dengan cara yang disukai, misal
memanfaatkan kolektor surya sebagai penghalang kebisingan sepanjang jalan,
memadukannya sebagai peneduh matahari, memasangnya di atap yang sudah tersedia dan
bahkan bisa menggantikan atap sepenuhnya, juga sel fotovoltaik amorf dapat digunakan
untuk menggantikan jendela.
Beberapa sistem ekstrasi energi terbarukan menghasilkan masalah lingkungan yang unik.
Misalnya, turbin angin bisa berbahaya untuk burung yang terbang, sedangkan bendungan air
pembangkit listrik dapat menciptakan penghalang bagi migrasi ikan - masalah serius di
bagian barat laut pasifik yang telah mengurangi populasi ikan salmon. Pembakaran biomassa
dan biofuel menyebabkan polusi udara yang sama dengan membakar bahan bakar fosil,

meskipun karbon yang dilepaskan ke atmosfer ini dapat diserap kembali jika organisme
penghasil biomassa tersebut secara terus menerus dibudidayakan.
Masalah lain dengan banyak energi terbarukan, khususnya biomassa dan biofuel, adalah
sejumlah besar lahan yang dibutuhkan untuk usaha pembudidayaannya.
Konsentrasi
Masalah lain adalah variabilitas dan persebaran energi terbarukan di alam, kecuali energi
panas bumi yang umumnya terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu namun terdapat pada
lokasi yang ekstrim. Energi angin adalah yang tersulit untuk difokuskan, sehingga
membutuhkan turbin yang besar untuk menangkap energi angin sebanyak-banyaknya.
Metode pemanfaatan energi air bergantung pada lokasi dan karakteristik sumber air sehingga
desain turbin air bisa berbeda. Pemanfaatan energi matahari dapat dilakukan dengan berbagai
cara, namun untuk mendapatkan energi yang banyak membutuhkan luas area penangkapan
yang besar.
Sebagai perbandingan, pada kondisi standar pengujian di Amerika Serikat energi yang
diterima 1 m2 sel surya yang memiliki efisiensi 20% akan menghasilkan 200 watt. Kondisi
standar pengujian yang dimaksud adalah temperatur udara 20 oC dan irradiansi 1000 W/m2.
Jarak ke penerima energi listrik
Keragaman geografis juga menjadi masalah signifikan, karena beberapa sumber energi
terbarukan seperti panas bumi, air, dan angin bisa berada di lokasi yang jauh dari penerima
energi listrik; panas bumi di pegunungan, energi air di hulu sungai, dan energi angin di lepas
pantai atau dataran tinggi. Pemanfaatan sumber daya tersebut dalam skala besar kemungkinan
akan memerlukan investasi cukup besar dalam jaringan transmisi dan distribusi serta
teknologi itu sendiri dalam menghadapi lingkungan terkait.
Ketersediaan
Salah satu kekurangan yang cukup signifikan adalah ketersediaan energi terbarukan di
alam; beberapa dari mereka hanya ada sesekali dan tidak setiap saat (intermittent). Misal
cahaya matahari yang hanya tersedia ketika siang hari, energi angin yang kekuatannya
bervariasi setiap saat, energi air yang tak bisa dimanfaatkan ketika sungai kering, biomassa
memiliki masalah yang sama dengan yang dihadapi dunia pertanian (misal iklim, hama), dan
lain-lain. Sedangkan energi panas bumi bisa tersedia sepanjang waktu.
Riwayat penggunaan energi terbarukan
Sepanjang sejarah, berbagai macam energi terbarukan telah digunakan.


Kayu adalah bahan bakar biomassa paling tua dalam sejarah manusia, yang digunakan
sebagai sumber energi panas lewat pembakaran, bahkan hingga kini masih digunakan.
Kayu bakar digunakan saat memasak dan menghangatkan ruangan sehingga manusia
dapat bertahan di cuaca dingin. Jenis kayu tertentu digunakan khusus untuk
mengawetkan makanan melalui pengeringan atau pengasapan sehingga makanan tidak
cepat basi atau rusak. Kemudian ditemukan bahwa pembakaran parsial dalam kondisi



miskin oksigen (pirolisis) untuk menghasilkan arang, yang dapat memberikan panas
lebih banyak dalam massa yang relatif lebih sedikit dibandingkan kayu kering.
Namun, energi ini kurang efisien karena membutuhkan bahan baku kayu/pohon dalam
jumlah besar untuk membuat arang.
Tenaga Hewan untuk menarik gerobak/kereta dan alat-alat mekanik tradisional.
Hewan seperti kuda, sapi atau kerbau sejak dulu telah dimanfaatkan sebagai tenaga
transportasi dan penggerak pabrik. Hingga kini, di berbagai belahan dunia masih
banyak penggunaan hewan untuk tujuan ini.



Tenaga air akhirnya menggantikan kekuatan hewan untuk pabrik dengan mengubah
energi air (kinetik maupun gravitasi) menjadi energi kinetik rotasi. Hingga saat ini,
tenaga air menyediakan energi listrik terbarukan di seluruh dunia lebih banyak dari
sumber energi terbarukan lainnya.



Lemak hewani, terutama minyak ikan paus sudah lama dibakar sebagai minyak untuk
lampu.



Energi angin telah digunakan selama beberapa ratus tahun. Pada awalnya digunakan
pada kincir angin berukuran besar bagaikan layar dengan empat hingga enam lengan,
seperti yang terlihat di Belanda. Saat ini, desain kincir angin lebih banyak menyerupai
pisau dengan jumlah lengan hanya tiga pada umumnya, seperti yang terlihat di ladang
angin di pegunungan maupun lepas pantai. Saat ini, tenaga angin merupakan sumber
energi dengan pertumbuhan tercepat di dunia.



Tenaga surya sebagai sumber energi dalam sejarah manusia, lebih banyak ditangkap
secara arsitektural sebagai penerangan dalam bangunan, dan pengeringan bahan
pertanian. Dan pada abad ke-20, matahari telah ditangkap secara mekanis
memanfaatkan pergerakan fluida hingga konversi ke energi listrik secara langsung.

Sumber :
http://www.kompasiana.com/bob911/energi-terbarukan-danpermasalahannya_559d42dbf69273d30cdb9c08
http://finance.detik.com/energi/3098320/tiga-hambatan-utama-pengembangan-energiterbarukan-di-ri
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/Solusi-nyata-untuk-Indonesia/blog/41164/
https://id.wikipedia.org/wiki/Energi_terbarukan