Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Pengelol

Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Oleh
Indra Perwira1
I. Pendahuluan
Makalah ini terinspirasi oleh penelitian mengenai Pola Hubungan Antara
Pusat dan Daerah, yang dilaksanakan oleh Tim Fakultas Hukum Universitas
Padjadaran bekerjsa sama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tahun
2009, dimana penulis menjadi salah seorang anggota tim peneliti. Penelitian
tersebut lebih terfokus pada pola hubungan kewenangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan beserta beberapa variannya, seperti

hubungan keuangan,

hubungan kelembagaan dan hubungan pengawasan. Dari hasil penelitian tersebut,
ditemukan berbagai pertanyaan yang dapat dikembangkan dalam penelitianpenelitian lebih lanjut.
Makalah ini disusun sekedar sebagai lontaran gagasan-gagasan untuk
mencoba menjawab sebagian persoalan yang masih tercecer dari penelitian
tersebut, yang mungkin menarik untuk dikembangkan atau diteliti lebih lanjut.
II. Pola Hubungan Pusat dan Daerah
Seperti diketahui, Reformasi telah membawa pengaruh terhadap perubahan
landasan konstitusional dan tatanan peraturan perundang-undangan mengenai

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Didahului dengan terbitnya
Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dibuat
dalam suasana euforia, maka pola hubungan antara pusat dan daerah diubah 180
derajat. Setelah itu baru dilakukan perubahan UUD 1945, yang kemudian
dijalankan oleh Undang-undang No.32 Tahun 2004 yang hingga saat ini masih
berlaku.
Secara historis, Negara Kesatuan (unitary state) harus dibedakan dengan satu
negara (one state). Sama halnya dengan negara-negara serikat, negara kesatuan
1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pola Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,
kerjasama FH Unpad dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI), 2011

1

umumnya tidak berasal hanya dari satu negara, melainkan dari dua atau lebih
negara-negara yang berdaulat. Perbedaannya, pada bentuk negara serikat (federal
state), negara-negara yang bergabung menyerahkan “sebagian” kedaulatannya,
sementara pada bentuk negara kesatuan “seluruh” kedaulatan itu diserahkan pada
sebuah otoritas bersama yang disebut negara kesatuan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan semboyan “Bhinnneka
Tunggal Ika” pada lambang Negara Garuda Pancasila merupakan potret Indonesia

sesungguhnya sebagai sebuah negara kebangsaan (nasional state). Prof. Sudiman
memberi makna semboyang tersebut dalam paham kebangsaan sebagai “kesatuan
dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Hal tersebut mengandung arti
bahwa setiap daerah atau wilayah memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik
dari segi etnis, budaya, agama, potensi ekonomi dan sebagainya, tetapi merupakan
bagian integral dari NKRI, sehingga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
atau menciptakan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Oleh sebab itu dalam negara kesatuan terdapat dua prinsip hukum umum
yang penting, yaitu “keterpaduan” dan “subsidiaritas”. Prinsip keterpaduan
memandang daerah sebagai subsistem wilayah negara yang apabila tidak diurus
dan dikelola dengan baik akan berpengarus pada subsistem wilayah lainnya, yang
pada gilirannya berpengaruh pada sistem negara.
Prinsip “subsidiaritas” adalah pemberian kepercayaan dan kewenangan
kepada sub-unit pemerintahan yang lebih rendah melalui sistem desentralisasi
yang demokratis. Mengenai sistem desentralisasi itu UUD 1945 telah memberikan
landasan konstitusional pada Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B. Pasal-pasal
tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia;
b. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
2

c. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya;
d. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa;
e. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu;
f. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil;
g. prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
h. prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;
dan
i.

prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa;

Jika dicermati dari berbagai prinsip di atas, salah satu yang sangat berbeda
dari sebelumnya adalah prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya. Undangundang No.5 Tahun 1974 secara tegas menganut prinsip otonomi riil atau dalam
bahasa undang-undang tersebut disebut “otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab”, yang dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah
tangganya berdasarkan asas desentralisasi, asas tugas pembantuan, dan asas
dekonsentrasi.
Setelah Perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi asas dekonsentrasi dalam
penyelengaraan pemerintahan daerah. Penghapusan asas dekonsentrasi dan
perubahan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi prinsip otonomi
seluas-luasnya, karena kedua hal tersebut ditenggarai sebagai instrumen
sentralisasi yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pasal 18A UUD 1945 menggambarkan adanya empat pola hubungan antara
pusat dan daerah, yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan
pelayanan umum, dan hubungan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.
3

Hubungan kewenangan sebagian besar diatur dalam Undang-undang No.32 Tahun
2004 beserta peraturan-peraturan pelaksanaanya, hubungan keuangan diatur

dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Hubungan pelayanan umum telah diatur dengan berbagai undangundang. Demikian pula halnya dengan hubungan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya.
Sebagai satu negara kesatuan, tentunya keseluruhan pola hubungan tersebut
menimbulkan

hubungan

administrasi

dan

kewilayahan

antara

susunan

pemerintahan (Pasal 2 ayat (7)). Hubungan administrasi mengandung makna
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan satu kesatuan dalam

penyelenggaraan sistem administrasi negara. Hubungan kewilayahan mengandung
makna bahwa wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah negara. Namun
demikian, desentralisasi dalam negara kesatuan tidak hanya bermakna
pemencaran wewenang secara administratif dari satu ke lain badan administasi
negara (ambtelijke decentralisati/deconsentratie), melainkan mengandung pula
makna pembagian kekuasaan secara vertikal (regelende en besturende bevoegheid)
kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi teritorial (territoriale
decentralisatie)

dan

desentralisasi

fungsional

(functionele

decentralisatie).

Desentralisasi teritorial mencakup autonomie (otonomi) dan medebewind atau

zelfbestuur (tugas pembantuan).
Artinya,

terdapat

beberapa

level

satuan

pemerintahan

yang

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara. Umumnya terdiri atas dua
level, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah
merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Untuk
keperluan itu, pemerintah daerah harus diberikan dan memiliki otonomi, yaitu
kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan yang menjadi urusan

rumah tangganya.
III. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bersifat Sentralistik
Pada masa Orde Baru, politik desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan pembangunan ekonomi.

Ketika Orde Baru mulai memikirkan
4

pembangunan ekonomi disadari bahwa negara ini tidak mempunyai modal, kecuali
sumberdaya alam yang berlimpah. Oleh sebab itu dimulai pada tahun 1967
diterbitkan berbagai Undang-undang yang terkait dengan tujuan ekploitasi
sumberdaya alam, seperti UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,
UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No.11
Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU Minyak dan
gas Bumi, UU Perbankan, dan UU Pajak.
Undang-undang terkait ekstaksi sumberdaya alam tersebut bersifat
sentralistik. Hal itu disebabkan tafsir terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
kurang tepat. Makna dikuasai oleh negara diidentikkan dengan pemerintah
(pusat), sehingga ekploitasi sumberdaya alam yang dimodali asing itu diatur dan
dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui berbagai BUMN. Sifat

sentralistik dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut telah “menarik” pola
hubungan kewenangan menjadi sentralistik pula.
“Trilogi pembangunan” yang pada masa itu menjadi kalimat sakti, yang
meliputi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan hasil
pembangunan, secara nyata termuat dalam konsideran Undang-undang No.5
Tahun 1974, seperti:
“bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang
tersebar di seluruh pelosok Negara dan dalam membina kestabilan politik
serta kesatuan Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada
pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat
menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan
bersama-sama dengan dekonsentrasi”
Beberapa prinsip yang tersirat dalam Pasal 18 UUD 1945, dan yang tersurat
dalam Undang-undang No.5 Tahun 1974 tidak dijalankan. Contohnya, prinsip titik
berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II, sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 11 Undang-undang itu tidak pernah diterbitkan Peraturan
Pemerintahnya. Demikian pula halnya dengan perinsip hubungan keuangan atau
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagaimana diperintahkan oleh
Pasal 57 Undang-undang itu tidak pernah ada. Di penghujung Orde Baru terbukti

5

pula Trilogi Pembangunan hanya melahirkan kesenjangan antar daerah.
Pemerataan pembangunan tidak tercapai dan bangunan ekonomi nasional sangat
kropos sehingga runtuh seketika oleh krisis moneter pada tahun 1996.
Jika secara jujur kita renungkan, spanning pusat dan daerah yang terjadi lebih
disebabkan ketidak-adilan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi, khususnya
sumberdaya alam. Oleh sebab itu pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam
merupakan salah satu amanat Reformasi yang dituangkan dalam Ketetapan MPR
Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Namun sangat disayangkan, meski rancangan undang-undang pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumberdaya alam telah disusun pada tahun 2005, tetapi tidak
pernah sampai ke ke DPR karena dipotong oleh kepentingan investor asing.
Sumber daya alam adalah kesatuan tanah, air, dan ruang udara, termasuk
kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya yang merupakan hasil proses alamiah
baik hayati maupun nonhayati, terbarukan dan tidak terbarukan, sebagai fungsi
kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sumberdaya alam
memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan, pendukung sistem sosial dan budaya,
dan penyedia jasa lingkungan.
Pola hubungan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya berdasarkan prinsip

adil dan selaras yang dimaksud Pasal 18B UUD 1945. Prinsip tersebut telah dijabarkan
ke dalam rumusan Pasal 17 Ayat (1) Undang-undang No. 32 tahun 2004, bahwa
hubungan tersebut meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumbedaya alam dan sumberdaya lainnya; dan
c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Jadi dalam hubungan sumberdaya alam tersebut terdapat juga hubungan
kewenangan

tidak

terbatas

pada

“pemanfaatan”,

melainkan

pengelolaan

sumberdaya alam. Dalam hal ini, terjadilah kekisruhan peraturan perundangundangan yang melahirkan spanning antara Pusat dan Daerah. Di Aceh terjadi
6

spanning soal pengelolan Taman Nasional Lueseur, sementara kawasan Taman
Nasional Krinci Seblat yang membentang melintasi empat provinsi dan berbatasan
dengan

9

kabupaten

juga

menghadapi

persoalan

mengenai

hubungan

pengelolaannya. Di Jawa Barat terjadi spanning soal pengeloaan kawasan Gunung
Tangkuban Perahu.
Di tengah suasana otonomi seluas-luasnya, peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan sumberdaya alam masih cenderung bersifat sentralistik. Oleh
sebab itu dibutuhkan politik hukum yang jauh lebih jelas dan tegas menyangkut
hubungan pusat dan daerah dalam pengelolan sumberdaya alam yang lebih adil.
Dengan demikian perlu ada pemikiran-pemikiran baru terhadap Pasal 33
UUD 1945, baik yang menyangkut hal-hal prinsip seperti makna “dikuasai negara”
dan “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maupun
terhadap istilah-istilah hukum yang digunakan, serta bagaimana hubungannya
dengan pemerintahan daerah.
Pasal 33 ayat (3) UUD 45 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.
Sekedar contoh, Istilah “bumi” dalam pemakanain bahasa sehari-hari pada saat
sekarang menunjuk pada nama sebuah planet yang kita tempati, yang dalam bahasa
Inggris dinamakan “earth”. Bumi yang berbentuk bulat seperti bola itu jika dikaitkan
dengan seluruh peri kehidupannya disebut “dunia” (world).
Pertanyaannya, apakah the founding father kita menggunakan istilah “bumi”
dengan makna seperti sekarang ini? Penulis yakin, tidak. Sebab tidak mungkin ada
maksud dari negara kita ini untuk menguasai seluruh bumi. Jadi, meskipun ada
kaitannya dengan bumi secara keseluruhan, tetapi yang dimaksud tentulah menunjuk
pada sebagian wilayah di bumi ini yang dihuni oleh bangsa Indonesia, atau sebagian
dari “bumi” ini yang kita nyatakan sebagai wilayah NKRI atau pada suatu wilayah yang
pada masa itu disebut sebagai “bumi pertiwi” atau “ibu pertiwi”. Dalam bahasa Inggris
istilah tersebut sepadan dengan istilah “motherland”.
7

Pemberian makna yuridis dari istilah “bumi” dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 45
tersebut pertama kali dilakukan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal sebagai UUPA. Dalam Pasal 1
UUPA antara lain ditegaskan bahwa,
Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air....
Kemudian dalam Pasal 4 UUPA;
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah,...”
Dengan adanya UUPA, termasuk dalam definisi konstitusional “bumi” adalah
permukaan bumi yang disebut tanah, dan tubuh bumi atau yang dalam bahasa UUD
1945 disebut “kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Salah satu kewenangan
Pemerintah menurut UUPA adalah mengatur peruntukan dan penggunaan tanah, yang
pada masa itu dikenal sebagai “tata guna tanah”, tetapi peraturan mengenai tata guna
tanah yang mengacu kepada UUPA tidak berhasil diterbitkan karena istilah “tanah”
dianggap kurang tepat untuk “permukaan bumi”. Istilah hukum yang lebih tepat adalah
“lahan” (land)” yang menunjuk pada suatu hamparan di permukaan bumi dalam ukuran
m2 (meter persegi). Landuse planning (tataguna lahan) adalah kebijakan mengenai
peruntukan dan penggunaan hamparan (lahan/land) tersebut, dan bukan “tanah” sebagai
sumberdaya alam, sebab kalimat “dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya”
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 45 menunjuk pada “bumi dan air“.
Jadi definisi bumi dalam UUD 1945 mengandung makna baik sebagai wadah
(land) maupun sumberdaya alam. Bumi sebagai wadah kehidupan berupa bentangan
lahan, dan bumi sebagai sumberdaya alam disebut tanah (soil) yang terbentuk dari,
pasir, batuan, mineral, lumpur, kapur atau gambut.
Perihal pemanfaatan bumi tersebut telah diatur dalam beberapa undang-undang
organik. Bumi sebagai wadah diatur oleh UUPA, dan bumi sebagai sumberdaya alam
diatur dalam berbagai undang-undang, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU No.4 Tahun
2009 tentang Minerba. Demikian pula halnya dengan air, sebagai wadah diatur dalam
8

UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan sebagai sumberdaya alam diatur
dalam UU No. 7 tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air.
Lalu apakah dalam mengatur penggunaan dan peruntukan bumi dan air tersebut
harus dipisahkan antara “wadah” dan “isi” ? keberadaan Hutan dan bahan tambang
sebagai sumberdaya alamnya tidak dapat dipisahkan dari lahan sebagai wadahnya.
Persoalan ini dijawab dengan memberi makna baru atas pasal 33 ayat (3) UUD 45, yaitu
dengan UU No. 24 tahun 1992 yang kemudian diganti oleh UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kedua sifat dari bumi dan air tersebut baik sebagai wadah
maupun isi disatukan dalam istilah “ruang”. Istilah tata guna tanah, kemudian tata guna
lahan, akhirnya berkembang menjadi tata ruang.
Dalam praktek, di sinilah awal terjadinya spanning antara pusat dan daerah. Tata
ruang sebagai arahan lokasi baik untuk kawasan lindung maupun budidaya bersifat
hirakhis, baik dalam struktur maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya.

IV.Kesimpulan
Pengaturan mengenai pengelolalan sumberdaya yang tersebar di berbagai
undang-undang sampai saat ini masih bersifat sentralistik, sehingga perlu dikaji
ulang dan dilakukan harmonisasi dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Daftar Pustaka
Tim Peneliti, Pola Hubungan Antara Pusat dan Daerah, Kerjasama antara Pusat
Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum UNPAD dan Dewan
Perwakilan Daerah, 2009.
Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk
pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP
Unpad, 28 Desember 1992

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18, UNSIKA, Karawang, 1993.
9

_______, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994.
_______, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 2001.
Bhenyamin Hoessein, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Kumpulan
Tulisan pasang surut otonomi Daerah, Yayasan Tifa, Jakarta, 2005.
I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni,
bandung, 2009.
Ichimura, Shinichi; Bahl, Roy (eds), Decentralization: Policies in Asian Development,
World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina
Aksara, 1984.
Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002.

10