Diskursus Radikalisme dan Depolitisasi G

DISKURSUS RADIKALISME DAN DEPOLITISASI GERAKAN SOSIAL1
Oleh:
Ghifary
PENGANTAR
Penyematan diskursus radikalisme pada sebuah gerakan yang dianggap
mengancam kedaulatan negara, nampaknya menjadi perdebatan pasca diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Dibubarkannya organisasi yang disinyalir terjangkit radikalisme dan
membahayakan stabilitas nasional, adalah implementasi dari regulasi di atas. Pelbagai
reaksi dan analisis -baik pro maupun kontra- muncul dari beragam pihak, di satu sisi
regulasi ini dipercaya sebagai obat mujarab bagi penyakit radikalisme, dan di sisi lain
regulasi tersebut dianggap perlahan mampu mereduksi hak dan kebebasan masyarakat
sipil untuk berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi.
Tulisan ini tentu tidak ingin menambah deretan panjang polaritas analisis
sebelumnya. Namun fokus tulisan ini adalah tentang apa itu radikalisme dalam konteks
Negara Indonesia dan bagaimana implikasi dari diskursus radikalisme ini terhadap
gerakan yang ada di Indonesia.
GERAKAN RADIKAL DI INDONESIA: SEKILAS BERKACA PADA SEJARAH
Jika pertanyaan bagaimana kemerdekaan Indonesia dapat direngkuh? diajukan,
maka terminologi radikalisme memiliki peran yang besar bagi tercapainya kemerdekaan
Negara ini. Gerakan anti-kolonial dan orientasi guna merenggut kemerdekaan Indonesia

pada tahun 1920 hingga 1940-an disesaki dengan serikat-serikat pekerja di perkotaan,
kelompok-kelompok tani, yang secara keseluruhan gagasan yang dituangkan melalui katakata dalam koran, majalah, selebaran, poster, pawai jalanan, rapat akbar, pertemuan
massal, mogok, dan boikot. Jika bukan karena proses berpikir yang holistik, komprehensif,
dan radikal, maka gagasan tentang kemerdekaan hanya akan menjadi lamunan di siang
hari hingga saat ini. Angan-angan untuk lepas dari kekang-kendali kolonialisme, disertai
pula kemajuan dalam berpikir, menganalisis, dan bertindak, adalah kunci dari
kemerdekaan Indonesia.
Lebih jauh, kemerdekaan Indonesia secara deklaratif pada tahun 1945 bukanlah
menjadi momen penutup bagi kemajuan berpikir dalam gerakan rakyat. Pasca
kemerdekaan, perjuangan antar partai politik, dan kepentingan kelas, secara esensial
merupakan perjuangan guna menentukan konsepsi Negara dan masyarakat Indonesia
macam apa yang akan didirikan. Sekalipun antagonisme muncul di permukaan, hal
Tulisa disajika pada diskusi publik de ga te a Diskursus Radikalisme oleh Komite-Aksi Narotama Bergerak
di Universitas Narotama Surabaya pada tanggal 16 Nopember 2017.

1

tersebut merupakan pemaknaan atas identitas bangsa Indonesia. Semua aliran politik, baik
islam, federalis, sosial-demokrat, atau sosialis, saling berjuang bagi Indonesia sebagaimana
yang ada dalam ideal mereka. Pada proses inilah radikalisasi di tiap golongan menjadi

makin gencar, dan itulah mengapa jargon revolusi belum usai marak diteriakkan pada
tahun 1945-1949.2
Naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan pada tahun 1965 menjadi awal dari
konsolidasi pembasmian ideologi dan penghapusan ingatan. Terminologi radikal sendiri
mengalami peyorasi, menjadi stereotip yang dilekatkan pada pihak yang melawan
pemerintahan. Rentetan momen dan peristiwa radikalisasi pada tahun 1945-1949
dihilangkan, sedangkan tokoh-tokoh radikal pejuang kemerdekaan dilupakan dan hanya
tercatat sekadar sebagai proklamator kemerdekaan.
PERPPU ORMAS DAN RADIKALISME: SEBUAH KONTEKSTUALISASI
Pada perkembangannya, wacana radikalisme sendiri menjadi semacam borok yang
harus disembuhkan dari tubuh bernama Negara. Ditambah lagi, gaung akan bahaya
gerakan radikalis makin terdiseminasi. Konsekuensinya, Negara mampu memberikan label
pada tiap gerakan yang dianggap menyimpang dari adicita Negara Indonesia, kasus
dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia adalah manifestasi dari hal ini.
Jika ditarik lebih jauh, maka pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana konsep
radikalisme itu sendiri di mata Negara? atau bolehkah seorang individu sebagai warga
Negara Indonesia berpikir secara radikal? dan juga bagaimanakah konsepsi organisasi
kemasyarakatan yang baik bagi Negara Indonesia? . Pertanyaan seperti ini yang wajib kita
bedah dan jawab, sehingga kita bisa bersepakat dengan apa yang disebut sebagai
radikalisme.

Perumusan Perppu Ormas memang menyisakan pertanyaan tentang bagaimana
nasib kebebasan masyarakat dalam berkumpul dan berorganisasi. Fragmentasi dan
munculnya varian gerakan sosial masyarakat, nampaknya menjadi konsekuensi logis dari
eksplosi demokrasi pasca bubarnya Orde Baru. Normalisasi politik Indonesia berhasil
diciptakan pasca Orde Baru, wacana terkait people power kian pudar karena represivitas
Negara yang terpusat disangka telah tumbang bersama Orde Baru. Perdebatan publik
bukan lagi sekitar kekejaman aparat Negara terhadap masyarakat, melainkan digantikan
oleh konflik antar elit, sengketa personal, korupsi, skandal seks, yang hakikatnya hanya
memiliki konsekuensi sangat kecil -atau tidak sama sekali- pada kepetingan masyarakat
secara umum.3
Konsekuensi lanjutan dari normalisasi politik ini, adalah lahir dan berkembangnya
gerakan sosial yang mewujud dalam pengembangan komunitas berbasis proyek, serta
2

Max Lane. 2014. Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman
Baroe. Hal 61-62.
3
Ariel Heryanto. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. terj. Eric Sasono. Jakarta: KPG.
Hal 184-185.


makin digencarkannya program pemberdayaan masyarakat melalui Non-Government
Organization (NGO). Banyak aktivis yang tergabung dalam NGO terlibat pada wacana good
governance dan isu-isu populis yang dikembangkan dan disponsori oleh Bank Dunia guna
mendukung Program Pembangunan. Hal ini mampu mendukung agenda ekonomi
neoliberal dalam rangka privatisasi dan swastanisasi, yang mana bantuan dari Bank Dunia
ini diberikan pada berbagai NGO agar masyarakat secara luas mampu menerima reformasi
pasar, reformasi ekonomi, dan pembangunan jangka panjang.4
Maka, kiranya penting untuk mendedah lebih lanjut normalisasi politik Indonesia,
atau lebih jauh depolitisasi gerakan masyarakat dalam menuntut hak-hak dasar sosial,
politik, dan ekonomi. Di samping itu, hadirnya urgensi untuk menjawab pertanyaan
bagaimana Perppu Ormas berimplikasi pada proses depolitisasi beragam gerakan sosial
masyarakat.
GELOMBANG DEPOLITISASI MASYARAKAT
Depolitisasi gerakan sosial masyarakat merupakan konsekuensi -jika bukan bukan
ekses- dari hadirnya proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Kondisi demikian
inilah yang dapat disebut sebagai post-demokrasi, yakni tersedianya informasi dan
teknologi komunikasi menyediakan afiliasi dan penggabungan atas demokrasi imajiner, di
mana pemberdayaan komunitas menggantikan pengandaian demokrasi sekadar sebagai
representasi, akuntabilitas, legitimasi, multistakeholderism, keahlian, dan manajemen
reputasi.5 Kombinasi antara rezim pos-demokratik dan ekonomi neoliberal berhasil

menciptakan program, pengetahuan, dan bahasa yang ideal bagi pemerintahan serta
lembaha-lembaga donor yang mensposori sebuah organisasi.
Gerakan sosial masyarakat tertampung dan diakui dalam wadah NGO s, yang mana
merepresentasikan kepentingan kelompok masyarakat tertentu dan sifatnya terdistingsi
dari kepentingan Negara, sehingga orientasi komunitas masyarakat global dapat dicapai.
Eksesnya adalah, organisasi semacam ini menyerap dan mereduksi jejaring gerakan
masyarakat yang sifatnya politis, menjadi tuntutan atas kehidupan secara umum yang
dilandasi pijakan moral, etika dan sesuai dengan skema global neoliberalisme.6 Senada
dengan hal ini, David Harvey menjabarkan bagaimana NGO s tumbuh dan berkembang biak
di bawah ekonomi neoliberal dan membangkitkan kepercayaan bahwa masyarakat sipil
mampu melakukan transformasi sosial dan beroposisi dengan Negara tanpa harus
mengandalkan aparatur Negara.7 Semenjak individu kekurangan sumber finansial guna
memenuhi kebutuhannya, maka organisasi yang sifatnya apolitis dan elitis (kecuali bagi

4

Vedi R. Hadiz. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: a Southeast Perspective. California:
Stanford University Press. Hal 9-10.
5
Jodi Dean, Jon W. Anderson. dan Geert Lovink (ed.). 2006. Reformatting Politics: Information Technology and Civil

Society. New York: Routledge. Hal xii-xvii.
6
Michael Hardt dan Antonio Negri. 2000. Empire. Massachusetts: Harvard University Press. Hal 312-313.
7
David Harvey. 2007. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford. Hal 78-79.

lembaga donornya), hadir seolah memberikan jawaban bagi masyarakat sipil, inilah inti
dari privatisasi atas NGO di bawah lembaga donor.8
Tanpa tendensi untuk menjadi paranoid atau histerik, namun skema neoliberal
gerakan depolitisasi macam ini terjadi dan marak secara global. Studi yang dilakukan
Akwugo Emejulu menunjukkan bahwa peran NGO dan pembangunan komunitas berbasis
projek makin banyak diterapkan baik di Negara adidaya sekelas Amerika Serikat ataupun
Britania Raya, dan hal ini merupakan skema hegemonik neoliberalisme.9 Ataupun
pengalaman depolitisasi gerakan masyarakat di Negara-negara dunia ketiga, yang
dipelopori pelbagai macam NGO dan lembaga donor sekelas USAID.10
Kendati demikian, kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa Perppu Ormas secara
eksplisit melarang kegiatan politik dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan. Ekses dari
hal ini adalah transformasi politik menjadi hal yang bersifat individual dan seolah menjadi
gaya hidup atau lebih jauh menjadi pilihan konsumen. Hilangnya kekuatan Negara dalam
sistem ekonomi neoliberal, pada akhirnya individu dapat memilih preferensi politik yang

akan menjadi fokusnya, sebagai contoh: isu perdagangan bebas, isu degradasi lingkungan,
isu vegan, isu perempuan, dsb.11
Diseminasi yang demikian ini merupakan kondisi indeterminasi atas isu yang
harusnya dapat disatukan dalam kerangka gerakan sosial. Dalam kerangka depolitisasi
atau post-politik seperti ini, penjelasan Slavoj Zizek terkait runtuhnya The Big-Other
dirasa signifikan, yakni kondisi ketidakpastian dan ketidakterdugaan yang dialami oleh
subjek sebagai warga Negara. Singkatnya, entitas yang awalnya dianggap sebagai otoritas
telah dianggap hancur, sehingga multiplisitas muncul dan mewujud dalam identitas
individu di berbagai konteks yang berbeda. 12 Pembacaan ini dapat dilakukan bersamaan
dengan analisis Hardt dan Negri dalam nosi Foucauldian atas transformasi MasyarakatDisipliner menuju Masyarakat-Kontrol, yang berarti identitas simbolik telah purna dan
tercecer, digantikan dengan subjektivitas yang mengejawantah dalam identitas imajiner
serta menginternalisasi subjek.13
PENUTUP: MERUMUSKAN POLITIK DAN TANTANGAN BAGI UNIONISM
Urgensi bagi kondisi depolitisasi ini adalah menemukan konsepsi politik yang paling
efektif dan dapat lepas dari kekang kendali Imperialisme-Global beserta kebijakan
neoliberal-nya. Pasca runtuhnya Soviet dan dianggapnya Demokrasi-Liberal sebagai satu8

Ibid. Hal 177.
Akwuogo Emejulu. 2015. Community Development as Micropolitics: Comparing Theories, Policies and Politics in
America and Britain. Bristol: Policy Press. Hal 115.

10
Lih. Penjelasan terkait pengalaman komunitas lokal di Kroasia dan Bolivia. Maple Razsa. 2015. Bastards of
Utopia: Living Radical Politics after Socialism. Bloomington: Indiana Press. Hal 63.
11
Jodi Dean. 2009. Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left. Durham: Duke
University Press. Hal 11. Bdk. Jodi Dean via Japhy WIlson. dan Erik Swyngedouw (ed.). 2014. The Post-Political and
it’s Disco te ts. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hal 262.
12
Slavoj Zizek. 1999. The Ticklish Subject: the Absent Centre of Political Ontology. London: Verso. Hal 322-334.
13
Michael Hardt dan Antonio Negri. 2000. E pire…. Hal 22-23.

9

satunya politik yang benar secara etis dan moral. Sebagai akibatnya, politik dianggap
sekadar penyampaian opini, pemilihan umum, dan demokrasi representatif menjadi jargon
utama dalam politik bagi gerakan-gerakan yang ada.14 Ketika sebuah gerakan sosial tidak
memenuhi ataupun mendukung kategori tersebut, maka stereotipe radikal serta label
patologis siap menghampiri.
Sebuah hal yang aneh jika kita bersikap layaknya kritikus dan merasa bahwa kita

berada di luar politik. Kita tidak akan bisa meletakkan politik di pojokkan, untuk sewaktuwaktu berlari masuk ke dalamnya, dan di lain waktu berjalan keluar sembari memberikan
penilaian etis dan moral atas tindakan korup politisi. Bersikap seolah netral dan menilai
sebuah politik sebagai praktik yang salah, namun di sisi lain beranggapan bahwa kita tidak
pernah terlibat dalam politik dan lepas tangan terhadap segala regulasi yang dikeluarkan
adalah kesia-siaan. Sebuah kekonyolan membincang politik tanpa terlibat di dalamnya,
sebab perumusan mengenai politik hanya mampu didapatkan dengan praktik di dalam
politik itu sendiri.
Diresmikannya Perppu Ormas menjadi tantangan bagi gerakan masyarakat yang
ada dan konsisten hingga saat ini. Pasalnya, perumusan regulasi lanjutan dari Perppu ini
bukan tidak mungkin akan lebih membatasi gerakan sosial dalam menuntut hak-hak dasar
sosial, politik, dan ekonomi. Tergabungnya gerakan sosial yang bersifat politis agaknya
menjadi urgensi bagi gerakan rakyat yang ada saat ini, sebab ancaman akan stereotip
radikalisme dan union-busting senantiasa menghantui gerakan sosial di Indonesia. Dan
parahnya dukungan terhadap organisasi yang mempromosikan isu-isu humanitarian dan
koreksi politik secara etis dan moral semakin digencarkan.
Signifikansinya bagi sebuah pergerakan, adalah tidak mungkin untuk menciptakan
sebuah gerakan sebagai koreksi politik dengan dorongan moral untuk reforma sistem
pemerintahan. Dorongan moral bagi pemerintahan adalah hal yang sia-sia dan mustahil
akan menyelesaikan masalah secara mendasar, sebab gerakan adalah sebuah kekuatan
politis dengan tujuan emansipasi dalam berbagai bidang.


14

Alain Badiou. 2005. Metapolitics. Terj. Jason Baker. London: Verso. Hal 78-80.

BIBLIOGRAFI:
Badiou, Alain. 2005. Metapolitics. Terj. Jason Baker. London: Verso.
Dean, Jodi., Jon W. Anderson. dan Geert Lovink (ed.). 2006. Reformatting Politics:
Information Technology and Civil Society. New York: Routledge.
Dean, Jodi. 2009. Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and
Left. Durham: Duke University Press.
Emejulu, Akwugo. 2015. Community Development as Micropolitics: Comparing Theories,
Policies and Politics in America and Britain. Bristol: Policy Press.
Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: a Southeast
Perspective. California: Stanford University Press.
Hardt, Michael. dan Antonio Negri. 2000. Empire. Massachusetts: Harvard University Press.
Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. terj. Eric
Sasono. Jakarta: KPG.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia.

Yogyakarta: Djaman Baroe.
Razsa, Maple. 2015. Bastards of Utopia: Living Radical Politics after Socialism. Bloomington:
Indiana Press.
Wilson, Japhy. dan Erik Swyngedouw (ed.). 2014. The Post-Political and it’s Discontents.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Zizek, Slavoj. 1999. The Ticklish Subject: the Absent Centre of Political Ontology. London:
Verso.