Ekonomi Pancasila dan Kesejahteraan Raky

EKONOMI PANCASILA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

Oleh:
Wayu Eko Yudiatmaja
Pusat Studi Pemerintahan Daerah dan Kebijakan Publik
Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat

Makalah yang Disampaikan pada Kongres Pancasila III
“Harapan, Peluang dan Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila”

Surabaya, 31 Mei-1 Juni 2011

Ekonomi Pancasila dan Kesejahteraan Rakyat

Wayu Eko Yudiatmaja

Abstract:
This paper is written in the time of liberal economics massifly carry out in Indonesia. Indonesia
have the economic system of Pancasila. Economics of Pancasila based on values of Pancasila,
involved divinity, humanity, unity, popular sovereignty and equality. The basic principles of
economics of Pancasila is Koperasi, responsibility of the state to dominate urgent production

and managing natural riches to the wealth of the people. But, this system don’t be realized
seriously by Indonesian government because of the liberal economics agenda wich is
implemented. In fact, liberal economics wich is implemented by Indonesian government not
bring Indonesia to the welfare because inequality, unemployment and proverty are rising. In
other words, liberal economics have failed in Indonesia. Therefore, Indonesia should have
transformed again Indonesian eonomic ideology, from the liberal economics to the economics
of Pancasila. Economics of Pancasila is dig from experiences and values of Indonesian society
and the most important, economics of Pancasila could offer the welfare to the people.
Key words: Economics of Pancasila, values of Pancasila, welfare

Tanggal 13 Agustus 2010 atau empat hari menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI ke 65,
Baiq Suryani (38), warga Desa Jenggik, Kecamatan Kopang, Nusa Tenggara Barat tega menjual
bayi yang baru dilahirkannya seharga Rp300.000. Suryani berani melakukan itu karena ia tidak
berdaya menghadapi impitan kebutuhan ekonomi keluarganya. Suryani memiliki enam orang
anak, sedangkan suaminya kabur entah kemana saat dirinya hamil anak ke enam. Ia terpaksa
menjual anak terakhirnya karena dililit kebutuhan ekonomi.
Peristiwa yang sama juga terjadi pada awal Juli lalu di Denpasar, Bali. Siti Munawaroh, wanita
asal Surabaya, Jawa Timur, juga menjual bayi laki-lakinya Karena tidak mampu membayar
biaya persalinan sebesar Rp 6 juta di RSU Sari Darma Denpasar.1


Pendahuluan
Cerita tentang Suryani dan Munawaroh di atas adalah sebagian kecil kisah sendu
warga negara Indonesia yang tertindas oleh kemiskinan. Kemiskinan seringkali menjadi
alasan bagi setiap orang melakukan tindakan-tindakan yang tidak dapat diterima dengan
nalar sehat. Namun, itulah kemiskinan, musuh bersama yang senantiasa bergentayangan
di tengah-tengah kita. Kemiskinan memang telah menjadi momok bagi suatu bangsa,
tidak hanya di negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju, karena
kemiskinan dapat berimplikasi secara sosial dan politik.

1

M. Sanusi, “Arti Kemerdekaan Buat Si Miskin”, Opini dalam Joglosemar 19 Oktober 2010, halaman 20.

1

Sudah lebih dari setengah abad Republik Indonesia merdeka, tetapi negara
belum bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana amanat konstitusi. Argumentasi yang patut diperdebatkan adalah ternyata
kemerdekaan saja tidak serta merta membuat ekonomi suatu bangsa menjadi maju.
Namun, yang jauh lebih penting adalah kemandirian (self-help) secara ekonomi dan

politik karena adakalanya suatu negara sudah merdeka tetapi tidak mandiri. Secara fisik,
kita memang tidak lagi mengalami penjajahan, namun secara formal kita mengalami
penjajahan secara ekonomi, politik, moral, ideologi, dan kultur.2 Lebih tragis lagi, kita
dijajah oleh saudara sebangsa dan setanah air. Hal ini semakin menguatkan tesis Marx,
bahwa negara adalah alat penindas kaum lemah dan marginal.
Negara telah gagal mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Mengapa bisa demikian? Marilah kita tukikkan sedikit pandangan kita pada
aspek ekonomi karena ekonomi adalah pisau analisis yang bisa digunakan untuk
menjawab pertanyaan di atas. Ekonomi merupakan ilmu yang menjelaskan mengapa
manusia berbuat sesuatu untuk memilih (to choose) menggunakan (to employ) sumbersumber produksi yang langka, memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa
kepada orang banyak di dalam masyarakat.3
Ekonomi merupakan instrumen politik suatu negara untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi warga negaranya. Naif, kalau kita bicara kesejahteraan rakyat, tetapi
tidak memperhatikan aspek ekonomi dan politik perekonomian yang sedang dijalankan
oleh suatu negara. Ekonomi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat karena sangat bergantung pada faktor politik yang
berkembang dalam negara tersebut. Politik bukan lagi menjadi cateris paribus
sebagaimana diyakini oleh penganut teori-teori ekonomi konvensional. Akan tetapi,
politik sesungguhnya conditio sine quanon dalam proses ekonomi suatu bangsa.
Pergeseran Teori Ekonomi

Teori-teori ekonomi yang ada dewasa ini memang tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh barat karena teori-teori tersebut lahir dan berkembang di barat, terutama sejak
2

Amien Rais mengungkapkan dengan sangat mengesankan bahwa the history repeat agaian (sejarah
kembali terulang) dimana Indonesia telah terperangkap neokolonialisme dan neoimperialisme. Baca M.
Amien Rais, Selamatkan Indonesia: Agenda Mendesak Bangsa, PPSK Press, Yogyakarta, 2008.
3
Paul A. Samuelson, Economics: An Introductory Analysis (Fifth Edition), Kogakusha Company, Tokyo,
1961, halaman 6.

2

terjadinya revolusi industri di Inggris. Teori ekonomi liberal klasik merupakan teori
yang memiliki pengaruh yang sangat luas. Tidak bisa dipungkiri bahwa Adam Smith
merupakan peletak dasar bagi teori ekonomi liberal klasik. Melalui maha karyanya yang
berjudul “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, atau yang
lebih dikenal dengan The Wealth of Nations (1776), Smith mengajarkan tentang
pentingnya rasionalitas dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Khuluk manusia menurut
Smith adalah makhluk rasional yang akan selalu bertindak sesuai dengan prinsip

maximized

utility

dalam

memenuhi

kebutuhannya.

Smith

terkenal

dengan

pernyataannya bahwa “It is not from the benevolence of the butcher, or the baker, that
we expect our dinner, but from their regard to their own self-interest”.4 Mekanisme
harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran di pasar. Harga akan terbentuk
dengan sendirinya karena dikendalikan oleh invisible hand (tangan-tangan yang tidak

kentara). Smith juga menekankan pentingnya jaminan terhadap pemilikan pribadi dan
penguasaan sumber ekonomi oleh kaum kapitalis.
Smith sangat menentang campur-tangan negara dalam menentukan harga karena
hal itu dapat mendistorsi pasar. Negara menurut Smith, tidak boleh campur tangan
dalam perekonomian nasional. Negara sebaiknya hanya menyediakan regulasi, menjaga
kedaulatan negara dari serangan pihak lain, menjalankan tertib hukum, dan melindungi
warga negara. Oleh karena doktrin anti negara (depolitisasi) ini, maka Smith dan para
pendukungnya dianggap sebagai penganut aliran ekonomi liberalis-kapitalis. Tokohtokoh lainnya yang patut diperhitungkan dalam ekonomi liberalis-kapitalis adalah David
Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan John Stuart Mill.
Pendapat Smith ditentang oleh para ahli yang menganut ideologi sosialis,
terutama Karl Marx. Marx bersama Frederick Engels menulis “Das Kapital” guna
menyerang ideologi kapitalis secara akademis. Sebenarnya dalam Das Kapital, Marx
tidak hanya bicara tentang ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan demokrasi. Menurut
Marx ideologi ekonomi kapitalis hanya akan menyengsarakan masyarakat karena
pemilikan modal oleh kaum kapitalis dapat menyebabkan penindasan bagi kaum
proletar (buruh dan petani). Oleh karena itu, Marx mengajarkan pentingnya kepemilikan
bersama (commons property) atas alat-alat dan sumber-sumber ekonomi.

4


Adam Smith, An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Pennsylvania State
University Press, Pennsylvania, 2005, halaman 19. Edisi pertama diterbitkan tahun 1776.

3

Ajaran Sosialis-Marxis didasarkan atas argumentasi bahwa kepemilikan faktorfaktor produksi di tangan kaum kapitalis dapat melahirkan kelas borjuasi yang akan
mengeksploitasi kelas proletar. Kaum kapitalis akan selalu memupuk keuntungan
dengan meningkatkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi guna
meningkatkan kapital, sedangkan kaum proletar akan tetap berada pada kondisi yang
lemah karena menerima upah dari kelas kapital. Bahkan, pemilik modal sering
menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam mencari keuntungan, misalnya dengan
membayar upah buruh di bawah harga pasar. Menurut Marx sistem ekonomi kapitalis
hanya akan melahirkan penindasan manusia atas manusia lainnya (homo homini lupus).
Oleh karena itu, negara harus berperan aktif dalam mengendalikan perkekonomian guna
menciptakan keadilan bagi semua.
Tidak lama setelah munculnya teori ekonomi sosialisme, muncul teori ekonomi
yang menentang gagasan ekonomi sosialis-marxis. Tokohnya yang terkenal adalah
Alfred Marshall dan John Maynard Keynes. Menurut penganut teori ini, mereka percaya
bahwa perekonomian sebaiknya diserahkan kepada kekuatan pasar. Bagi mereka, pasar
adalah institusi yang paling efektif dan efisien dalam menciptakan harga. Campur

tangan yang berlebihan dari pemerintah dapat mengganggu kestabilan harga. Dengan
kata lain, teori yang muncul belakangan ini mimiliki cara pandang yang hampir sama
dengan teori ekonomi liberal klasik. Oleh karena itu, penganut teori ini disebut dengan
aliran ekonomi neoklasik. Perbedaannya adalah para penganut ekonomi neoklasik
menekankan bahwa perlu peran pemerintah dalam perekonomian, tetapi peranan
pemerintah hanya terbatas pada upaya mengendalikan distorsi pasar, tidak lebih.
Lalu bagaimana praktiknya dalam dunia nyata? Sistem ekonomi suatu negara
sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh negara tersebut. Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa Barat merupakan negara yang menjalankan prinsip ekonomi
liberalisme. Sedangkan ideologi Marx dianut dan diterapkan oleh negara-negara Uni
Soviet. Ketika Soviet pecah, Rusia sangat gigih mempertahankan ideologi ini, utamanya
pada masa pemerintahan Lenin, Stalin dan Kruschev. Di Cina ideologi sosialisme
dilanggengkan oleh penguasa bertangan besi Mao Tse-Tung. Di Asia, Korea Utara dan
Vietnam juga menjalankan ideologi sosialis-komunis. Kuba di bawah rezim Fidel
Castro, Hugo Chavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia secara konsisten
menerapkan ideologi sosialis.

4

Sejak berakhirnya Perang Dingin, hampir tidak ada persaingan antara kedua

idelogi ini karena Amerika tidak lagi memiliki saingan yang berarti. Bahkan, Fukuyama
berpendapat bahwa ideologi kapitalis tampil sebagai pemenang sedangkan komunis
adalah pecundang.5 Namun, kenyataan hari ini adalah hampir tidak ada ideologi murni.
Apa yang dipraktikkan oleh beberapa negara di dunia dewasa ini tidak bisa lagi
dinegasikan secara tajam atas liberalis-sosialis, karena pada kenyataannya banyak
negara kapitalis mempraktikkan kebijakan ekonomi berbau sosialis, sebaliknya negaranegara sosialis juga tidak ketinggalan dalam mempraktikkan cara kerja liberalis dalam
sistem perekonomiannya. Apalagi semenjak diterapkannya ide negara kesejahteraan
(welfare state). Amerika Serikat misalnya, di bawah kepemimpinan Presiden Barrack
Obama tengah berupaya untuk mewujudkan UU jaminan kesehatan yang notabene
adalah kebijakan tersebut merupakan salah satu prinsip sosialis. Begitu juga Cina yang
sudah menunjukkan gaya-gaya kapitalisme walaupun secara ideologis Cina adalah
negara sosialis.
Perangkap Neoliberalisme
Liberalisme-kapitalisme telah menjadi ideologi populer dewasa ini, semenjak
dimodifikasi menjadi neoliberalisme. Neoliberalisme adalah bentuk lain dari
liberalisme. Dalam bidang ekonomi, disebut dengan ekonomi neoliberalisme. Ekonomi
neoliberalisme

masih


menggunakan

prinsip-prinsip

liberalisme

klasik

dalam

menjalankan agendanya. Ekonomi neoliberalisme merupakan anak ideologi kapitalis
yang lebih berorientasi pada pertumbuhan di level makro melalui penanaman investasi
oleh kalangan pemilik modal secara massif.
The concept of neo-liberalism has a plethora of uses; it can be understood as a
trend, a project, an ideology, or a particular phase of capitalist development.
Here, neo-liberalism is considered a strategy of engagement with an
established ideological standpoint and a tangible set of policy objectives that
emerged in the mid-1970s a respon to the stagflationary crisis. The logic of
neo-liberalism was to move the economy toward and investment based growth
paradigm and maintain small sustained macroeconomic growth levels.6


Neoliberalisme sebenarnya tidak lebih dari upaya negara-negara maju, terutama
Amerika Serikat untuk melakukan neokolonialisme dan neoimperialisme terhadap
5
6

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, The Free Press, New York, 1992.
Johnna Montgomerie, “The Logic of Neo-Liberalism and the Political Economy of Consumer Debt-led
Growth”, Neoliberalism: State Power and Global Governance, Editors: S. Lee and McBride, Springer,
Dordrecht, The Netherlands, 2007, halaman 158.

5

negara-negara miskin dan berkembang. Agen-agen neoliberalisme yaitu General
Agreement on Tariff and Trade (GATT), Consultative Group for Indonesia (CGI),
World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), World Trade
Organization (WTO), Asian Development Bank (ADB), dan Group of Twenty (G20).
Di Indonesia, agenda-agenda ekonomi neoliberalisme masuk melalui berbagai
perangkap yang diciptakan oleh lembaga-lembaga perekonomian dan keuangan
internasional. Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto menandatangani Letter of
Intent (LoI) peminjaman utang dengan IMF pascakrisis keuangan yang melanda
Indonesia tahun 1997. Maka sejak saat itulah, sebenarnya kedaulatan bangsa ini telah
digadaikan kepada pihak asing. Dengan berkedok sebagai juru selamat, IMF mencoba
memaksakan resep-resep ekonomi untuk memulihkan ekonomi Indonesia. Alih-alih
ingin menyelamatkan, IMF malahan mencoba menekan Indonesia agar menerapkan
beberapa kebijakan ala kapitalis yang dibungkus dalam paket program penyesuaian
struktural (structural adjustment programs/SAPS). SAPS terdiri dari kebijakan
anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi
perdagangan dan privatisasi BUMN.7
Gonta-ganti pemerintahan tidak menjamin bahwa ekonomi Indonesia akan
keluar dari mainstream neoliberalisme karena faktanya agenda-agenda neoliberalisme
masih tetap dijalankan oleh setiap pemimpin bangsa. Sejak pemerintahan Habibie
hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) praktik-praktik ekonomi neoliberalisme
yang kurang populis, tetap menjadi sandaran kebijakan ekonomi pemerintah. Beberapa
kebijakan ekonomi yang kurang populis itu antara lain; dicabutnya subsidi minyak
tanah, liberalisasi sektor migas dan melego BUMN ke pihak asing guna mendapatkan
dana segar. Akibatnya, masyarakat marginal di akar rumput (grass root) menjadi
semakin terjepit dan mengakibatkan bertambahnya angka kemiskinan.
Pemerintahan SBY boleh berbangga hati, karena secara makro, setiap tahunnya
perekonomian Indonesia selalu menunjukkan trend positif. Bahkan ketika resesi
ekonomi tengah melanda AS dan beberapa negara maju lainnya pada tahun 2008,
ekonomi Indonesia tetap tumbuh di tengah badai krisis. Namun, demikian pertumbuhan
ekonomi yang salah satunya diukur dari PDB (Produk Domestik Bruto/Gross Domestic
Product) tidak menjadi jaminan bagi terwujudnya pemerataan dan berkurangnya
7

Revrisond Baswir, Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, halaman 111.

6

kemiskinan karena PDB hanyalah pertumbuhan barang dan jasa di suatu wilayah dalam
periode tertentu.
Grafik 1. Laju Pertumbuhan PDB Selama
Triwulan I 2009 dan Triwulan I 2010 (Dalam Persen)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010a: 10)

Dari segi teori ekonomi pembangunan, pembangunan ekonomi disebut berhasil
apabila ada kenaikan besar dalam volume dan nilai produksi barang dan jasa, sehingga
kesejahteraan masyarakat meningkat, akan tetapi dalam praktik belum tentu barang dan
jasa yang diproduksi suatu bangsa bisa dibagi merata, karena sering terjadi ada sebagian
warga belum dapat ikut menikmatinya.8 Dengan demikian pertumbuhan di tingkatan
makro saja belum bisa menjamin kondisi mikro. Oleh karena itu, ilmu ekonomi
memiliki tanggung-jawab moral dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ilmu
ekonomi yang mewujudkan kesejahteraan masyarakat inilah yang dikenal dengan
ekonomi kesejahteraan.

Ekonomi kesejahteraan diarahkan untuk

pemerataan

dan

(equality)

mencegah

ketimpangan

(disparity)

memberikan
pendapatan

antarmasyarakat.
Fakta di lapangan mengungkapkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih
tetap tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah
penduduk miskin tidak mengalami penurunan yang signifikan. Di samping itu,
kesenjangan (gap) penduduk miskin yang bermukim di desa dan di kota masih sangat
timpang dimana penduduk miskin desa hampir mencapai dua kali banyaknya penduduk
miskin kota. Artinya, kebijakan pembangunan ekonomi belum merata dan masih
terkonsentrasi di kawasan perkotaan.

8

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000, halaman 24.

7

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah (1996-2010)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010b: 63)

Pada titik ini, semakin nyatalah bahwa perekonomian yang teralu bertumpu pada
teori-teori ekonomi konvensional dan berhaluan neoliberalisme ternyata tidak bisa
menjamin terciptanya kesejahteraan. Ekonomi yang terlalu bertumpu pada standarstandar makro dan lebih pro-kapitalis terbukti telah gagal total dalam memberikan
kesejahteraan. Kita perlu mentransformasi politik perkonomian menuju tercapainya
masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan bersama.
Ekonomi Pancasila: Kembali ke Khittah
Sistem ekonomi kapitalisme dan neoliberalisme dibangun di atas prinsip
persaingan bebas (free fight liberalism). Sistem kapitalisme didasarkan pada persaingan
kekuatan di pasar. Pemenangnya, yang kuat, akan memperoleh imbalan kekayaan
material, yang akibatnya menambah kekuatan atau daya saingnya dalam kompetisi.
Sedangkan yang lemah hanya bisa mempertahankan hidupnya, dengan daya saing yang
tidak bertambah.9 Masyarakat pelaku ekonomi kelas menengah dan kelas bawah akan
kesulitan bersaing dengan para pelaku ekonomi besar karena mereka mempunyai
modal, koneksi, dan kekuatan produksi. Jadi, dalam ekonomi kapitalis para pemilik
9

Arief Budiman, “Demokrasi Ekonomi: Sebuah Sketsa Pemikiran”, Sosok Demokrasi Ekonomi
Indonesia: Empat Puluh Tahun Surabaya Post, Editor: Hotman M. Siaahan dan Tjahjo Purnomo,
Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya, 1993, halaman 301.

8

modal (investor) adalah pelaku ekonomi utama, sedangkan buruh atau pekerja,
pengusaha kecil dan menengah adalah subordinasi kaum kapitalis untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya dari mekanisme pasar.
Sistem ekonomi kapitalisme jelas bertentangan dengan falsafah dan ideologi
Indonesia. Sistem ekonomi kapitalisme terlalu percaya pada kekuatan pasar. Padahal,
pasar bukanlah institusi yang bebas nilai (unvalue free) dan selalu tepat (can do no
wrong). Oleh karena itu, pasar harus dikelola dan diintervensi oleh pemerintah yang
bersih.10 Menurut Surbakti, pemerintah memiliki tiga peranan penting dalam
mewujudkan keadilan sosial, yakni pengarahan ekonomi, pengaturan kegiatan ekonomi,
redistribusi pendapatan, serta pengadaan barang dan jasa publik (public goods).11
Namun demikian, yang lebih penting adalah pemerintah bukan hanya menjamin
keamanan dan membuat regulasi sebagaimana yang diajarkan oleh teoritikus ekonomi
liberal klasik, tetapi juga harus aktif dalam perekonomian guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Negara bukanlah lembaga pasif yang tidak peka terhadap
gejolak pasar dan efek negatif pasar.
Sistem ekonomi suatu negara sangat bergantung pada ideologi negara tersebut.
Indonesia menganut ideologi Pancasila yang salah satu misi sucinya adalah
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ideologi Pancasila juga
menjadi dasar bagi perekonomian Indonesia yang kemudian disebut dengan Sistem
Ekonomi Pancasila. Bicara tentang Ekonomi Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sosok
Bung Hatta, Bapak Proklamator sekaligus konseptor Ekonomi Pancasila.12 Ekonomi
Pancasila menurut Hatta adalah salah satu bentuk demokrasi ekonomi yang memiliki
cita-cita yang luhur guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Hatta juga yang
10

Sri-Edi Swasono, “Globalisasi, Kompetsisi, dan Kooperativisme”, Majalah Perencanaan
Pembangunan Edisi 20, 2000, halaman 3.
11
Ramlan Surbakti, “Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan”, Sosok Demokrasi Ekonomi
Indonesia: Empat Puluh Tahun Surabaya Post, Editor: Hotman M. Siaahan dan Tjahjo Purnomo,
Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya, 1993, halaman 340.
12
Mohammad Hatta (Bapak Koperasi Indonesia) adalah orang Minangkabau, dilahirkan pada 12 Agustus
1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat—Bumi Minangkabau (Sumatera Barat) memang dikenal sebagai
tempat lahirnya tokoh-tokoh nasional. Selain Hatta, tokoh-tokoh nasional lainnya yang berasal dari
Sumatera Barat, yaitu Buya Hamka, Tan Malaka, Sjahrir, Agus Salim. Hatta memperoleh gelar
kesarjanaan (Drs.) dalam bidang ekonomi dari Rotterdam Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi
Dagang) di Rotterdam, Negeri Belanda. Hatta aktif menulis, dari tulisan-tulisannya dapat diketahui
bahwa Hatta tidak saja menguasai ekonomi, tetapi juga ilmu sosial, ilmu politik dan ilmu filsafat. Atas
kepakarannya itu Hatta dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa (Dr.Hc.) dari beberapa universitas
terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada (1956), Universitas Padjajaran (1967),
Universitas Hasanuddin (1974) dan Universitas Indonesia (1975).

9

merumuskan blueprint ekonomi Indonesia dengan membuat rumusan pasal 33 dan 34
UUD 1945. Pasal 33 dan 34 UUD 1945 adalah tujuan politik ekonomi Indonesia.
...Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan
persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi
ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan
tidak ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial,
meliputi seluruh lingkungan hidup manusia. Cita-cita keadilan sosial...,
dijadikan program untuk dilaksanakan di dalam praktek hidup nasional di
kemudian hari.13

Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi sosialisme yang diridhoi oleh
Tuhan YME. Kekuatan Ekonomi Pancasila terletak pada upayanya untuk memampukan
rakyat secara keseluruhan, terutama rakyat di lapisan bawah dan menengah, sehingga
Ekonomi Pancasila seringkali diasosiasikan dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi
Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sangat memegang erat
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Oleh karena itu, dalam UUD 1945 pasal
33 ayat 1 dinyatakan bahwa; “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
dalam konteks ini diasosiasikan dengan koperasi. Ekonomi Pancasila tidak
menghendaki kemakmuran orang seorang tetapi kemakmuran bagi semua masyarakat.
Kemakmuran tersebut dapat diraih dengan bersatu dalam organisasi koperasi. Mengenai
koperasi secara tegas Hatta mengatakan bahwa,
Yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ialah
koperasi. Indonesia terlalu lama dijajah oleh kapital asing dengan
organisasinya yang rapi, berupa badan–badan industri, dagang, dan transpor.
Terhadap kapital asing yang begitu kuat, yang mempergunakan orang-orang
Cina dan orang-orang Asia lainnya sebagai kaki tangannya ke dalam
masyarakat Indonesia, rakyat Indonesia tidak akan dapat memperbaiki
ekonominya, apabila tidak ada organisasinya. Bagi saudagar Indonesia yang
ingin memperoleh tempat dalam lapisan kam tengah, mereka dapat mendirikan
firma atau perseroan terbatas untuk menjamin kedudukannya. Tetapi itu hanya
mungkin untuk beberapa puluh atau beberapa ratus orang saja. Tetapi bagi
rakyat yang berpuluh juta yang lemah dan tidak mempunyai modal hanya
koperasi yang terpakai untuk mempertahankan hidupnya.14

13

Mohammad Hatta, “Lampau dan Datang: Pidato pada Penerimaan Gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 27 November 1956”, Membangun Ekonomi Indonesia, Editor: I
Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, halaman 6-7.
14
Mohammad Hatta, “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi: Pidato pada Upacara
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Politik Perekonomian di Universitas Padjajaran,
Bandung 17 Juni 1967, Membangun Ekonomi Indonesia, Editor: I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida
Swasono, Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, halaman 61.

10

Ekonomi Pancasila mengamanatkan bahwa “Cabang-cabang perekonomian
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh
negara” (Pasal 33 ayat 2). Negara seharusnya memegang kendali atas sektor-sektor
perekonomian strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sektor-sektor
strategis ini seperti migas, telekomunikasi, pertambangan, industri pertanian, dan
perdagangan.

Namun,

ekonomi

Pancasila bukanlah

ekonomi

etatisme

yang

meminggirkan keterlibatan swasta dalam sektor ekonomi. Pihak swasta tetap diberi
kesempatan dalam perekonomian, termasuk dalam sektor-sektor strategis tadi, tetapi
kepemilikan tetap berada di tangan pemerintah.
Sistem Ekonomi Pancasila, berbeda dengan sistem ekonomi “kapitalis-liberal”
yang selama ini secara “malu-malu” atau “sembunyi-sembunyi” kita
laksanakan di Indonesia. Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi
moral yang amat mementingkan pemerataan, dan harus tanpa ragu-ragu dan
secara konkrit mampu menciutkan perbedaan kaya-miskin, kuat-lemah, dan
menutup jurang yang ada antara “ekonomi rakyat” dan “ekonomi
konglomerat”.15

Negara juga harus menguasai “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” (Pasal 33 ayat 3). Artinya, kekayaan alam Indonesia dan segala yang
terkandung di dalamnya tidak boleh dikendalikan oleh pihak asing. Pihak asing boleh
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia asalkan; (1) Kontrak kerjasama harus
memberikan porsi keuntungan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia, (2) Ada
itikad baik dari pihak asing untuk alih teknologi sehingga kelak di kemudian hari
bangsa Indonesia bisa mengolahnya sendiri, (2) Memperhatikan dampak ekologi yang
ditimbulkan atas eksploitasi tersebut, (3) Tidak diperkenankan beraktivitas dalam
waktu yang sangat lama atau puluhan tahun, (4) Menghormati, memberdayakan, dan
memperkuat masyarakat yang berada di sekitar wilayah eksploitasi beserta nilai-nilai
yang dianutnya.
Ideologi ekonomi Pancasila dalam praktiknya tidak dijalankan secara sungguhsungguh oleh para pemimpin bangsa. Sejak Soeharto berkuasa dan pascawafatnya
Hatta, haluan ekonomi Indonesia sudah mulai berubah menuju corak neoliberalisme.16
15

Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan (Cetakan Kedua
Edisi Kedua), Aditya Media, Yogyakarta, 1999, halaman 32.
16
Revrisond Baswir mensinyalir bahwa haluan ekonomi Indonesia sengaja dibelokkan oleh teknokratteknokrat ekonomi Orde Baru lulusan California University di Berkeley, California, AS. Mereka
berhasil menuntut ilmu ekonomi di AS berkat kerjasama yang digalang oleh Sumitro

11

Hingga saat ini, perekonomian kita masih bercorak neoliberalisme. Namun, kita patut
bersyukur karena masih ada beberapa orang ekonom yang istiqomah (concern)
memperjuangkan ekonomi Pancasila. Beberapa nama yang bisa disebut sebagai
pejuang (defendor) ekonomi Pancasila diantaranya; Sritua Arief (alm.), Sri-Edi
Swasono, Mubyarto, Adi Sasono, dan Revrisond Baswir. Sritua Arief pernah resah
melihat sistem ekonomi Indonesia yang telah jauh melenceng dari khittah yang sudah
digariskan oleh para pemimpin bangsa. Arief berkomentar bahwa,
Saya melihat ada kecenderungan sistem ekonomi kerakyatan yang telah
diperjuangkan oleh The Founding Fathers Republik Indonesia akan
ditinggalkan oleh pemerintah yang sekarang. Kecenderungan untuk
meninggalkan demokrasi ekonomi dalam arti kata yang sebenarnya.
“Demokrasi politik” (dalam tanda petik) telah dijadikan wahana untuk
memperalat rakyat kembali menjadi tumbal.17

Dalam rangka menemukan kembali (reinventing) Indonesia, sudah saatnya kita
merubah haluan ekonomi menjadi ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila berupaya
menyejahterakan semua rakyat, bukan hanya orang seorang seperti ideologi ekonomi
kapitalis-liberalis-neoliberalis. Namun, ekonomi Pancasila tidak sama dengan ekonomi
sosialis-marxis karena digali dari falsafah dan nilai-nilai luhur yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di bumi nusantara. Adapun ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila adalah:18
1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
2. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan
keadaan kemerataan sosial-ekonomi.
3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang
kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijakan
ekonomi.
4. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.

Djojohadikusumo, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dengan California
University dan USAID (United States Agency for International Development) serta Ford Foundation
sebagai penyandang dana. Meskipun sebelumnya sempat ditentang oleh Bung Karno karena politik anti
neoimperialisme yang dijalankan oleh Orde Lama, tetapi proyek ini tetap berjalan. Oleh karena mereka
pada umumnya lulusan dari Berkeley, seringkali mereka ini dipersonifikasikan dengan istilah Mafia
Berkeley. Beberapa nama yang dikategorikan sebagai Mafia Berkeley diantaranya Emil Salim,
Mohammad Sadli, Frans Seda, Dorodjatun Kuntcorojakti, dan Boediono. Selengkapnya lihat Revrisond
Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, halaman
17-28.
17
Sritua Arief, “Memperingati Satu Abad Bung Hatta: Mengenang Bung Hatta, Bapak Perekonomian
Rakyat”, Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 28, 2002, halaman 3.
18
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Cetakan Kedua), LP3ES, Jakarta, 1990, halaman 45.

12

5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme
kebijakan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial
dengan menjaga prinsip efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika krisis ekonomi melanda Indonesia
tahun 1997, ketika itu pula sektor ekonomi bertumbangan satu-persatu. Namun, hanya
ekonomi kecil dan menengah yang tidak terlalu merasakan dampak krisis ekonomi,
sehingga ekonomi kecil dan menengah tetap eksis.

19

Ekonomi kecil dan menengah

adalah ekonomi yang digerakkan oleh rakyat banyak dengan modal yang terbatas, tetapi
tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor. Dengan demikian, sudah seharusnya
pemerintah memberikan perhatian terhadap sektor ini karena merekalah sokoguru
perekonomian Indonesia setelah koperasi.
Penutup
Kita semestinya memikir ulang (rethinking) sistem perkonomian yang selama ini
sudah kita terapkan. Ideologi ekonomi neoliberalisme ternyata kurang pas untuk negara
yang menganut demokrasi ekonomi seperti Indonesia. Alih-alih ingin menciptakan
kesejahteraan, ekonomi neoliberalisme telah merusak (destroy) struktur dan tatanan
sosial ekonomi Indonesia. Ketimpangan pembangunan semakin kentara, pengangguran,
dan kemiskinan semakin meningkat serta yang paling penting lagi adalah harkat,
martabat dan kedaulatan negara sudah kita gadaikan kepada kaum neoimperialisme
melalui serangkaian kerjasama yang telah kita lakukan.
Tidak ada jalan lain kecuali kembali ke khittah, kembali ke dasar dan filosofi
bangsa yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa. Sudah saatnya kita kembali
menerapkan ekonomi Pancasila dengan bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat atau
usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi sebagai institusinya guna mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah ini perlu segera diambil jika tidak
ingin negara-bangsa Indonesia ini terkubur bersama sejarah.

19

Mubyarto, Development Manifesto: The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat During the
Monetary Crisis, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2005, halaman 16.

13

Referensi
Arief, Sritua. 2002. “Memperingati Satu Abad Bung Hatta: Mengenang Bung Hatta,
Bapak Perekonomian Rakyat”. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 28.
Badan Pusat Satistik. 2010a. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 1 Juni.
Badan Pusat Statistik. 2010b. Data Strategis BPS. Jakarta: BPS.
Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
. 2009. Manifesto Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Arief. 1993. “Demokrasi Ekonomi: Sebuah Sketsa Pemikiran”. Sosok
Demokrasi Ekonomi Indonesia: Empat Puluh Tahun Surabaya Post. Editor:
Hotman M. Siaahan dan Tjahjo Purnomo. Surabaya: Yayasan Keluarga Bhakti.
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: The Free
Press.
Hatta, Mohammad. 1985. “Lampau dan Datang: Pidato pada Penerimaan Gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 27 November 1956”.
Membangun Ekonomi Indonesia. Editor: I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida
Swasono. Jakarta: Inti Idayu Press.
. 1985. “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi: Pidato pada
Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Politik
Perekonomian di Universitas Pajajaran, Bandung 17 Juni 1967. Membangun
Ekonomi Indonesia. Editor: I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono.
Jakarta: Inti Idayu Press.
Montgomerie, Johnna. 2007. ”The Logic of Neo-Liberalism and the Political Economy
of Consumer Debt-led Growth”. Neoliberalism: State Power and Global
Governance. Editors: S. Lee and McBride. Dordrecht, The Netherlands:
Springer.
Mubyarto. 1990. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Cetakan Kedua). Jakarta:
LP3ES.
. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan (Cetakan Kedua Edisi Kedua). Yogyakarta: Aditya Media.
. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
. 2005. Development Manifesto: The Resilience of Indonesian Ekonomi
Rakyat During the Monetary Crisis. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

14

Rais, M. Amien. 2008. Selamatkan Indonesia: Agenda Mendesak Bangsa. Yogyakarta:
PPSK Press.
Samuelson, Paul A. 1961. Economics: An Introductory Analysis (Fifth Edition). Tokyo:
Kogakusha Company.
Sanusi, M. 2010. “Arti Kemerdekaan buat Si Miskin”. Opini dalam Joglosemar 19
Oktober.
Smith, Adam. 2005. An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.
Surbakti, Ramlan. 1993. “Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan”. Sosok
Demokrasi Ekonomi Indonesia: Empat Puluh Tahun Surabaya Post. Editor:
Hotman M. Siaahan dan Tjahjo Purnomo. Surabaya: Yayasan Keluarga Bhakti.
Swasono, Sri-Edi. 2000. “Globalisasi, Kompetisi, dan Kooperativisme”. Majalah
Perencanaan Pembangunan Edisi 20.

15

Biografi

Wayu Eko Yudiatmaja dilahirkan di Padang (Sumatera Barat), 1
Juli 1987. Penulis memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP)
dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas
Andalas pada tahun 2009 dengan prediket cumlaude. Peneliti
pada pusat studi Pemerintahan Daerah dan Kebijakan Publik
Universitas Andalas (2009-2013). Saat ini sedang menempuh
pendidikan pada Program Pascasarjana (S2) Manajemen dan
Kebijakan Publik FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta dengan spesialisasi Manajemen Publik.
Penulis adalah mahasiswa pertama dan alumni lulusan pertama Program Studi Ilmu
Administrasi Negara FISIP Universitas Andalas. Bersama teman-teman satu angkatan,
mendirikan Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (HMAN) yang sekarang
berganti nama menjadi KMAN. Selama di HMAN, dua kali berturut-turut (2006 dan
2007) menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian Ilmiah. Sejak kuliah di UGM, aktif di
Bidang Kajian Strategis Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM. Pada tahun
2011, terlibat dalam mendirikan Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (ASIAN)
Indonesia dan tercatat sebagai anggota Bidang Publikasi ASIAN (2011-2013).
Pernah bekerja sebagai dosen luar biasa pada STIE Widyaswara Indonesia di Muara
Labuh, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat (2009-2010) untuk mata kuliah
Pengantar Manajemen, Kepemimpinan, Manajemen Strategi dan Ilmu Sosial Budaya
Dasar. Selain itu, penulis juga pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi
(STIA) Adabiah Padang untuk mata kuliah Perbandingan Administrasi Negara (20092010). Aktif mengikuti seminar, meneliti dan menulis, serta beberapa tulisan pernah
dimuat di jurnal-jurnal ilmiah Administrasi Negara. Penulis dapat dihubungi di hotline
0813 63 1219 30 dan 0838 67 6229 97 atau di alamat email: wayuguci@gmail.com.
Silahkan juga kunjungi penulis di wayuguci.edublogs.org.

16