RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN SAMPAH

  Background Paper RUU tentang Pengelolaan Sampah DEPUTI V MENLH Background Paper Pembentukan RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN SAMPAH Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2005

1. Latar Belakang

  Adalah suatu keniscayaan bahwa dengan bertambahnya penduduk, maka sampah yang dihasilkannya pun akan bertambah pula seiring dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu dapat pula dicermati bahwa jenis dan kualitas sampah juga bertambah seiring dengan kehidupan masyarakat yang cenderung konsumeristis. Kondisi ini memaksa pemerintah daerah memacu kemampuan untuk mengelola sampah dengan baik dan benar berdasarkan pengetahuan yang sebetulnya relative minim. Namun sayang, niat baik pemerintah itu masih jauh dari memadai bila diukur dari sistem dan metode pengelolaan sampah yang efektif, aman, sehat, ramah lingkungan, dan ekonomis. Bahkan pada umumnya penanganan sampah ini masih terkesan sesuatu yang business as usual dan rutin yang memandang sampah sebagai barang buangan yang menjijikkan. Sehingga penanganannya pun dipahami hanya sebatas urusan memindahkan, membuang, dan memusnahkan dengan cara yang sangat tidak aman dan cenderung mencemari lingkungan.

  Penistaan terhadap sampah merembet juga kepada orang-orang yang berkecimpung di bidang persampahan. Sangat minim apresiasi yang diberikan kepada mereka yang bekerja di sektor persampahan, seperti pemulung, petugas kebersihan, pelapak dan sebagainya. Kesan hina dan meremehkan masalah sampah dan pekerja sampah tercermin pula dari minimnya perhatian dan cukup tersedianya kebijakan-kebijakan, perencanaan, program-program, anggaran dan kredit yang memadai untuk menangani sampah secara serius, sistematis, dan terukur. Sampah baru menjadi perhatian belakangan ini setelah timbulnya ledakan kasus dan bencana, seperti terjadi di Bantargebang, Bojong Gede, dan Leuwi Gajah.

  Keadaan demikian itu membawa akibat semakin beratnya tekanan terhadap media lingkungan, yang pada gilirannya mengharuskan dilakukannya pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end-pipe of solution) ke pendekatan sumber. Dengan pendekatan sumber, maka sampah ditangani pada hulu sebelum sampah itu sampai ke tempat pengolahan akhir (hilir). Pada DEPUTI V MENLH prinsipnya, pendekatan sumber menghendaki dikuranginya produk sampah yang akan dikirim ke tempat pengolahan akhir, dengan cara, antara lain, penerapan 4R (replace, reduce, re-use, recycling). Dengan pergeseran pendekatan dalam pengelolaan sampah berarti pula perubahan paradigma pengelolaan sampah.

  Dengan pergeseran pendekatan dan perubahan pradigma, maka pengelolaan sampah meliputi pengendalian timbulan sampah, pengumpulan, pengangkutan dan penanganan akhir sampah yang dilakukan secara terpadu. Keterpaduan di sini adalah suatu bentuk transformasi pendekatan ekosistem ke dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Pengelolaan sampah secara terpadu berarti bahwa dalam mengelola sampah harus diperhatikan segala aspek yang terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi.

  Hal lain adalah bahwa pengelolaan sampah kerap kali dipahami secara parsial, yaitu dari aspek sampah an sich. Pengelolaan sampah jarang sekali dipahami dari spektrum yang lebih luas, integral dan holistik, yaitu sampah dikelola tidak berdasarkan aspek kebersinggungan dan keterkaitannya secara erat dengan aspek-aspek lain, seperti kesehatan, tata ruang, pendidikan, politik dan kamtibmas, kemiskinan, peluang usaha, investasi, produksi, teknologi, ketenagakerjaan, serta lingkungan hidup.

  Dari kacamata pemerintahan, kerapkali pengelolaan sampah dipahami sangat sektoral, yakni hanya dikelola oleh Dinas Kebersihan saja, dan berorientasi keproyekan, yakni masalah sampah menjadi dasar dan alasan Dinas berwenang untuk memunculkan usulan-usulan proyek seputar pengelolaan sampah. Hal ini kerap diperparah oleh suatu pemahaman bahwa pengelolaan sampah hanya sebatas pada bagaimana menarik dana sebanyak mungkin dari retribusi sampah. Di lain pihak pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pembayar retribusi amat minim, misalnya keluhan lamban dalam pengumpulan sampah, di TPS dibiarkan beserakan, diangkut dengan truk yang berceceran dsb. Padahal dalam pengelolaan sampah tidak hanya murni ekonomi dan bersifat komersial (profit motive), DEPUTI V MENLH tetapi juga menghadirkan aspek pelayanan umum (public service) yang merupakan tanggung jawab pemerintah/instansi publik. Dengan demikian ada kejelasan tanggung jawab sosial (social responsibility), tanggung jawab hukum (liability), dan terpenuhinya kewajiban adanya akuntabilitas publik (public accountability).

  Bagimana dengan regulasi di bidang persampahan? Sampai saat ini pengelolaan sampah masih diatur secara parsial dan sektoral, seperti diatur dalam UU Kesehatan, UU Perumahan dan Permukiman, UU Lingkungan Hidup, UU Perindustrian. Jadi masih belum terintegrasi dalam suatu undang- undang yang secara komprehensif, kohesif, dan konsisten mengatur soal pengelolaan sampah.

  Pengaturan selama ini masih diatur dalam tataran peraturan daerah, misalnya dengan perda kebersihan yang lebih menitik beratkan pada sampah rumah tangga, sehingga tidak menjangkau hal-hal lain di luar materi muatan perda. Padahal pengelolaan sampah seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga masyarakat termasuk dunia usaha. Dengan demikian diperlukan pengaturan yang dapat memberikan pembebanan hak dan kewajiban pada masyarakat dan dunia usaha, dari mulai hulu (kebijakan) hingga hilir (pelaksanaan).

  Dalam hal-hal tertentu masalah sampah dapat menimbulkan dampak yang hebat terhadap lingkungan dan tata ruang, baik lokal, nasional, dan bahkan internasional, sehingga perlu ada pengaturan yang mendasar, kebijakan yang lintas sektor dan bidang, kejelasan pembagian kewenangan, pengawasan, pendanaan, investasi, penggunaan teknologi, peranserta masyarakat, sanksi administrasi dan pidana, dan lain sebagainya, yang tentunya tidak cukup hanya diatur oleh suatu produk legislasi setingkat perda. Konsekuensinya dari hal tersebut adalah bahwa sifat lintas sektor dan bidang dari pengelolaan sampah menyebabkan timbulnya keterkaitan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang tentunya menjadi kewenangan Pusat, misalnya keterkaitan dengan peraturan perundang- undanag di bidang standar kesehatan, penetapan baku mutu, standar DEPUTI V MENLH prosedur pengangkutan, standar konstruksi sanitary landfill dan teknologi insinerator, kualifikasi SDM operator, kebijakan impor sampah, dan sebagainya.

2. Lingkup Pengelolaan Sampah.

  Perbedaan rumusan pengertian sampah dan pengertian limbah tidak akan bebas dari kritik. Rumusan pengertian tersebut pasti mengandung pro dan kontra. Namun demikian rumusan tersebut diperlukan untuk menjelaskan sistematika pembahasan, khususnya dari sudut pandang hukum lingkungan.

  Berangkat dari pandangan tersebut kiranya sampah dapat dirumuskan sebagai bahan sisa dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sampah yang harus dikelola tersebut meliputi sampah yang dihasilkan dari:

  1) rumah tangga; 2) kegiatan komersial: pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel, restoran, tempat hiburan; 3) fasilitas sosial: rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara, rumah sakit, klinik, puskesmas; 4) fasilitas umum: terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan umum, taman, jalan, dan trotoar; 5) industri; 6) fasilitas lainnya: perkantoran, sekolah.

  7) hasil pembersihan saluran terbuka umum, seperti sungai, danau, pantai; Dari perkembangan kehidupan masyarakat dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah sampah tidak dapat semata-mata ditangani oleh

  Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten/Kota). Pada tingkat perkembangan DEPUTI V MENLH kehidupan masyarakat dewasa ini memerlukan pergeseran pendekatan ke pendekatan sumber dan perubahan paradigma yang pada gilirannya memerlukan adanya campur tangan dari Pemerintah.

  Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, pengolahan. Berangkat dari pengertian pengelolaan sampah dapat disimpulkan adanya dua aspek, yaitu penetapan kebijakan (beleid, policy) pengelolaan sampah, dan pelaksanaan pengelolaan sampah.

3. Kebijakan Pengelolaan Sampah.

  Kebijakan pengelolaan sampah harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat karena mempunyai cakupan nasional. Kebijakan pengelolaan sampah ini meliputi : 1) Penetapan instrumen kebijakan:

  a) instrumen regulasi: penetapan aturan kebijakan (beleidregels) untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah.

  b) instrumen ekonomik: penetapan instrumen ekonomi untuk mengurangi beban penanganan akhir sampah (sistem insentif dan disinsentif); 2) Mendorong pengembangan upaya mengurangi (reduce), memakai kembali (re-use), dan mendaur-ulang (recycling) sampah, dan mengganti

  (replace); 3) Pengembangan produk dan kemasan ramah lingkungan; 4) Pengembangan teknologi, standar dan prosedur penanganan sampah:

  • Penetapan kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penanganan akhir sampah;
  • penetapan lokasi pengolahan akhir sampah;
  • luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir sampah; DEPUTI V MENLH
  • penetapan lahan penyangga (buffer zone);

  • Penetapan kriteria dan standar prasarana penanganan sementara sampah bagi pengembang kawasan pemukiman;

  5) Pengembangan program pengelolaan sampah yang meliputi, antara lain: waste to energy, yaitu pemanfaatan sampah organik sebagai sumber energi (biogas); pengembangan produk dan kemasan ramah lingkungan; pengembangan teknik dan metoda penanganan sampah yang ramah lingkungan (teknologi tepat guna); program penerapan teknik dan metoda sanitary landfill penghentian penanganan akhir sampah open dumping, dan menerapkan penanganan akhir sampah sanitary landfill. Dalam hubungan ini perlu ditetapkan: kriteria penetapan lokasi penanganan akhir sampah sanitary landfill; pedoman teknik, standar, dan prosedur penanganan akhir sampah sanitary landfill;

  Ada berbagai macam teknik dan metoda penanganan akhir sampah: open

  dumping, controlled landfill, sanitary landfill, teknologi insinerator. Setiap teknik dan metoda mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.

  Oleh karena itu perlu dikaji teknik dan metoda mana yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Penetapan teknik dan metoda perlu memperhatikan, antara lain, aspek lingkungan hidup, kesehatan, dan sosial.

4. Pelaksanaan Pengelolaan Sampah.

  Pelaksanaan pengelolaan sampah di daerah adalah wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, yang meliputi :

  DEPUTI V MENLH

  1) Penetapan lokasi tempat penanganan akhir sampah dengan mengacu kriteria dan standar minimal lokasi penanganan akhir sampah; 2) Rencana lokasi tempat pengolahan akhir sampah harus dicantumkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota; 3) Penetapan lokasi tempat penanganan akhir sampah dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Daerah. 4) Menetapkan tarif retribusi sampah; 5. Pelayanan Publik.

  Berangkat dari ketentuan Pasal 29H UUD 1945 secara singkat dapat dikatakan bahwa penanganan masalah sampah merupakan urusan Pemerintah cq. Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten/ Kota). Untuk menjalankan urusan itu Pemerintah cq. Pemerintah Daerah dilengkapi dengan wewenang (hukum publik). Wewenang (hukum) publik itu sudah barang tentu tidak dapat didelegasikan kepada suatu institusi atau badan hukum privat. Oleh karena itu kalau suatu badan hukum privat melaksanakan penanganan sampah, dia bertindak sebagai operator yang bertanggung jawab kepada pemerintah daerah (pemerintah kabupaten/kota), dengan konsekuensi bahwa badan hukum privat itu tidak dapat memungut secara langsung biaya dari warga masyarakat membiayai penanganan sampah yang dia lakukan.

  6. Pendanaan Pengelolaan Sampah.

  Pendanaan pengelolaan sampah hendaknya didasarkan pada prinsip “dari sampah untuk sampah” sebagai suatu derivat prinsip “internalisasi eksternalitas”. Prinsip ini hendaknya tertuang ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah: hasil pungutan pembayaran retribusi sampah dialokasikan seluruhnya untuk pengelolaan sampah. Namun

  DEPUTI V MENLH

7. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Pengelolaan Sampah KETENTUAN UMUM:

  • Sasaran pengelolaan sampah adalah:terselenggaranya tanggung jawab negara dalam pengelolaan sampah serta terwujudnya peluang usaha di bidang jasa pengelolaan sampah.
  • Pengelolaan sampah bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
  • memisahkan sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun dan tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun;

  DEPUTI V MENLH

  demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk pengelolaan sampah masih diperlukan subsidi.

  1. Pengertian

  2. Sasaran dan Tujuan

  3. Ruang Lingkup Pengaturan Sampah adalah sampah dari rumah tangga, dari kegiatan komersial, fasilitas sosial, fasilitas umum, industri, hasil pembersihan saluran terbuka umum, serta kegiatan pertanian.

KEGIATAN PENGELOLAAN SAMPAH

  1. Pengurangan Pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi dan konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang tidak dapat/sulit untuk didaur ulang.

  2. Pemilahan Pemilahan sampah dilakukan dengan cara:

  • memisahkan sampah yang tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun menjadi sampah kering dan sampah basah.

  3. Pengumpulan Pengumpulan sampah dilakukan dengan memindahkan sampah dari sumber ke tempat penyimpanan sementara.

  4. Pemanfaatan Sampah dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan komersial maupun non komersial.

  5. Pengangkutan Pengangkutan sampah dari tempat penyimpanan sementara ke tempat pengolahan akhir, diangkut dengan alat angkut khusus yang disertai dengan dokumen pengangkutan sampah.

  6. Pengolahan Pengolahan sampah dapat dilakukan dengan cara penimbunan (sanitary

  

landfill), insenerasi dan/atau cara lainnya sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan teknologi.

KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH

  1. Kewenangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sampah Pemerintah berwenang untuk:menetapkan kebijakan nasional mengenai kegiatan pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, pengolahan dan penimbunan sampah.

  2. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan sampah berkewajiban:mengembangkan budaya masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengurangan, penggunaan kembali, daur ulang dan pemulihan (4R).

  PENGAWASAN

  Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan pemerintah daerah dan/atau DEPUTI V MENLH badan usaha dalam melakukan pengelolaan sampah atas ketentuan yang telah

HAK DAN KEWAJIBAN

  DEPUTI V MENLH

  ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah serta menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

  1. Hak Dalam Pengelolaan Sampah Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik dan mendapatkan perlindungan hukum dalam pengelolaan sampah;

  2. Kewajiban Dalam Pengelolaan Sampah Setiap orang dalam pengelolaan sampah berkewajiban menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya serta melakukan pengurangan dan memilah sesuai dengan klasifikasi sampah;

KEWENANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

  1. Kewenangan Provinsi Wewenang pemerintah provinsi antara lain meliputi menerapkan kebijakan pengelolaan sampah lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman nasional dan menetapkan persyaratan lokasi TPA lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kebijakan nasional tentang pengelolaan sampah;

  2. Kewenangan Kabupaten/Kota Wewenang pemerintah kabupaten/kota antara lain meliputi menetapkan persyaratan pengelolaan sampah yang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di wilayah kabupaten/kota dan menerbitkan izin usaha bagi badan usaha di bidang pengelolaan sampah;

KERJASAMA ANTAR DAERAH

  Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan sampah, dapat diadakan kerjasama antar pemerintah daerah kabupaten/kota, atau antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan satu sama lain.

  DEPUTI V MENLH KELEMBAGAAN

  Komisi Pengelolaan Sampah tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat Kabupaten/kota yang pada dasarnya memiliki fungsi dan tugas pokok memberikan nasehat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah.

MANFAAT EKONOMI DAN TANGGUNG JAWAB BADAN USAHA

  1. Manfaat Ekonomi

  a. Dalam pengelolaan sampah setiap pelaku usaha harus memperlakukan sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi.

  b. Untuk mencapai nilai ekonomi, pemerintah berkewajiban untuk merangsang, mendorong, dan memfasilitasi dunia usaha untuk terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan sampah, dapat berupa antara lain memberikan kemudahan kepada badan usaha untuk melakukan usaha pengelolaan sampah kemudahan dalam pemberian izin usaha.

  2. Tanggung jawab Badan Usaha

  a. Setiap badan usaha pengelolaan sampah memiliki tanggung jawab dalam hal antara lain memanfaatkan sampah dengan cara 4R yang mengurangi penggunaan bahan sekunder (Secondary Raw Material).

  b. Badan usaha yang memproduksi barang yang dapat menjadi sampah wajib bertanggung jawab terhadap barang yang dihasilkannya setelah dikonsumsi oleh konsumen.

  PERIZINAN

  Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan, pengangkutan, pengolahan dan/atau penimbunan sampah wajib memiliki izin usaha.

  LARANGAN

  Setiap orang dilarang antara lain mengoperasikan tempat pengolahan akhir dengan metode “open dumping” serta mengimpor dan mengekspor sampah.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

  Pengelolaan sampah diselenggarakan dengan berbasis pada komunitas melalui program peningkatan kapasitas masyarakat yang berkiprah di bidang pengelolaan sampah oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha serta penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, air bersih, pendidikan dan kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat sekitar lokasi pembuangan sampah;

PENYELESAIAN SENGKETA

  1. Melalui Pengadilan 2.

  Di luar Pengadilan (ADR)

  3. Gugatan Perwakilan (Class Action)

  4. Hak Gugat Organisasi Persampahan/lingkungan hidup (Legal Standing)

PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI

  1. Pembiayaan Pembiayaan pengelolaan sampah dalam tingkat nasional bersumberkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pembiayaan pengelolaan sampah di daerah bersumberkan pada retribusi, APBD dan sumber-sumber lain yang sah.

  2. Kompensasi Kompensasi merupakan penggantian yang layak terhadap kerugian yang dialami oleh orang, dan/atau lingkungan, dan/atau daerah yang disebabkan dampak dari kegiatan pengelolaan sampah, dapat diberikan berupa:uang, relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, dan lain- lain kompensasi yang setara dengan kerugian.

  DEPUTI V MENLH

  RETRIBUSI

  1. Pemerintah daerah kabupaten/kota memungut retribusi pengelolaan sampah sebagai pembayaran atas jasa pengelolaan sampah.

  2. Objek retribusi pengelolaan sampah meliputi pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang atau badan usaha.

  3. Subjek retribusi adalah orang yang menggunakan/menikmati pelayanan pengelolaan sampah yang bersangkutan.

  SANKSI

  1. Administrasi; 2. Pidana.

KETENTUAN PERALIHAN

  Paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini disahkan wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan undang-undang ini.

KETENTUAN PENUTUP

8. Penutup Paradigma baru (transformatif) Pemahaman mengenai sampah

  Sejalan dengan upaya-upaya demokrasi, desentraliasi, dan pemberdayaan dalam pembangunan Indonesia, maka koreksi-koreksi mendasar sangat diperlukan dalam melihat dan memahami persoalan sampah ini. Koreksi terhadap pemahaman sampah dimaksud haruslah bersifat transformative, yakni memunculkan adanya pemahaman-pemahaman dan gagasan-gagasan segar dan inovatif yang menguak sisi-sisi positif dan keberadaan sampah yang mencerminkan ide-ide demokrasi, desentralisasi, dan pemberdayaan DEPUTI V MENLH tersebut.

  Perubahan paradigma baru tersebut menyangkut, pertama, pemahaman sampah sebagai barang buangan yang tidak berguna dan tidak bernilai ekonomis selayaknya ditinggalkan, sebab hal itu juga tidak didukung oleh fakta-fakta empirik yang menunjukkan bahwa sampah ternyata dapat menjadi lahan bisnis yang menguntungkan dan mampu memberi kesempatan kerja, khususnya kepada orang-orang yang tidak masuk di pasar kerja formal dan informal lainnya.

  Dalam pemahaman transformative, sampah selayaknya dilihat sebagai sumber daya dan bahan baku yang mempunyai nilai guna dan ekonomis. Sisi positif keberadaan sampah selayaknya menjadi rangsangan (stimulator) kuat bagi perencana daerah dan tata ruang wilayah untuk meningkatkan kualitas perencanannya, khususnya dalam kerangka peningkatan dan pengembangan aktivitas perekonomian daerah/kota, serta keserasian, keselarasan dalam penataan dan fungsi-fungsi kota dan wilayah dengan memperhitungkan keberadaan fungsi-fungsi pengelolaan sampah ke dalam konsep, kebijakan, dan program-program pembangunan daerah dan penataan ruang, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan hidup, maupun tata ruang wilayah.

  Kedua, implikasi dari pemahaman itu akan melahirkan pemahaman baru berikutnya, yakni di tingkat masyarakat dan pemerintah, bahwa urusan sampah menjadi urusan bersama, dikelola secara bersama-sama dan menjadi bagian etika sosial yang internalisasi dan sosialisasinya dilakukan dengan massif baik di ruang-ruang formal maupun non formal. Dengan demikian, sampah yang tadinya dipahami sebagai beban, berubah menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk menghasilkan manfaat-manfaat posistif bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah sendiri. Bila demikian halnya, konotasi sampah berurusan dengan biaya besar dan semata-mata menjadi domain pemerintah menjadi tidak relevan lagi. Hal ini dikarenakan beban pembiayaan sampah akan menjadi lebih ringan karena adanya keterlibatan pihak masyarakat dan dunia usaha.

  DEPUTI V MENLH

  Pada gilirannya, sampah menjadi urusan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak, seperti halnya keseriusan dalam menangani ursan pangan. Urusan sampah bukan lagi sekedar urusan mengumpulkan, memindahkan, mengangkut, membuang, dan memusnahkan, melainkan urusan mengelola menjadi barang yang mempunyai nilai guna dan ekonomis. Perlakukan yang konvensional berupa penimbunan, pemusnahan, dsb, baru dilakukan terhadap sisa-sisa sampah yang sudah tidak dapat dikelola sama sekali. Selain itu untuk keamanan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, maka pembuangan secara terbuka (open dumping) tidak diperbolehkan lagi. Itulah sebabnya menjadi sangat strategis dan dibutuhkan adanya pelibatan peran dan tanggung jawab dari seluruh stakeholders terkait melalui proses-proses demokratisasi, desentralisasi, dan pemberdayaan dalam pengelolaan sampah. Ketiga, dalam upaya untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan sampah yang komprehensif, terpadu, lintas sektor, dari hulu ke hilir, konsisten, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, maka selayaknya dihadirkan sebuah aturan setingkat undang- undang, yakni UU pengelolaan sampah. UU beserta peraturan pelaksanaannya inilah yang kelak menjadi payung hukum bagi perda dan peraturan bupati/walikota dalam pengelolaan sampah di kabupaten/kota. Dengan demikian diharapkan dengan adanya UU Pengelolaan Sampah, maka ada kepastian hukum, perlindungan hukum bagi stakeholders, serta adanya landasan yang kuat untuk merumuskan kebijakan, perencanaan, program, dan kegiatan dalam pengelolaan sampah.

  Akhirnya kita berharap dengan adanya UU Pengelolaan Sampah akan dapat mendorong pada perubahan prilaku masyarakat dalam memandang dan memperlakukan sampah, yang tidak lagi menjadi beban masalah malainkan justru menjadi berkah bagi banyak orang. Selain itu pula, semoga peristiwa Bantargebang, Bojong Gede, Leuwi Gajah, dan peristiwa-peristiwa mengenaskan lain-lainnya tidak akan terulang lagi di masa yang akan DEPUTI V MENLH datang.