BAB III PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan - Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
BAB III PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi
70 Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 6 (enam) macam yaitu: 70 71 H. Salim HS., Loc.cit.
Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
72 Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
1. Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
2. Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
3. Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
4. Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
5. Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral ikutannya.
6. Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batu bara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
7. Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batu bara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
8. Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batu bara
Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas: 1.
Pertambangan mineral; dan 2. Pertambangan batu bara.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang
membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar
panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pertambangan mineral
digolongkan atas: 1.
Pertambangan mineral radio aktif; 2. Pertambangan mineral logam; 3. Pertambangan mineral bukan logam; 4. Pertambangan batuan.
Batu bara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk
secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batu bara adalah
73 Pasal 34 ayat (1)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 74 Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 75 Pasal 1 butir (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 76 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 77 Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
padat, gambut, dan batuan aspal.
B. Bentuk Kerjasama Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan
Penanaman modal asing di bidang pertambangan di luar minyak dan gas
bumi dilaksanakan dalam bentuk kontrak karya. Kontrak karya merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pertambangan di luar minyak dan gas bumi, seperti kontrak karya dalam penambangan batu bara dan pertambangan
umum. Kontak karya merupakan suatu bentuk usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional yang terjadi apabila penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan hukum yang
mempergunakan modal nasional.
Kontrak Karya bidang pertambangan dapat dilakukan dengan
persyaratan: 1.
Kerja sama dengan pemerintah; 2. Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan Peraturan Pemerintah, dimana pihak asing sebagai kontraktor;
78 Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 79 Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 80. 80 81 Ibid., hal. 63.
3. Mendapat pengesahan dari pemerintah setelah konsultasi dengan DPR.
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 63-64. 82 Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), hal. 169. Penentuan persyaratan yang demikian adalah mengingat bahwa pemerintah merupakan pemegang Kuasa Pertambangan sehingga swasta (asing) hanya dapat sebagai kontraktor atau mengusahakan bidang tertentu seperti
eksploitasi dan eksplorasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara dalam rangka Penanaman Modal Asing, proses untuk mengajukan permohonan kontrak karya diajukan kepada Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, gubernur,
bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral berwenang untuk pemrosesan permohonan kontrak karya dari pemohon apabila wilayah kontrak karya terletak dalam beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerja sama antarprovinsi dan/atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 mil laut. Gubernur berwenang untuk pemrosesan permohonan kontrak karya dari pemohon apabila wilayah kontrak karya terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota dan tidak dilakukan kerja sama antara kabupaten/kota maupun antara kabupaten dan kota dengan provinsi dan/atau di wilayah laut-laut yang terletak antara 4 sampai dengan 12 mil laut. Bupati/walikota berwenang untuk pemrosesan permohonan kontrak karya dari pemohon apabila wilayah kontrak karya terletak dalam
83 84 Ibid., hal.170.
H. Salim HS., Op.cit., hal.150.
beberapa wilayah kabupaten/kota dan/atau di wilayah laut-laut sampai dengan 12
mil laut.
Permohonan kontrak karya baru dilakukan apabila telah terbit persetujuan pencadangan wilayah pertambangan oleh menteri atau gubernur , atau bupati/walikota. Permohonan kontrak karya itu diajukan oleh pemohon kepada
pejabat sesuai dengan kewenangannya, dengan melampirkan: 1. peta wilayah yang diterbitkan oleh Unit Pelayanan Informasi Wilayah
Pertambangan (UPIWP) Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral; 2. salinan fotokopi tanda terima penyetoran uang jaminan kesungguhan dari
Bank Pemerintah untuk wilayah yang berada pada kewenangan pemerintah atau Bank Pembangunan Daerah untuk wilayah yang berada pada kewenangan pemerintah daerah, atau salinan/kopi tanda pengiriman uang (transfer) dari bank pemohon; 3. laporan tahunan perusahaan pemohon dan laporan keuangan untuk periode tiga tahun yang telah diaudit oleh akuntan publik, apabila waktu pendirian perusahaan pemohon kurang dari tiga tahun, dapat menggunakan laporan untuk perusahaan atau afiliasinya dengan syarat bahwa induk perusahaan atau afiliasi tersebut memberikan pernyataan akan menyediakan dana bagi pelaksanaan kontrak karya dimaksud;
4. surat kuasa khusus dari direksi yang diketahui oleh komisaris perusahaan kepada wakil yang ditugasi menandatangani permohonan atau melakukan 85 86 Ibid., hal. 151.
Ibid ., hal. 151-152. perundingan atau membubuhkan paraf rancangan atau penandatanganan kontrak karya apabila direksi tidak melaksanakan sendiri;
5. kesepakatan bersama dalam hal pemohon lebih dari satu; 6. tanda terima Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak tahun terakhir atau NPWP bagi perusahaan nasional.
Di samping syarat tersebut, pemohon kontrak karya juga harus menyampaikan syarat-syarat lainnya yang disampaikan dalam waktu satu bulan sejak diberikan persetujuan prinsip oleh Direktur Jenderal atau gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, yang meliputi: 1. rencana kerja dan anggaran sampai dengan tahap penyelidikan umum; 2. akta pendirian perusahaan; 3. perjanjian kerja sama (joint venture agreement) dalam hal pemohon lebih dari satu;
4. surat pernyataan dari pemegang kuasa pertambangan dalam hal wilayah kuasa pertambangan dimaksud akan digabung menjadi wilayah kontrak karya;
5. salinan Keputusan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral atau gubernur atau bupati/walikota yang masih berlaku tentang pemberian kuasa pertambangan.
Prosedur permohonan kontrak karya yang diajukan kepada Direktorat
Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, antara lain:
87 Ibid
88 ., hal. 152-153.
Ibid ., hal. 153-159.
1. pengajuan permohonan kontrak karya kepada Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
2. Direktur Pengusahaan Mineral dan Batu Bara menyampaikan hasil pemrosesan dan menyiapkan konsep persetujuan prinsip atau penolakan Direktur Jenderal.
3. Penyampaian persetujuan prinsip atau penolakan Direktur Jenderal kepada pemohon.
4. Direktur Jenderal menugaskan Tim Perunding untuk melaksanakan perundingan/ penjelasan naskah KK dengan pemohon.
5. Tim Perunding melaksanakan perundingan/ penjelasan naskah KK dengan pemohon.
6. Ketua Tim Perunding menyampaikan hasil perundingan yang telah dibubuhi paraf bersama pemohon kepada Direktur Jenderal.
7. Direktur Jenderal menyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf bersama antara gubernur dan bupati/walikota kepada menteri.
8.
a. Menteri menyampaikan naskan KK kepada DPR RI untuk dikonsultasikan.
b. Menteri menyampaikan naskan KK kepada BKPM untuk mendapat rekomendasi.
9.
a. DPR RI menyampaikan tanggapan atas naskah KK kepada menteri.
b.
BKPM menyampaikan rekomendasi kepada presiden untuk persetujuan.
10. Menteri mengajukan permohonan kepada presiden untuk mendapat persetujuan KK.
11. Presiden memberikan persetujuan sekaligus memberikan wewenang kepada menteri untuk dan atas nama pemerintah menandatangani KK.
12. Penandatangan KK antara menteri atas nama pemerintah dengan pemohon dan disaksikan oleh gubernur atau bupati/walikota setempat.
Prosedur permohonan kontrak karya yang diajukan kepada gubernur, antara lain:
1.
Permohonan kontrak karya diajukan kepada gubernur.
2. Penyampaian persetujuan prinsip atau penolakan gubernur kepada pemohon.
3. Gubernur meminta kepada Direktur Jenderal dan bupati/walikota mengenai pejabat yang ditunjuk dan ditugaskan sebagai anggota Tim Perunding yang akan dibentuk oleh gubernur. Selanjutnya Direktur Jenderal mengkoordinasikan penunjukan anggota Tim gubernur Perunding dari Departemen Energi dan Sumber daya Mineral dan Instansi Terkait di Pusat.
4. Gubernur membentuk Tim Perunding yang diketuai oleh pejabat yang ditunjuk dan sekaligus menugaskan tim tersebut untuk melaksanakan perundingan/penjelasan naskah KK kepada pemohon.
5. Tim Perunding melaksanakan perundingan/ penjelasan naskah KK dengan pemohon.
6. Ketua Tim Perunding menyampaikan hasil perundingan yang telah dibubuhi paraf bersama pemohon kepada gubernur.
7. gubernur menyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf bersama antara bupati/walikota kepada Direktur Jenderal. 89 Ibid ., hal. 159-165.
8. direktur Jenderal menyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf kepada menteri.
a. Menteri menyampaikan naskan KK kepada DPR RI untuk dikonsultasikan.
b. Menteri menyampaikan naskan KK kepada BKPM untuk mendapat rekomendasi.
9.
a. DPR RI menyampaikan tanggapan atas naskah KK kepada menteri.
b. BKPM menyampaikan rekomendasi kepada presiden untuk persetujuan.
10. Menteri mengajukan permohonan kepada presiden untuk mendapat persetujuan KK.
Presiden memberikan persetujuan sekaligus memberikan wewenang kepada menteri untuk dan atas nama pemerintah menandatangani KK.
Penandatanganan KK/PKP2B antara menteri atas nama pemerintah dengan pemohon dan disaksikan oleh gubernur atau bupati/walikota setempat. Melihat
prosedur tersebut tampak bahwa gubernur hanya berwenang untuk: 1.
Penerbitan keputusan gubernur tentang persetujuan pencadangan wilayah pertambangan;
2. Memberikan persetujuan prinsip; 3.
Membentuk tim perunding kontrak karya; 4. Manyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf bersama gubernur kepada Direktur Jenderal;
5. Menyaksikan penandatanganan KK antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas nama pemerintah dengan pemohon. 90 Ibid ., hal. 165.
Prosedur untuk mengajukan permohonan kontrak karya yang diajukan kepada bupati/walikota, antara lain:
1.
Permohonan kontrak karya diajukan kepada bupati/walikota.
2. bupati/walikota menyiapkan konsep persetujuan prinsip.
3. Penyampaian persetujuan prinsip atau penolakan bupati/walikota kepada pemohon.
4. bupati/walikota meminta kepada gubernur dan Direktur Jenderal mengenai pejabat yang ditunjuk dan ditugaskan sebagai anggota Tim Perunding yang akan dibentuk oleh bupati/walikota. Selanjutnya Direktur Jenderal mengoordinasikan penunjukan anggota Tim Perunding dari Departemen Energi dan Sumber daya Mineral dan Instansi Terkait di Pusat.
5. bupati/walikota membentuk Tim Perunding yang diketuai oleh pejabat yang ditunjuk dan sekaligus menugaskan tim tersebut untuk melaksanakan perundingan/penjelasan naskah KK kepada pemohon.
6. Tim Perunding melaksanakan perundingan/penjelasan naskah KK dengan pemohon.
7. Ketua Tim Perunding menyampaikan hasil perundingan yang telah dibubuhi paraf bersama pemohon kepada bupati/walikota.
8. bupati/walikota menyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf bersama gubernur kepada Direktur Jenderal.
9. direktur Jenderal menyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf kepada menteri. 91 Ibid ., hal. 165-171.
10.
a. Menteri menyampaikan naskah KK kepada DPR RI untuk dikonsultasikan.
b. Menteri menyampaikan naskah KK kepada BKPM untuk mendapat rekomendasi.
11.
a. DPR RI menyampaikan tanggapan atas naskah KK kepada menteri.
b. BKPM menyampaikan rekomendasi kepada presiden untuk persetujuan.
12. Menteri mengajukan permohonan kepada presiden untuk mendapat persetujuan KK.
13. Presiden memberikan persetujuan sekaligus memberikan wewenang kepada menteri untuk dan atas nama pemerintah menandatangani KK.
Penandatanganan KK/PKP2B antara menteri atas nama pemerintah dengan pemohon dan disaksikan oleh gubernur atau bupati/walikota setempat. Melihat
prosedur tersebut tampak bahwa bupati/walikota hanya berwenang untuk: 1.
Penerbitan keputusan bupati tentang persetujuan pencadangan wilayah pertambangan;
2. Memberikan persetujuan prinsip; 3.
Merundingkan naskah kontrak karya dengan pemohon; 4. Membentuk Tim Perunding kontrak karya; 5. Manyampaikan naskah KK yang telah dibubuhi paraf bersama gubernur kepada Direktur Jenderal;
6. Menyaksikan panandatanganan KK antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas nama pemerintah dengan pemohon; 92 Ibid ., hal. 171-172.
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanam modal asing atau patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik untuk melakukan kegiatan di bidang pertambangan umum adalah berbentuk tertulis. Substansi kontrak karya tersebut disiapkan oleh Pemerintah Repulbik Indonesia c.q. Departemen Pertambangan dan Energi
dengan calon penanam modal.
C. Syarat Dalam Melaksanakan Kegiatan Usaha Pertambangan
Dalam melaksanakan usaha-usaha pertambangan dilakukan dalam bentuk: 1. Izin Usaha Pertambangan (IUP)
94 IUP ini diberikan oleh: a.
Bupati/Walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota; b.
Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah Kabupaten/Kota dalam satu provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c.
Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
95 IUP diberikan kepada:
93 Ibid 94 ., hal. 175.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
a.
Badan usaha, yang dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); b. Koperasi; dan c. Perseorangan, yang dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.
96 IUP diberikan melalui tahapan:
a.
Pemberian WIUP, terdiri atas: 1)
WIUP radioaktif yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2)
WIUP mineral logam yang diperoleh dengan cara lelang; 3)
WIUP batubara yang diperoleh dengan cara lelang; 4)
WIUP mineral bukan logam yang diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah; 5)
WIUP batuan yang diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah.
b.
Pemberian IUP
98 IUP terdiri atas 2 (dua) tahap: a.
IUP eksplorasi.
95 Pasal 6 ayat (1)-(3) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 96 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 97 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 98 Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan.
IUP eksplorasi ini diberikan untuk satu jenis mineral dan batu bara. Pemegang IUP eksplorasi yang bermaksud mengusahakan mineral lain yang ditemukan di dalam WIUP yang dikelola, wajib mengajukan permohonan WIUP baru kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Apabila pemegang
IUP tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut, maka dia wajib menjaga mineral tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain, dan apabila diberikan kepada orang lain maka pemberian tersebut hanya dapat dilakukan oleh menteri, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
IUP Eksplorasi terdiri atas: 1)
Mineral logam
IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.
2) Batu bara
IUP eksplorasi untuk pertambangan batu bara dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
3) 99 Mineral bukan logam
Pasal 36 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 100 Pasal 40 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 101 Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 102 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 103 Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
4) batuan
IUP eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
Apabila pemegang IUP eksplorasi ingin menjual mineral atau batu bara yang tergali maka ia wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan dimana izin tersebut diberikan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
b.
IUP operasi produksi Meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
IUP Operasi Produksi
terdiri atas:
104
Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 105 Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 106 Pasal 43 dan 44 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 107 Pasal 36 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 108 Pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
1) Mineral logam
IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh)
tahun.
2) Batubara
IUP operasi produksi untuk pertambangan batu bara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
3) Mineral bukan logam
IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
IUP operasi produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 10 (sepuluh) tahun.
109
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara 110 Pasal 47 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 111 Pasal 47 ayat (2) & (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
4) Batuan
IUP operasi produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) yang dikelompokkan sebagai berikut: a.
Pertambangan mineral logam; b.
Pertambangan mineral bukan logam; c. Pertambangan batuan; d.
Pertambangan batu bara
IPR diberikan terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi oleh bupati/walikota dengan menyampaikan surat permohonan. Dimana kewenangan pelaksanaan pemberian IPR tersebut dapat dilimpahkan oleh bupati/walikota kepada camat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi: a.
Persyaratan administratif 112
Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 113 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 114 Pasal 67 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 115 Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. b.
Persyaratan teknis c. Persyaratan finansial
IPR ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, dengan luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:
a.
Perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar; b.
Kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar; dan/atau c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh) tahun.
3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
IUPK diberikan melalui tahapan:
a.
Pemberian WIUPK Pemberian WIUPK terdiri atas WIUPK mineral logam dan/atau batubara.
WIUPK diberikan kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta oleh Menteri dengan terlebih dahulu menawarkan kepada BUMN atau BUMD dengan cara prioritas. Apabila hanya ada 1 (satu) BUMN atau BUMD yang berminat, maka WIUPK diberikan kepada BUMN atau BUMD dengan membayar biaya kompensasi data informasi. Apabila lebih dari 1 (satu) BUMN atau BUMD yang berminat, maka WIUPK diberikan Kepada BUMN atau BUMD dengan cara lelang. Apabila tidak ada BUMN atau BUMD yang berminat, maka WIUPK ditawarkan kepada 116
Pasal 68 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 117 Pasal 50 Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. badan usaha swasta yang bergerak dalam bidang pertambangan mineral
atau batubara dengan cara lelang.
b.
Pemberian IUPK
IUPK diberikan oleh menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia baik berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
maupun badan usaha swasta (dengan cara lelang WIUPK).
IUPK terdiri atas: 1)
IUPK Eksplorasi terdiri atas mineral logam atau batubara 2)
IUPK Operasi Produksi terdiri atas mineral logam atau batubara Persyaratan IUPK Eksplorasi atau IUPK Operasi Produksi harus
memenuhi: 1)
Persyaratan administratif 2)
Persyaratan teknis 3)
Persyaratan lingkungan 4)
Persyaratan finansial Luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha
118 pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK antara lain:
Pasal 51 Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 119 Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 120 Pasal 62 ayat (2) Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 121 Pasal 63 Peraturan Pemerintah Repulbik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 122 Pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. a.
Untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare dengan jangka waktu diberikan paling lama 8 (delapan) tahun yang meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.
b.
Untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
c.
Untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batu bara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare dengan jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun yang meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun.
d.
Untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batu bara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
D. Dampak Dari Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan
pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1.
Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD); 3.
Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; 7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Kehancuran lingkungan hidup; 2. Penderitaan masyarakat adat; 3.
Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; 4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. Terjadinya pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.
Walaupun batu bara mempunyai kegunaan yang sangat strategis, namun keberadaan industri pertambangan batu bara menimbulkan dampak, baik positif 123 124 H. Salim HS., Op.cit., hal.57.
Ibid. maupun negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan batu bara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruktif (membangun). Dampak positif dari industri pertambangan batu bara di
indonesia: 1.
Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan dan pelabuhan;
2. Sumber devisa negara; 3.
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD); 4. Sumber energi alternatif, untuk masyarakat lokal; 5. Menampung tenaga kerja.
Dampak negatif pertambangan batu bara merupakan pengaruh yang kurang baik dari adanya industri penambangan batu bara. Dampak negatif
penambangan batu bara di Indonesia yaitu: 1.
Sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memperhatikan kelestarian lingkungan;
2. Penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan; 3.
Limbah kegiatan penambangan yang mencemari lingkungan; 4. Areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga; 5. Membahayakan masyarakat sekitar; 6. Sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar; 7. Kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masih kurang; 125 126 Ibid ., hal.221 Ibid., hal. 223.
8. Hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pertambangan masih kurang.
BAB IV IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA A. Pedoman Implementasi Corperate Social Responsibility (CSR) dalam Kegiatan Usaha Pertambangan. Implementasi CSR diawali dengan diajukannya corporate social initiatives
(inisiatif sosial perusahaan). Inisiatif sosial perusahaan dapat didefenisikan sebagai major activities undertaken by a corporation to support social causes and yaitu berbagai kegiatan
to fulfill commitments to corporate social responsibility,
atau aktivitas utama perusahaan yang dilakukan untuk mendukung aksi sosial
guna memenuhi komitmen dalam tanggung jawab sosial perusahaan.
Kotler dan Lee menyebutkan bahwa setidaknya ada 6 opsi untuk “berbuat kebaikan” (Six options for Doing Good) sebagai inisiatif sosial perusahaan yang
dapat ditempuh dalam rangka implementasi CSR, yaitu: 1.
Cause promotions Suatu perusahaan dapat memberikan dana atau berbagai macam kontribusi lainnya, ataupun sumber daya perusahaan lainnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas suatu isu sosial tertentu, ataupun dengan cara 127
Bismar Nasution “Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial”, terakhir kali diakses tanggal 10 September 2010. 128 Ibid. mendukung pengumpulan dana, partisipasi dan rekruitmen sukarelawan untuk aksi sosial tertentu.
Contohnya perusahaan kosmetik terkemuka di Inggirs, The Body Shop, mempromosikan larangan untuk melakukan uji produk terhadap hewan. The
Body Shop sendiri. mengklaim bahwa produk-produk yang dijualnya tidak
diuji coba terhadap hewan. Hal ini dapat dilihat pada kemasan produk- produk The Body Shop yang mencantumkan kata-kata against animal testing.
2. Cause-related marketing Suatu perusahaan dalam hal ini berkomitmen untuk berkontribusi atau menyumbang sekian persen dari pendapatannya dari penjualan suatu produk tertentu miliknya untuk isu sosial tertentu. Contohnya seperti Unilever yang memberikan sekian persen dari penjualan sabun produksinya, Lifebuoy, untuk meningkatkan kesadaran hidup bersih dalam masyarakat, dengan cara membangun fasilitas kamar kecil dan wastafel di sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kemudian Danone, yang juga merupakan produsen air mineral AQUA memberikan sekian persen hasil penjualannya untuk membangun jaringan air bersih di daerah sulit air di Indonesia.
3. Corporate social marketing Suatu perusahaan dapat mendukung perkembangan atau pengimplementasian kampanye untuk merubah cara pandang maupaun tindakan, guna meningkatkan kesehatan publik, keamanan, lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat. Contohnya seperti Unilever yang memproduksi pasta gigi Pepsodent mendukung kampanye gigi sehat. Kemudian Phillip Morris di Amerika Serikat mendorong para orang tua untuk berdiskusi dengan anak-anak mereka mengenai konsumsi tembakau.
4. Corporate philanthropy Dalam hal ini, suatu perusahaan secara langsung dapat memberikan sumbangan, biasanya dalam bentuk uang tunai. Pendekatan ini merupakan bentuk implementasi tanggung jawab sosial yang paling tradisional. Contohnya suatu perusahaan dapat langsung memberikan bantuan uang tunai ke panti-panti sosial, ataupun apabila tidak uang tunai, dapat berupa makanan ataupun alat-alat yang diperlukan.
5. Community volunteering Dalam hal ini, perusahaan dapat mendukung dan mendorong pegawainya, mitra bisnis maupun para mitra waralabanya untuk menjadi sukarelawan di organisasi-organisasi kemasyarakatan lokal. Contohnya suatu perusahaan dapat mendorong atau bahkan mewajibkan para pegawainya untuk terlibat dalam bakti sosial atau gotong-royong di daerah dimana perusahaan itu berkantor. Contoh lainnya seperti perusahaan-perusahaan yang memproduksi komputer ataupun piranti lunak mengirim orang-orangnya ke sekolah-sekolah untuk melakukan pelatihan-pelatihan langsung menyangkut keterampiran komputer.
6. Socially responsible business practices Misalnya perusahaan dapat mengadopsi dan melakukan praktek-praktek bisnis dan investasi yang dapat mendukung isu-isu sosial guna meningkatkan kelayakan masyarakat (community well-being) dan juga melindungi lingkungan. Seperti contohnya Starbucks bekerjasama dengan Conservation
International di Amerika Serikat untuk mendukung petani-petani guna meminimalisir dampak atas lingkungan mereka.
Implementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat bergantung kepada misi, budaya, lingkungan, dan profit, risiko, serta kondisi operasional masing-masing perusahaan. Banyak perusahaan yang telah melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pelanggan, karyawan, komunitas, dan lingkungan sekitar yang merupakan titik awal yang sangat baik menuju pendekatan CSR yang lebih luas. Pelaksanaan CSR dapat dilaksanakan menurut prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Aktivitas CSR perlu diintegrasikan dengan pengambilan keputusan inti, strategi, aktivitas, dan proses manajemen
perusahaan.
Dalam menjalankan aktivitas CSR tidak terdapat standar atau praktik- praktik tertentu yang dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi yang unik yang berpengaruh terhadap bagaimana mereka memandang tanggung jawab sosial. Dan setiap perusahaan memiliki kondisi yang beragam dalam hal kesadaran akan berbagai isu berkaitan dengan CSR serta seberapa banyak hal yang telah dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan CSR.
129 130 A.B. Susanto, Op.cit., hal. 48.
Ibid. Perusahaan bidang pertambangan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena bergerak di bidang sumber daya alam (Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). Bidang pertambangan terikat pula dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam Undang-Undang itu dinyatakan tentang kewajiban pemegang usaha pertambangan untuk melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat (PPM). Ketentuan mengenai kewajiban tersebut dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
terdapat dalam: 1.
Pasal 95 Pemegang IUP dan IUPK wajib: a. Menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik; b. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara; d. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;dan e.
Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
2. Pasal 106
131 Adjat Sudradjat “Pentingnya CSR Pertambangan”, terakhir kali diakses tanggal 7 September 2010. 132 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 107 Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan
IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Pasal 108
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Prinsip CSR sebenarnya sudah diakomodasi di dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertambangan, tetapi masih bersifat implisit dan atau sumir kecuali pada pasal tentang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar lingkungan pertambangan.
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 merupakan alternatif tindakan yang dapat segera diambil oleh perusahaan pertambangan dalam menjawab tantangan kegiatan pertambangan yang bertang- 133
Busyra Azheri “CSR dalam Kegiatan Pertambangan di Sumatera Barat”, terakhir kali diakses tanggal 7 September 2010. gungjawab. Selain itu penerapan program suistainable community development pertambangan haruslah bersifat uniqe atau khas karena bergantung pada kondisi obyektif dari geografi, demografi, karakter atau tipikal dan potensi dari
masyarakat itu sendiri.
Prinsip CSR yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) berkaitan dengan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sejalan dengan konsep Triple Bottom Line (3BL) meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu bidang ekonomi 3 (tiga) prinsip (human
capital , kemitraan, dan good corporate governance (GCG)), bidang sosial 3 (tiga)
prinsip (human capital, pendidikan, dan informasi publik), dan bidang lingkungan 5 (lima) prinsip (standarisasi, keterbukaan, pencegahan perusakan lingkungan,
ramah lingkungan, dan taat hukum).
Penerapan CSR di bidang pertambangan bersifat dual system. Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penerapannya telah bersifat keharusan (mandatory) dalam makna kewajiban hukum (legal obligation), karena telah diatur sedemikian rupa. Sedangkan bagi Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), penerapan Corperate
Social Responsibility (CSR) masih bersifat sukarela (voluntary) meskipun telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang- 134
“Corporate Social Responsibility (CSR) Perseroan Terbatas Dalam Kegiatan Usaha
Pertambangan Sebagai Implikasi Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007”, terakhir kali diakses tanggal 1 September 2010. 135 Busyra Azheri “CSR dalam Kegiatan Pertambangan di Sumatera Barat”, terakhir kali diakses tanggal 7 September 2010. Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan motif reaktif dalam bentuk kedermawanan (charity). Namun untuk aspek lingkungan menunjukkan apresiasi yang bagus terlihat dari pola reklamasi lahan
bekas tambang yang mereka lakukan dalam bentuk backfilling.
B. Bentuk Corperate Social Responsibility (CSR) yang dapat Dilakukan
dalam Kegiatan Usaha PertambanganSalah satu bentuk perhatian yang dapat diberikan perusahaan di Indonesia dalam usaha meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya adalah partisipasinya dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana adalah sebuah proses yang terus-menerus dimana pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil merencanakan dan mengurangi pengaruh bencana, mengambil tindakan segera setelah bencana terjadi, dan mengambil langkah-langkah untuk pemulihan. Manajemen bencana lebih dari sekedar pemberian bantuan guna meringankan penderitaan para korban yang terkena bencana. Lebih dari itu, manajemen bencana mempunyai tujuan yang lebih luas, yaitu usaha-usaha mengurangi risiko terjadinya bencana, dan apabila
tidak memungkinkan, meminimalisir dampak buruk yang mungkin timbul.
Terdapat lima jenis aktivitas CSR berkaitan dengan manajemen bencana,
yaitu: 1.
Filantropis 136
Busyra Azheri “CSR dalam Kegiatan Pertambangan di Sumatera Barat”, terakhir kali diakses tanggal 7 September 2010. 137 138 A.B. Susanto, Op.cit., hal. 68. Ibid., hal. 70-71. Aktivitas filantropis berhubungan dengan pemberian sumbangan dan bantuan kepada orang-orang atau lembaga dengan tujuan sosial.
2. Kontraktual Dalam aktivitas kontraktual, perusahaan menjalin kontrak kerja sama dengan organisasi atau kelompok lain.
3. Kolaboratif Kolaboratif berarti menjalankan CSR melalui kemitraan dengan organisasi berbasis komunitas dan LSM.
4. Adversarial Jenis aktivitas adversarial lebih berhubungan dengan hubungan masyarakat (public relations) ketimbang manfaat aktual bagi mereka yang terkena dampak bencana.
5. Unilateral Dalam aktivitas unilateral, perusahaan tidak menjalin kerja sama dengan para stakeholder -nya.
Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga tingkat kegiatan program CSR dalam
usaha memperbaiki kesejahteraan masyarakat yakni: 1.
Kegiatan program CSR yang bersifat “charity”.
Bentuk kegiatan seperti ini ternyata dampaknya terhadap masyarakat hanyalah “menyelesaikan masalah sesaat” hampir tidak ada dampak pada 139
“Kegiatan Program CSR”, terakhir kali diakses tanggal 20 September 2010. peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain lebih mahal, dampak jangka panjang tidak optimal untuk membentuk citra perusahaan. Dari sisi biaya, promosi kegiatan sama mahalnya dengan biaya publikasi kegiatan. Walaupun masih sangat relevan, tetapi untuk kepentingan perusahaan dan masyarakat dalam jangka panjang lebih dibutuhkan pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat.
2. Kegiatan program CSR yang membantu usaha kecil secara parsial.