BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE 2.1 Konsep Ie - Perubahan Sistem Ie Dalam Kehidupan Keluarga Petani Di Jepang

  

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE

2.1 Konsep Ie

  Dalam tradisi masyarakat Jepang hubungan sosial tidak hanya di latar belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan diikat oleh sifat shinzoku teki (ikatan kekerabatan semu dalam kehidupan berkelompok). Hubungan ini tidak harus berdasarkan ikatan darah, tetapi lebih didasarkan pada kebersamaan menanggung kehidupan sehari-hari.

  Salah satu kelompok sosial yang mendasar dalam sistem keluarga yang ada di dalam masyarakat tradisional Jepang adalah ie. Sistem ie inilah yang mengatur kehidupan keluarga di Jepang. Ie dapat diartikan sebagai family dalam bahasa inggris, akan tetapi maknanya tidak sama dengan family baik secara budaya, ekonomi, ataupun sosial. Meskipun dalam ie sendiri terdapat bentuk keluarga pada umumnya (ayah, ibu, anak). Ie adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga dan tempat mereka melaksanakan kehidupan sosial mereka bersama. Ie ada dalam masyarakat Jepang tradisional merupakan suatu wadah bagi masyarakat Jepang untuk menyelenggarakan kehidupan. Hubungan yang terjadi antara keluarga-keluarga Jepang di dasarkan pada adanya ikatan ie yang diturunkan dari generasi ke generasi. Keluarga Jepang mempunyai struktur dan fungsi kekerabatan yang tidak bisa disamakan dengan konsep family yang ada di negara barat.

  Ikatan yang telah ada secara turun temurun itu akan diteruskan ke generasi diri setiap individu yang menjadi bagian ikatan ie akan semakin dalam rasa tanggung- jawab dan kesadarannya akan eksistensi ie. Berbeda dengan konsep family yang ada di dalam ie tidak sekedar hubungan darah saja.

  Terdapat dua faktor yang melahirkan sistem ie, yaitu kesatuan keluarga yang bersifat patrilinieal dan kesatuan shinzoku yang berpusat pada suami dan istri.

  

Shinzoku adalah hubungan kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat Jepang

  antara ego dengan kerabat lainnya, baik bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) dan hubungan inzoku (hubungan darah yang terjadi antara ego dengan kerabat pasangannya).

  Ada 3 (tiga) karakteristik utama dalam sistem ie, yaitu : 1.

  Mempunyai harta warisan (kazan) sebagai harta kekayaan (zaisan).

  2. Menekankan pada pemujaan terhadap arwah leluhur yang merupakan pendahulu garis keturunan mereka.

  3. Menekankan eksistensi keturunan langsung dari generasi ke generasi yang memandang penting kemakmuran bersama.

  Sebagai warisan leluhur, ie mempunyai harta warisan (kazan) sebagai harta kekayaan (zaisan) yang harus dipertahankan dan di lestarikan keberadaannya, sebagai tanda hormat kepada para leluhur yang telah mewariskan

ie. Anggota-anggota ie melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur mereka.

  Selain itu, dalam ie juga penting menekankan eksistensi keturunan langsung yang mementingkan kemakmuran bersama, sehingga ie yang telah diwariskan itu dapat terus bertahan keberadaannya dan tercipta kehidupan bersama dalam ie tersebut.

  Sifat sistem ie pada keluarga Jepang tidak hanya didasarkan pada adanya kepercayaan yang terwujud dalam upacara penyembahan leluhur, faktor ekonomi, yaitu pekerjaan yang sama, hukum adat, moral yang didasari oleh ajaran konfusius,dan lain-lain. Ie dilandasi oleh adanya kerja sama dan dipimpin oleh seorang kachou.

  Sepintas sistem ie sama seperti sistem keluarga pada umumnya, terdiri dari orang tua (kakek-nenek), anak, istri serta cucu. Dalam sistem ie terdapat suatu ideologi sesuai pemikiran masyarakat Jepang. Seperti yang telah dijelaskan keluarga Jepang terlihat seperti keluarga pada umumnya, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan dalam hal ideologi keluarga tersebut. Keluarga dapat diartikan lebih dalam lagi.

  Ie dikatakan sebagai sesuatu yang khas yang terlihat sebagai seikatsu shuudan (kehidupan kelompok) atau seikatsu kejou doutai (kehidupan bersama).

  Di dalam ie walaupun bagian yang menjadi dasar penyatuannya adalah suami dan istri, untuk mempertahankan atau melestarikan ie itu orang-orang yang berpartisipasi dalam kehidupan ie. Walaupun tidak ada hubungan darah dengan anggota keluarga ie akan dianggap keluarga, dengan demikian yang menjadi anggota dalam ie tidak hanya orang-orang yang mempunyai ikatan hubungan darah. Syarat utama sebagai anggota ie adalah bekerja sama dengan mengelola usaha ie. Kazoku ishiki atau kesadaran keluarga dalam ie adalah seikatsu shuudan atau kesadaran kehidupan bersama dan kesadaran mempertahankan atau melestarikan ie sebagai kehidupan bersama.

  Ada 4 (empat) prinsip dasar yang sering di pakai untuk mengidentifikasikan dan menggolongkan orang-orang yang di anggap kerabat :

  1. Hubungan kerabat sedarah dihitung secara patrilineal (fukei seido) yang termasuk dalam fukei seido adalah kakek, nenek, anak laki-laki sulung beserta istrinya, cucu laki-laki beserta istrinya, dan lain-lain yang merupakan anggota kerabat langsung.

  2. Hubungan kerabat sedarah (ketsuzoku) kerabat keturunan sedarah beserta keluarganya seperti saudara kandung laki-laki dengan istrinya, kemanakan laki-laki dengan istrinya, dan lain-lain.

  3. Hubungan kerabat karena perkawinan (inzoku). Mereka yang menjadi anggota ie tidak mempunyai hubungan darah baik dari garis keturunan langsung maupun tidak langsung. Mereka ini adalah hokonin, yaitu pembantu atau pekerja yang sudah lama bekerja atau mengabdi pada ie.

  Mereka dapat diangkat menjadi anggota ie beserta dengan keluarganya secara turun temurun.

  4. Hubungan sekerabat fiktif seketurunan yang tidak ada hubungan darah langsung, misalnya mukoyoshi, menantu yang meneruskan nama keluarga istri, beserta keluarga yang diangkat menjadi anggota ie. Dalam sistem ie juga terdapat bentuk kekerabatan yang kompleks, yaitu dengan masuknya mukoyoshi maupun yoshi (anak laki-laki sebagai calon kachou).

  Diangkat dari anak laki-laki yang masih mempunyai hubungan darah dengan kachou ataupun di angkatnya hokonin menjadi anggota ie.

  Ie dapat terbentuk tidak berdasarkan ikatan perkawinan. Tetapi sebagai

  kelompok sosial yang menyelenggarakan kehidupan sosial dan ekonomi bersama

(seikatsu kyoudai) yang di wujudkan dalam kerja sama untuk mengelola usaha ie. mempertahankan ie sebagai kehidupan bersama. Dengan demikian sifat keanggotaan ie bukanlah hanya didasarkan pada ikatan hubungan darah. Syarat untuk menjadi anggota ie adalah kerja sama fungsional dalam berbagai bidang kehidupan ie. Oleh karena itu, kerabat yang tidak memiliki hubungan sedarah seperti pembantu bisa diangkat menjadi anggota ie.

2.2 Warisan Dan Hubungan Keluarga

  Sesuai dengan struktur patrinial keluarga dan garis kekuasaan, warisan adalah masalah pengganti kepala rumah tangga. Pada umumnya, anak tertua menggantikan kepala keluarga, tetapi kalau tidak ada anak laki-laki, maka suami anak perempuan (dikenal dengan nama mukoyooshi) dapat diserahi jabatan itu.

  Kepala rumah tangga yang menggantikan itu juga akan mengambil alih milik rumah tangga secara keseluruhan, atau sedikitnya memiliki prioritas dalam menentukan bagiannya. Bagian itu biasanya kecil, tetapi cukup untuk mendirikan cabang keluarga ( bunkee) sedang sisanya juga cukup untuk mempertahankan keluarga besarnya. Apabila anak-anak laki-laki yang lebih muda mendapat pekerjaan diluar pertanian, keluarganya akan memberikan bantuan awal untuk hidup selanjutnya, dan anak-anak perempuan mendapat emas kawin sebagai bagiannya dari milik keluarga, apabila menikah dan ikut dengan keluarga lain.

  Anak-anak perempuan tersebut kadang-kadang masih mendapat bantuan dari orang tuanya bahkan setelah menikah. Tetapi tak seorangpun diberi kekayaan terlalu besar sehingga masa depan keluarga besar ie yang asli akan terancam. Kadang-kadang keluarga besar tidak memberikan bantuan atau harta milik kepada anak-anak yang lebih muda, tetapi malah menerima bantuan dari mereka yang

  Sistem anak sulung sebagai pewaris (sistem primogenitur) sebagai ciri pokok ie dibentuk oleh tatanan sosial feodal. Sistem feodal menurut arti istilah itu secara ketat hanya ada di Eropa dan Jepang, dan sistem feodal di Jepang menumbuhkan sistem warisan yang sangat berlainan dengan di Cina dan India.

  Apabila di Cina dan India pembagian warisan bercirikan pembagian yang sama besar kepada semua keturunan dari garis lelaki, di Jepang sistem warisan primogenitur merata ke bawah dari kelas samurai sampai orang biasa. Pengaruh ini berlanjut sampai akhir zaman feodal, bahkan diperkuat oleh undang-undang warisan yang diberlakukan menjelang akhir abad ke-19. Dalam hal keluarga petani, ada banyak pengecualian dalam sistem warisan primogenitur, bahkan larangan dalam zaman tokugawa dalam pembagian pemilikan tidak dapat menghalangi pembentukan bunkee baru dengan lahan yang diberikan dari kekayaan keluarga besar. Ragam lain tentang pembagian harta ini dapat dilihat misalnya pada wilayah-wilayah dengan produktivitas rendah. Pada wilayah semacam itu, apabila anak laki-laki tertua masih terlalu muda untuk mewarisi kekayaan keluarga, bisa digantikan oleh suami anak perempuan tertua dengan segera untuk memperbanyak tenaga kerja keluarga dan kemudian menyerahkan kepadanya pimpinan rumah tangga, kebiasaan yang ada pada wilayah-wilayah tertentu disebut ane- katoku. Pada daerah lain yang hanya memiliki lahan kecil, dan migrasi ke kota sudah sangat umum, semua anak-anak laki-laki yang lebih tua meninggalkan keluarga, maka anak laki-laki yang termudalah yang menerima warisan, dan praktek ini disebut ultimogenitur. Undang-undang sipil pada abad ke-19 dengan memberikan sanksi hukum terhadap bentuk warisan yang berlaku sebagai patokan pola sistem warisan di seluruh Jepang. Bahkan kemudian hal itu dilembagakan secara lebih ketat di daerah pertanian di mana pemilikan terlalu kecil untuk dibagi-bagi.

  Dalam sistem semacam itu dengan sendirinya anak laki-laki tertua akan menikmati status paling tinggi dalam keluarga. Kedudukan anak-anak dalam keluarga tani dilukiskan dalam pepatah : “ seorang dijual, seorang menjadi pewaris, dan seorang lagi sebagai cadangan ”. Akhirnya karena tidak ada keluarga yang merasa aman dengan satu anak laki-laki saja, satu anak laki-laki lagi diperlukan untuk menjaga apabila anak laki-laki yang lebih tua akan mati muda.

  Anak tertua yang sering di perlakukan berlainan dengan saudara-saudaranya, dan semua orang diberi tahu bahwa ia lebih penting. Kecenderungan ini lebih menonjol di daerah yang kurang maju, terutama di bagian timur laut, dimana anak laki-laki tertua disebut ani dan adik-adik laki-lakinya disebut oji. Di daerah- daerah itu anak-anak yang lebih muda kurang diperhatikan. Di daerah yang lebih maju pun anak laki-laki tertua mungkin disebut oyokata, sedang adik-adiknya disebut hiyameshigui, “ yang makan nasi dingin ”, artinya statusnya yang amat rendah. Perhatian orang tua terhadap anak laki-laki tidak tergantung pada urutan kelahirannya; tetapi merupakan kewajiban mutlak dalam sistem ie bahwa pewaris selalu diberi status lebih tinggi dibanding adik-adiknya. Anak tertua ditakdirkan untuk menjadi pengganti kepala rumah tangga tetapi ia juga akan menerima tanggung jawab untuk merawat orang tuanya kelak.

  Sebaiknya, anak-anak laki-laki yang lebih muda – kecuali keluarga yang cukup kaya untuk menyekolahkan mereka ke sekolah menengah – diharapkan keluarga memiliki lahan cukup luas. Pekerjaan ini merukan semacam membayar kembali hutang kepada orang tua. Lalu, apabila mereka telah selesai menjalani dinas militer, biasanya mereka berusaha untuk berdiri sendiri. Pada keluarga tani miskin dengan tanah kecil yang tidak cukup menampung tenaga kerja anak-anak yang ada, anak-anak itu langsung pergi mencari pekerjaan sebagai pembantu di toko atau pekerja di pabrik atau belajar menukang, dengan harapan bahwa mereka tidak saja akan berdiri sendiri, tetapi juga dapat menyumbang orang tuanya. Pada keluarga tani dari kelas atas di daerah yang kurang maju dengan lahan yang luas, seorang dari anak laki-laki yang tinggal dan bekerja untuk kelurga besar sekalipun telah menikah. Adik laki-lakinya yang telah menikah dan masih bekerja dengan orang tuanya sering disebut “malayani” rumah keluarga yang akan diwarisi kakak laki-lakinya. Adik laki-laki itu dalam kedudukan sama seperti pegawai yang bekerja untuk keluarga yang digaji tahunan. Sebaliknya, di banyak daerah yang kurang maju, pegawai sering diangkat menjadi kepala cabang keluarga seperti adik laki-laki. Hubungan antara kepala rumah tangga atau pewaris dengan semua anggota keluarga lainnya adalah hirarkis, suatu ciri umum pada zaman feodal.

  Fakta bahwa anak laki-laki yang lebih muda adalah hubungan antara oyakata dan kokata atau antara oyabun dan kobun.

  Kata oyako berarti lebih luas daripada arti harfiahnya “ orang tua dan anak ”. oya sering diartikan sama dengan keluarga pokok, dan pada umumnya petani dengan lahan amat sempit yang hidupnya tidak menentu, mengharapkan jaminan hidupnya bukan kepada “ orang tua ” dalam struktur kekerabatan, tetapi pada oya dalam kelompok doozoku. Jadi keluarga-keluarga dianggap melayani keluarga besar menerangkan banyak tentang aspek keluarga Jepang yang pada dasarnya tidak berubah sejak zaman Tokugawa.

  Di lain pihak, anak-anak perempuan tidak diminta untuk mempertahankan

  ie, dan karena banyak biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan

  perkawinannya, anak perempuan dianggap beban. Anak sulung perempuan dianggap beruntung karena memang anak perempuan tentu akan lahir, dan kelak akan dapat membantu pekerjaan rumah tangga dan membantu adik-adiknya. Status anak perempuan pada umunya rendah, mereka adalah calon “ dijual ”, yaitu untuk menikah dan pergi. Lewat umur dan perkawinannya mereka disebut “sisa”.

  Dalam sistem dimana laki-laki adalah penting, bila anak perempuan menikah ia harus diberi mas kawin secukupnya, bahkan setelah menikah, orang tuanya masih harus memberikan sekadar uang saku dan pakaian untuk menaikkan posisi anak tersebut dalam keluarga suaminya; dari keadaan inilah maka ada pepatah yang mengingat bahwa apabila tiga anak perempuan lahir akan menjadi keruntuhan keluarga tersebut. Di antara para petani yang paling miskin anak perempuannya tidak mengharapkan pembiayaan apapun baginya. Untuk keluarga semacam itu anak perempuannya adalah pekerja yang mungkin dapat menghasilkan upah yang rendah sabagai pekerja pabrik atau pembantu rumah tangga. Bila keadaan buruk menjadi lebih buruk, mereka betul-betul dijual untuk pelacuran demi orang tuanya.

2.3 Hubungan Sosial Kekeluargaan

  Pada masyarakat desa masa sebelum perang, kepentingan ie berada jauh diatas kepentingan perorangan anggota-anggotanya, dan unit kelurga menjadi merupakan perluasan ie. Kata yang secara singkat menggambarkan hakikat

  

doozoku adalah kekeluargaan, dan kekeluargaan Jepang sangat khas sifatnya

  karena didasarkan atas dua hal, yaitu solidaritas antara orang tua dan anak, dan hubungan antara atasan dan bawahan.

  Kekeluargaan Jepang dapat juga disebut kekeluargaan feodal seperti terwujud secara khas dalam kelompok-kelompok doozoku. Hubungan sosial corak

  

doozoku merupakan bagian hidup pada setiap desa pertanian, meskipun terdapat

  berbagai tingkat kekuatannya pada berbagai daerah. Dari semua hubungan sosial yang terpenting tani mencari hubungan oyakata atau oyabun meskipun tidak ada hubungan darah –atau kalau ada, sering untuk memperkuat –dan dengan demikian terciptalah hubungan orang tua-anak secara fiktif. Oyakonari itu ada berbagai ragam, seperti misalnya nazuke –oya, atau godfather oya, atau eboshi-oya, o-

  

baguro oya -,atau nakoodo –oya yang memimpin upacara-upacara melangkah

  dewasa, pertunangan, perkawinan untuk anak-anak muda. Sekali hubungan semacam itu terbentuk, oya memberikan perlindungannya kepada orang-orang muda itu seakan-akan mereka itu anak bungsu, dan kobun ini melayani oyakata seperti kalau melayani orang tua sendiri, bahkan sampai setelah mereka meninggal. Oyaka biasanya adalah pemilik tanah yang berkuasa atau kepala keluarga pokok. Kobun adalah anggota cabang keluarga kerabat atau bukan kerabat, tetapi dapat juga berhasal dari garis keturunan yang tidak ada kaitannya. Apabila “anak” datang dari keluarga cabang, maka hubungan oyakata –kokata tumpang tindih dengan hubungan antara keluarga pokok dan keluarga cabang.

  Dalam hal lain, meskipun ko berasal dari doozoku lain, ia akan menjadi tergantung

  Hubungan oyako terutama melibatkan individu-individu tertentu. Ini bukan merupakan hubungan antara keluarga pokok dan keluarga cabang, juga bukan tercipta ketika keluarga baru menjadi anggota cabang doozokudan bawahan terhadap keluarga pokok. Di pihak lain, meskipun secara teori hubungan oyakata-

  

kokata terbentuk antara dua individu, dalam prakteknya dua individu tadi tidak

  pernah dianggap terpisah dari keluarganya, sehingga hubungan tersebut pada tingkat dasarnya menjadi hubungan antar ie. Biasanya seseorang memilih oyakata dari ie yang sama seperti dilakukan ayahnya, sehingga membuat hubungan tersebut pada umumnya secara praktis bersifat turun-temurun. Dalam beberapa hal tertentu, apabila oyakata ayahnya dan anaknya berasal dari ie yang berlainan, maka hubungan oyako jelas menjadi tidak sejajar dengan hubungan pokok- cabang. Alasannya biasa praktis. Tidak berarti bahwa kokata dengan sengaja berganti dalam memilih keluarga dari mana ia memilih oyakata, tetapi calon

  

oyakata itu menolak karena alasan kurang kemampuan ekonominya untuk

  memelihara hubungan semacam itu, atau ia terlalu muda untuk memiliki tanggung jawab seperti itu.

  Hubungan oyakata-kokata ini paling kuat tercipta di daerah pedesaan di pegunungan prefektur Yamanashi. Di daerah itu kedudukan oyakata sebagai patron berlebihan sehingga kokata dipaksa dalam kedudukan tunduk secara total. Kalau seseorang menjadi nakoodo-oya, berarti menjadi oyakata, ia bertanggung jawab untuk kokata tidak hanya pada peristiwa tertentu saja seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian tetapi mengurusi semua hal dalam hidup sehari-hari.

  

Kokata wajib memberi upeti pada musim panas dan Tahun Baru, dan melayani terima. Karena alasan ini, kokata merasa berhutang budi kepada oyakata karena baik hatinya, dan menaati segala keinginannya. Daerah dimana hubungan kuat semacam itu masih ada tentunya terbatas jumlahnya. Tetapi hubungan oyakata- kokata dalam suatu bentuk tertentu adalah umum di semua pedesaan.