Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II

(1)

2.2.4 Gaya Hidup Petani... 28

BAB III. PERUBAHAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI JEPANG SETELAH PERANG DUNIA II... 30

3.1 Pertanian dan Petani Jepang Setelah Perang Dunia II... 30

3.1.1 Perubahan Kebijakan Pemerintah... 33

3.1.2 Perubahan dalam Teknik Pertanian... 37

3.1.3 Perubahan Pendapatan Petani... 40

3.1.4 Perubahan Gaya Hidup Petani... 44

3.2 Analisis Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II... 48

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 55

4.1 Kesimpulan... 55

4.2 Saran... 57

DAFTAR PUSTAKA


(2)

ABSTRAK

PERUBAHAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI JEPANG SETELAH PERANG DUNIA II

Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang berada di sebelah timur benua Asia. Kepulauan Jepang 75% wilayahnya terdiri dari pegunungan, dan 25% terdiri dari daratan. Porsi lahan pertanian Jepang hanya 25% dari total wilayahnya yang sebagian besar berupa pegunungan dan hanya 12% dari luas daratan di Jepang yang bisa dipergunakan untuk pertanian. Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap jengkal tanah yang dapat dikerjakannya. Ciri hidup petani Jepang zaman sebelum perang dapat di gambarkan sebagai petani yang bekerja sepanjang hari. Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal (Nohonshugi).

Sebelum perang, hubungan tuan tanah dan penyewa (buruh tani) merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah–buruh tani ini disebabkan petani tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah, sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka.

Sebelum perang, 70% adalah lahan garapan yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Beban pajak yang tinggi ini telah menyebabkan banyak petani sebelum perang harus menerapkan hidup hemat yang


(3)

ketat sehingga mereka tidak mampu meningkatkan produktivitas melalui teknologi mekanisasi. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki tingkat hidupnya adalah dengan cara bekerja keras, meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui sistem teknologi mekanisasi. Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para petani sebelum perang bukanlah meningkatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk mempertahankan kehidupan keluarganya saja.

Sebelum Perang Dunia II sangatlah mudah membedakan anak desa dengan anak kota hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya saja. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa/petani sangat identik dengan kemiskinan. Di desa, tuan tanah dan para petani mempunyai gaya hidup masing-masing yang bertahan sampai akhir Perang Dunia II. Apabila tuan tanah membeli barang-barang rumah tangga seperti, radio, televisi, mesin cuci dan lemari es, para petani penggarap menganggap bahwa tuan tanah sudah selayaknya memiliki barang-barang mewah tersebut. Petani berstatus pemilik mungkin dapat membeli barang-barang seperti itu namun, bagi petani penggarap/penyewa sebagai petani tingkat paling rendah, pembelian barang-barang mewah seperti itu sama sekali di luar batas impiannya.

Pada akhir Perang Dunia II Jepang mengalami kekalahan dan diduduki oleh tentara Amerika Serikat. Pada masa pendudukan inilah perubahan terjadi secara besar-besaran dalam masyarakat petani Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha membangun daerah pedesaan dan pertanian Jepang adalah melaksanakan landreform (perombakan tanah). Land


(4)

reform di samping membebaskan para petani dari eksploitasi tuan tanah juga membebaskan mereka dari belenggu ideologi feodalisme. Pudarnya ideologi tersebut menyebabkan mereka tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup sederhana yang menganjurkan untuk hidup sederhana.

Selain itu, landreform tidak hanya mengubah sistem pemilikan tanah dan ideologi masyarakat pedesaan Jepang saja, tetapi memiliki reaksi yang berantai pula, bahkan menjalar keseluruh kehidupan sosial-budaya masyarakat pedesaan Jepang. Seiring perkembangan waktu setelah perang, masyarakat dan desa pertanian Jepang telah berhasil menstransformasikan keadaan mereka, yang bermula dari sangat terbelakang menjadi ke masyarakat pedesaan yang maju dan modern. Hal ini membuat batasan-batasan antara masyarakat desa dan kota yang dahulu hanya dapat dilihat dari cara berpakaiannya saja, kini semakin buram dan tidak jelas. Perbandingan belanja keluarga di kota dan desa pun semakin mendekati ke titik persamaan. Pendapatan rumah tangga petani yang semakin meningkat, menempatkan para petani pada tingkat yang sama dengan para pekerja di sektor lainnya. Pekerjaan dan gaya hidup petani pun menggalami perubahan dengan sendirinya. Petani dahulu yang pekerja keras dan miskin, kini menjadi petani pekerja sambilan yang pulang pergi bekerja di kota, yang anak-anaknya berpendidikan, memiliki bermacam-macam perlengkapan rumah tangga, mempunyai transportasi sendiri dan waktu untuk rekreasi.

Namun, tidak semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat desa pertanian pasca Perang Dunia II ini selalu kearah yang lebih baik. Perkembangan teknologi mekanisasi pertanian yang tidak sebanding dengan luasnya lahan


(5)

pertanian yang dikerjakan, telah menyebabkan krisis ekonomi pada masyarakat petani Jepang pasca perang.

Banyaknya petani usia produktif yang beralih kerja ke bidang nonpertanian karena hasil pertanian yang tidak lagi mencukupi, menyebabkan masalah alih generasi yang menempatkan pekerja lansia dan wanita di pertanian. Selain itu, pengharapan tingkat hidup yang lebih baik dan cenderung mengarah sebagai pola kehidupan petani yang konsumtif pun telah tumbuh di kalangan masyarakat petani setelah Perang Dunia II. Tentu saja hal ini menjadi masalah-masalah baru yang mau tidak mau harus mereka hadapi.


(6)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan bagian dari makhluk sosial yang berada di muka bumi. Kumpulan dari manusia inilah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat terbentuk karena manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan keinginannya dalam memberikan reaksi terhadap lingkungannya. Menurut Waluya (2007:10) masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul dan berinteraksi secara tetap dan memiliki kepentingan yang sama.

Setiap masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan (bersifat dinamis). Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dapat diketahui dengan membandingkan keadaan masyarakat pada masa sekarang dengan keadaan masa lampau. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial pasti terdapat di setiap masyarakat karena tidak ada satu pun masyarakat yang bersifat statis (Mulyati dkk, 2007:3).

Berdasarkan tempat tinggal, Pada umumnya masyarakat di kelompokan menjadi masyarakat desa dan masyarakat kota. Menurut Mulyati dkk (2007:3) bahwa laju perubahan masyarakat kota biasanya lebih cepat mengalami perubahan sosial, sedangkan pada masyarakat pedesaan cenderung lebih lambat.

Masyarakat pedesaan/desa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu daerah yang sama, yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang kuat dan sangat mempengaruhi satu sama lain. Di dalam masyarakat desa, tradisi


(7)

seperti ini masih sangat kuat dan kental, bahkan terkadang sangat mempengaruhi perkembangan desa. Kehidupan di desa secara sosial sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, dan damai. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran. Sebaliknya, adapula kesan yang menganggap bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang bodoh, lambat dalam berpikir, mudah ditipu dan sebagainya.

(14/2/2013).

Desa dan Petani merupakan dua kata yang tak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Desa adalah tempat dimana petani menjalani kehidupannya. Desa tidak sekedar bermakna teritorial yang secara wilayah berbeda dengan kota dalam ciri geografis dan ekologis, tetapi desa juga mempunyai karakter sosial yang unik

(14/2/2013). Pada umumnya masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat petani, karena sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, atau dengan kata lain kehidupan masyarakatnya sebagian besar bersumber dari kegiatan pertanian (Soeroso, 2008:112).

Pada masyarakat pedesaaan (tradisional), pengolahan tanah pertanian masih dilakukan dengan teknologi-teknologi sederhana seperti dengan menggunakan tenaga manusia beserta alat yang masih sederhana. Umumnya, lahan pertaniannya sempit dan sangat tergantung dengan alam. Hasil pertanian sebagian besar untuk konsumsi sendiri sedangkan sisanya di jual untuk keperluan lainnya. Pada masyarakat ini, juga dikenal dengan tuan tanah, petani, dan buruh tani. Tuan tanah adalah pemilik tanah pertanian tersebut. Petani adalah mereka yang


(8)

memanfaatkan tanah pertanian tersebut dan buruh tani adalah mereka yang dipekerjakan untuk mengolah pertanian tersebut (Maryati dan Suryawati, 2004:83).

Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian muncul ketika suatu masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu kelompok orang untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Sebagai bagian dari kehidupan manusia sebelum pertanian adalah revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia.

Sejarah awal pertanian Jepang dapat dipastikan dari bukti-bukti peninggalan benda-benda purbakala yang terbuat dari tanah liat, dimana pada sisi luar benda tersebut terdapat lukisan tentang kehidupan pertanian pada abad ke-3 sesudah masehi. Pada zaman ini disebut dengan zaman Yayoi karena peninggalan-peninggalan benda-benda purbakala ini pertama sekali ditemukan di Yayoicho ( 弥生町 ) di Tokyo sekarang, sedangkan situs sejarah tersebut dinamai dengan Yayoishikidoki Toyoda dalam Situmorang (2009:8). Desa petani Jepang pada zaman sebelum perang dunia II di tandai dengan kemiskinan dan kesengsaraan, sehingga sangat mudah membedakan antara anak desa dengan anak kota hanya dengan melihat cara berpakaiannya saja (Fukutake, 1989:16).

Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat yang memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal (nohonshugi). Nohonshugi menanamkan keyakinan


(9)

pada diri para petani yaitu suatu pandangan bahwa walaupun hidup sebagai petani itu berat dan penuh kesengsaraan tetapi pengorbanan petani tidaklah sia-sia karena pertanian merupakan ujung tombak dari negara dan masyarakat Jepang. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang agar membius para petani untuk tidak menuntut perbaikan hidup mereka.

Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap jengkal tanah yang dapat dikerjakan oleh mereka, tetapi lahan yang dikerjakan tiap keluarga petani rata-rata jarang yang melebihi satu hektar (Fukutake, 1988:1-59). Sejak awal zaman Meiji (1868-1912) sampai perang dunia II, lebih dari 80% penduduk Jepang bekerja sebagai petani, dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta keluarga Jepang. Pada wilayah pertanian, 70% adalah lahan garapan yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Karena beban pajak yang tinggi, petani Jepang sebelum perang sangat beralasan untuk mengambil sikap hidup hemat yang ketat agar dapat mempertahankan hidupnya walaupun hal ini sangat membatasi mereka di dalam berbagai hal. Di samping itu, pemilikan tanah yang tidak merata juga membuat dunia pertanian Jepang dipenuhi dengan petani-petani penggarap yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan hidup tuan tanah mereka. Petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka dan harus membayar pajak yang tinggi karena tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penggarap. Separuh dari tanah garapan itu dikuasai oleh tuan-tuan tanah. Tuan tanah benar-benar menjadi raja atas tanah pertaniannya, dan mereka tidak ikut serta dalam menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui kekuasaannya (Fukutake, 1989:1-5).


(10)

Sebagian besar petani sebelum perang menggunakan separuh pendapatannya untuk membeli bahan pangan sedangkan konsumsi untuk hal-hal yang tidak langsung mendukung keperluan hidup dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Namun, betapapun penghematan yang dilakukan para petani ini tidak dapat mengubah kondisi kehidupan mereka kearah yang lebih baik melainkan sekedar untuk bertahan. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki tingkat hidupnya adalah dengan cara bekerja keras, meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui mekanisasi.

Pada akhir perang dunia II, Jepang mengalami kekalahan dan di duduki oleh Amerika. Pada masa pendudukan inilah perubahan terjadi secara besar-besaran di dalam masyarakat pedesaan Jepang. Untuk membangun kembali perekonomian Jepang yang telah hancur pasca perang dunia II adalah dengan mengendalikan inflasi, yaitu dengan cara jaminan pengadaan pangan yang terkendali melalui terjaminnya pengadaan beras yang murah. Keharusan pengadaan beras hanya dapat terjamin dengan cara meringankan beban sewa tanah pertanian. Selain itu, pemerintah juga menyadari bahwa kepemilikan tanah sangat diperlukan. Untuk itu, tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha membangun daerah-daerah pedesaan Jepang adalah melaksanakan landreform secara besar-besaran.

Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “land” yang berarti tanah dan kata “reform” yang berarti perombakan. Oleh karena itu, landreform secara sederhana dapat di artikan sebagai perombakan tanah dimana pemerintah membeli semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah dan kelebihan tanah yang dimiliki tuan tanah yang tinggal di daerah


(11)

pedesaan, serta menjual tanah-tanah tersebut kepada para petani penggarap/penyewa dengan harga sewa yang murah (Fukutake,1989:6). Sehingga, status petani yang dulunya sebagai penyewa tanah menjadi pemilik tanah pun meningkat dari tahun ke tahun. Banyaknya petani yang memiliki lahan tanah sendiri ini telah memberi rangsangan terhadap pemikiran para petani untuk mempelajari teknologi baru di bidang pertanian. Sehingga, kemajuan yang dicapai dalam mempelajari teknologi pertanian ini telah mendorong peningkatan produktivitas panen padi dari tahun ke tahun.

Seiring perkembangan waktu stelah perang, peningkatan penggunaan mesin-mesin pertanian di Jepang beserta peningkatan produktivitasnya ini telah membawa dampak luas pada pertanian Jepang. Adanya perkembangan pertanian Jepang ke arah mekanisasi yang lebih maju menyebabkan pemborosan yang semakin besar serta membawa masalah-masalah mekanisasi tersendiri di dalam kehidupan petani Jepang setelah Perang Dunia II.

Landreform juga membebaskan diri para petani dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalisme Jepang sebelum perang. Pudarnya ideologi feodalisme dalam masyarakat petani ini pun mulai membawa angin perubahan dalam kehidupan masyarakat petani Jepang. Pengharapan tingkat hidup yang lebih baik dan cendrung mengarah sebagai pola kehidupan petani yang konsumtif pun mulai tumbuh di kalangan masyarakat petani setelah perang.

Selain itu, landreform tidak hanya membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah dan status kepemilikan tanah saja, tetapi memiliki dampak yang luas yang memiliki reaksi yang berantai dan bahkan menjalar keseluruh kehidupan masyarakat pertanian Jepang. Perubahan-perubahan yang tidak selalu


(12)

berdampak positif ini menyebabkan perubahan secara besar-besaran di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang itu sendiri. Banyaknya pengaruh Landreform bagi kehidupan petani Jepang yang disusul dengan perkembangan perekonomian setelah perang dunia II, telah membuka kemungkinan adanya perubahan-perubahan baru bagi kehidupan masyarakat petani Jepang. Di samping itu, perubahan-perubahan yang timbul di kehidupan petani pasca perang dunia II juga menimbulkan masalah-masalah baru bagi masyarakat petani Jepang itu sendiri, misalnya semakin tergantungnya pertanian Jepang dengan teknologi-teknologi pertanian modern, menurunnya daya tarik pemuda dalam pertanian, perubahan gaya hidup yang semakin konsumtif, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi alasan dan ketertarikan penulis dalam membahas penulisan skripsi yang berjudul

“Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II”.

1.2 Perumusan Masalah

Kehidupan para petani zaman sebelum perang di tandai dengan keadaan yang sangat tertekan dan penuh penderitaan. Hal ini di karenakan belenggu kaum feodalis dan harga sewa tanah yang tinggi yang telah ditetapkan oleh tuan tanah. Disamping itu, tuan tanah juga menjadi parasit melalui kekuasaannya dan mendapatkan keuntungan dari kerja keras petani-petani tersebut. Tuan tanah benar-benar menjadi raja atas tanah pertaniannya karena para petani tidak memiliki hak yang tetap dalam mengolah lahan pertaniannya sehingga hal ini membuat para petani yang mau tidak mau harus tunduk kepada mereka. Namun, sistem kepemilikan tanah seperti ini berubah setelah kekalahan Jepang pada saat perang dunia II. Sistem penguasaan tuan tanah atas kepemilikan tanah tersebut


(13)

menjadi musnah, disebabkan pemerintah Jepang telah mengganti sistem kepemilikan tanah sebelum perang dengan sistem yang disebut dengan “land reform” (perombakan tanah).

Landreform tidak hanya mengubah struktur pertanian dan sistem pemilikan tanah masyarakat pedesaan Jepang saja, tetapi memiliki reaksi yang berantai pula, bahkan menjalar keseluruh kehidupan sosial-budaya masyarakat pedesaan Jepang. Perubahan pada kehidupan masyarakat petani Jepang ini menjadi menarik untuk dibahas karena tidak semua perubahan hidup dalam masyarakat pertanian itu selalu kearah yang lebih baik, misalnya semakin tergantungnya pertanian Jepang dengan teknologi-teknologi pertanian modern, tidak tertariknya orang-orang muda pada pertanian, gaya hidup yang konsumtif, dan sebagainya. Oleh karena itu, perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat petani dari masa sebelum, sampai sesudah perang dunia II menimbulkan masalah-masalah baru bagi masyarakat pertanian itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam bentuk pertanyaan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut; 1. Bagaimana kehidupan masyarakat petani Jepang sebelum dan setelah Perang Dunia II ?

2. Perubahan seperti apakah yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang setelah Perang Dunia II ?


(14)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada perubahan kehidupan masyarakat petani Jepang setelah Perang Dunia II seperti, perubahan kebijakan pemerintah, perubahan dalam teknik pertanian, perubahan pendapatan dan perubahan gaya hidup petani Jepang. Selain itu, untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan menjelaskan tentang sejarah awal pertanian Jepang, pertanian dan petani Jepang sebelum dan sesudah perang dunia II, serta keterkaitan landreform dalam mengubah kehidupan-kehidupan masyarakat petani Jepang pasca Perang Dunia II sampai tahun 1980.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

a. Tinjauan Pustaka

Dalam bahasa Inggris masyarakat adalah society yang pengertiannya mencakup interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan. Istilah masyarakat disebut pula sistem sosial. Untuk pemahaman lebih luas tentang pengertian masyarakat sebaiknya kita kemukakan beberapa definisi masyarakat menurut para pakar sebagai berikut:

1. Selo Soemardjan. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

2. J.L. Gilin dan J.P. Gilin. Masyarakat adalah kelompok yang tersebar dengan perasaan persatuan yang sama.

3. Max Weber. Masyarakat sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.


(15)

4. Emile Durkheim. masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya

Setiap masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan sosial pasti terdapat di setiap masyarakat karena tidak ada satu pun masyarakat yang bersifat statis. Menurut Mulyati dkk (2007:3) bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dapat diketahui dengan membandingkan keadaan masyarakat pada masyarakat sekarang dengan keadaan pada masa lampau.

Perubahan yang terjadi di masyarakat dapat berupa perubahan nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan sebagainya. Adapun pengertian perubahan sosial menurut beberapa para ahli ialah sebagai berikut:

1. Kingsley Davis. Perubahan sosial ialah perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat

2. Selo Soemarjan. Perubahan sosial ialah segala perubahan pada lembaga-

lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalam nilai-nilai, sikap, dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

3. Mac Iver. Perubahan sosial ialah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan sosial tersebut. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat di simpulkan bahwa perubahan sosial ialah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial dalam kehidupan masyarakat,


(16)

nilai dan norma di dalam masyarakat (Mulyati dkk, 2007:3-4).

Menurut Mulyati dkk (2007:7-8), ada 5 faktor yang mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu;

1. Faktor geografis. Lingkungan fisik dapat mempengaruhi penduduk untuk mudah atau sulit mengalami perubahan.

2. Faktor teknologi. Penemuan-penemuan teknologi telah mengakibatkan perubahan sosial yang sangat luas dalam masyarakat baik yang berdampak positif maupun negatif.

3. Faktor ideologi. Ideologi dasar yang terdiri dari keyakinan dan nilai-nilai yang bersifat kompleks yang terdapat pada setiap masyarakat.

4. Faktor kepemimpinan. Perubahan-perubahan sosial sering kali di pelopori oleh pemimpin yang mampu menarik pengikut-pengikut dalam jumlah besar. 5. Faktor penduduk. Peningkatan dan penurunan jumlah penduduk secara radikal dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial.

Berdasarkan tempat tinggal pada umumnya masyarakat dikelompokkan menjadi masyarakat desa dan masyarakat kota. Pada umumnya masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat petani, karena sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, atau dengan kata lain kehidupan masyarakatnya sebagian besar bersumber dari kegiatan pertanian (Soeroso, 2008:112).

Masyarakat pedesaaan (tradisional) pada umumnya memiliki lahan pertanian yang sempit dan sangat tergantung dengan alam. Hasil pertanian sebagian besar hanya untuk konsumsi sendiri sedangkan sisanya di jual untuk keperluan lainnya. Pada masyarakat ini, juga dikenal dengan tuan tanah, petani,


(17)

dan buruh tani. Tuan tanah adalah pemilik tanah pertanian tersebut. Petani adalah mereka yang memanfaatkan tanah pertanian tersebut dan buruh tani adalah mereka yang di pekerjakan untuk mengolah pertanian tersebut (Maryati dan Suryawati, 2004:83).

b. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Tidak mungkin melakukan penelitian tanpa teori dan tidak mungkin mengembangkan suatu teori tanpa penelitian. Untuk itu diperlukan teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitan tersebut akan disoroti (Nawawi,2001:39-40).

Teori juga diperlukan sebagai landasan dalam melihat suatu fenomena. Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dan membantu dalam memberikan makna terhadap data. Teori merupakan suatu kumpulan konstruk atau konsep, definisi dan proposisi yang menggambarkan fenomena secara sistematis melalui penentuan antara variabel dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena alam Kerlinger dalam Erlina (2011:34).

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan sejarah (historis). Di dalam pendekatan sejarah, kita dapat melakukan penguraian data-data yang diperoleh secara kronologis. Pendekatan sejarah adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis (Soejono,1999:43).


(18)

Dari pendekatan sejarah, penulis bermaksud untuk menganalisa masalah yang diangkat dalam skripsi ini dengan melihat urutan sejarah masyarakat petani Jepang pada masa sebelum dan sesudah perang serta perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang setelah perang dunia II.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan diatas maka, tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat petani Jepang sebelum dan sestelah Perang Dunia II.

2. Untuk memberi gambaran tentang perubahan yang telah terjadi di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang setelah Perang Dunia II.

b. Manfaat Penelitian

Penulis dalam melakukan penelitian terhadap “Perubahan Kehidupan Masyarakat petani Jepang setelah Perang dunia II”, memiliki tujuan yaitu:

1. Untuk menambah wawasan tentang kehidupan masyarakat petani Jepang sebelum dan setelah Perang Dunia II.

2. Untuk menambah wawasan tentang beberapa perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang setelah Perang Dunia II.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara pelaksanaan penelitian. Dalam melakukan penelitian sangat membutuhkan metode penelitian, yang di pergunakan sebagai salah satu bahan penunjang dalam penulisan. Dalam penyelesaian skripsi ini, metode pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode


(19)

deskriptif ialah prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat ini berdasarkan fakta atau data-data yang tampak atau sebagaimana adanya Nawawi dalam Soejono dan Abdurrahman (1999:23).

Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakbeta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian deskriptif membantu peneliti untuk menjelaskan karakteristik subjek yang diteliti, mengkaji berbagai aspek dalam fenomena tertentu, dan menawarkan ide masalah untuk pengujian atau penelitian lanjutannya Sekaran dalam Erlina (2011:20).

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Menurut Whitney dalam Nazir (1999:63) pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang digunakan untuk mencari fakta dengan interpretasi yang tepat. Sedangkan metode yang kedua adalah metode studi kepustakaan (library research). Kegiatan ini sangat diperlukan dalam kegiatan penelitian, dan dianggap dalam bentuk suatu survei terhadap data yang telah ada, tanpa memandang jenis metode penelitian yang dipilih. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir,1999:111).


(20)

Studi Kepustakaan mengadakan penelitian dengan cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Untuk menunjang penelitian ini, maka penulis juga menambah referensi dari internet.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM PADA MASYARAKAT PETANI JEPANG SEBELUM PERANG DUNIA II

2.1 Sejarah Awal Pertanian Jepang

Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang berada di sebelah timur benua Asia. Di Jepang terdapat 4 pulau besar serta ribuan pulau kecil. Bentuk geografis Jepang memanjang dari utara ke selatan kira 3800 kilometer. Luasnya kira-kira 370.000 kilometer persegi. Pulau-pulau besar itu antara lain : Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu.

Kepulauan Jepang 75% wilayahnya terdiri dari pegunungan, dan 25% terdiri dari daratan. Pegunungan Jepang memanjang di seluruh kepulauannya, berupa bukit-bukit yang tertutup hutan dan di antaranya ada lembah-lembah sempit yang dapat digunakan untuk pertanian. Porsi lahan pertanian Jepang hanya 25% dari total wilayahnya yang sebagian besar berupa pegunungan dan hanya 12% dari luas daratan di Jepang yang bisa dipergunakan untuk pertanian

(6/9/2013).

Sedikitnya/kecilnya wilayah yang dimiliki Jepang tersebut tidaklah menjadi penghalang, tetapi keadaan ini justru memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Jepang. Meskipun wilayah Jepang sangat sempit dan memiliki tanah yang tidak terlalu subur, hanya dengan dengan curah hujan yang berlimpah, kerja keras yang tak terbatas dan keterampilan pertanian yang tinggi berhasil membuat negara Jepang menjadi negara yang produktif. Selain itu, karena di latarbelakangi dengan sumber daya alam yang miskin dan wilayah sempit inilah,


(22)

membuat masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang memiliki pola fikir untuk selalu “berkreasi dan menciptakan” di segala bidang.

Sejarah Jepang dimulai dari periode zaman yang di tandai oleh pembuatan pot dan kuali serta dilanjutkan oleh periode tahun 300 SM yang di tandai dengan adanya lompatan budaya yang memperkenalkan sistem pertanian dan peralatan pertanian dari logam. Pertanian, terutama penanaman padi dan teknik pengolahan logam, masuk dari daratan China sekitar 300 SM yang dibawa oleh bangsa Kan (pendatang dari Tairiku). Bangsa Kan membawa kebudayaan pertanian ke Jepang dan mereka datang dalam jumlah yang sangat besar sehingga cukup mendominasi bangsa yang sudah duluan ada di Jepang waktu itu (Mongoloid, Melayupolinesia, Ainu). Oleh karena itu dapat di simpulkan bahwa nenekmoyang bangsa Jepang merupakan perpaduan antara pendatang dari Tairiku (Kan) dan bangsa yang sudah duluan berada di Jepang Ienaga, Kitazima dalam Situmorang (2009:9).

Berdasarkan peninggalan–peninggalan benda purbakala periode tahun 300 SM – 300 M disebut dengan periode Yayoi. Hal ini dikarenakan peninggalan benda purbakala ini pertama kali ditemukan di Yayoicho ( 弥生町 ) di Tokyo sekarang dan situs peninggalan sejarah tersebut dinamakan Yayoishikidoki Toyoda dalam Situmorang (2009:8). Pada zaman Yayoi masyarakat sudah tinggal di dataran rendah karena mereka sudah mengolah sawah, serta ditemukan juga bekas rumah takayukashiki (rumah panggung). Rumah panggung dibuat sesuai dengan kebutuhan hidup untuk dapat menyimpan padi dalam waktu yang cukup lama. Dengan dikenalnya kebudayaan pertanian pada zaman ini, mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola-pola kehidupan di dalam masyarakatnya.


(23)

Pada masyarakat berburu seperti pada zaman Jomon, masyarakat tidak dapat hidup berkelompok terlalu besar karena akan mengalami kesulitan dalam memenuhi nafkah. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat petani, yang membutuhkan jumlah orang yang banyak untuk memenuhi tenaga kerja. Karena pertanian dapat menjamin pendapatan yang tetap, sehingga memungkinkan masyarakatnya untuk tinggal bersama dalam jumlah yang lebih besar daripada masyarakat berburu. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan lahirnya suatu sistem strata sosial yang tidak dikenal di dalam masyarakat berburu (Jomon). Perkembangan ini melahirkan adanya orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan orang yang tidak berkuasa. Kemudian melahirkan adanya status Tuan atau Raja dan di pihak lain melahirkan status pekerja/budak. Oleh sebab itu pada zaman Yayoi ini dikenal sebagai zaman awal lahirnya masyarakat petani dan lahirnya sistem strata sosial di Jepang.

2.1.2 Sejarah Awal lahirnya Feodalisme Jepang

Sejak pemerintahan militer berdiri di Jepang, yaitu pada masa Kamakura, babak baru sejarah Jepang yang disebut zaman feodalisme di mulai. Masyarakat feodal lahir bersamaan dengan lahirnya Shoenseido (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan kaisar. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah yang disebut Vazal/Kizoku (keluarga bangsawan).

Setiap Kizoku wajib membayar upeti ke pemimpinnya. Dan pola hubungan seperti ini tidak berhenti hanya dua tingkat saja, tetapi setiap Kizoku juga menjadi


(24)

pemimpin bagi Kizoku-Kizoku yang lain (http://tuandiktator.wordpress.com /2008/06/12/perkembangan-masyarakat-feodal-zaman-edo/) (5/9/2013). Dalam Shoenseido ini, sering terjadi masalah batas wilayah antara satu Kizoku dengan Kizoku yang lainnya. Oleh karena itu Kizoku tersebut harus membuat sistem pertahanan sendiri sehingga melahirkan Samurai/Bushi di Jepang. Dalam perkembangan berikutnya ketergantungan para Kizoku terhadap Samurai ini pun semakin erat hubungannya, sehingga peranan Samurai menjadi semakin kuat.

Pasca Perang Gempei merupakan era baru menuju masyarakat feodalisme awal yang dipelopori oleh Minamoto Yoritomo dari klan Genji sebagai pihak pemenang. Setelah kemenangan ini, Yoritomo pun segera meminta kepada kaisar agar diangkat menjadi Shogun (Jenderal) pertama di Jepang (1185-1600).Inti dari sistem feodalisme awal ini adalah Shogun sebagai kepala pemerintahan, menguasai seluruh wilayah Jepang sedangkan Kaisar memiliki wilayahnya sendiri yang tidak dikuasai oleh Shogun. Dibawah kekuasaan Shogun tersebut ada tuan-tuan tanah yang memiliki petani sendiri. Jadi para tuan-tuan tanah menerima pajak dari petani sebagai pendapatan utama mereka, dimana pajak tersebut ditentukan oleh tuan tanahnya masing-masing. Kemudian tuan tanah membayar kepada Shogun, dan Shogun juga membayar sebagian untuk biaya hidup Kaisar Situmorang (2009:83).


(25)

2.1.3 Pembagian Kelas Masyarakat

Dalam kurun waktu 700 tahun, sampai akhir abad ke 16, feodalisme berkembang secara alami di Jepang, dan semakin berkembang dari satu wilayah ke wilayah lain. Maka dari itu, saat pemerintah mengambil kebijakan untuk menstratifikasi masyarakat secara jelas dan tegas yang di tujukan untuk menertibkan dan menyeragamkan tatanan sosial, kebijakan ini juga ditujukan sebagai antisipasai terhadap gekokujo yang sering muncul pada masa lalu. Gekokujo adalah penumbangan kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.

Seiring perkembangan pada sistem strata sosial dalam masyarakat Jepang ini telah melahirkan kesenjangan antara kelas-kelas sosial seperti: orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan orang yang tidak berkuasa, serta tuan tanah dan pekerja (buruh) sehingga terbentuk susunan-susunan kelas yang menandakan adanya tingkat sosial sebagai berikut:

a). Kuge adalah kelas masyarakat yang paling tinggi. Kelas ini terdiri para keturunan bangsawan. Tennou dan para bangsawan-bangsawan di istana masuk dalam kelas masyarakat ini.

b). Buke terdiri dari para Shogun, Daimyo dan keluarga-keluarganya. Merekalah kebijakan-kebijakan dalam kehidupan sosial, po lit ik dan ekono mi masyarakat.

c). Samurai, adalah prajurit yang menjadi pengikut setia para Daimyo dan Shogun. Selain melakukan pekerjaan militer, para Samurai juga melakukan pekerjaan administrasi dala m pemerintahan Shogun dan Daimyo. d). Hyakushou (petani), secara teoritis merupakan kelas yang berada langsung


(26)

di bawah Samurai dan di atas Chounin. Kelas ini pada prakteknya adalah

kelas yang paling tertindas. Kelas ini harus menjamin hidup golongan Kuge,

Buke dan Samurai. Petani pada zaman Edo juga tidak memiliki tanah

pertanian sendiri. Mereka hanya menggarap tanah dari tuan tanah, mereka juga harus hasil panennya secara berkala kepada para pemilik/tuan tanah. e). Chounin, kelas yang terdiri dari para pengrajin dan pedagang. Kelas pengrajin dan pedagang inilah yang menjdai kelas pertengahan dengan kehidupan paling makmur.

f). Eta, adalah kelas masyarakat yang tidak termasuk dalam kelas – kelas yang

telah ditetapkan. Kelas ini terdiri dari para penjagal, penggali kubur, penyamak kulit, dan lain–lain. Dalam tatanan masyarakat orang–orang yang masuk dalam

kelas masyarakat Eta benar–benar terasingkan. Bahkan beberapa Samurai dan

Daimyo akan merasa tercemar jika mereka memasuki perkampungan yang

banyak di huni oleh golongan orang–orang Eta.

Dari uraian beberapa kelas sosial yang ada dalam masyarakat Jepang,

meskipun petani berada dalam kelas yang berada langsung di bawah Samurai dan

di atas Chounin, namun kaum petani Jepang pada kenyataannya merupakan kelas

yang paling menderita dalam menanggung hidupnya. Mereka mendapat perlakuan yang tidak adil dari para penguasa negara, diantaranya dalam hal pembayaran pajak yang sangat tinggi. Kaum petani tidak mendapatkan penghargaan yang layak seperti kelas-kelas sosial lainnya. Padahal kaum petanilah yang menjadi “tulang punggung” para penguasa negara dan kelas-kelas sosial lainnya.


(27)

2.2 Pertanian dan Petani Jepang Sebelum Perang Dunia II

Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap jengkal tanah yang dapat dikerjakannya. Ciri hidup petani Jepang zaman sebelum perang dapat di gambarkan sebagai petani yang bekerja sepanjang hari, tetapi hasil pertaniannya hanya cukup sekedar menunjang hidupnya yang sangat sederhana. Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal (Nohonshugi). Nohonshugi menanamkan pada diri para petani yaitu suatu pandangan bahwa walaupun hidup sebagai petani itu berat dan penuh kesengsaraan tetapi pengorbanan petani tidaklah sia-sia karena pertanian merupakan ujung tombak dari negara dan masyarakat Jepang. Sebenarnya para petani sadar dan mengerti betapa tidak menguntungkannya pekerjaan sbagai petani, tetapi ideologi ini membantunya untuk bertahan. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang dengan tujuan membius para petani agar tidak menuntut atas perbaikan hidup mereka.

Sejak awal zaman Meiji sampai Perang Dunia II (1868-1912), lebih dari 80% penduduk adalah petani dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta keluarga petani Jepang. Jumlah petani sebagai pemilik tanah pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70% adalah lahan garapan yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Luas rata-rata lahan garapan yang di kerjakan pun tidak lebih dari 1 hektar. Apabila lahan hanya 1 hektar atau kurang, maka hampir tidak mungkin keluarga tani itu hidup hanya dari hasil pertanian lahan tersebut. Untuk itu, agar dapat bertahan hidup petani semacam itu terpaksa mencari pekerjaan lain di luar pertanian yang menghasilkan


(28)

pendapatan tunai. Sehingga, pada akhir masa sebelum perang lebih dari setengah keluarga petani mempunyai pekerjaan lain disamping usaha pertaniannya (Fukutake, 1989:2-3).

Ciri perorangan petani Jepang di bentuk dalam dunia kecil bersama adat-istiadat serta nilai-nilai untuk melayani mereka yang mengatur dunia desa, yaitu tuan tanah dan petani pemilik tanah. Hubungan tuan tanah dan penyewa (buruh tani) merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang sebelum perang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah–buruh tani ini adalah karena tanpa haknya buruh tani atas tanah yang dikerjakannya dan hak pemilik tanah yang tidak dapat di ganggu gugat. Dengan kata lain petani tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka.

Tuan tanah merupakan golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang sedangkan, para petani adalah sasaran penindasan dari mereka. Tuan tanah zaman Meiji tidak ikut serta menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui kekuasaannya dan mendapatkan keuntungan dari kerja keras para petani. Para tuan tanah juga tidak tertarik dalam hal penerapan teknologi baru di bidang pertanian karena mereka telah merasa beruntung memperoleh keuntungan dari menyewakan tanah dengan pajak yang tinggi kepada para petani penggarap/penyewa. Untuk itu, beban pajak yang tinggi ini telah menyebabkan banyak petani harus menerapkan hidup hemat yang ketat sehingga tidak mampu meningkatkan produktivitas mereka melalui mekanisasi.


(29)

Kerja keras merupakan cara hidup petani sebelum perang, namun betapapun ketat penghematan yang dilakukan, kondisi para petani sebelum perang tidak menjadi lebih baik. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk serta memperbaiki pembibitan tanaman. Meskipun luas lahan yang diolah tidak bertambah, tetapi apabila produktivitasnya naik maka tingkat hidup keluarga tani akan naik, sehingga antara tahun 1880-an sampai kira-kira tahun 1915, hasil panen padi (bahan makanan pokok) di Jepang naik sebesar 50%. Tetapi, di tahun-tahun berikutnya kenaikan produktivitas ini menjadi kurang berarti oleh turunya harga-harga hasil pertanian dan naiknya taraf hidup. Karena taraf hidup selalu meningkat, mereka terpaksa menanamkan lebih banyak tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun, tambahan kecil dari pendapatan peningkatan produktivitas, serta ketatnya upaya penghematan yang dilakukan para petani ini, sama sekali tidak berarti untuk dapat mengeluarkan mereka dari belenggu kemiskinan dan penindasan tuan tanah sebelum Perang Dunia II terjadi.

2.2.1 Kebijakan Pemerintah

Pada zaman Edo (feodalisme akhir), di bawah perintah Keshogunan Tokugawa (sistem pemerintahan daerah) merupakan pemerintahan diktator militer feodalisme yang pendiri awalnya adalah Ieyasu Tokugawa. Pada zaman ini, kaisar tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan. Di daerah juga ada 165 kepala wilayah, yang diberi otonomi oleh pemerintah Tokugawa untuk mengatur dalam wilayahnya. Daerah tidak membayar kepada pemerintah pusat, tetapi sistem feodal diatur sedemikian rupa sehingga harta terpusat ke tangan pedagang


(30)

terutama pedagang wilayah Edo, sehingga Tokugawa tidak sulit mengumpulkan dana apabila dibutuhkan Situmorang (2009:85).

Tepat pada tanggal 24 Maret 1603 Ieyasu Tokugawa diangkat sebagai Shogun pada zaman Edo. Untuk mempertahankan kekuasaannya Tokugawa membuat berbagai kebijakan. Diantaranya, Sakoku (menutup diri) yaitu kebijakan menutup diri dari luar negeri, dan Sankinkoutai yaitu kebijakan bahwa setiap Daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo. Oleh karena itu para Daimyo wajib tinggal selang 6 bulan di Edo dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kedaimyoannya. Akibat dari kebijakan Sankinkoutai tersebut, dimana untuk membiayai keluarga Daimyo yang tinggal di Edo dan untuk perjalanan para Bushi (Samurai) ke Edo ini telah memakan biaya yang tidak sedikit, sedangkan penghasilan utama yang dapat di harapkan adalah dari hasil pertanian (padi). Di tambah besarnya pajak pertanian zaman Edo yang mencapai 60% dari hasil panen sedangkan para petani hanya mendapat 40% dari hasil panennya ini semakin membuat para petani zaman Edo semakin terbebani.

Bagi petani juga ada peraturan yang dinamakan Katanagari dimana larangan memiliki senjata atau pedang agar tidak ada usaha destruktif yang berasal dari para petani. Selain itu, sistem kelas masyarakat pada zaman Edo di tandai dengan pengawasan yang sangat ketat. Dimana setiap kelas tidak diperbolehkan pindah ke kelas masyarakat lainnya. Oleh karena itu, karena berbagai peraturan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman ini adalah zaman yang penuh dengan ketenangan, tetapi rakyat pada zaman ini khususnya para petani sangatlah menderita Situmorang (2009:20).


(31)

Setelah Restorasi Meiji kekuasan pemerintahan dikembalikan kepada Kaisar. Restorasi Meiji menandai mulainya perubahan dari masyarakat feodal menuju ke masyarakat kapitalis. Ibukota Edo pun telah berubah menjadi Tokyo.

Zaman Meiji Jepang adalah satu masa pemerintahan Jepang dari tahun 1868 sampai dengan 1912 yang ditandai dengan perubahan besar-besaran di semua bidang kehidupan masyarakat. Upeti-upeti tahunan zaman feodal yang di wajibkan kepada petani sebagai pajak tanah berupa hasil panen pun telah diubah dengan pajak tanah berupa uang tunai. Tentu saja hal ini membuat para petani zaman Meiji dilanda oleh kemiskinan yang lebih parah lagi. Namun, perubahan paling utama adalah di bukanya kembali negara Jepang terhadap bangsa-bangsa asing sehingga, kaisar pun mulai meningkatkan ekonomi dan politik Jepang dengan cara mencari ilmu dari seluruh dunia. Di samping itu, pemerintahan Meiji ingin mengadakan pembaharuan dalam merubah Jepang dari negara pertanian menjadi negara industri. Oleh kerena itu, pada masa restorasi Meiji ini ditandai dengan menjelmanya Negara Jepang sebagai negara yang kuat dan modern.

Selain itu, atas dasar pemikiran Shimin byoudou (kesetaraan rakyat), pemerintah Meiji pun mulai menghapus golongan/sistem kelas yang ada pada masyarakat feodal. Penghapusan sistem kelas lapisan masyarakat Jepang ini ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat dalam meningkatkan statusnya, sehingga usaha-usaha untuk menaiki tangga sosial ini mendorong terjadinya perkembangan ekonomi Jepang.


(32)

2.2.2 Teknik Pertanian

Petani Jepang sebelum perang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia dan ternak, sedangkan mesin pertanian masih sangat sedikit jumlahnya. Pertanian yang dilaksanakan di Jepang sampai dengan masa Tokugawa adalah pertanian tradisional dengan produksi minim. Dalam pertanian tradisional, produksi pertanian dan konsumsi sama banyaknya dan hanya satu atau dua macam tanaman saja yang merupakan sumber pokok bahan makanan. Produksi dan produkivitas rendah karena hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana/tradisional. Penggunaan modal sangat sedikit sekali, sedangkan tanah dan tenaga kerja manusia merupakan faktor produksi yang dominan. Beban pajak yang tinggi serta ketatnya hidup hemat yang di lakukan oleh petani Jepang sebelum perang adalah alasan mereka untuk enggan mengadopsi teknologi mekanisasi di bidang pertanian. Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para petani ini bukanlah meningkatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk mempertahankan kehidupan keluarganya saja. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki tingkat hidupnya adalah dengan cara bekerja keras, meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui sistem teknologi mekanisasi.

Pada akhir 1920-an beberapa lahan pertanian pun telah mendapatkan mekanisasi, yang hanya terbatas dengan menggunakan mesin-mesin pemipil padi bertenaga kecil. Proses lainnya kecuali yang dapat dilakukan dengan bantuan kuda atau keledai, masih terbatas pada cara produksi yang dilakukan dengan tangan. Sehingga pada masa sebelum perang pertanian di nilai belum mampu keluar dari tahap perkembangan teknologi mekanisasi tersebut.


(33)

2.2.3 Pendapatan Petani

Pada tahun 1934-1936 petani pemilik tanah rata-rata menggunakan 49% pendapatannya untuk bahan pangan, petani penggarap menggunakan 52%, sedangkan buruh tani 57%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata sebagian besar petani sebelum perang, telah menggunakan separuh dari pendapatannya untuk membeli bahan pangan. Konsumsi untuk hal-hal yang tidak mendukung keperluan hidup fisiknya dianggap tidak penting. Mereka juga sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang sangat ketat karena sebagian besar para petani sebelum perang sangat menggantungkan pendapatannya hanya dari pertanian dan hanya 31% keluarga tani saja yang mempunyai sebagian kecil pendapatannya di luar pertanian.

Beberapa tahun sebelum perang dunia, dalam tahun 1926 dan 1927 Biro Statistik Kabinet membuat survei pendapatan dan menunjukkan bahwa pada umumnya kemiskinan merata pada semua desa di Jepang pada waktu itu. Keluarga petani rata-rata berpendapatan 70% bagian dari penghasilan karyawan kantor dan 90% dari pendapatan buruh pabrik yang tidak diberi upah wajar. Keluarga petani adalah faktor yang membuat pendapatan per kapitanya menjadi kecil. Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga buruh pabrik, maka perbandingan penghasilan per kapita keluarga petani menjadi lebih rendah.

2.2.4 Gaya Hidup Petani

Sebelum Perang Dunia II sangatlah mudah membedakan anak desa dengan anak kota hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya saja. Hal ini


(34)

menunjukkan bahwa masyarakat desa/petani sangat identik dengan kemiskinan. Hidup sederhana, kerja keras dan kesenjangan dalam gaya hidup merupakan akibat dari sistem stratifikasi sosial. Petani sebelum Perang Dunia II sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang ketat namun, begitu keras upaya penghematan yang telah dilakukan para petani ini tidak dapat mengubah kondisi kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Sikap hidup hemat sebagai keutamaan tertinggi ini telah membatasi petani dalam berbagai hal. Gaya hidup pada kebiasaan makan, khususnya pada bumbu-bumbu hanya terbatas pada kecap dan tauco saja dan cara memasaknya pun dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan tungku tanah serta bambu sebagai alat untuk memperbesar api. Sedangkan untuk mencari sumber air, mereka biasanya menggunakan ember demi ember melalui jalan yang sulit ditempuh dari sumur ke dapur. Pada bidang rekreasi sebelum perang, biasanya hanya terbatas pada tarian rakyat dalam pesta tahunan Bon dan perayaan Shinto yang relatif sering diadakan.

Di desa, tuan tanah dan para petani, mempunyai gaya hidup masing-masing yang bertahan sampai akhir Perang Dunia II. Apabila tuan tanah membeli barang-barang rumah tangga seperti, radio, televisi, mesin cuci dan lemari es, para petani penggarap menganggap bahwa tuan tanah sudah selayaknya memiliki barang-barang mewah tersebut. Petani berstatus pemilik mungkin dapat membeli barang-barang seperti itu namun, bagi petani penggarap/penyewa sebagai petani tingkat paling rendah, pembelian barang-barang mewah seperti itu sama sekali di luar batas impiannya. Keadaan ini terus berlangsung dan tidak ada perubahan yang berarti sampai mereka menunggu sistem tuan tanah itu benar-benar hancur, yang baru terjadi sesudah Perang Dunia II dan adanya land reform.


(35)

BAB III

PERUBAHAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI JEPANG SETELAH PERANG DUNIA II

3.1 Pertanian dan Petani Jepang Setelah Perang Dunia II

Sejak awal zaman Meiji sampai Perang Dunia II (1868-1912), lebih dari 80% penduduk adalah petani dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta keluarga Jepang. Sebagian besar lahan pertanian adalah lahan garapan yang disewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Tuan tanah merupakan golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang. Para petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah karena mereka tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah. Namun, situasi berubah dan berkembang setelah perang terjadi, sistem tuan tanah seperti ini pun mulai dihapus setelah adanya landreform (perombakan tanah) yang dilakukan pemerintah setelah Perang Dunia II.

Pada akhir Perang Dunia II, Jepang mengalami kekalahannya dan negara itu di duduki oleh tentara Amerika Serikat. Pada masa pendudukan inilah perubahan terjadi secara besar-besaran dalam masyarakat pertanian Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah pendudukan pada waktu itu dalam usaha mereka membangun daerah pertanian Jepang ialah melaksanakan landreform (perombakan tanah) secara besar-besaran. Landreform adalah perombakan tanah dimana pemerintah membeli semua tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah dan kelebihan tanah yang dimiliki oleh tuan tanah yang tinggal di daerah pedesaan, kemudian menjual tanah tersebut kepada para petani penyewa dengan harga yang murah.


(36)

Sebelum Perang Dunia II, jumlah petani sebagai pemilik tanah pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70% adalah lahan garapan yang disewa dari tuan tanah. Karena sebagian besar lahan disewa dari tuan tanah dengan pajak yang tinggi, membuat para petani tidak mempunyai banyak dorongan untuk meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, waktu untuk menggarap sawah yang tidak menentu, membuat para buruh tani tidak tertarik untuk bekerja keras karena tuan tanah sewaktu-waktu dapat mencabut hak penggarapan atas mereka. Namun, setelah perang usai keadaan ini pun mengalami perubahan. Landreform yang menghapus sistem tuan tanah telah berhasil menambah status buruh petani/petani penyewa menjadi petani pemilik tanah yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun-ketahun setelah Perang Dunia II terjadi.

Tentu saja hal ini menunjukkan adanya perubahan pada status kepemilikkan tanah. Setelah landreform, petani pemilik tanah kini semakin bertambah sedangkan status petani penyewa semakin berkurang dari tahun- ketahun. Menurut data yang ada, petani pemilik tanah dalam tahun 1946 hanya berjumlah sedikit lebih dari 30% dari jumlah seluruh petani, tetapi dalam 4 tahun kemudian jumlahnya menjadi 61,9%, dan pada tahun 1975 menjadi 84,1% dari jumlah seluruh petani. Petani penyewa/menggarap tanah orang lain hampir 30% pada tahun 1946 juga menurun pada tahun 1975 menjadi 1,1% (Fukutake, 1989:7). Sebelum Perang Dunia II dan landreform terjadi, panen sebesar 3.000kg tiap hektar sudah dianggap tinggi, tetapi pada tahun 1950 hasil panen sebesar itu pun menjadi biasa. Sesudah landreform, hasil panen padi yang menjadi makanan pokok bangsa Jepang ini pun terus mengalami peningkatan dan pada tahun 1975 hasil panen tersebut meningkat menjadi 4.500kg per hektar. Peningkatan ini


(37)

disebabkan landreform 1946 yang secara tidak langsung telah memberikan dorongan dan perubahan ke arah produktivitas yang lebih tinggi. Karena kalau petani memiliki tanahnya sendiri, otomatis akan mendorong para petani tersebut untuk meningkatkan produktivitasnya.

Kenaikan produktivitas ini sangat erat hubungannya dengan kemajuan ekonomi dan industri Jepang. Adanya kenaikan produktivitas sektor pertanian ini, berarti tersedianya cukup bahan makanan bagi rakyat Jepang, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi serta membangun kembali perindustrian Jepang yang telah hancur pasca Perang Dunia II. Sehingga pada tahun 1955, perekonomian dan industri Jepang pun mulai menunjukkan perkembangan yang sangat cepat.

Petani sebelum perang juga diidentikkan dengan masyarakat yang miskin serta terikat dengan ideologi-ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodal (nohonshugi) yang bertujuan agar para petani tidak menuntut atas perbaikan hidupnya. Namun setelah Perang Dunia II usai, di samping membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah, landreform yang dibuat oleh pemerintah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang (nohonshugi) masa sebelum perang. Pudarnya ideologi ini menyebabkan sikap nrimo di kalangan petani menjadi hilang. Runtuhnya sistem kelas dan ideologi feodalisme sangat cepat mendorong pemikiran menuju “kehidupan yang lebih baik” pada semua tingkatan petani. para petani kini tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup yang mengharuskan mereka untuk hidup sederhana. Pola hidup yang bersifat konsumtif pun mulai tumbuh seiring perkembangan waktu. Seluruh masyarakat petani Jepang mulai


(38)

menginginkan standar kehidupan yang lebih baik serta keinginan untuk menikmati kemudahan-kemudahan yang dahulu hanya dimiliki oleh golongan atas (tuan tanah) pun mulai berkembang. Selain itu, lunturnya ideologi ini juga merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih menguntungkan. Kesediaan mencoba apa saja untuk memperbaiki pekerjaan sendiri maupun pekerjaan keluarganya dalam bentuk gaji, dan teknologi pertanian ke arah modernisasi pun mulai berkembang. Ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi petani sebelum perang. Beban sewa yang tinggi dan belenggu ideologi kaum feodalis tersebut menyebabkan para petani untuk selalu menerapkan sikap hidup hemat yang luar biasa demi kelangsungan hidupnya, sehingga sikap hidup hemat ini sangat membatasi mereka dalam berbagai hal. Sehingga hal ini berdampak pada ketidaktertarikannya para petani untuk mengembangkan pertanian ke arah mekanisasi dan modernisasi.

3.1.1 Perubahan Kebijakan Pemerintah

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyebabkan negara ini kehilangan kedaulatannya dan dikuasai oleh Sekutu. Berdasarkan isi dari Deklarasi Potsdam, Sekutu sebagai pihak pemenang dalam Perang Dunia II mempunyai hak untuk menduduki Jepang. Dengan penerimaan Deklarasi Potsdam oleh pemerintah Jepang tersebut, maka dimulailah masa pendudukan Sekutu di Jepang. Masa pendudukan Sekutu di Jepang berlangsung kurang lebih selama tujuh tahun yang dimulai dari tahun 1945 dan berakhir sampai tahun 1952.


(39)

Selama masa pendudukan tersebut Jepang harus melaksanakan kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah pendudukan (Sekutu).

Kekuasaan tertinggi pemerintah pendudukan Sekutu di Jepang terletak pada Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu Supreme Commander of the Allied Power (SCAP). Pemimpin SCAP dijabat oleh seorang jenderal dari Amerika Serikat yang bernama Douglas MacArthur. Tugas utama dari SCAP adalah menjadi pengantara antara pemerintah Amerika Serikat dengan pemerintah Jepang. SCAP memberikan instruksi kepada pemerintah Jepang untuk melaksanakan kebijakan yang disampaikan oleh Amerika Serikat. Walaupun pendudukan terhadap Jepang mengatasnamakan Sekutu, dalam kenyataannya garis besar dan arah kebijakannya di Jepang lebih didominasi dan ditentukan oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, peran Amerika Serikat sangat dominan dalam mereformasi dan mengatur Jepang sesuai dengan kebijakan dan kepentingan Amerika Serikat.

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II memunculkan banyak masalah dalam bidang sosial dan ekonomi di dalam negeri Jepang. Selama masa perang, kota-kota yang penting bagi Jepang seperti Tokyo, Osaka, Nagoya, Kobe, dan Yokohama diserang oleh pasukan Sekutu melalui serangan udara. Penyerangan pasukan Sekutu tersebut bukan hanya menghancurkan fasilitas penting untuk transportasi di Jepang seperti bandara, pelabuhan, jalan raya, rel kereta api tetapi juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur seperti pemukiman penduduk, gedung-gedung dan pabrik. Serangan udara tersebut menghancurkan hampir sebagian besar fasilitas dan infrastruktur yang terdapat di dalam negeri. Kehancuran tersebut memunculkan masalah sosial karena banyak orang yang kehilangan tempat tinggalnya. Selain itu di bidang ekonomi karena pabrik-pabrik


(40)

juga hancur, maka kegiatan produksi menjadi terhenti. Hal itu membuat banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga menambah jumlah pengangguran. Jepang juga mengalami kekurangan persediaan makanan bagi rakyatnya karena terjadi gagal panen dan produksi pangan mengalami penurunan setelah perang berakhir. Hubungan perdagangan dengan negara asing dan daerah koloni Jepang juga menjadi terputus. Selain itu Jepang sebagai negara yang kalah harus membayar ganti rugi perang dan kehilangan daerah koloninya di luar negeri seperti Manchuria, Korea dan lain-lain.

Untuk membangun kembali industri Jepang yang telah hancur karena bom serta membangun kembali perekonomiannya adalah dengan cara jaminan pengadaan pangan yang terkendali melalui terjaminnya pengadaan beras yang murah. Keharusan pengadaan beras ini dapat dijamin dengan cara meringankan beban sewa tanah buruh tani. Oleh karena itu, pemerintah menyadari bahwa pemilikan tanah sangatlah diperluka n. Perubahan-perubahan kebijakan pemerintah setelah perang ini sangat berpengaruh besar terhadap stabilitas ekonomi, sosial, dan politik masyarakat pertanian Jepang sesudah perang.

Pada bulan Desember 1945, hanya beberapa bulan setelah menyerah kalah perang, sebuah rencana undang-undang telah diajukan kepada parlemen yang berisi Hukum Perubahan Tanah Agraria. Rencana undang-undang ini secara umum dikenal dengan landreform yang pertama, yang berisi peraturan baru bahwa tuan tanah hanya boleh memiliki sebanyak-banyyaknya 5 hektar tanah pertanian, dan merencanakan peralihan pemilikan tanah atas 40% lahan buruh tani dalam jangka waktu 5 tahun. Tetapi SCAP dalam “Memorandum atas Land reform” menyarankan pemerintah Jepang untuk bertindak lebih jauh dan


(41)

menghentikan tata ekonomi yang memperbudak petani Jepang selama berabad-abad perbudakan feodal. Hukum pertama diundangkan, tetapi SCAP menunda berlakunya dan menyarankan pemerintah untuk melaksanakan landreform yang lebih mendasar. Tindakan ini meletakkan kerangka dasar bagi perubahan kedua yang dimulai pada tahun berikutnya (1946). Paket undang-undang baru itu memungkinkan negara untuk membeli tanah yang tidak dimiliki oleh tuan tanah setempat, dan membeli semua tanah sewa yang lebih luas dari 1 hektar yang dimiliki oleh petani setempat. Kemudian, tanah yang di beli pemerintah itu di jual kembali dengan harga yang murah kepada para buruh tani. Peraturan baru itu juga mengalami perubahan agar melarang pembayaran sewa dalam bentuk bukan uang, jadi semua sewa harus dibayar dengan uang tunai, dan harganya dikendalikan untuk menghindari tarif sewa yang terlalu tinggi. Kondisi ini sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan kebijakan pemerintahan sebelum perang khususnya pada Zaman Edo yang menetapkan pajak pertanian sebesar 60% dari hasil panen sedangkan petani hanya mendapat 40% nya saja.

Sebelum perang, sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah. Sedikitnya jumlah petani pemilik tanah dan banyaknya jumlah petani penyewa tanah menyebabkan hubungan tuan tanah dan penyewa (buruh tani) merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang zaman sebelum perang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah – buruh tani ini karena buruh tani tidak mempunyai hak atas tanah yang dikerjakannya dan hak pemilik tanah yang tidak dapat diganggu gugat, dengan kata lain petani tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka. Namun, setelah perang usai, perubahan


(42)

kebijakan yang dilakukan pemerintah atas status kepemilikan tanah (landreform) ini perlahan-lahan telah menghapus hubungan feodal antara tuan tanah dengan petani penyewa tanah (buruh tani) dan landreform juga berhasil membuat para petani penyewa/penggarap berkesempatan untuk memiliki tanah pertaniannya sendiri.

Selain itu, untuk melindungi petani dari “serangan” produk impor, pemerintah juga menetapkan harga jual produk impor yang tidak boleh lebih murah daripada produk lokal. Pengimpor boleh menjual barangnya di bawah harga produk lokal, dengan syarat selisih harga harus disetor ke pemerintah. Sebagai ilustrasi, seandainya importir menjual beras impor 1.000/kg, sementara harga beras lokal 1.200/kg, maka importir harus menyetor ke pemerintah sebesar 200. Kebijakan ini sangat membantu petani, karena harga jual produknya dapat bersaing dengan produk impor

3.1.2 Perubahan dalam Teknik Pertanian

Landreform sesudah perang yang dilaksanakan pada masa pendudukan membuka kemungkinan-kemungkinan baru ke arah pembangunan pertanian. Perubahan akibat landreform tersebut memberikan dorongan sehingga para petani dirangsang untuk mempelajari teknologi baru dalam bidang pertanian. Kemajuan yang dicapai dalam penggunaan dan pengembangan teknologi pertanian mendorong peningkatan produksi hasil panen khusunya bahan makanan pokok. Peningkatan hasil panen ini sangat erat kaitannya dengan mekanisasi.


(43)

Sebelum perang, sikap hidup hemat sebagai keutamaan tertinggi telah membatasi para petani dalam berbagai hal. Sebagian besar para petani tidak tertarik untuk menerapkan sistem mekanisasi di bidang pertanian karena beban sewa tanah yang sangat tinggi. Sebelum perang, pertanian Jepang yang dilaksanakan sampai masa Tokugawa adalah pertanian tradisional. Selain itu, petani sebelum perang sangat bergantung kepada tenaga kerja manusia dan ternak, sedangkan jumlah mesin-mesin pertanian khususnya mesin penyebar benih masih sangat sedikit jumlahnya. Beberapa lahan telah mendapatkan mekanisasi sejak akhir 1920-an, tetapi penggunaan mesin penyebar benih terus meningkat dari tahun-tahun berikutnya.

Pada tahun 1950, penggunaan mesin bertenaga kecil dengan bahan bakar bensin semakin luas dipergunakan. Menurut data yang ada pada tahun 1960-an, ada 500.000 mesin digunakan di dalam pertanian Jepang dan pada tahun 1978 jumlahnya telah meningkat lagi menjadi 3.300.000 buah mesin. Pada tahun 1965, para petani mulai menggunakan mesin pertanian yang lebih besar. Mereka telah menggunakan 25.000 buah traktor-traktor dengan pengemudi dan pada tahun 1980 an jumlahnya meningkat menjadi 650.000 buah mesin.

Pada tahun 1965 mesin panen belum ada, tetapi pada tahun 1970 mesin-mesin panen telah dipergunakan sebanyak 45.000 buah dan meningkat pada tahun 1975 menjadi 340.000 buah mesin. Pada tahun 1970 juga terdapat mesin penanam yang jumlahnya 30.000 buah mesin dan pada tahun 1975 mengalami peningkatan sebanyak 740.000 buah mesin. Namun, meluasnya penggunaan mesin-mesin pertanian beserta peningkatan produktivitasnya telah membawa dampak luas pada


(44)

pertanian Jepang itu sendiri, sehingga didalamnya juga terdapat masalah-masalah baru yang sulit untuk dipecahkan (Fukutake, 1989:9).

Perkembangan pertanian di masa sesudah perang, ditandai dengan penyebaran mesin sedangkan, pertanian Jepang pada saat itu sedang dalam keadaan “pengobatan”, sehingga masalah-masalah seperti ini masih jauh dapat dipecahkan. Mekanisasi berdasarkan mesin bertenaga kecil dapat menguntungkan pada pertanian kecil di Jepang, namun modal untuk itu masih terlalu besar untuk petani perorangan. Seiring perkembangan bangsa Jepang ke arah mekanisasi yang lebih maju, mengakibatkan pemborosan di bidang pertanian pun menjadi lebih besar, sedangkan masalah mesin bertenaga kecil terdahulu masih belum terpecahkan.

Pada perkembangan awal mekanisasi pertanian yang masih sederhana, yaitu dengan mesin-mesin pembibitan, petani-petani Jepang telah mempergunakan lebih banyak energi untuk mengolah tiap meter persegi tanah apabila dibandingkan dengan petani mana pun di dunia. Hal ini disebabkan karena tanah pertanian Jepang yang sangat sempit yang tidak sebanding dengan perkembangan mesin-mesin mekanisasi yang masuk ke pertanian Jepang.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana meneruskan mekanisasi tanpa beban penanaman modal yang berat sehingga hal ini membuat krisis bagi para petani Jepang. Dengan kata lain, petani Jepang telah mampu meningkatkan pendapatannya dengan hasil panen yang lebih besar melalui sistem mekanisasi, tetapi harga pupuk, obat hama, dan bibit selalu naik. Beban finansial para petani juga semakin besar dikarenakan adanya penambahan biaya sebagai modal dan perawatan mesin-mesin pertanian. Tingkat hidup mereka telah meningkat jauh


(45)

lebih cepat dibandingkan pada masa sebelum perang namun, naiknya harga pupuk dan bibit dan ditambah besarnya modal dan biaya operasional mesin pertanian tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka hasilkan selama ini, sehingga hal ini dapat menyebabkan krisis ekonomi bagi para petani. Selain itu dapat disimpulkan bahwa pertanian tidak dapat memberikan sumber pendapatan yang cukup bagi sebagian besar petani Jepang untuk mempertahankan atau meningkatkan taraf hidupnya, sehingga sebagian besar petani mencari tambahan pendapatan pada pekerjaan di sektor lain.

Selama masa pertumbuhan yang cepat dalam tahun 1960-an, kesenjangan antara apa yang di hasilkan pertanian dengan kenaikan taraf hidup di Jepang semakin besar. Perjuangan yang selama ini mereka tempuh telah mengecilkan hati sebagian besar para petani. Mereka menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani masih mengkhawatirkan untuk masa depan. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya petani, khususnya para pemuda yang menyerah dan berputus asa atas pertanian sehingga, sebagian besar dari mereka banyak yang berpindah ke kota untuk beralih ke pekerjaan bidang nonpertanian.

3.1.3 Perubahan Pendapatan Petani

Sekitar tahun 1955 ekonomi berganti arah dan beralih dari penyembuhan ke pertumbuhan. Pertumbuhan pesat ini adalah akibat langsung kemajuan industri manufaktur perkotaan. Karena ada anggapan bahwa pekerjaan sebagai petani masih mengkhawatirkan untuk masa depan, hal ini menyebabkan sebagian besar petani, khususnya para pemuda yang menyerah dan berputus asa atas pertanian berpindah ke pekerjaan di bidang lain yang berada di daerah perkotaan dan


(46)

menyebabkan jumlah penduduk pertanian semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1950 jumlah tenaga kerja pertanian sebesar 45,2%, sedangkan pada tahun 1960 jumlahnya menurun menjadi 30,1% serta menurun lagi menjadi 17,9% pada tahun 1967-an (Fukutake, 1989:12). Alasan utama penurunan pada penduduk petani ini adalah naik dan meluasnya industri dengan cepat yang terus-menerus menyerap banyak pekerja usia produktif desa pertanian dan meningkatnya penggunaan mesin-mesin mekanisasi yang mengakibatkan tenaga untuk tiap satuan bidang lahan lebih besar.

Pertanian merupakan batu loncatan bagi industri dan perkembangan ekonomi Jepang, tetapi industri sebelum perang tidak pernah menyerap cukup banyak petani untuk mengurangi jumlah rumah tangga tani. Industri hanya mengurangi pertumbuhan yang tajam jumlah keluarga tani dengan cara menyerap semua anak laki-laki yang lebih muda, yang kemudian menjadi sumber tenaga kerja industri di kota-kota.

Setelah perang usai, para petani usia produktif yang mulai meninggalkan wanita dan orang-orang tua untuk bekerja di ladang pertanian menyebabkan jumlah tenaga kerja di pertanian menurun, sedangkan umur rata-rata mereka yang bekerja di pertanian semakin tinggi. Dengan kata lain, umur rata-rata tenaga kerja di pertanian akan terus meningkat. Pada tahun 1960, seperempat dari pekerja tani yang memegang tanggung jawab utama dalam usaha pertanian berumur di bawah 30 tahun menurun hingga menjadi 8% saja. Sebaliknya pekerja tani yang berumur 40 tahun keatas meningkat menjadi 75%. Masalah pergeseran umur ini sangat menonjol apabila dibandingkan dengan sektor nonpertanian, lebih dari 40% umur


(47)

mereka dibawah 30 tahun dan hanya sepertiganya saja yang berumur 40 tahun keatas.

Sebelum perang, kerap sekali petani-petani itu hidup dengan kemiskinan. Menurut laporan survei tahun 1926-1927 tentang anggaran keluarga yang dilakukan oleh Biro Statistik Kabinet, pendapatan petani sebelum perang hanya 70% dari pendapatan karyawan kantor, dan 90% dari pendapatan pekerja kasar (buruh). Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga pekerja kasar (buruh), maka perbandingan pendapatan perkapitanya menjadi lebih rendah lagi. Segera sesudah perang, pendapatan para petani melebihi pendapatan pekerja upahan dan gajian. Pada tahun 1960 pendapatan petani mengalami perubahan yaitu 85% dari pendapatan karyawan kantor dan 112% dari pendapatan pekerja kasar (buruh). Pendapatan rumah tangga petani mengalami peningkatan lagi pada tahun 1972, bahkan pendapatan dari keluarga petani telah melebihi pendapatan pekerja upahan dan pegawai gajian.

Sebelum Perang, sebagian besar para petani menggunakan 50% pendapatannya untuk membeli bahan pangan, tetapi setelah perang sebagian besar mereka menggunakan kurang dari 30% saja, sedangkan 2/3 pendapatannya dipergunakan untuk keperluan lain di luar kebutuhan pangan . Hal ini terjadi karena petani setelah perang selalu berusaha menekan biaya bahan pangan sehingga dapat menggunakannya untuk keperluan pendidikan dan hiburan yang terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, sebagian besar para petani sebelum perang mengandalkan pendapatan mereka hanya dari pendapatan pertanian. Namun setelah perang usai, dan karena adanya perpindahan para pemuda ke kota untuk mencari pendapatan di bidang nonpertanian menyebabkan


(48)

adanya 2 sumber pendapatan di dalam keluarga petani tersebut dan keluarga petani yang hanya menggantungkan pendapatan hanya dari pertanian pun semakin menurun.

Pada tahun 1963, pendapatan keluarga petani dari sumber-sumber nonpertanian mempunyai jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dari hasil pertanian itu sendiri. Perbandingan pendapatan antara pertanian dan nonpertanian itu meningkat dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 1970 hanya 32% pendapatan keluarga petani yang berasal dari sumber pekerjaan bertani saja, dan angka itu terus menurun menjadi 29% di tahun 1975.

Setelah perang, sebagian besar keluarga petani mulai menggantungkan pendapatan pokoknya bukan dari hasil bertani/pertanian saja, tetapi sebaliknya mereka mulai menggantungkan hidupnya dari hasil pendapatan nonpertanian. Hal ini menyebabkan kecenderungan para pemuda meninggalkan pertanian akan semakin kuat dan keluarga petani yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan sambilan pun terus meningkat, seakan-akan keluarga petani Jepang telah menjadi keluarga “bukan petani”. Singkatnya, pertanian bukan lagi menjadi sumber utama penghidupan bagi semua petani, termasuk petani kecil dengan lahan yang sempit, sedangkan pekerjaan nonpertanian menjadi semakin penting artinya.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat telah memperbesar kesenjangan antara pertanian dengan sektor lain. Perbedaan tingkat hidup di kota dan di desa mulai menurun pada masa-masa pertumbuhan ekonomi berikutnya. Bukan karena meningkatnya pendapatan pertanian, tetapi lebih disebabkan oleh peningkatan pendapatan keluarga petani dari penghasilan pekerjaan nonpertanian. Kini para


(49)

petani mulai bergantung pada pekerjaan-pekerjaan di bidang nonpertanian dan mereka mulai meninggalkan pertanian sebagai pekerjaan utama mereka.

3.1.4 Perubahan Gaya Hidup Petani

Perang Dunia II membawa perubahan besar dalam kehidupan petani dan masyarakat desa. Landreform di samping membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang (nohonshugi). Pudarnya ideologi ini mulai merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih menguntungkan. Keuntungan yang di dapat karena memproduksi bahan pangan dan meningkatnya pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan nonpertanian lambat laun menutup jurang antara tingkat hidup kota dan desa selama Perang Dunia II , sampai perbedaan tingkat hidup antara kota dan desa pun menurun. Sebelum Perang Dunia II sangat mudah membedakan anak desa dan kota hanya melihat dari cara berpakaiannya saja , namun kondisi ini berubah setelah Perang Dunia II terjadi. Batasan-batasan seperti ini semakin buram dan tidak jelas karena perbandingan belanja keluarga di kota dan di daerah desa khususnya pertanian semakin mendekati titik persamaan.

Setelah Perang Dunia II, pendapatan keluarga petani lebih besar apabila dibandingkan dengan pegawai kantor dan pekerja pabrik/buruh. Hal ini disebabkan adanya 2 sumber pendapatan keluarga petani, yaitu pendapatan pertanian dan nonpertanian. Pada tahun 1963, pendapatan keluarga petani dari sumber-sumber nonpertanian mempunyai jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dari hasil pertanian itu sendiri.


(50)

Kenaikan pendapatan nonpertanian meningkat dengan cepat, sehingga pada tahun 1972 belanja per kapita rumah tangga petani 7% lebih tinggi dari belanja per kapita rata-rata pekerja lain di seluruh negara (fukutake, 1989:20).

Setelah landreform, impian demokrasi dan runtuhnya sistem kelas sangat cepat mendorong pemikiran menuju “kehidupan yang lebih baik” pada semua tingkatan petani setelah perang. Petani tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup yang mengharuskan mereka untuk hidup sederhana. Kini seluruh masyarakat petani Jepang mulai menginginkan standar kehidupan yang lebih baik. Keinginan untuk menikmati kemudahan-kemudahan yang dahulu hanya dimiliki oleh golongan bangsawan pun mulai berkembang.

Sebelum Perang Dunia II sebagian besar petani tidak dapat bermimpi untuk memiliki kendaraan (mobil) serta barang-barang rumah tangga seperti TV, mesin cuci, lemari es, dan radio, tetapi pada tahun 1980-an barang-barang rumah tangga seperti ini 90% telah dimiliki oleh keluarga petani dan pada tahun 1970, pemilikan mobil oleh keluarga petani pun telah melebihi mereka yang bukan petani (masyarakat kota). Keluarga petani yang memiliki mobil sebesar 58% sedangkan, keluarga bukan petani 42% dan peningkatan ini terus terjadi hingga tahun 1975. Selain itu, gaya hidup petani seperti pakaian, pangan, dan perumahan juga mengalami perubahan dengan sendirinya seiring perkembangan waktu setelah perang usai.

Pada tahun 1960, sekitar 60% masyarakat desa pertanian pada waktu itu bergantung pada pompa air tangan dan ember untuk mencari air, hanya 25% pemukiman petani yang terjangkau jaringan air minum dan kurang dari 10% yang mendapatkannya dari bak air untuk umum. Tetapi, pada tahun 1975, lebih dari


(51)

60% pemukiman di desa pertanian telah terlayani jaringan pipa air minum. Hal ini merupakan perubahan besar apabila dibandingkan dengan pada keadaan 15 tahun yang lalu. Zaman ibu petani membungkuk di depan tungku pun telah berlalu. Meniup pipa bambu untuk membesarkan api atau mengangkat air dengan ember melalui jalan yang sulit ditempuh dari sumur ke dapur hampir tidak ada lagi. Dapur yang tua pun kini telah dibenahi dan penggunaan gas propan pun sudah mulai menggantikan kayu dan arang.

Pada tahun 1975 hampir separuh dari desa petani telah memiliki pembuangan sampah atau perusahaan swasta yang menangani masalah itu. Survey tahun 1975 menunjukan bahwa 27% pedesaan, pembuangan sampah dilakukan oleh pemerintah setempat, dan 17% ditangani perusahaan swasta, sedangkan 55% penduduk pertanian masih menangani pembuangan sampahnya sendiri. Faktor utama yang menggeser pembuangan sampah ke arah perusahaan ialah adanya perluasan wilayah geografis, politis dan ekonomi, serta peleburan desa pinggiran kota menjadi kota, sehingga penduduk desa turut menikmati fasilitas umum kota (Fukutake, 1989:26).

Di samping itu seiring perkembangan waktu setelah perang, petani kini mulai mengenakan pakaian /jaket olahraga yang sama dengan masyarakat kota. Istri mereka pun mulai pergi ke salon-salon kecantikan dan memilih tata rambut yang sama dengan saudara-saudaranya di kota. Perubahan pada menu makanan pun berubah secara drastis. Mereka mulai memasukan berbagai macam bumbu disamping miso, garam, dan kecap. Selain itu, pada peralatan dapur juga mengalami perubahan. Kini peralatan dapur menjadi lebih mudah untuk dipakai.


(52)

Sebelum perang, kesempatan rekreasi di daerah-daerah pedesaan hanya terbatas pada tarian rakyat dalam pesta tahunan Bon dan perayaan Shinto untuk dewa-dewa. Namun setelah perang terjadi, para petani sering kali pergi kekota-kota sekitarnya untuk mencari hiburan. Hampir 30% petani berpergian tiap tahun dan bermalam sedikitnya di losmen atau hotel serta membelanjakan uangnya hampir sebanyak keluarga perkotaan. Melihat TV dan pariwisata beregu yang terdiri dari para petani ke daerah-daerah lain di Jepang, bahkan kadang-kadang sampai ke luar negeri adalah suatu hal yang biasa. Karena erat kaitannya dengan dunia perkotaan, kini masyarakat desa pertanian setelah perang telah banyak mengalami perubahan di dalam kehidupannya yang banyak mengambil pola kehidupan perkotaan dalam kegiatan sehari-harinya.

Seiring meluasnya hubungan dengan dunia luar, keinginan untuk pendidikan lanjutan pun mengalami meningkat. Setelah perang tidak ada seorang pun yang percaya bahwa “petani tidak perlu pendidikan”, atau takut kalau anak-anak pergi ke sekolah lanjutan mereka tidak akan mau meneruskan pekerjaan tani di ladang orang tuanya. Pada tahun 1960-an hanya kurang lebih 50% anak petani yang bersekolah lebih dari 9 tahun yang diwajibkan, namun pada tahun 1975-an 90% dari mereka melanjutkan pendidikannya setelah lulus sekolah lanjutan pertama. Angka ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan angka untuk wilayah perkotaan.

Pemikiran akan hari depan telah mendorong berdirinya fasilitas pendidikan setempat/sarana latihan untuk anak-anak muda berdasarkan anggapan bahwa sekolah lanjutan saja tidak mampu mempersiapkan seseorang untuk bekerja pada pertanian modern. Dengan kata lain, masyarakat pedesaan pertanian Jepang kini


(53)

telah berhasil menstransformasikan keadaan mereka, yang bermula dari sangat terbelakang menjadi ke masyarakat pedesaan yang maju dan modern. Sehingga kini tidak memungkinkan lagi memperlakukan masyarakat desa petani sebagai “masyarakat pertanian” seperti yang dulu.

3.2 Analisis Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II

Petani sebelum perang diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal (nohonshugi). Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang untuk membius para petani agar tidak menuntut perbaikan hidup mereka. Selain itu, sangat mudah membedakan masyarakat desa dengan kota hanya dengan melihat cara berpakaiannya saja. Namun keadaan ini berubah pada saat Perang Dunia II usai. Landreform di samping membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang (nohonshugi). Pudarnya ideologi ini mulai merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih menguntungkan. Keuntungan yang di dapat karena memproduksi bahan pangan dan meningkatnya pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan nonpertanian lambat laun menutup jurang antara tingkat hidup kota dan desa. Sehingga yang dahulu sangat mudah membedakaan anak kota dan anak desa hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya ini, semakin lama semakin buram dan tidak jelas. Hal ini disebabkan seiring perkembangan waktu setelah perang


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

1. Jepang adalah negara kepulauan yang 75% wilayahnya terdiri dari pegunungan, dan 25% terdiri dari daratan dan wilayah pertanian. Walaupun memiliki geografis yang tergolong sempit, masyarakat Jepang tidak berputus asa dalam membangun kembali perekonomian dan industri mereka yang telah hancur pasca Perang Dunia II melalui bidang pertanian. Masyarakat desa pertanian Jepang pun telah banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses perkembangan kehidupannya. Hal ini terlihat dari desa pertanian Jepang yang pada awalnya ditandai dengan kemiskinan. Di samping itu, masyarakatnya juga terikat dengan ideologi yang dikembangkan kaum feodalis (nohonshugi), dimana para petani benar-benar dirugikan dan tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menerima nasibnya sebagai petani yang miskin saja. Ditambah besarnya pajak yang ditetapkan oleh tuan tanah yang membuat usaha penghematan yang dilakukan oleh keluarga petani sebelum perang tidak dapat membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik, melainkan untuk bertahan saja. 2. Keadaan ini semakin membaik setelah Perang Dunia II dan akibat dari

beberapa kebijakan pemerintah yang salah satunya adalah landreform.

Landreform disamping membebaskan para petani dari eksploitasi tuan tanah, juga merubah status kepemilikan tanah. Meningkatnya petani penyewa menjadi petani pemilik tanah ini merangsang para petani untuk meningkatkan produktivitasnya, sehingga peningkatan produktivitas ini


(2)

dapat membantu pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi dan membangun kembali perindustrian Jepang yang telah hancur pasca Perang Dunia II.

3. Landreform itu sendiri memiliki dampak yang luas bagi perubahan yang terjadi dalam masyarakat petani Jepang. Penggunaan dan pengembangan teknologi yang erat kaitannya dengan mekanisasi pertanian telah mendorong peningkatan produksi hasil panen khusunya bahan makanan pokok. Pendapatan petani yang meningkat, menempatkan para petani kepada tingkat yang sama dengan pekerja disektor lainnya. Pekerja pertanian yang pulang-pergi ke kota dalam pekerjaan sambilannya menyebabkan gaya hidup petani pun berubah. Kini petani sederhana dan pekerja keras telah menjadi petani kerja sambilan yang pulang-pergi ke kota, yang anak-anaknya berpendidikan, yang memiliki bermacam-macam perlengkapan rumah tangga, mempunyai mobil, dan mempunyai waktu rekreasi.

4. Namun, tidak semua perubahan dalam masyarakat pertanian ini selalu kearah yang lebih baik melainkan menjadi masalah-masalah baru yang harus di hadapi masyarakat pertanian itu sendiri. Perkembangan teknologi mekanisasi pertanian yang tidak sebanding dengan luasnya lahan pertanian yang dikerjakan, telah menyebabkan krisis ekonomi pada masyarakat petani Jepang setelah perang. Banyaknya petani usia produktif yang beralih kerja ke bidang nonpertanian karena hasil pertanian yang tidak lagi mencukupi, menyebabkan masalah alih generasi yang menempatkan


(3)

hidup yang lebih baik dan cenderung mengarah sebagai pola kehidupan petani yang konsumtif pun telah tumbuh di kalangan masyarakat petani setelah Perang Dunia II. Sehingga batasan-batasan antara masyarakat desa petani dengan masyarakat kota pun semakin mendekati titik persamaan. 4.2 Saran

1. Dari ulasan di atas penulis menjadi lebih mengetahui betapa kuatnya semangat bangsa Jepang untuk berusaha dalam membangun perekonomiannya yang telah hancur setelah kekalahannya pada Perang Dunia II. Penulis berharap bahwa semangat yang dimiliki oleh bangsa Jepang ini dapat dicontoh oleh negara-negara berkembang, khususnya negara kita Indonesia. Sebagai masyarakat agraris, Jepang juga menunjukkan bahwa pentingnya strategi pembangunan yang bermula pada wilayah pedesaaan pertanian. Dengan melihat kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang yang sangat mendukung pertanian tersebut, tidaklah heran bila petani di Jepang dapat hidup sejahtera. Penulis juga berharap bahwa suatu saat nanti kesejahteraan serupa akan dinikmati oleh petani kita di Indonesia.

2. Masyarakat pertanian Jepang sangat menarik karena walaupun geografis dan wilayah pertanian Jepang yang sempit, tidak menjadi penghalang negara tersebut dalam membangun perekonomiannya. Kini mereka telah berhasil membangun kembali perekonomiannya yang telah hancur pasca Perang Dunia II. Alangkah baiknya apabila kita dapat lebih baik memanfaatkan pertanian kita daripada Jepang, melihat dari kondisi


(4)

Indonesia yang memiliki faktor geografis dan wilayah pertanian yang jauh lebih luas apabila dibandingkan dengan negara tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Erlina. 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini . Jakarta: PT Gramedia.

. 1989. Masyarakat Pedesaan Di Jepang Jakarta: PT Gramedia. Kedutaan Besar jepang. 1985. Jepang Sebagai Pedoman Saku. Jakarta: Foreign

Press Center Japan.

Maryati dan Suryawati. 2004. Sosiologi SMA untuk Kelas XI. Jakarta: Esis.

Mulyati, Sri dkk. 2007. Sosiologi: Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Nazir, moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalila Indonesia.

Reischauer, Edwin O. and Jansen Marius B. 1977. The Japanese Today: Change and Continuity.United states: Presidents and fellows of Harvard College All rights reserved.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

Soejono dan Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(6)

The International Society for Educational Information, Inc. 1989. Jepang Dewasa Ini. Tokyo: International Society for Educational Information, Inc. Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.

Bandung: PT Setia Purna Inves.

(14/2/2013).

(14/2/2013).