Sintesis Surfaktan Kationik N,N-(2-Laurat-Etil) Stearamidium Klorida

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oleokimia

  Oleokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari trigliserida yang berasal dari minyak dan lemak menjadi asam lemak dan gliserin serta turunan asam lemak baik dalam bentuk ester, amida, sulfat, sulfonat, alkohol, alkoksi, maupun sabun. Oleokimia merupakan turunan gliserol dengan asam lemak yang berubah dalam bentuk turunanya yang dapat dilihat pada tabel 2.1 yang secara umum digunakan baik sebagai surfaktan, deterjen, polimer, aditif bahan bakar dan sebagainya.

Tabel 2.1. Diagram Alur Oleo Kimia dan Turunannya Turunan Bahan Dasar Bahan Dasar Oleokimia Oleokimia Diikuti reaksi-reaksi Asam Lemak seperti : Aminasi Amina Asam Lemak Klorinasi Dimerisasi Alkohol Amina Epoksidasi Asam Lemak Asam Lemak Etoksidasi Guebetisasi Hidrogenasi Minyak / Lemak Metil Ester Kuarternisasi Asam Lemak Sulfasi Transesterifikasi Esterifikasi Gliserol Saponifikasi Propilen, Parafin dan Etilen Sumber : Richtler and Knaut, 1984 : Alami : Sintesis

  Produk utama minyak atau lemak yang digolongkan dalam oleokimia adalah asam lemak, metil ester asam lemak, alkohol asam lemak, amina asam lemak dan gliserol. Asam lemak, gliserol, dan metil ester diperoleh dari pemecahan (splitting) trigliserida, sedangkan lemak alkohol dan amina asam lemak diperoleh melalui reaksi hidrogenasi dan aminasi asam lemak. Produk- produk inilah yang disebut sebagai oleokimia dasar dan dari produk ini dapat diturunkan produk-produk lain melalui reaksi kimia lanjutan yang digolongkan kedalam turunan oleokimia (Satyawibawa, 1992).

  Asam lemak jenuh seperti kaprilat, miristat, palmitat dan stearat dapat digunakan sebagai bahan pembuatan detergen, pemantap maupun sebagai bahan kosmetika. Berbagai turunan asam lemak yang berasal dari hewani dan nabati dapat juga diperoleh melalui reaksi amidasi, klorinasi, hidrogenasi, sulfasi, sulfonasi dan reaksi lainnya dalam industri oleokimia (Meyer, 1973)

2.1.1 Asam Lemak

  Asam lemak adalah asam karboksilat berantai lurus yang dapat diperoleh dari hidrolisa suatu lemak atau minyak, umumnya memiliki rantai hidrokarbon panjang dan tidak bercabang. Asam lemak ini terbagi dua, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Beberapa contoh asam lemak jenuh yang paling umum, asam laurat (dodecanoic acid), asam miristat (tetradecanoic acid), asam palmitat (hexadecanoic

  acid), asam stearat (octadecanoic acid). Asam lemak tidak jenuh yang umum adalah

  asam lemak yang memiliki 18 atom C dengan satu atau dua ikatan rangkap. Misalnya, asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat (Wilbraham, 1992).

  Bersama-sama dengan gliserol asam lemak merupakan penyusun utama minyak nabati atau hewani dan salah satu bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas maupun terikat dengan gliserida. Asam lemak merupakan bahan dasar pada industri oleokimia. Dari asam lemak ini dapat diturunkan berbagai turunan asam lemak seperti: amida asam lemak, alkohol asam lemak dan metil ester asam lemak yang kemudian dapat diubah kedalam berbagai turunan asam lemak melalui amidasi, klorinasi, hidrogenasi, sulfasi, sulfonasi dan reaksi lainnya (Fessenden, 1982).

  Asam lemak atau asam karboksilat merupakan asam lemah, namun asam karboksilat masih jauh lebih asam dari pada kelompok senyawa-senyawa organik lainnya. Asam karboksilat yang mempunyai atom karbon lebih dari enam sedikit larut dalam air, tetapi garam karboksilat dari logam alkali sangat larut dalam air.

  Keasaaman dari asam karboksilat ditentukan dengan mudahnya gugus –OH melepaskan ion hidrogen dari –OH pada alkohol.

  O

  • O H H R R

  ion alkoksida alkohol O O O

  • H C C

  C

  R R R

  O O OH asam karboksilat resonansi antara ion karboksilat I dan ion karboksilat II

  Pada reaksi keseimbangan alkohol, ion alkoksida hanya mempunyai satu bentuk

  • struktur, yaitu R-O sedangkan pada asam karboksilat, ion karboksilat berada dalam dua bentuk resonansi I dan resonansi II. Hail ini berarti ion karboksialt distabilkan oleh adanya resonansi. Resonansi ini memudahkan pelepasan ion hidrogen sehingga keasamaan dari asam karboksilat lebih besar dari pada alkohol.

2.1.2 Asam Stearat

  Asam stearat merupakan zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, berwarna putih atau kuning pucat, memiliki kesamaan seperti lemak lilin, dimana titik

  o o

  leburnya 54

  C, Titik didih 384

  C, kelarutannya sangat sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol, benzen, kloroform, aseton, karbon tetraklorida, karbon disulfida, amil asetat dan toluena (Anonim I, 1976 ).

  Stearat dan palmitat merupakan asam lemak yang tidak saja memiliki wash-

  power (daya cuci) serta daya basah yang tinggi. Sebagai detergen, juga kedua asam

  lemak tersebut bila direaksikan kembali dengan gliserol akan membentuk monogliserida stearat dan digliserida stearat palmitat. Campuran monogliserida dan digliserida tersebut yang semenjak tahun 1934 dikenalkan perusahaan kimia Oleo

  Procter dan Gamble sebagai super glycerinated atau high ratio shortening sebagai pengganti refined-lard (shortening yang berasal dari campuran lemak babi dan lembu) dikarenakan tidak disukai aromanya oleh konsumen Amerika.

  Garam logam stearat banyak digunakan sebagai bahan pelumas pada industri plastik maupun bahan pencampuran pembuatan bedak dalam industri kosmetika (Douglas, 1979). Disamping dalam bentuk garam logam asam lemak stearat diubah kedalam bentuk stearamida yang digunakan sebagai pelumas pada industri plastik (Reck, 1984).

  2.1.3 Asam Laurat

  Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai sedang (middle-

  chained fatty acid, MCFA) yang tersusun dari 12 atom C. Sumber utama asam lemak

  ini adalah minyak kelapa, yang dapat mengandung 50% asam laurat, serta minyak inti sawit (palm kernel oil). Sumber lain adalah susu sapi. Asam laurat memiliki titik lebur 44°C dan titik didih 225°C sehingga pada suhu ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan. Rumus kimia CH (CH ) COOH, berat

  3

  2

  10

  • 1 molekul 200,3 g.mol .

  Asam-asam lemak rantai pendek memiliki kemampuan kelarutan dalam pelarut air, semakin panjang rantai asam-asam lemak maka kelarutannya dalam air semakin

  o

  berkurang. Asam kaprilat pada 30 C mempunyai nilai kelarutan 1, yang artinya 1

  o

  gram asam kaprilat dapat larut dalam setiap 100 g air pada suhu 30

  C. Sifat kelarutan tersebut digunakan sebagai dasar untuk memisahkan berbagai asam lemak yang tidak jenuh, yaitu dengan proses kristalisasi (Ketaren, 2008).

  2.1.4 Ester

  Ester adalah turunan asam karboksilat yang dibentuk oleh gugus metoksi dan karboksil merupakan salah satu dari kelas-kelas senyawa organik yang sangat berguna, dapat diubah melalui berbagai proses menjadi aneka ragam senyawa lain. Ester lazim dijumpai di alam (Fessenden, 1999). Ester diberi nama seperti penamaan pada garam. Ester umumnya mempunyai bau yang enak, seperti rasa buah dan wangi buah-buahan (Hart, 1990).

  • H
  • 2 O HX

      R C OR' O suatu ester

      

    (a)

    (b)

    (c)

      (b) (c) suatu ester

      Na OH piridin (a)

      3 , dimana klorinasi ini bertujuan untuk menambah kereaktifan asil klorida sebagai zat pengasilasi yang baik, dengan katalis piridin.

      2 ataupun PCl

      metode ini dilakukan dengan mengubah asam karboksilat kedalam bentuk asil klorida, dengan melakukan klorinasi menggunakan SOCl

      asil klorida S O 2

      R'OH R'X

      suatu ester metode ini merupakan pembuatan ester sederhanana, dimana esterifikasi menggunakan katalis asam anorganik (asam sulfat dan asam klorida dengan berbagai variasi alkohol seperti metanol dan etanol.

      S O C l 2 R C OR' O metode ini juga merupakan pembuatasn ester sederhana, dimana esterifikasi menggunakan katalis basa (NaOH) dan esterifikasi ini hanya baik jika menggunakan alkil halida primer.

      HCl / H 2 SO 4 R C OR' O R'OH

      R C OH O asam karboksilat

      Beberapa metode pembuatan ester dapat dilakukan melaui reaksi-reaksi dibawah ini:

      Metil ester asam lemak merupakan zat antara yang sangat penting dalam industri oleokimia. Pembuatan metil ester asam lemak telah dikembangkan dengan cara pengadukan berkecepatan tinggi pada suhu kamar dengan waktu 15-30 menit, serta memberikan hasil reaksi pembentukan metil ester asam lemak sebesar 90-95% (Mittelbach dan Trihart, 1998).

      Esterifikasi merupakan reaksi ionik, yang mana gabungan dari reaksi adisi dan reaksi penataan ulang eliminasi (Davidek, 1990). Reaksi asam karboksilat dengan alkohol menghasilkan senyawa ester melalui reaksi yang dikenal dengan nama esterifikasi, dan biasanya menggunakan katalis asam. Beberapa senyawa ester juga dapat dibentuk dengan beberapa cara seperti terlihat pada gambar 2.1. Reaksi esterifikasi akan berlangsung dengan baik jika direfluks bersama sedikit asam sulfat atau asam klorida. Mekanisme reaksi esterifikasi dapat dilihat pada gambar 2.2 (Riswiyanto, 2002).

    • H C l
    • R C Cl O
    • HCl

    Gambar 2.1. Metode Pembuatan Ester

      :O: : OH R OH R C OH + :OH C :OH

      R'OH

    • H C OH

      H C OH O O R R H

      3 R' Asam karboksilat

      1

      2 R Alkohol menyerang Melepaskan proton menerima proton dari karbonil yang ter- dari atom oksigen dan katalis asam kuat protonasi menjadi menerima proton pada intermediet tertrahedral

      H C O

    O :OH

    H oksigen yang lain :OH H

    • H
      • + 2 O R
      • R C R C O R' -H R C O

          4

          6 R' R' O O

          5 R' O H Melepaskna molekul air menjadi ester terprotonasi

          Sumber : (Riswiyanto, 2002).

        Gambar 2.2. Mekanisme reaksi esterifikasi suasana asam

          Langkah 1. Gugus karbonil dari asam terprotonasi secara reversible. Langkah ini menjelaskan bagaimana katalis asam bekerja, protonasi meningkatkan muatan positif pada karbon karboksil dan menambah reaktivitasnya terhadap nukleofili. Langkah 2. Inilah langkah yang menentukan. Alkohol, sebagai nukloefili, menyerang karbon karbonil dari asam yang terprotonasi. Inilah langkah yang membentuk ikatan baru C-O (ikatan ester). Langkah 3 dan 4. Kedua langkah ini merupakan kesetimbangan yang mana oksigennya lepas atau memperoleh proton. Kesetimbangan asam-basa seperti ini bersifat reversibel dan berlangsung cepat dan terus menerus berjalan dalam larutan bersusana asam dari senyawa yang mengandung oksigen. Pada langkah 4, tidak terjadi masalah mana gugus –OH yang terprotonasi karena gugus-gugus tersebut setara. Langkah 5. Pada langkah ini terbentuk air, yaitu satu produk dari reaksi keseluruhan. Supaya langkah ini berlangsung, gugus –OH harus terprotonasi untuk meningkatkan kapasitias gugus perginya. (langkah ini serupa dengan kebalikan dari langkah 2) Langkah 6. Langkah deprotonasi ini menghasilkan ester dan meregenerasi katalis asam. (langkah ini serupa dengan kebalikan dari langkah 1).

          Esterifikasi antara asam lemak bebas (ALB/ FFA) dengan alkohol rantai pendek (metanol atau etanol) menghasilkan alkil ester asam lemak dan air. Katalis yang digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam, biasanya asam sulfat (H SO )

          2

          4 atau asam fosfat (H PO ). Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka

          3

          4

          proses pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2, yaitu:

          1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah.

          2. Esterifikasi dengan katalis asam (umumnya menggunakan asam sulfat) untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi dilanjutkan dengan transesterifikasi dengan katalis basa (Maharani, 2010).

          Alkil ester dapat digunakan sebagai bahan antara bagi asam asam lemak dalam memproduksi sejumlah turunannya. Penggunaaannya sebagai bahan antara untuk menghasilkan senyawa lain yang sangat menguntungkan karena untuk memperolehnya membutuhkan bahan yang relatif murah. Dalam bentuk alkil ester juga mempermudah proses destilasi fraksinasi dibandingkan dengan asam lemak karena alkil ester mempunyai titik didih yang lebih rendah (Farris, 1979).

          Salah satu turunan metil ester yang digunakan langsung sebagai bahan aktif permukaan yaitu Metil Ester Sulfonat (MES) dimana gugus hidrofiliknya bermuatan negatif yang termasuk golongan surfaktan anionik. Adapun bahan baku yang digunakan untuk pembuatan MES ini adalah olein minyak sawit menggunakan proses transesterifikasi. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol pada gliserol dengan senyawa alkohol sederhana seperti metanol dan etanol. Pada reaksi transesterifikasi, terjadi pemindahan alkohol dari suatu ester menjadi alkohol lain dalam proses yang sama melalui hidrolisis. Umumnya metil ester diproduksi memalui proses transesterikasi menggunakan metanol atau biasa disebut metanolisis. Diantara alkohol yang biasa digunakan, penggunaan metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Meher, dkk, 2004). Menurut Sontang (1982), proses metanolisis (hidrolisis menggunakan metanol) terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan metil ester dan gliserol melalui pemecehan molekul trigliserida.

          Menurut Meher, dkk, (2004), proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya. Variabel yang mempengaruhi proses transesterifikasi adalah rasio alkohol terhadap jumlah asam lemak, jenis dan konsentrasi katalis, suhu dan kecepatan pengadukan. Menurut Noureddini dan Zhu (1997), reaksi transesterifikasi menggunakan katalis asam fosfat mengakibatkan reaksi bersifat reversibel (dua arah), dimana proses pembentukan turunan minyak metil ester dan asam lemak bebas serta pembentukan trigliserida berlangsung secara bersamaan mencapai pada titik kesetimbangan. Selain asam fosfat, menurut Hui (1996), katalis yang dapat digunakan untuk proses transesterifikasi adalah NaOCH , KOH, dan

          3 NaOH. Menurut Boocock, dkk, (1998), basa mengkatalisis metanolisis minyak nabati

          lebih lambat dari pada butanolisis karena dua fase cair berada pada awal reaksi pembentukan.

          Ester dapat dihidrolisis dengan baik dalam suasana basa melalui reaksi yang biasa dikenal dengan nama saponifikasi terlihat pada gambar 2.3. Selain itu dalam suasana asam, ester dapat dihidrolisis menjadi asam karboksilat dan alkohol kembali dengan mekanisme reaksinya pada gambar 2.4 (Riswiyanto, 2002).

          a. Mekanisme hidrolisis ester dalam siasana basa (saponifikasi) : O :O: :O: :O: :O: C

          H O 3 R C C OR' R OH C C R OR' OH R O R OH - OH OR' HOR' proton ion karbok- mengeluarkan ion -

        ion alkoksida menarik

        adisi nukleofilik OH ke silat oleh asam alkoksi menghasilkan proton dari asam karbonil ester, menjadi intermediet mineral menghasilkan asam karboksilat

        karboksilat menjadi

        asam karboksilat alkoksida tetrahedral ion karboksilat

        Gambar 2.3 Mekanisme Hidrolisis Ester dalam Suasana Basa Mekanisme ini merupakan contoh lain dari substitusi asil nukleofilik.

          Reaksinya melibatkan serangan nukleofilik oleh ion hidroksida, yaitu nukleofili kuat, pada karbon karbonil dari ester. Langkah kunci ialah adisi nukleofilik pada gugus karbonil. Reaksi berlangsung melalui intermediet tetrahedral, tetapi reaktan dan produknya berbentuk trigonal. Penyabunan tidak bersifat reversibel. Pada langkah terakhir , ion alkoksida yang merupakan basa kuat mengambil proton dari asam untuk membentuk ion karboksilat dan molekul alkohol. Langkah ini menyebabkan reaksi sempurna berjalan kekanan. b. Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana asam O H H C :O: H H H H H H C O O

        OH

        H O H O R OR' OR' R C R OR' C H O

          protonasi gugus serangan nukleofilik R H O karbonil untuk OR' oleh air, menjadi mengaktifkan intermediet tetrahedral H

        transfer proton,lalu

        mengubah OR'

        menjadi gugus pergi

        yang baik :O:

          H O C R'OH

          3 R OH melepaskan alkohol menghasilkan asam karboksilat dan katalis asam

          Sumber : (Riswiyanto, 2002).

        Gambar 2.4 Mekanisme Hidrolisis Ester dalam Suasana Asam

        2.1.5 Amida

          Suatu amida ialah senyawa yang mempunyai nitrogen trivalent terikat pada suatu gugus karbonil. Amida juga merupakan turunan asam karboksilat biasa yang paling tidak reaktif. Suatu amida diberi nama asam karboksilat induknya, dengan mengubah imbuhan asam…-oat (atau –at) menjadi amida.

          O

          IUPAC = etanamida H C C TRIVIAL = asetamida

          3 NH

          2 Amida primer memiliki rumus umum RCONH . Amida primer ini dapat

          2

          disintesis dari derivat asam karboksilat seperti (ester, asil halida, anhidrida asam) dengan amonia atau amina yang sesuai, seperti pada gambar 2.5 dalam pembuatan amida (Hart, 2003).

          Reaksi-reaksinya adalah sebagai berikut : O R1 H N

        O

        R2 RC RC Cl

          R 1

        • HCl

          N

          R asil klorida
        • 2 Amida O R1 H N O O R2 R C RC R 1 O<
        • R-C N OH R
        • 2 R C

          Amida

          O anhdrida asam

            R1 H O N O R2 RC RC OR' R + R'-OH 1 N R 2 ester

            Amida

            Sumber : (Fessenden, 1999)

          Gambar 2.5. Reaksi Pembuatan Amida

            Amida asam lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan asam lemak atau metil ester asam lemak dengan suatu amina (Maag, 1984). Amida asam lemak dibuat secara sintesis pada industri oleo kimia dalam proses batch,

            o

            dimana ammonia dan asam lemak bebas bereaksi pada suhu 200 C dan tekanan 345- 690 Kpa selama 10-12 jam. Dengan proses tersebutlah dibuat amida primer seperti lauramida, stearamida serta lainnya.

            Amida primer juga dibuat dengan mereaksikan ammonia dengan metil ester asam

          • lemak. Reaksi ini mengikuti konsep HSAB (Hard Soft Acid Base) dimana H dari
            • ammonia merupakan hard acid yang lebih mudah bereaksi dengan hard base CH O

            3

          • untuk membentuk metanol. Sebaliknya NH lebih soft-base dibandingkan dengan

            2

            CH O akan terikat dengan R-CO yang lebih soft acid dibandingkan H membentuk

            3 amida seperti pada gambar 2.6 berikut.

            O O

            CH OH RC

          • 3

            C

            NH R

          • 3

            NH 2 OCH 3 Amida primer Metanol

            Metil Ester Amoniak Asam Lemak

            Sumber : (Maag, 1984)

          Gambar 2.6. Reaksi Pembentukan Amida Primer

            Pembuatan amida sekunder dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan amina terlihat pada gambar 2.7 dibawah ini.

            o

            150-200 C RNH

          • RCO H
          • RCONHR

          2 H O

            2

            2 Air

            Amida sekunder Asam Karboksilat Amina

            Sumber : (Maag, 1984)

          Gambar 2.7. Reaksi Pembentukan Amida Sekunder

            Seperti asam karboksilat, amida memiliki titik cair dan titik didih yang tinggi karena adanya pembentukan ikatan hidrogen. Amida mampu membentuk ikatan hidrogen intermolekul selama masih terdapat hidrogen yang terikat pada nitrogen. Senyawa ini juga sangat istimewa karena nitrogennya mampu melepaskan elektron dan mampu membentu k ikatan π dengan karbon karbonil. Pelepasan elektron ini menstabilkan hibrida resonansinya. Ikatan atom karbon dengan nitrogen pada amida jauh lebih lemah, kalau atom karbon ini juga disambingkan pada suatu oksigen dengan ikatan rangkap (Bresnick, 1996).

            Senyawa amida dapat diperoleh melalui reaksi antara asam lemak dengan etanolamina dan dietanolamina bereaksi dengan asam lemak biasanya berlangsung diatas 180

            C, reaksi dengan monoetanolamina akan melepaskan air dan terbentuk alkanolamida dan etanolamida ester asam lemak sebagai produk samping, dan dapat dilihat reaksinya pada gambar 2.8 dibawah ini. Kandungan amida pada suhu reaksi

            o 180 C , rata-rata 94-95% (Mutter, 1968).

            O O R C

          • NH -CH -CH -OH
          • 2 2 2 R C H + O

            OH NH-CH -CH OH

              2 2 2 Air Asam lemak Etanolamina Etanolamida O O

              O C R R C RCOOH O

            • 2H
            • 2 NH-CH -CH -OC NH-CH -CH OH 2 2 2 2 R Etanolamida Air Etanolamida ester asam lemak

                Sumber : (Mutter, 1968)

              Gambar 2.8. Reaksi Pembuatan Alkanolamida menggunakan asam berlebih

                Jika monoetanolamida asam lemak yang diinginkan diatas 99% maka perbandingan reaksinya adalah 2 mol asam lemak dan 1 mol monoetanolamina yang menghasilkan senyawa etanolamida ester asam lemak pada tahap pertama, kemudian ditransesterfikasikan selanjutnya ditransformasikan dengan 1 mol monoetanolamina dan reaksinya dapat dilihat pada gambar 2.9.

                O O R C

              • NH -CH -CH -OH

                R C

                2

                2

                2

              • H O
              • 2 NH-CH -CH -OH OH

                  2

                  2 Etanolamin Etanolamida Asam lemak O

                  O C R O O

                R-C

                NH-CH -CH -OH

                  2 2 + R-C

                • H O NH-CH -CH -O-C
                • 2

                    2

                    2 OH Etanolamida

                    R Asam lemak Etanolamida ester O

                    O O R-C NH-CH -CH -O-C

                  • NH -CH -CH -OH

                    2 R-C

                    2

                    2

                    2

                    2

                    2 NH-CH -CH -OH R

                    2

                    2 Etanolamin Etanolamida ester

                    Etanolamida

                    Sumber : (Mutter, 1968)

                  Gambar 2.9. Reaksi Pembentukan Alkanolamida menjadi Etanolamida berlebih.

                    Reaksi dietanolamina (DEA) dengan asam lemak secara substansial lebih kompleks, disamping amida terbentuk juga amina ester yang bereaksi dengan kelebihan dietanolamina pada hasil reaksi secara otomatis menghasilkan garam amina asam lemak disamping amina bebas seperti terlihat reaksinya pada gambar 2.10. Hasil reaksi ini dikatalis oleh basa pada suhu yang rendah basa dengan dietanolamina menghasilkan kandungan dietanolamida kira-kira 90%.

                  • RCOOH HN (C H OH)
                  • 2

                    4

                    2

                    • H O
                    • 2 RCO C H NH-C H OH 2 2 4 2 4 RCON ( C H OH) 2 4 2 Amida Ester amin

                    • RCO H
                    • 2
                    • D EA
                    • H O
                    • 2<
                    • D EA

                      RCO C H NC H O CR 2 2 4 2 4 2 COR RCO C H NC H OH 2 2 4 COR 2 4 RCO

                    2 H

                    • H

                      2 O RCO C H NC H O CR 2 2 4 2 4 2 Sumber : (Maag, H, 1984).

                    Gambar 2.10. Reaksi Asam Lemak dengan Dietanolamina

                      Karena kemurniannya yang tinggi maka amida yang dibuat dari metil ester asam lemak dan juga etanolamida disebut superamida yang digunakan untuk pembuatan shampo. Dietanolamida asam lemak juga dapat dibuat secara langsung dari lemak dan minyak.

                      O CH -O-C 2 O R

                    CH -CH -OH

                      2 2 O

                      3RC-N

                    • 3NH(CH -CH OH) CH-O-C
                    • 2 2 2
                      • -gliserol

                        CH -CH -OH
                      • 2 2 O CH -O-C 2 R Trigliserida Dietanolamina Dietanolamida

                        Sumber : (Maag, H, 1984).

                      Gambar 2.11. Reaksi pembentukan alkanolamida dari trigliserida

                        o

                        Gliserol yang diperoleh dapat didestilasi pada suhu 180 C dan jika ada yang sisa tidak akan ada yang mengganggu aplikasinya (Maag, H, 1984).

                        Hidrolisis suatu amida dalam larutan asam berlangsung dalam suatu cara yang serupa dengan hidrolisis suatu ester. Oksigen karbonil diprotonasi, karbon karbonil diserang oleh H O, proton diserah terimakan, dan suatu amina dibuang. Amina ini kemudian

                        2

                      • bereaksi dengan H dan menghasilkan garam amina. Pembentukan garam amina
                      • menjelaskan mengapa H bersifat pereaksi, bukan katalis, dan mengapa reaksi
                      • kebalikannya tidak terjadi (meskipun NH merupakan suatu nukleofil, NH bukan,

                        3

                        4

                        dan ion ini tidak dapat menyerang gugus karbonil) seperti pada gambar 2.12 (Fessenden, 1982). Mekanisme hidrolisis senyawa amida (suasana asam) :O: O H O H O H

                        H 3 O H C C OH 2 H C R C O NH 2 NH R 2 R R O

                      NH

                      2

                      :O: H NH 3

                      • C

                        NH 4 R OH

                        Sumber : (Riswiyanto, 2002)

                      Gambar 2.12. Mekanisme Hidrolisis Amida Suasana Asam

                      2.1.6 Alkanolamida

                        Alkanolamida adalah surfaktan bukan ionik dimana gugus hidroksil yang dimiliki tidak cukup hidrofilik untuk membuat alkanolamida larut dalam air dengan sendirinya. Alkanolamida digunakan sebagai bahan pembusa (foam boosting) dalam pembuatan sampo. Alkanolamida banyak digunakan sebagai bahan foam boosting dan dalam campuran bahan surfaktan lain berguna sebagai cairan pencuci piring dan juga dalam pembuatan sampo. Selain itu alkanolamida merupakan bahan pelembut rambut, penstabil busa, bahan perekat dan bersama sama dengan glikol stearat dapat mengkilaukan rambut (Said dan sallmon, 2001).

                        Amida digunakan sebagai bahan baku setengah jadi untuk produksi fatty nitril dan fatty amina serta amida juga digunakan dalam industri obat-obatan. Palmitamida, stearamida dan oleoamida digunakan sebagai bahan penyelerasi pada penggunaan karet alam dengan silika (Suryani, 2008).

                        Jenis alkanolamida yang paling penting adalah dietanolamida. Senyawa N- etanol alkil amida adalah senyawa yang termasuk dalam golongan asam lemak yang dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan dalam produk detergen, kosmetik dan tekstil. Senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan asam lemak sawit destilat dengan senyawa yang mengandung gugus atom Nitrogen seperti alkanolamina (Nuyanto, dkk, 2002).

                      2.1.7 Dietanolamida

                        Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150ºC selama 6-12 jam (Herawan dkk, 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan pH produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun amina.

                        Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling penting. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal ini disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas busa sabun cair atau sampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penstabil busa agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih sedikit. Pada pembuatan sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lebih lembut. Pemakaian dietanolamida pada formula sampo dapat mencegah terjadinya proses penghilangan minyak yang berlebihan pada rambut dan produk yang dihasilkan tidak menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk digunakan sebagai produk sabun dan sampo bagi bayi (Holmberg, 2001).

                        Surfaktan dietanolamida merupakan salah satu jenis surfaktan yang banyak digunakan dalam pembuatan beragam personal care product, washing &amp; cleaning

                        product dan produk kosmetika. Sementara ini, surfaktan dietanolamida diproduksi

                        dengan menggunakan minyak kelapa. Jenis asam lemak bebas dari minyak kelapa yang dapat digunakan dalam pembuatan surfaktan dietanolamida adalah asam laurat.

                        Kandungan asam laurat pada minyak inti sawit tidak jauh berbeda dengan kandungan asam laurat pada minyak kelapa. Oleh karena itu, minyak sawit juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan surfaktan dietanolamida.

                        Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya dua gugus hidroksil dan molekul alkanolamida yang dihasilkan.

                      2.2 Surfaktan

                        surface active agent (surfactant) merupakan senywa aktif penurunan tegangan

                        permukaan yang bersifiat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus hidrofobik dan hidrofilik, serta molekul yang cenderung yang terpatisi pada antar permukaan fasa cairan yang berbeda tingkat kepolaran dan ikatan hidrogennya (Cooper, dkk, 2000). Gugus hidrofobik terdiri dari rantai asam lemak sedangakan gugus hidrofilik terdiri dari karbohidrat, asam amino, peptida siklik, fosfat, dan asam karboksil alkohol (Kosaric, 1993)

                        Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang memegang peranan penting dalam proses pembersihan pada detergen, karena dapat mempengaruhi kondisi antar permukaan bahan yang dikenai. Ditinjau dari segi struktur kimianya, surfaktan memiliki rantai atom karbon yang panjang yang merupakan bagian yang hidrofil. Oleh karena itu adanya kadar bagian ini dalam suatu senyawa maka disebut sebagai ampofil (Parker, 1980).

                        Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan hidrogen pada permukaan. Mereka melakukan hal ini dengan menaruh kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air (Fessenden, 2006).

                        Surfaktan dapat dikelompokkan sebagai anionik, kationik atau netral, bergantung pada sifat dasar gugus hidrofiliknya. Sabun dengan gugus karboksilatnya, adalah surfaktan anionik, “benzalkonium” klorida (N-benzil amonium kuartener

                        klorida) yang bersifat antibakteri adalah contoh surfaktan kationik. Surfaktan netral

                        mengandung suatu gugus non-ion seperti suatu karboksilat yang dapat berikatan hidrogen dengan air.

                        Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai peranan penting untuk menurunkan tegangan permukaan bahan yang dikenai.Aktivitas kerja suatu surfaktan karena sifat ganda dari molekul tersebut. Molekul surfaktan memilki bagian yang cinta akan lemak/minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral (Lehninger, 1988).

                        Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat nonpolar yang mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat nonpolar dan mudah bersenyawa dengan minyak. Didalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul- molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus nonpolarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorbsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.

                        Klasifikasi kimia yang paling berguna dari surfaktan didasarkan pada sifat hidrofil dan lipofilnya. Dibawah ini ada empat klasifikasi dasar dari surfaktan yaitu :

                        1. Surfaktan anionik ,memiliki gugus hidrofil yang bermuatan negatif seperti gugus

                        karboksilat (RCOO M ), sulfonasi (RSO M ), sulfat (ROSO M ) atau phospat

                        3

                        3

                      • (ROPO M ).

                        3

                        2. Surfaktan kationik, gugus hidrofil memiliki muatan positif. Sebagai contoh

                        ammonium halide kwartener (R N X ).

                        4

                        3. Surfaktan nonionik, dimana gugus hidrofil tidak memiliki muatan tetapi turunannya memilki kelarutan yang besar terhadap air dibandingkan gugus polar tertinggi seperti senyawa (R-OCH CH O-)R adalah gugus poliol termasuk gula.

                        2

                        2

                        4. Surfaktan amfoter (zwitter ion) memliki muatan positif dan muatan negatif, sebagai

                      • contoh Sulfobetain RN (CH ) CH CH SO (Martin, 1989).

                        3

                        2

                        2

                        2

                        3 Setiap tahunnya jutaan ton surfaktan digunakan untuk beragam aplikasi yang

                        berbeda (Flider, 2001). Menurut Hui (1996), surfaktan digunakan untuk pencucian dan permbersihan (washing and cleaning), serta untuk pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, industri cat, serta sanitasi pada industri pangan. Surfaktan sebagai bahan aktif dalam deterjen memiliki fungsi tertentu dalam proses pencucian. Surfaktan berfunsi untuk menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam peristiwa adsorbsi, pembentukan

                        micelle dan deterjersi.

                        2.2.1 Surfaktan Kationik

                        Surfaktan kationik merupakan senyawa aktif permukaan dengan gugus hidrofilik membawa muatan positif (Rosen, 1978). Surfaktan jenis kationik yang banyak digunakan dalam berbagai produk dipasaran adalah senyawa amonium kuartener. Senyawa amonium kuartener mempunyai muatan positif pada atom nitrogennya. Bahan bakunya diambil dari minyak alam dengan campuran homolog dari surfaktan dengan panjang rantai alkil berbeda yang digunakan dalam berbagai produk. Senyawa amonium kuartener merupakan turunan sintesis dari amonium klorida (Arena, 1964).

                        Terdapat tiga kategori surfaktan kationik jika didasarkan pada spesifikasi aplikasinya, yakni: a. Pada industri pelembut dan deterjen, surfaktan kationik menyebabkan terjadinya kelembutan. Penggunaan utamanya adalah pada produk-produk laundri sebagai pelembut. Salah satu contoh surfaktan kationik adalah esterquat.

                        b. Pada laundri deterjen, surfakatan kationik (muatan positif) meningkat packing molekul surfaktan anionik (muatan negatif) pada antarmuka air. Contoh surfaktan ini adalah surfaktan dari sistem mono alkil kuartener.

                        c. Pada pembersih rumah dan kamar mandi, surfaktan kationik sebagai agen desinfektan (Anonim, 2005).

                        2.2.2 Penurunan Tegangan Permukaan

                        Tegangan permukaan ( suatu cairan dapat didefinisikaan sebagai banyaknya kerja

                        ɳ)

                        yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satu satuan luas. Pada

                      • 1

                        satuan cgs, dinyatakan dalam erg cm , sedangkan dalam satuan SI, dinyatakan

                        ɳ

                      • 1

                        dalam N m . Molekul yang ada di dalam cairan akan mengalami gaya tarik menarik (gaya van der Waals) yang sama besarnya ke segala arah. Namun, molekul pada permukan cairan akan mengalami resultan gaya yang mengarah ke dalam cairan itu sendiri karena tidak ada lagi molekul diatas permukan dan akibatnya luas pemukaaan cairan cenderung untuk menyusut.

                        Surfaktan mampu menurunkan tegangan permukaan diantara dua fasa. Sifat kepolarannya yang berbeda diantara kedua fasa mengakibatkannya tidak dapat saling terlarut, dengan adanya molekul surfaktan yang memiliki kecendrungan terhadap kedua fasa tersebut keduanya dapat saling bercampur. Molekul-molekul cairan yang ada dipermukaan mengalami resultan gaya ke arah dalam badan cairan. Hal ini mengakibatkan molekul- molekul tersebut cenderung menekan atau berdesakan ke dalam menghindari permukaan, dimana molekul- molekul di dalam cairan mengalami resultan gaya yang seimbang. Adanya kecenderungan ke dalam badan cairan menghasilkan gaya, besar daya yang diperlukan untuk memecah permukaan cairan sehingga terbentuk satu luasan baru pada permukaan disebut dengan tegangan permukaan (Hargreaves, 2003).

                        Molekul-molekul non polar tidak mampu menyeimbangkan gaya molekul pada permukaan cairan polar sehingga terdapat batas antara cairan polar dan non polar. Pada gugus polarnya surfaktan menyeimbangkan gaya molekul permukaan cairan dan rantai non polarnya mengarah pada molekul molekul hidrofobik. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada dipermukaan cairan mengalami difisiensi diposisi atas, tetapi kuat di tiga arah gaya lainnya.

                        Penurunan tegangan permukaan dapat dijadikan sebagai salah satu faktor penentu banyaknya konsentrasi surfaktan yang terdapat dalam suatu cairan. Apabila surfaktan ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat menurunkan tegangan permukaan cairan tersebut. Jika surfakran dalam konsentrasi 0,1% ditambahkan ke dalam suatu cairan, maka akan menurunkan tegangan

                      • 1 -1

                        permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m (dyne cm ). Hal ini terjadi karena molekul molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves, 2003).

                        Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila sufaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro, 1990).

                        Tegangan permukaan dapat diukur dengan metode cincin Du Nuoy. Pengukuran tegangan permukaan dengan metode cincin Du Nouy didasarkan atas penentuan gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan.

                        Gaya ini diukur dengan jelas dengan cara mencelupkan cincin yang digantung pada lengan neraca dan perlahan-lahan mengangkatnya sampai cincin tersebut meninggalkan cairan. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengukur tegangan antarmuka cairan-cairan seperti misalnya tegangan antarmuka (minyak-air atau kloroform-air) (Tang, 2011). Gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan caida dapat dihitung dari persamaan :

                        Gaya (F) = 4 πRɳ Dengan R adalah jari- jari cincin. Keliling 2πR harus dikalikan dua mengingat bahwa ada batas dalam dan batas luar antara cairan dan kawat. Perlakuan ini berlaku untuk cairan dengan sudut = 0. Dalam kenyataannya ada sebagian cairan yang terangkat

                        ɵ

                        sebelum permukaan cairan pecah, sehingga persamaan diatas perlu memperhitungkan faktor koreksi (FK). Dengan memperhitungkan faktor koreksi (FK), maka tegangan permukaan dapat ditulis ulang sebagai berikut,

                        ɳ = FK = FK = P FK f adalah gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan; FK merupakan faktor koreksi;

                        ɳ adalah tegangan permukaan nyata, dan P merupakan tegangan permukaan yang diukur pada saat percobaan (Bird,1993). Selanjutnya Griffin secara skematis memberikan hubungan antara HLB dengan penggunaan surfaktan sebagai bahan pemantap, weiting agent, detergen dan bahan pelarut seperti pada gambar 2.13 berikut:

                        18 Zat-zat larutan

                        15 Detergen

                        12 O/W zat pengemulsi

                        9 Zat pembasah dan penyebar

                        6 W/O zat pengemulsi

                        3 Kebanyakan zat anti busa

                      Gambar 2.13. Suatu skala menunjukkan harga HLB surfaktan

                      2.2.3 Adsorbsi

                        Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik, sehingga akan berdifusi dan teradsorbsi membentuk sebuah lapisan pada antar muka air dan udara atau pada antar muka air dan minyak. Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik surfaktan ditarik menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain), sedangkan molekul lipofilik surfaktan berada pada permukaan cairan. Efek molekul surfaktan pada permukaan dikenal sebagai adsorbsi, yang berakibat terhadap penurunan tegangan permukaan (Hargreaves, 2003).

                        Adsorbsi surfaktan mempunyai peranan penting pada aplikasi agen pembersih seperti pada proses pembusaan dan emulsifikasi. Hal ini tergantung dari keefektifasan difusi surfaktan. Proses adsorbsi dipengaruhi oleh elastisitas dan viskositas dari surfaktan untuk kestabilan dari busa dari emulsi yang dihasilkan.

                      2.2.4 Pembentukan Micelle

                        Pada konsentrasi yang cukup tinggi, gugus lopofilik surfaktan akan beragregat membentuk subuah struktur melingkar yang disebut micelle, dimana ekor lipofilik berada pada pusat agregat dan kepala hidrogfilik akan kontak dengan air, sehingga berorientasi keluar micelle. Struktur ini didorong oleh adanya gaya van der Walls yang terjadi sepanjang ekor lopofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik.

                        Bila penambahan surfaktan melebihi konsentrasi kritis tertentu, maka surfaktan akan mengalami agregasi dan membentuk struktur misel. Penambahan surfaktan tersebut tidak akan mempengaruhi tegangan permukaan walaupun konsentrasi surfaktan terus ditingkatkan. Konsentrasi kritis terbentuknya misel ini disebut sebagai critical micelle concentration (CMC), seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 2.2.3.

                        Secara termodinamis pembentukan misel menjelaskan bahwasanya gugus hidrofobik dari surfaktan tidak tidak suka atau tidak bercampur dengan air. Jika gugua hidrofobik surfaktan (rantai hidrokarbon) dilarutkan didalam air, maka molekul- molekul air yang berada disekeliling gugus hidrofobik surfaktan akan mempunyai gerakan termal yang lebih kecil dibandingkan molekul air yang berada didalam larutan. Dengan perkataan lain, orientasi molekul air disekeliling rantai hidrokarbon tersusun lebih teratur dari pada molekul air yang berada didalam larutan.

                        Berkurangnya kebebasan molekul air disekelilig gugus hidrokarbon dapat diartikan sebagai turunnya entropi jika didefenisikan secara termodinamika. Keadaan ini merupakan keadaan yang tidak stabil dan tidak diinginkan. Jika rantai hidrokarbon yang terhambur didalam air cukup banyak, maka entropi akan berkurang dan secara termodinamika merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan.

                        Jika gugus-gugus hidrokarbon dari molekul molekul surfaktan bergabung satu sama lain, maka molekul air yang semula mengelilingi gugus hidrokarbon akan terpisah. Fenomena ini menunjukkan bahwa entropi air yang kecil akan menjadi lebih besar dan molekul air menuju pada suatu keadaan yang stabil dan di inginkan secara termodinamika. Penggabungan gugus hidrokarbon menyebabkan entropi gugus hidrokarbon berkurang, tetapi besarnya pengurangan ini lebih kecil dibandingkan besarnya kenaikan entropi air (Fitriadi, 1999).