Mobnas dan Jati Diri Bangsa
Mobnas dan Jati Diri Bangsa
Oleh Agus Budi Wibowo
Ketika pertama kali isu mobil nasional diluncurkan oleh pemer
intah, Februari lalu, kemudian diikuti dengan Keppres bulan lalu,
sorotan soal mobil nasional (khususnya Timor) tampaknya tidak
pernah habishabisnya. Isu mobil nasional ini menjadi tema sentral
pemberitaan media massa. Kala itu, Tommy menjadi pusat perhatian
dan buruan para wartawan. Demikian pula dengan Menteri Tungky
Ariwibowo yang menjadi pihak terkait langsung dengan mobil
nasional ini.
Para konsumen pun penasaran dengan apa yang dinamakan
mobil nasional ini. Selama ini mobil yang berseliweran hanyalah
mobilmobil buatan Jepang, Eropa dan Amerika. Dan belum ada
mobil nasional yang menggelinding di jalan raya. Dulu pernah ada
mobil rakyat (MR 90) yang dikeluarkan oleh Mazda, namun saat ini
seakan tenggelam karena mobil ini tidak lagi menjadi mobil rakyat
yang dapat dijangkau. Karenanya masyarakat mendambakan sebuah
mobil bercirikan nasional dan tentunya dengan harga yang dapat
terjangkau.
Selama ini yang ada adalah mobil dengan harga cukup mahal.
Mobil yang ada di Indonesia adalah termasuk katagori mobil mahal di
dunia. Tak pelak lagi ada isu mobil nasional akan diluncurkan dengan
harga terjangkau disambut oleh konsumen. Dengan harga kurang
lebih di bawah Rp 40 juta mereka dapat membawa pulang mobil
sekelas mobil Jepang. Padahal dulu dengan uang yang nilai sama
hanya mendapat mobil bekas. Wajarlah kalau kemudian mereka
menunggu hadirnya mobil nasional.
Akibat adanya sikap menunggu masyarakat ini membawa
dampak gairah otomotif manjadi lesu. Sebagian besar konsumen
akhirnya menunda pembelian mobil. Gerakan menunggu konsumen ini
tampaknya bisa dilihat dari angka penjualan mobil yang dicatat oleh
Gaikindo. Data penjualan mobil dari semua katagori Januari sampai
Tulisan ini pernah dimuat dalam harian umum Serambi Indonesia pada hari Jumat
30 Agustus 1996 halamn 4.
Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si adalah staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Banda Aceh
Mei lalu hanya 131.445 unit. Angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan data penjualan pada kurun waktu yang sama tahun lalu yang
mencapai 148.278 unit (Gatra, 1996).
Kini mobil nasional tidak sekedar isu isapan jempol yang
menjadi bahan pergunjingan, melainkan sudah digelar. Hajatan
peluncuran mobil Timor yang merupakan mobil nasional pertama
yang diakui pemerintah sudah digelar. Masyarakat tampaknya
antusias untuk melihat pameran yang digelar di tiga plaza di Jakarta
hingga 7 Agustus lalu. Sebagian dari mereka mulai memesan mobil
ini. Pasar mobil yang akhirakhir ini lesu kembali bergairah.
Kegairahan ini tampak pula di kalangan pelaku mobil pemegang
ATPM.
Yang lebih menarik lagi sebagai akibat dari mobil Timor,
malahan, mulai muncul mobil nasional "baru" seperti "Cakra dan
Nenggala" keluaran Bimantara Grup dan terakhir "Bakrie" keluaran
Bakrie Grup. Walaupun kedua pelaku otomotif yang disebut terakhir
belum "diakui" oleh pemerintah, namun secara keseluruhan
keberanian usaha ketiganya untuk "menasionalkan" industri otomotif
harus kita beri acungan jempol. Merekalah pionerpioner tumbuhnya
industri otomotif nasional. Rintisan "kreativitas" anakanak Indonesia
yang menjadi pengusaha ini amat menggembirakan dan bisa
memberikan horizon baru bagi usaha yang selama ini telah berjalan.
Munculnya mobil nasional ini telah menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat menyambut
gembira karena mereka punya banyak pilihan dengan harga yang
terjangkau kantong mereka. Namun Sebagian lagi tidak setuju dengan
adanya mobil nasional ini. Adanya mobil nasional telah merusak
pasar yang sudah mapan dan berjalan selama ini. , Masyarakat
menjadi berpaling dari mobilmobil yang sudah ada. Tingkat
persaingan di antara ATPM semakin ketat.
Pihak Jepang dan Eropa yang bertindak sebagai pihak
prinsipal pun merasa "kebakaran jenggot" dengan adanya
kebijaksanaan mobil nasional. Bagi Eropa pasar Indonesia memang
kecil. Tidak mungkin dengan Jepang yang menguasai 9095 persen
pasar. Tentunya, kebijaksanaan mobil nasional ini akan mengancam
pasar yang selama ini mereka nikmati. Kabarnya Jepang akan
membawa masalah ini ke tingkat WTO.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak, pembangunan
industri otomotif nasional harus terus berjalan. Karena, menurut
hemat saya, masalah mobil nasional ini tidak hanya menyangkut
masalah industri, ekonomi, politik saja, tetapi ia telah menyentuh
segisegi kultural, tepatnya harga diri dan jati diri kita sebagai
suatu bangsa. Bahwa "nasionalisasi" industri otomotif merupakan
salah satu wujud pengungkapan suatu jati diri bangsa yang mandiri.
Beberapa hari yang lalu kita telah memperingati Hari Teknologi
Nasional. Presiden dalam amanatnya menegaskan bahwa industri
maju memerlukan teknologi transportasi serta rancang bangun dan
kontruksi yang handal. Bangsa Indonesia akan mengalami kesulitan
dalam mengirim barang dari satu tempat ke tempat lain serta
menampung gerak manusia yang makin dinamis. Apabila
teknologi transportasi tidak dikuasai pembangunan tentunya akan
tersendat dan pemerataan akan sulit kita wujudkan. Dengan
demikian bangsa Indonesia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan teknologi. Penguasaan teknologi ini memang sudah
diamanatkan rakyat melalui GBHN. Sektor industri sejak satu
dasawarsa yang lalu menjadi anak “emas” politik ekonomi nasional
dan dianggap sebagai suatu andalan dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Karenanya, tidak mengherankan kebijaksanaan dan
reformasiekonomi seperti wujud dalam alokasi dana,
pembangunan jaringan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya
seperti SDM sampai pada.tindakan proteksi secara langsung yang
berpihak dan mendukung sektor industri.
Tindakan ini bukan tanpa alasan. Memasuki Kebangkitan
Nasional II (PJPII), era tinggal landas, dalam abad ke21 nanti
hanya bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
akan dapat mengikuti kemajuan zaman dan bisa memanfaatkan
peluangpeluang yang ada. Teknologi adalah sarana yang
adauntuk menanggapi kebangkitan nasional kedua itu. Sanggup
berkompetisi secara fair ke dalam dan ke luar, terutama bersaing
dengan bangsa lain. Tidak bersaing atas dasar kekuatan otot tetapi
dengan kemampuan otak, ilmu, kecepatan keahlian inovasi adalah
tantangan yang dihadapi pada abad ke21 nanti.
Kita menjawab sebagian tantangan tersebut setelah Indonesia
menguasai teknologi dirgantara yang ditandai dengan peluncuran
pesawat N250 pada ulang tahun emas Kemerdekaan RI tahun lalu.
Namun demikian kita harus pula dapat menjawab tantangan yang
lain. Oleh karena itu sudah saatnya dan sepantasnyalah bangsa
Indonesia menguasai teknologi lain, seperti teknologi otomotif.
Menurut hemat saya, sumberdaya manusia Indonesia sudah
mampu menguasai teknologi. Tinggallah kita pupuk kemauan politik
kultural bahwa bangsa Indonesia mampu untuk menguasai teknologi,
apapun teknologi itu. Lepas dari persoalan tidak tegasnya pemerintah
terhadp industri otomotif dan keasyikan para pelaku industri otomotif
(ATPM) nasional yang hanya berhenti sampai industri perakitan
(Kompas, 1996) tekad Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan ke
bijaksanaan mobil nasional perlu didukung baik oleh kalangan
swasta maupun masyarakat.
Memang ketiga pengusaha Indonesia. telah menunjukkan tekad
mereka untuk dapat mewujudkannya. Mental melepaskan dari
genggaman kuat prinsipal pembuat mobil adalah suatu sikap untuk
menunjukkan bahwa kita mempunyai suatu jati diri bangsa yang
mandiri. Gerak “nasionalisasi” ini seakanakan memberi daya untuk
menyimak kembali kondisi dunia usaha yang selama ini dianggap
sebagai given saja.
Keinginan untuk menciptakan sebuah teknologi sendiri
seharusnya diartikan sebuah keinginan "merdeka" dalam penguasaan
teknologi .Merdeka tidak hanya diartikan lepas dari pendudukan
saja, tetapi juga keinginan menentukan nasib sendiri. Walaupun
keinginan tersebut dimulai setapak demi setapak namun kemampuan
politik kultural yang ditunjukkan oleh pemerintah ini hendaknya
disambut hangat oleh seluruh bangsa lndonesia.
Sesuatu yang paling mudah dilakukan oleh seluruh bangsa
Indonesia terhadap tekad pemerintah ini, adalah dengan mulai
mencintai produksi dalam negeri. Dengan demikian. kebijaksanaan
mobil nasional ini nantinya tidak berhenti di tengah jalan.
Oleh Agus Budi Wibowo
Ketika pertama kali isu mobil nasional diluncurkan oleh pemer
intah, Februari lalu, kemudian diikuti dengan Keppres bulan lalu,
sorotan soal mobil nasional (khususnya Timor) tampaknya tidak
pernah habishabisnya. Isu mobil nasional ini menjadi tema sentral
pemberitaan media massa. Kala itu, Tommy menjadi pusat perhatian
dan buruan para wartawan. Demikian pula dengan Menteri Tungky
Ariwibowo yang menjadi pihak terkait langsung dengan mobil
nasional ini.
Para konsumen pun penasaran dengan apa yang dinamakan
mobil nasional ini. Selama ini mobil yang berseliweran hanyalah
mobilmobil buatan Jepang, Eropa dan Amerika. Dan belum ada
mobil nasional yang menggelinding di jalan raya. Dulu pernah ada
mobil rakyat (MR 90) yang dikeluarkan oleh Mazda, namun saat ini
seakan tenggelam karena mobil ini tidak lagi menjadi mobil rakyat
yang dapat dijangkau. Karenanya masyarakat mendambakan sebuah
mobil bercirikan nasional dan tentunya dengan harga yang dapat
terjangkau.
Selama ini yang ada adalah mobil dengan harga cukup mahal.
Mobil yang ada di Indonesia adalah termasuk katagori mobil mahal di
dunia. Tak pelak lagi ada isu mobil nasional akan diluncurkan dengan
harga terjangkau disambut oleh konsumen. Dengan harga kurang
lebih di bawah Rp 40 juta mereka dapat membawa pulang mobil
sekelas mobil Jepang. Padahal dulu dengan uang yang nilai sama
hanya mendapat mobil bekas. Wajarlah kalau kemudian mereka
menunggu hadirnya mobil nasional.
Akibat adanya sikap menunggu masyarakat ini membawa
dampak gairah otomotif manjadi lesu. Sebagian besar konsumen
akhirnya menunda pembelian mobil. Gerakan menunggu konsumen ini
tampaknya bisa dilihat dari angka penjualan mobil yang dicatat oleh
Gaikindo. Data penjualan mobil dari semua katagori Januari sampai
Tulisan ini pernah dimuat dalam harian umum Serambi Indonesia pada hari Jumat
30 Agustus 1996 halamn 4.
Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si adalah staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Banda Aceh
Mei lalu hanya 131.445 unit. Angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan data penjualan pada kurun waktu yang sama tahun lalu yang
mencapai 148.278 unit (Gatra, 1996).
Kini mobil nasional tidak sekedar isu isapan jempol yang
menjadi bahan pergunjingan, melainkan sudah digelar. Hajatan
peluncuran mobil Timor yang merupakan mobil nasional pertama
yang diakui pemerintah sudah digelar. Masyarakat tampaknya
antusias untuk melihat pameran yang digelar di tiga plaza di Jakarta
hingga 7 Agustus lalu. Sebagian dari mereka mulai memesan mobil
ini. Pasar mobil yang akhirakhir ini lesu kembali bergairah.
Kegairahan ini tampak pula di kalangan pelaku mobil pemegang
ATPM.
Yang lebih menarik lagi sebagai akibat dari mobil Timor,
malahan, mulai muncul mobil nasional "baru" seperti "Cakra dan
Nenggala" keluaran Bimantara Grup dan terakhir "Bakrie" keluaran
Bakrie Grup. Walaupun kedua pelaku otomotif yang disebut terakhir
belum "diakui" oleh pemerintah, namun secara keseluruhan
keberanian usaha ketiganya untuk "menasionalkan" industri otomotif
harus kita beri acungan jempol. Merekalah pionerpioner tumbuhnya
industri otomotif nasional. Rintisan "kreativitas" anakanak Indonesia
yang menjadi pengusaha ini amat menggembirakan dan bisa
memberikan horizon baru bagi usaha yang selama ini telah berjalan.
Munculnya mobil nasional ini telah menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat menyambut
gembira karena mereka punya banyak pilihan dengan harga yang
terjangkau kantong mereka. Namun Sebagian lagi tidak setuju dengan
adanya mobil nasional ini. Adanya mobil nasional telah merusak
pasar yang sudah mapan dan berjalan selama ini. , Masyarakat
menjadi berpaling dari mobilmobil yang sudah ada. Tingkat
persaingan di antara ATPM semakin ketat.
Pihak Jepang dan Eropa yang bertindak sebagai pihak
prinsipal pun merasa "kebakaran jenggot" dengan adanya
kebijaksanaan mobil nasional. Bagi Eropa pasar Indonesia memang
kecil. Tidak mungkin dengan Jepang yang menguasai 9095 persen
pasar. Tentunya, kebijaksanaan mobil nasional ini akan mengancam
pasar yang selama ini mereka nikmati. Kabarnya Jepang akan
membawa masalah ini ke tingkat WTO.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak, pembangunan
industri otomotif nasional harus terus berjalan. Karena, menurut
hemat saya, masalah mobil nasional ini tidak hanya menyangkut
masalah industri, ekonomi, politik saja, tetapi ia telah menyentuh
segisegi kultural, tepatnya harga diri dan jati diri kita sebagai
suatu bangsa. Bahwa "nasionalisasi" industri otomotif merupakan
salah satu wujud pengungkapan suatu jati diri bangsa yang mandiri.
Beberapa hari yang lalu kita telah memperingati Hari Teknologi
Nasional. Presiden dalam amanatnya menegaskan bahwa industri
maju memerlukan teknologi transportasi serta rancang bangun dan
kontruksi yang handal. Bangsa Indonesia akan mengalami kesulitan
dalam mengirim barang dari satu tempat ke tempat lain serta
menampung gerak manusia yang makin dinamis. Apabila
teknologi transportasi tidak dikuasai pembangunan tentunya akan
tersendat dan pemerataan akan sulit kita wujudkan. Dengan
demikian bangsa Indonesia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan teknologi. Penguasaan teknologi ini memang sudah
diamanatkan rakyat melalui GBHN. Sektor industri sejak satu
dasawarsa yang lalu menjadi anak “emas” politik ekonomi nasional
dan dianggap sebagai suatu andalan dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Karenanya, tidak mengherankan kebijaksanaan dan
reformasiekonomi seperti wujud dalam alokasi dana,
pembangunan jaringan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya
seperti SDM sampai pada.tindakan proteksi secara langsung yang
berpihak dan mendukung sektor industri.
Tindakan ini bukan tanpa alasan. Memasuki Kebangkitan
Nasional II (PJPII), era tinggal landas, dalam abad ke21 nanti
hanya bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
akan dapat mengikuti kemajuan zaman dan bisa memanfaatkan
peluangpeluang yang ada. Teknologi adalah sarana yang
adauntuk menanggapi kebangkitan nasional kedua itu. Sanggup
berkompetisi secara fair ke dalam dan ke luar, terutama bersaing
dengan bangsa lain. Tidak bersaing atas dasar kekuatan otot tetapi
dengan kemampuan otak, ilmu, kecepatan keahlian inovasi adalah
tantangan yang dihadapi pada abad ke21 nanti.
Kita menjawab sebagian tantangan tersebut setelah Indonesia
menguasai teknologi dirgantara yang ditandai dengan peluncuran
pesawat N250 pada ulang tahun emas Kemerdekaan RI tahun lalu.
Namun demikian kita harus pula dapat menjawab tantangan yang
lain. Oleh karena itu sudah saatnya dan sepantasnyalah bangsa
Indonesia menguasai teknologi lain, seperti teknologi otomotif.
Menurut hemat saya, sumberdaya manusia Indonesia sudah
mampu menguasai teknologi. Tinggallah kita pupuk kemauan politik
kultural bahwa bangsa Indonesia mampu untuk menguasai teknologi,
apapun teknologi itu. Lepas dari persoalan tidak tegasnya pemerintah
terhadp industri otomotif dan keasyikan para pelaku industri otomotif
(ATPM) nasional yang hanya berhenti sampai industri perakitan
(Kompas, 1996) tekad Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan ke
bijaksanaan mobil nasional perlu didukung baik oleh kalangan
swasta maupun masyarakat.
Memang ketiga pengusaha Indonesia. telah menunjukkan tekad
mereka untuk dapat mewujudkannya. Mental melepaskan dari
genggaman kuat prinsipal pembuat mobil adalah suatu sikap untuk
menunjukkan bahwa kita mempunyai suatu jati diri bangsa yang
mandiri. Gerak “nasionalisasi” ini seakanakan memberi daya untuk
menyimak kembali kondisi dunia usaha yang selama ini dianggap
sebagai given saja.
Keinginan untuk menciptakan sebuah teknologi sendiri
seharusnya diartikan sebuah keinginan "merdeka" dalam penguasaan
teknologi .Merdeka tidak hanya diartikan lepas dari pendudukan
saja, tetapi juga keinginan menentukan nasib sendiri. Walaupun
keinginan tersebut dimulai setapak demi setapak namun kemampuan
politik kultural yang ditunjukkan oleh pemerintah ini hendaknya
disambut hangat oleh seluruh bangsa lndonesia.
Sesuatu yang paling mudah dilakukan oleh seluruh bangsa
Indonesia terhadap tekad pemerintah ini, adalah dengan mulai
mencintai produksi dalam negeri. Dengan demikian. kebijaksanaan
mobil nasional ini nantinya tidak berhenti di tengah jalan.