Askep Lansia Fraktur Humeri

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR HUMERUS PADA LANSIA

Mata Kuliah : Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh : Kelompok 1

Rafida Wahyu Tri U (P17420713016 )
Zulinda Risma D

(P17420713024)

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
PRODI DIV KEPERAWATAN MAGELANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. Pembangunan kesehatan

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat

yang

optimal.

Selama

ini

epidemiologi

banyak

berkecimpung menangani masalah kesehatan yang berhubungan
dengan penyakit menular. Namun kemudian, epidemiologi dituntut
untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak menular (PTM).
Salah satu ciri kependudukan abad ke-21 adalah meningkatnya

populasi

penduduk lanjut usia (lansia) dengan sangat cepat. Pada

tahun 2005 penduduk lansia (usia 60 tahun ke atas) di seluruh dunia
sekitar 458 juta jiwa. Jumlah ini diperkirakanakan meningkat hampir 2
kali lipat pada tahun 2025 yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau
9,7% dari total penduduk dunia. Pada tahun 2007, International
Osteoporosis Foundation (IOF) memperkirakan sekitar 150 juta
penduduk berusia di atas 50 tahun di seluruh dunia terdeteksi
menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur yang dapat
melumpuhkan dan menurunkan kualitas hidup. Hanya sepertiga yang
dapat

sembuh

dan

beraktivitas


dengan

optimal.

Gangguan

keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering mengakibatkan
seorang lansia mudah jatuh. Berdasarkan hasil survei Ruben, dkk
(1999) di masyarakat Amerika Serikat, sekitar 30% lansia umur lebih
dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut
mengalami jatuh berulang. Sebesar 5% dari penderita jatuh ini
mengalami fraktur dan memerlukan perawatan di rumah sakit.
Penelitian Juita Sinambela (2004) di Rumah Sakit Santa Elisabeth
Medan mencatat, pada tahun 2002 kejadian fraktur pada lansia

berumur lebih dari 50 tahun sebesar 30% dari seluruh kasus fraktur
yang ada (49 kasus).
Penurunan fungsi organ menyebabkan lansia rawan terhadap
gangguan keseahatan. Patah tulang (fraktur) merupakan salah satu dari
sindrom geriatrik. Seiring dengan bertambahnya usia, terdapat

peningkatan hilangnya massa tulang secara linear. Tingkat hilangnya
massa tulang ini sekitar 0,5 - 1% per tahun dari berat tulang pada
wanita pasca menopause dan pria lebih dari 80 tahun. Sistem
muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan tendon. Masalah
yang berhubungan dngan struktur ini sangat sering terjadi dan
mengenai semua kelompok usia. Gangguan muskuloskeletal pada usia
lanjut merupakan salah satu dari sedemikian banyak kasus geriatri
yang lazim dijumpai di praktik sehari-hari. Pada usia lanjut dijumpai
proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta
perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai
puncak pada pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun).
Fraktur panggul merupakan fraktur yang paling sering terjadi
pada lansia, namun selain fraktur panggul lansia juga sering
mengalami fraktur humerus. Umumnya karena jatuh pada bahu dan
bisa disertai dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada
lanjut usia bahkan setelah jatuh. Fraktur Midshaft humerus sebagian
besar terjadi setelah jatuh pada siku atau kecelakaan di jalan, karena
saraf radialis berjalan sangat dekat ke bagian tulang humerus sehingga
dapat terluka karena trauma primer, atau karena terjebak antara ujung
tulang retak, atau bahkan selama pengobatan. Oleh karena itu,

perawatan harus dilakukan di setiap langkah untuk memastikan
integritas dari saraf.

B. Tujuan Penulisan
1. TujuanUmum.
Tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami patah tulang pada lansia.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep patah
tulang pada lansia.
b. Mahasiswa mampu mengetahui proses penyembuhan tulang
pada lansia.
c. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan patah tulang
humerus pada lansia.
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud fraktur humeri?
2. Apa etiologi (penyabab) dari fraktur?
3. Apa anatomi dsn fisiologi tulang humerus?
4. Bagaimana perjalanan (patofisiologi) fraktur?
5. Bagaimana proses penyembuhan tulang khusunya pada lansia?

6. Apa komplikasi pada fraktur ?
7. Bagaimana pengelolaan/asuhan keperawatan fraktur yang terjadi
pada lansia?

BAB II
ISI
A. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. (L
J Carpenito,2010). Patah tulang merupakan terputusnya kontinuitas
tulang dan tulang rawan (Kapita selekta kedokteran,2012). Patah Tulang
Humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang
humerus.
B. ETIOLOGI
Menurut Long (2006:356) penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda

paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
C. Anatomi dan fisiologi tulang humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung
atas), korpus, dan ujung bawah.
1. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala,
yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan
merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat

bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar
ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu
Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan

lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat
celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari
otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah
terjadi fraktur.
2. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin
pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut
tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah
celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari
sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf
radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis
atau radialis.
3. Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di
sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian
dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi
dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus
terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce,
Evelyn C, 2007)

D. Fungsi Tulang

:

1. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2. Tempat melekatnya otot.
3. Melindungi organ .
4. Tempat pembuatan sel darah.
5. Tempat penyimpanan garam mineral (Ignatavicius, Donna D,2008)
E. Klasifikasi patah tulang/fraktur

1. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar.
a. Closed

frakture

(fraktur

tertutup):


Fraktur

yang

tidak

menyebabkan luka terbuka pada kulit.
b. (fraktur terbuka) :Adanya hubungan antara fragmen tulang yang
patah dengan dunia luar.
2. Berdasarkan jenisnya
a. Fraktur komplit :Garis fraktur mengenai seluruh korteks tulang.
b. Fraktur tidak komplit : Garis fraktur tidak mengenai seluruh
korteks.
3. Berdasarkan garis fraktur
a. Fraktur transversa : Garis fraktur memotong secara transversal.
Sumbu longitudinal.
b. Fraktur obliq :Garis fraktur memotong secara miring sumbu
longitudinal.
c. Fraktur spiral: Garis fraktur berbentuk spiral.
d. Fraktur butterfly : Bagian tengah dari fragmen tulang tajam dan

melebar ke samping.
e. Fraktur impacted (kompresi) : Kerusakan tulang disebabkan oleh
gaya tekanan searah sumbu tulang.
f. Fraktur avulsi : Lepasnya fragmen tulang akibat tarikan yang kuat
dari ligamen.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur kominutif :Fragmen fraktur lebih dari dua.
b. Fraktur segmental : Pada satu korpus tulang terdapat beberapa
fragmen fraktur yang besar.
c. Fraktur multiple: Terdapat 2 atau lebih fraktur pada tulang yang
berbeda.
F. Macam-macam Fraktur Humerus
Macam-macam patah tulang humerus adalah sebagai berikut.
1. Fraktur humerus proksimal umumnya karena jatuh pada bahu dan
bisa disertai dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum

pada lanjut usia bahkan setelah jatuh. Karena sifat cancellous tulang
humerus di bagian ini (seperti spons), tulang bagian ini dapat ada
dapat runtuh dan terdeformasi bersama dengan fraktur, hal ini
menyebabkan perlunya reformasi tulang pada saat pengobatan.
2. Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh pada
siku atau kecelakaan di jalan. Saraf radialis berjalan sangat dekat ke
bagian tulang humerus sehingga dapat terluka karena trauma primer,
atau karena terjebak antara ujung tulang retak, atau bahkan selama
pengobatan. Oleh karena itu, perawatan harus dilakukan di setiap
langkah untuk memastikan integritas dari saraf.
G. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 2006). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall,
2006). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 2008)
H. Manifestasi Klinis
1. Deformitas.
2. Bengkak
3. Spasme otot karena kontraksi involunter di sekitar fraktur.
4. Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan fraktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur.

5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
di mana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
7. Pergerakan abnormal (menurunnya rentang gerak).
8. Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakkan.

I. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang
mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap
penyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan
menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada
keluarganya.
1. Terhadap Klien
a. Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya
yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan
untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi
melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
b. Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri
dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi
rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta
tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
c. Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak
akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam
melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
d. Spiritual

Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai
dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah
yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
2. Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota
keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan
keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan
sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga,
untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan
penjelasan terhadap keluarga. Selain itu, keluarga harus bisa
menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini
tentunya menjadi beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit,
sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya
keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien.

J. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi
tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler

Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone
marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang
pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang

tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.(Black, J.M, et al, 2008)
K. Pemulihan fraktur humerus didasarkan pada beberapa faktor,
1. Jumlah dan dislokasi fragmen tulang
2. Tingkat keparahan fraktur humerus dan cedera jaringan lunak
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Usia penderita
Lokasi dan konfigurasi fraktur
Pergeseran awal fraktur
Vaskularisasi pada kedua fragmen.
Reduksi serta imobilisasi
Waktu imobilisasi

9. Waktu tunda antara cedera dan pengobatan
10. Latihan rehabilitasi Fraktur humerus
Sebuah pemulihan fraktur humerus lengkap memerlukan waktu
sekitar 3-4 bulan, yang mencakup beberapa bulan untuk penyembuhan
fraktur humerus diikuti dengan penggunaan brace pelindung fraktur
humerus selama beberapa bulan untuk mendukung latihan dan
rehabilitasi fraktur humerus.
L. Komplikasi fraktur
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas

kapiler

yang

bisa

menyebabkan

menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.

b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik. (Black, J.M, et al, 2008)
3. Penatalaksanaan Fraktur
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
a. Recognisi/pengenalan.
Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur
harus jelas.
b. Reduksi/manipulasi.
Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin
dapat kembali seperti letak asalnya.
c. Retensi/memperhatikan reduksi
Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
d. Traksi
Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian
tubuh dengan memakai katrol dan tahanan beban untuk
menyokong tulang.
e. Gips
Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam
bentuk tertentu dengan mempergunakan alat tertentu.
f. Operation/pembedahan
Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan
pembedahan. Metode ini disebut fiksasi interna dan reduksi

terbuka. Dengan tindakan operasi tersebut, maka fraktur akan
direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi dengan
menggunakan orthopedi yang sesuai

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR HUMERI
PADA LANSIA
1. PENGKAJIAN
1. Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan
dalam proses keperawatan
a. Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, nomor registrasi, tanggal dan jam
masuk rumah sakit (MRS) dan diagnose medis. Pada
umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus
adalah nyeri. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap

mengenai nyeri klien, perawat dapat menggunakan
metode PQRST.
Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas
nyeri adalah trauma pada lengan atas.
Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang
seperti apa.
Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas.
Nyeri dapat reda dengan apa? dengan imobilitas atau
istirahat? Nyeri dapat menjalar atau menyebar tidak?
Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien
merasakan nyeri dengan skala berapa (1-10)
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
1. Riwayat penyakit sekarang.
Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan penyebab
fraktur yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien.
2. Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang
tersebut akan menyambung. Penyakit- penyakit tertentu,
seperti kanker tulang dan penyakit yang menyebabkan faktor
patologis sehingga tulang sulit menyambung.
3. Riwayat penyakit keluarga.
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
4. Riwayat psikososial spiritual.
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya,
peran klien dalam keluarga dan masyarakat , serta respon

atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.

2. Pengkajian fokus pola fungsional gordon
a. Pola

persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus

fraktur, klien biasanya merasa takut

akan mengalami

kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, juga dilaksanakan
pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti
penggunaan obat steroid yang dapat menganggu metabolisme
kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu
keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahgara
atau tidak.
b. Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran
sementara dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus
menjalani rawat inap.
c. Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada
klien fraktur adalah timbulnya ketakutan akan kecacatan
akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
d. Pola

nutrisi

dan

metabolism.

Klien

fraktur

harus

mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya,
seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan
penyebab masalah musculoskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan

faktor predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada
lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
e. Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami
gangguan pola eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi,
kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi alvi.
Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna,
bau, dan jumlahnya. Pada kedua pola tersebut juga dikaji
adanya kesulitan atau tidak.
f. Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
pada indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
g. Pola penanggulangan stres. Pada klien fraktur timbul rasa
cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditembuh klien dapat tidak efektif.
h. Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat
melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh
nyeri dan keterbatasan gerak klien.
i.

Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas.
semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan klien
memerlukan banyak bantuanorang lain. hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan klien
karena beberapa pekerjaan berisiko terjadinya fraktur.

j.

Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri
dan geraknya terbatas sehingga dapat menganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan pengkajian

lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan
tidur, dan penggunaan obat tidur.

3. Pemeriksaan fisik
Ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum
(status general) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (local).
a. Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda –
tanda yang perlu dicatat adalah sebagai berikut :
i. Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos
mentis yang bergantung pada keadaan klien.
ii. Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
iii. Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan
local, baik fungsi maupun bentuk.
b. B1 (Breating).
Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa
klien fraktur humerus tidak mengalami kelainan pernapasan.
Pada palpasi toraks, didapatkan taktilfremitus seimbang
kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas
tambahan kecuali jika memang klien mempunyai penyakit
paru.
c. B2 ( Blood)
Palpasi nadi.
d. B3 ( Brain)
i. Tingkat kesadaran
a) Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik,
simetris, tidak ada penonjolan, ada atau tidak nya sakit
kepala.

b) Leher : ada atau tidaknya gangguan menelan, ada
tidaknya benjolan pada leher
c)  Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk, Wajah simetris, tidak ada
lesi dan edema.
d) Mata: ada tidaknya gangguan pengelihatan,pemakaian
alat bantu pengelihatan, s konjungtiva anemis/tidak,
sklera ikterik/tidak, pupil isokor/anisokor.
e) Telinga: Ada tidaknya gangguan pendengaran, ada
tidaknya alat bantu mendengar
f) Hidung: tidak ada tidaknya pernapasan cuping hidung,
polip
g) Mulut dan Faring: ada tidaknya pembesaran tonsil, gusi
perdarahan/tidak, mukosa mulut pucat/tidak, gigi
lengkap atau ompong, ada tidaknya gigi palsu.
ii.

Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi
penampilan dan tingkah laku klien. Ada tidaknya
perubahan tingkah laku

e. B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputi warna,
jumlah dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Ada tidaknya nyeri berkemih
f. B5 (Bowel) Inspeksi abdomen : Bentuk datar/cembung,
simetris,ada tidaknya hernia. Palpasi : Turgor kulit?,.
Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus nomal

20 kali/menit.

g. B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu
secara lokal, baik fungsi motorik, sensorik, maupun
peredaran darah.
i. Look. Pada sistem integumen terdapat eritema, suhu
disekitar daerah trauma, bengkak, edema, dan nyeri

tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak
biasa

(abnormal).

Perhatikan

adanya

sindrom

kompartemen pada lengan bagian distal fraktur humerus.
Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma
jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit. Fraktur
oblik, spiral, dan bergeser mengakibatkan pemendekan
batang humerus. kaji adanya tanda-tanda cedera dan
kemungkinan keterlibatan berkas neurovascular (saraf
dan pembuluh darah) lengan, seperti bengkak/edema.
Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk adanya
cedera saraf radialis. Pengkajian neurovascular awal
sangat penting untuk membedakan antara trauma akibat
cedera dan komplikasi akibat penanganan. Klien tidak
mampu menggerakan lengan dan kekuatan otot lengan
menurun dalam melakukan pergerakan. Pada keadaan
tertentu, klien fraktur humerus sering mengalami
sindrom kompartemen pada fase awal setelah patah
tulang.

Perawat

perlu

mengkaji

apakah

ada

pembengkakan pada lengan atas menganggu sirkulasi
darah kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf, dan
pembuluh darah terjebak dalam sindrom kompartemen
sehingga memerlukan perhatian perawat secara serius
agar organ di bawah lengan atas tidak menjadi nekrosis.
Tanda khas sindrom kompartemen pada fraktur humerus
adalah perfusi yang tidak baik pada bagian distal, seperti
jari-jari tangan, lengan bawah pada sisi fraktur bengkak,
adanya keluhan nyeri pada lengan, dan timbul bula yang
banyak menyelimuti bagian bawah fraktur humerus.
ii. Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi
pada daerah lengan atas.

iii. Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan
dilanjutkan dengan menggerakkan ekstermitas, kemudian
perawat mencatat apakah ada keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan
agar

dapat

mengevaluasi

keadaan

sebelum

dan

sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan dimulai dari titik 0
(posisi netral), atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan
ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas)
atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya
gangguan/ keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada
waktu akan palpasi, posisi klien diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). pada dasarnya, hal ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah baik pemeriksa maupun klien.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen
tulang, kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan,
dan reflex spasme otot sekunder.
2. Hambatan

mobilitas

diskontinuitas

fisik

jaringan

yang

berhubungan

dengan

tulang,

nyeri

sekunder

akibat

dengan

krisis

situasional,

akan

pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko cedera
4. Ansietas

berhubungan

menjalani operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi
peran.
C. Rencana Keperawatan

1. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen
tulang, kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan,
dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang (misal : dari skala 7 ke skala 4) nyeri
hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri
berkurang atau dapat diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang
meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah.
Skala nyeri dari.. ke ...
Intervensi:
a. Kaji nyeri dengan skala 0-10.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat
dikaji

dengan

menggunakan

skala

nyeri.

Klien

melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
b. Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama
penyebab nyeri pada lengan atas.
c. Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan,
suhu, distensi kandung kemih, dan berbaring lama.
d. Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda
nyeri nonfarmakologi dan noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri.
e. Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan
otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri.
Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah
sehingga O2 padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.

f. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur,
belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga
semua akan meningkatkan kenyamanan.
g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri
akan berkurang.
2. Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
diskontinuitas

jaringan

tulang,

nyeri

sekunder

akibat

pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kemampuannya dan bertahap.
Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan,
tidak mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah,
dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan
kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas.
b. Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional :imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama
penyebab nyeri pada lengan atas.
c. Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada
ekstermitas yang tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan
kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan
pernapasan.

d. Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai
toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik
klien.
Rasional:

kemampuan

mobilisasi

ekstremitas

dapat

ditingkatkan dengan latihan fisik dan tim fisisoterapi.
3. Dx: Risiko cedera
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah
cedera
Intervensi:
a. Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
Rasional : meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan
antara fragmen tulanng dan jaringan lunak sekitarnya
b. Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan
setempat dan sirkulasi perifer
Rasional : Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan
menilai secara dini adanya gangguan sirkulasi pada bagian
distal lengan atas
c. Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau
gulungan selimut agar posisi tetap netral
Rasional : mencegah perubahan posisi dengan tetap
mempertahankan kenyamanan dan keamanan
d. Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
Rasional : bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat
menjadi longgar dapat terjadi
e. Evaluasi

tanda/gejalah

perluasan

cedera

jaringan

(peradangan local/sistemik, seperti peningkatan nyeri,
edema, dan demam)
Rasional : menilai perkembangan masalah klien

4. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan
menjalani operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi
peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria hasil : klien mengenal perasaannya, dapat
mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhi,
dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
a. Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien
dan lakukan tindakan bila klien menunjukan perilaku
merusak
Rasional : reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa
agitasi, marah dan gelisa.
b. Hindari konfrontasi.
Rasional : konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat
penyembuhan.
c. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Rasional : mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
perlu.
d. Tingkatkan control sensasi klien.
Rasional : control sensasi klien (dalam mengurangi
ketakutan) denga cara memberikan informasi tentang
keadaan

klien,

menekankann

penghargaan

terhadap

sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif,
membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan,
serta memberikan umpan balik yang positif.
e. Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi
dan aktivitas yang diharapkan.
Rasional : orientasi terhadap prosedur operasi dapat
mengurangi ansietas.
f. Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya

Rasional : dapat menghilangkann ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
g. Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
Rasional : memberi waktu untuk mengekspresikan
perasaan, menghilangkan ansietas, dan perillaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien
untuk melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan
mengurangi perasaan terisolasi.
D. Evaluasi
Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi,
terpenuhinya pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari cedera, infeksi
pascaoperasi, dan ansietas berkurang.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan
tendon. Masalah yang berhubungan dngan struktur ini sangat sering
terjadi dan mengenai semua kelompok usia. Seiring bertambahnya
usia, seseorang menjadi lebih beresiko terhadap terjadinya
penurunan dari massa tulang atau tulang menjadi rapuh sehingga
mudah patah saat orang tersebut terjatuh. Pada usia lanjut dijumpai
proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh,
serta perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan
mencapai puncak pada pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia
30 tahun). Proses degenerasi juga terjadi pada persendian dapat
dijumpai pada hampir semua manusia usia lanjut. Faktor- faktor
seperti predisposisi genetik, riwayat trauma pada persendian,

obesitas, nutrisi, dan overuse dapat berinteraksi secara kompleks
dalam proses degenerasi sendi.
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang
patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan
tulang.

Ada

lima

stadium

penyembuhan

tulang,

yaitu:

Pembentukan Hematoma, Proliferasi Seluler, Pembentukan Kallus,
Konsolidasi Remodelling. Pemulihan fraktur juga didasarkan pada
beberapa faktor, yaitu : Jumlah dan dislokasi fragmen tulang,
tingkat keparahan fraktur humerus dan cedera jaringan lunak, usia
penderita, Lokasi dan konfigurasi fraktur, pergeseran awal fraktur,
vaskularisasi pada kedua fragmen, reduksi serta imobilisasi,waktu
imobilisasi, waktu tunda antara cedera dan pengobatan, latihan
rehabilitasi Fraktur humerus. Sebuah pemulihan fraktur humerus
lengkap memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan, yang mencakup
beberapa bulan untuk penyembuhan fraktur humerus diikuti
dengan penggunaan brace pelindung fraktur humerus selama
beberapa bulan untuk mendukung latihan dan rehabilitasi fraktur
humerus.
Asuhan keperawatan pada lansia tidak begitu berbeda jauh
dengan asuhan keperawatan fraktur pada dewasa atau anak-anak
umunya, hanya kepada lansia perawat harus benar-benar
memperhatikan dan memerlukan ketelitian karena sebagaimana
kita pahami bahwa pada lansia telah mengalami penurunan, baik
secara fisiologis ataupun psikologis. Disinilah peran dan kolaborasi
keluarga sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham ,2006. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley,
Widya Medika, Jakarta.
Carpenito (2010), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Dudley (2012), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (2007), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia
Medica, Jakarta.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 –
NANDA International

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC
(Edisi 9). Jakarta: ECG

LAMPIRAN GAMBAR

B. Lmpiran Pertanyaan
1. Pertanyaan
a. (Karisma) apa perbedaan patah tulang pada anak dan lansia ?
Jawab : Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan
dibanding dengan lansia, proses penyembuhannya dapat
berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat
baik, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi,
biomekanik serta fisiologi tulang anak yang berbeda dengan
tulang lansia. Salah satu faktor penyembuhan tulang adalah
usia, dimana penyembuhan fraktur pada lansia lebih lama
karena Massa tulang kontinu sampai mencapai puncak pada
usia 30-35 tahun setelah itu akan menurun karena disebabkan
berku¬rang¬nya aktivitas osteoblas dan osteoklas. Dengan
bertambahnya usia terdapat penurunan masa tulang.
b. (Onny) apakah suplemen dan vitamin tetap dibutuhkan pada
lansia, apakah masih berpengaruh?
Jawab : Seiring dengan menurunnya fungsi sel-sel tubuh saat
memasuki usia lanjut, suplementasi vitamin dan mineral tetap
dibutuhkan

untuk

mempertahankan

kondisi

kesehatan.

Penelitian mengindikasikan, vitamin dan kalsium mungkin
akan sangat membantu, khususnya bagi mereka yang sudah
memasuki usia senja. Pada lansia bukan berarti tidak butuh
kalsium justru lebih banyak daripada dewasa . kebutuhan

kalsium pada lansia lebih tinggi untuk menyeimbangkan laju
penguraian tulang yang memang terjadi di usia senja
c. (kartika) apabila lansia menolak akan perawatan, bagaimana
yang harus dilakukan oleh perawat?
Jawab : Teknik-teknik komunikasi dengan lansia harus
diperhatikan. Pendekatan pada lansia pun juga harus
dilakukan, seperti : Pendekatan fisik, Pendekatan psikologis,
Pendekatan sosial, dan Pendekatan spiritual. Selain itu,
disinilah perlunya kolaborasi dengan keluarga, kaji orang
yang paling dipercayai oleh klien, maka sedikit demi sedikit
klien akan mengikuti. Sebelumnya kita jelaskan terlebih
dahulu kepada keluarga apa yang akan kita lakukan beserta
tujuannya, sehingga anggota keluarga/orang yang paling
dipercaya klien akan menyampaikan dengan klien sehingga
klien perlahan mau mengkuti.

Dokumen yang terkait

BENTUK DUKUNGAN SOSIAL PADA LANSIA (Studi Kasus Di Pondok Lansia Al-Ishlah Malang, Jawa Timur)

2 48 10

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO (Studi Kasus di Pondok Lansia Yayasan Al-Ishlah Malang)

13 61 29

MAKNA HIDUP (Studi pada Lansia Tunanetra)

0 19 19

GAMBARAN KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO (Studi Kasus di Pondok Lansia Yayasan Al-Islah Malang)

7 81 29

BENTUK DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP SIKAP LANSIA DALAM MENJAGA KESEHATAN MENTALNYA (Studi Kualitatif terhadap Lansia Wanita di Posyandu Lansia Harapan dan Jember Permai I di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember)

4 11 21

BENTUK DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP SIKAP LANSIA DALAM MENJAGA KESEHATAN MENTALNYA (Studi Kualitatif terhadap Lansia Wanita di Posyandu Lansia Harapan dan Jember Permai I di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember)

3 56 58

Hubungan Antara Konsumsi Makanan dan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia (Studi di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Wuluhan Kabupaten Jember) The Correlation Between Food Consumption and Nutritional Status with the Incident of Hypert

0 17 8

Hubungan Posisi Bekerja Petani Lansia dengan Resiko Terjadinya Nyeri Punggung Bawah di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjambe Kabupaten Jember (The Correlation Between The Position Of Elderly Farmers Working With The Risk Of Low Back Pain In The Working Area

1 33 8

Pengaruh Senam ergonomis Terhadap Kadar Asam Urat Pada Lansia dengan Gout di Pos Binaan Terpadu Kelurahan Pisangan Ciputat Timur

26 197 164

Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur Le Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana

0 0 7