Agama dan Sejarah Kekerasan (1)
http://www.facebook.com/riniecom
Agama dan Sejarah Kekerasan
Oleh: Azyumardi Azra
Apa hubungan agama dengan kekerasan? Kenapa agama
yang mengajarkan damai, kedamaian dan harmoni tidak hanya
antarmanusia, tetapi juga dengan lingkungannya dalam
perjalanan sepanjang sejarah terlihat sering menjadi dasar dan
justifikasi aksi kekerasan?
“Di Barat pandangan bahwa agama secara inheren
[mengajarkan] kekerasan sekarang telah diterima begitu saja
(taken for granted) dan nyata dengan sendirinya (self-evident).
Yang begitu sulit terhapus adalah citra keimanan agama yang
agresif dalam kesadaran sekuler kita sehingga kita secara rutin
memuat dosa-dosa kekerasan abad 20 ke punggung ‘agama’
dan mendorongnya masuk ke dalam kebuasan politik.”
Kalimat-kalimat itu adalah kutipan dari karya terbaru Karen
Armstrong, Fields of Blood: Religion and the History of Violence
(London: The Bodley Head, 2014). Karya terakhir Armstrong ini
nampaknya harus dibaca dalam rangkaian dengan dengan
bukunya yang lain: A History of God: The 4,000-Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam (1993); The Battle for God:
Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000); The
Great Transformation: The Beginning of Our Religious Tradition
(2006); dan The Case for God: What Religions Really Mean
(2009).
Buku Fields of Blood cukup masif setebal 499 halaman
membahas secara ekstensif kaitan antara keimanan sebelum
munculnya agama sejak masa paling awal, ketika orang-orang
masih hidup dari berburu dan bertani sekitar 2.750 tahun
sebelum Masehi. Setelah itu karya ini mengkaji kekerasan
dalam hubungan agama yang berkembang di India dan China.
Tetapi, seperti dikemukakan Armstrong dalam pengantarnya,
karya ini berfokus terutama pada agama-agama Ibrahim
(Abrahamic religions); Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Ketiga
agama ini tengah dalam sorotan sekarang. Selain itu, karena
1
http://www.facebook.com/riniecom
ada anggapan, monotheisme—kepercayaan kepada Tuhan Yang
Tunggal—paling rentan terhadap kekerasan dan intoleransi.
Armstrong bercerita bahwa dia selalu mendengar pernyataan
orang tentang agama yang agresif dan kejam. Ada orang yang
menyatakan misalnya; agama telah menjadi penyebab dari
semua perang besar dalam sejarah. Kalimat seperti ini dia
dengar berulang-ulang, menjadi semacam mantra, oleh para
komentator dan psikiatris Amerika, sopir taksi London, dan
akademisi Oxford. Pernyataan yang ganjil dan gegabah karena
kedua perang dunia pada abad 20 jelas bukan disebabkan
agama, juga bukan untuk mencapai kepentingan dan tujuan
agama.
Penulis Resonansi ini juga sering mengalami hal yang sama,
baik dalam konferensi dan seminar di AS dan Eropa
khususnya maupun ketika wawancara dengan wartawan asing.
Pernyataan atau pertanyaan yang bernada memojokkan
agama—khususnya Islam sejak Peristiwa 9/11 (2001), Taliban,
dan sepanjang 2014, ISIS—selalu muncul. Meski sudah
dijelaskan berulang-ulang, tetap saja pandangan stereotipikal
tentang Islam dan para penganutnya yang gemar melakukan
kekerasan atas agama monotheis ini bertahan.
Persepsi semacam itu menguat ketika krisis ekonomi belum
sepenuhnya pulih di Amerika dan bahkan kian menjadi-jadi di
sejumlah negara Eropa. Kaum imigran yang banyak di antara
mereka pemeluk Islam menjadi sasaran kebencian kelompok
ultra sayap kanan yang ‘xenophobic’—anti segala sesuatu
berbau asing.
Tetapi, Karen Amstrong, penulis prolifik dan memiliki empati
yang kuat pada agama—termasuk Islam—mengingatkan, jika
ada orang-orang atau bangsa yang berperang, seperti
ditegaskan para ahli sejarah militer, itu disebabkan banyak
faktor semacam ideologi politik, sosial, dan material. Di antara
ketiga faktor ini, yang terpenting pertarungan dan perebutan
sumber-sumber alam yang kian langka.
Kesimpulan yang sama juga ditegaskan para ahli tentang
kekerasan politik atau terorisme. Mereka berulang kali
menegaskan, orang atau kelompok manusia melakukan
kekerasan karena berbagai alasan yang kompleks. Kesimpulan
yang sama juga dihasilkan Tim Ahli yang dibentuk Raja dan
Perdana Menteri Spanyol bekerjasama dengan Club de Madrid
2
http://www.facebook.com/riniecom
pasca-pemboman Madrid 2004—terkenal sebagai M-11), di
mana penulis Resonansi ini termasuk salah satu dari 15
anggota yang diketuai Profesor Mark Juergensmeyer dari
University of California Santa Barbara (lihat, Addressing the
Causes of Terrrorism: The Club de Madrid Series on Democracy
and Terrorism, Vol. 1—The International Summit on Democracy,
Terrorism and Security, Madrid: 8-11 March, 2005, hlm 26-33).
Secara gamblang, Tim Ahli ini menyimpulkan, agama dalam
masa sekarang jarang menjadi faktor tunggal kekerasan dan
terorisme. Ideologi, tujuan dan motivasi agama sering berjalinkelindan dengan faktor ekonomi, sosial dan politik. Keputusan
dan tindakan kelompok tertentu melakukan kekerasan dan
terorisme biasanya bersifat situasional dan jarang menjadi
endemi bagi tradisi agama dari mana kelompok tersebut
berasal.
Kesimpulan lain yang tak kurang pentingnya adalah: Islam
tidaklah penyebab terorisme. Begitu juga dengan agama-agama
lain yang tidak terkait dengan tindakan kekerasan dan
terorisme yang dilakukan kelompok yang memeluk agama
tersebut.
Jika agama Nabi Ibrahim yang monotheistik bagi sebagian
kalangan sekarang ini disebut sebagai ‘lebih rawan’ terhadap
kekerasan dan terorisme, bagaimana dengan agama-agama
lain? Apakah agama pra-agraris, pra-Masehi yang kemudian
sebagiannya berkembang menjadi Hindu, Budha, Tao, Shinto,
dan lainnya tidak rawan?
Menurut Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of
Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley
Head, 2014), agama paling awal dalam sejarah berakar pada
pengakuan terhadap fakta tragis; kehidupan manusia sangat
tergantung pada penghancuran makhluk lain. Ritual yang
dipersembahkan kepada kekuatan yang dianggap dapat
memberikan perlindungan (tuhan) semata-mata untuk
menyelamatkan manusia dari berbagai bahaya dan bencana.
Dalam konteks itu, manusia pra-Masehi yang hidup dari
berburu merasakan kepuasan ekstatik dalam perburuannya—
membunuh makhluk lain. Pada saat yang sama merasakan
adanya kekuatan maha besar yang membantu mereka.
Namun penting dicatat, tulis Armstrong, mereka yang hidup
dari berburu tidak mampu mengorganisasi atau melakukan
3
http://www.facebook.com/riniecom
perang dalam skala besar. Memang ada beberapa arkeolog
yang mengklaim telah menemukan ‘kuburan massal’ manusia
yang hidup pada periode pra-Masehi, tetapi tidak ada bukti
meyakinkan manusia-manusia awal terlibat perang besar
dalam skala besar dan waktu panjang.
Kehidupan manusia berubah dramatis sejak 9000 SM
dengan bermulanya pertanian di daerah Levant (kini mencakup
wilayah terbentang di antara Turki-Mesir-Iraq). Masyarakat
manusia yang telah menetap ini tidak hanya berhasil
memproduksi makanan, tetapi juga membiakkan manusia
dalam jumlah besar. Hasilnya, sejak 8500 SM, mayoritas
masyarakat manusia telah bertransisi ke dalam kehidupan
pertanian. Lewat pertanian datanglah peradaban dan budaya
perang.
Jelas pertanian sangat rentan bencana. Karena itu
masyarakat petani berjuang dengan cara apapun untuk
melindungi tanaman mereka. Kembali di sini berlangsung
pencarian atas kekuatan maha pelindung (tuhan). Bumi—
tempat bercocok-tanam dipuja sebagai ‘tuhan ibu’ (mother
goddess), yang kemudian disebut Ishtar di Mesopotamia,
Demeter di Yunani, Dewi Isis di Mesir (bukan ISIS ekstrimis di
Syria dan Iraq sekarang) dan Anat di Syria. Tetapi pemujaan
terhadap sang dewi tuhan tidak menyejukkan, karena dia
ternyata sangat senang pada kekerasan—bahkan dia
digambarkan senang mencincang tuhan-tuhan lain yang
menyainginya sebagai pelindung masyarakat petani.
Dengan demikian, menurut argumen Armstrong, mitos
tentang tuhan dengan segera terwujud pula dalam realitas
politik masyarakat petani. Pada saat yang sama pertanian juga
menimbulkan agresi dalam bentuk lain, yaitu kekerasan
struktural di mana masyarakat tertentu membuat orang-orang
lain hidup dalam kenestapaan. Berbagai bentuk kekerasan
baik perang maupun struktural segera memasuki ranah agama
yang tidak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan,
khususnya politik.
Lebih lanjut, kekerasan sistemik yang mendapat dukungan
dan justifikasi agama—karena para pemimpinnya yang
bersekutu dengan kekuasaan politik—menjadi salah satu fitur
utama negara agraris. Hasilnya, peradaban pertanian membuat
kekerasan sistemik menjadi realitas untuk pertama kalinya
4
http://www.facebook.com/riniecom
dalam sejarah manusia, yang terus berlanjut dari masa ke
sama sampai sekarang.
Dalam perspektif itu, Armstrong berhujjah, agama-agama
India pra-Masehi telah selalu mengabsahkan dan mendorong
kekerasan senjata dan struktural dalam masyarakat.
Meninggalkan kehidupan duniawi (renunciation) bukanlah
seperti yang dikira banyak kalangan ahli dan masyarakat
dunia lainnya. Orang-orang yang menjauhi dunia (samnyasin)
memang mencerminkan kritik terhadap kekerasan yang
inheren dalam berbagai lapisan kehidupan. Tetapi, sepanjang
sejarah India, renunsiasi atau asketisme selalu mengandung
dimensi politik dan, karena itu, sering mendorong ide dan
praksis penataan ulang masyarakat secara radikal.
Kerawanan agama India terhadap kekerasan, menurut
Armstrong juga terkait dengan literatur yang sangat
berpengaruh dalam masyarakat India: Bhagavad Gita dan
Mahabrata. Armstrong menyebut Bhagavad Gita sebagai
‘India’s national gospel’ dan Mahabrata sebagai ‘the Indian
national saga and is the most popular of all India’s sacred texts,
familiar in every home’.
Dalam kajian Armstrong, pada abad 20, dalam masa
penggalangan kekuatan massa untuk berperang melawan
penjajah Inggris, Bhagavad Gita memainkan peran sentral
dalam pembicaraan dan diskusi tentang legitimasi memerangi
Inggris. Armstrong mencatat: “Its influence in forming attitudes
to violence and its relations to religion has, therefore, been
unparalled in India.” Pada pihak lain, Armstrong mencatat: “The
Mahabrata is not an anti-war epic: innumerable passages glorify
warfare and describe battles enthusiastically.”
Catatan Armstrong mungkin tidak menyenangkan bagi para
pemeluk agama asal India. Tetapi dia memberikan pernyataan
menyejukkan:
“Kedua
[kitab]
Gita
dan
Mahabrata
mengingatkan kita, tidak ada jawaban mudah terhadap
persoalan perang dan damai. Benar, mitologi dan ritual India
sering mengglorifikasi kerakusan dan perang, tetapi mereka
juga menolong orang-orang menghadapi tragedi dan
menemukan cara untuk mengusir agresi dari psike mereka,
merintis cara tertentu bagi orang-orang untuk hidup bersama
tanpa kekerasan. Kita semua adalah makhluk lemah dengan
hati yang keras tapi rindu pada kedamaian.”
5
http://www.facebook.com/riniecom
Jika agama-agama bumi (earthly religions) yang muncul
sejak masa agraris secara historis dan sosiologis memunculkan
teologi dan praksis kekerasan, bagaimana dengan agamaagama wahyu (revealed religions). Sekali lagi, ketiga agama
Nabi Ibrahim (Abrahami religions), Yahudi, Kristianitas, dan
Islam sering dipandang sebagian ahli dan awam ‘lebih rawan’
bagi kekerasan dan terorisme.
Seperti dicatat Karen Armstrong dalam buku terbarunya,
Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London:
The Bodley Head, 2014), kalangan pemeluk ketiga agama
Abrahamik sering menampilkan kekerasan yang mereka
artikulasikan secara keagamaan. Dalam sejarah kekerasan—
yang berlanjut sampai kini—misalnya paling menonjol adalah
‘perang suci Joshua’, penaklukan dan pembantaian kabilah
Kanaan oleh bangsa Israel, 1530-1420SM; penaklukan Eropa
Barat oleh Dinasti Umayyah, 710-756 dan Eropa Timur oleh
Dinasti Turki Usmani, 1453-1683; Perang Salib Kristen Eropa
terhadap kekuasaan Islam di Timur Tengah, 1096-1285;
inquisisi Spanyol terhadap umat Islam dan Yahudi, 1478-1501;
dan perang agama Eropa di antara para penganut denominasi
Kristiani 1524-1648).
Daftar ini bisa sangat panjang. Hingga detik ini dapat
ditemukan orang atau kelompok dalam ketiga agama Ibrahim
terlibat konflik dan kekerasan atas nama agama. Kenapa
demikian? Armstrong menjawab sejak awal munculnya agama
melintasi zaman kuno dan abad pertengahan agama merasuk
ke dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam agama
itu sendiri, tapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya dan
seterusnya. Setiap orang, apakah penguasa atau warga biasa
ingin menancapkan agama ke dalam setiap apa pun yang
mereka kerjakan.
Dalam konteks itu, setiap kerajaan yang berjaya mengklaim
sebagai memikul misi suci ketuhanan untuk manfaat
kemanusiaan. Sebaliknya, semua lawan negara adalah musuh
tuhan dan sesat, dan karena itu wajib diperangi. Jadi
kekuasaan politik yang membawa nama tuhan dibangun dan
dipertahankan dengan kekerasan; agama menjadi terimplikasi
dalam kekerasan. Namun, dalam pengalaman Eropa, agama
(Kristianitas) pada abad 17 dan 18 dikeluarkan atau sedikitnya
dimarginalisasikan dari kehidupan politik.
6
http://www.facebook.com/riniecom
Memandang pengalaman Eropa, tidak heran kalau filsuf
John Locke percaya, pemisahan ‘gereja’ (church) dan ‘negara’
(state) adalah kunci menuju perdamaian. Tetapi seperti juga
terlihat dalam sejarah selanjutnya, negara juga jauh dari
kekerasan dan perang. Setelah terjadinya pemisahan agama
dan negara, tetap saja kekerasan dan perang dilakukan
negara—meski kebanyakannya tidak lagi atas nama agama.
Karena itu, menurut Karen Armstrong, masalahnya terletak
bukan pada berbagai kegiatan atau ritual yang disebut atau
terkait dengan ‘agama’, tetapi pada kekerasan yang terdapat
dalam watak manusia dan negara.
Inilah ironinya. Bangsa Israel sejak masa kuno sampai
sekarang awalnya berusaha melepaskan diri dari negara
eksploitatif dan kejam, tetapi mereka tidak bisa hidup tanpa
negara dan kemudian juga bertingkah seperti semua negara
lain. Menurut keimanan Kristiani, Yesus Kristus mengajarkan
tentang Kerajaan yang penuh kasih dan inklusif, tetapi ia
sendiri kemudian disalib penguasa Romawi. Begitu juga umat
Muslim yang semula menjadi alternatif bagi ketidakadilan
jahiliyah masyarakat pedagang Mekkah, akhirnya menjadi
berbagai negara dinasti yang sering melakukan penindasan
dan ketidakadilan.
Mengingat hal ini, Armstrong menganjurkan agar orangorang beriman menjaga jarak dengan musuh, termasuk di
masa sekarang ketika agama kembali ke kancah politik.
Sekarang agama tidak jarang kembali menjadi isu sentral,
sehingga negara karena tekanan arus utama umat beragama
dengan cepat menyatakan kelompok penganut agama tertentu
sebagai sesat dan menyimpang yang dapat mengancam
tatanan kosmis, teologis dan bahkan politik.
Kebencian sektarian, salah satu sumber kekerasan agama,
sering disebut menjadi penyebab intoleransi agama secara
kronis. Perbedaan pemahaman dan praktik yang sebenarnya
muncul secara alamiah dalam agama manapun, sepanjang
sejarah sering sangat pahit, keras dan kejam. Apalagi
pertikaian dan kekerasan sektarian hampir selalu bermuatan
politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan
maupun dari segi negara.
Sekali lagi, negara penganut sekularisme—ideologi politik
pemisahan agama dan negara—juga tak menjamin tidak
7
http://www.facebook.com/riniecom
terlibatnya negara dalam kekerasan. Prancis revolusioner
bahkan menempuh penerapan sekularisme dengan pemaksaan
dan pertumpahan darah. Sekularismenya didorong agresi
terhadap agama. Sedangkan di Amerika Serikat yang
menerapkan sekularisme ‘jinak’, kelompok fundamentalis
Kristen menjadi anti asing (xenophobic) dan takut pada
modernitas.
Akhirnya, kekerasan (berbau dan bernuansa) agama masa
sekarang bukanlah jatuh dari langit, atau dibawa makhluk
asing (alien). Ia merupakan bagian integral dari lanskap
kehidupan, yang terkait satu sama lain—dengan ekonomi,
politik, sosial, budaya,
hubungan internasional
dan
seterusnya.
Maka, tulis Armstrong, kehidupan masa kini yang penuh
kekerasan atas nama agama, bisa membuat orang frustrasi
dan stress, dan bahkan kehilangan bagian terbaik dari
kemanusiaannya. “Kita harus membangun perasaan sebagai
masyarakat global, menumbuhkan sikap saling hormat dan
keseimbangan emosi (equanimity) bagi semua, dan mengambil
tanggungjawab atas berbagai penderitaan di muka bumi.”
Editor: Hussaini Rahman
8
Agama dan Sejarah Kekerasan
Oleh: Azyumardi Azra
Apa hubungan agama dengan kekerasan? Kenapa agama
yang mengajarkan damai, kedamaian dan harmoni tidak hanya
antarmanusia, tetapi juga dengan lingkungannya dalam
perjalanan sepanjang sejarah terlihat sering menjadi dasar dan
justifikasi aksi kekerasan?
“Di Barat pandangan bahwa agama secara inheren
[mengajarkan] kekerasan sekarang telah diterima begitu saja
(taken for granted) dan nyata dengan sendirinya (self-evident).
Yang begitu sulit terhapus adalah citra keimanan agama yang
agresif dalam kesadaran sekuler kita sehingga kita secara rutin
memuat dosa-dosa kekerasan abad 20 ke punggung ‘agama’
dan mendorongnya masuk ke dalam kebuasan politik.”
Kalimat-kalimat itu adalah kutipan dari karya terbaru Karen
Armstrong, Fields of Blood: Religion and the History of Violence
(London: The Bodley Head, 2014). Karya terakhir Armstrong ini
nampaknya harus dibaca dalam rangkaian dengan dengan
bukunya yang lain: A History of God: The 4,000-Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam (1993); The Battle for God:
Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000); The
Great Transformation: The Beginning of Our Religious Tradition
(2006); dan The Case for God: What Religions Really Mean
(2009).
Buku Fields of Blood cukup masif setebal 499 halaman
membahas secara ekstensif kaitan antara keimanan sebelum
munculnya agama sejak masa paling awal, ketika orang-orang
masih hidup dari berburu dan bertani sekitar 2.750 tahun
sebelum Masehi. Setelah itu karya ini mengkaji kekerasan
dalam hubungan agama yang berkembang di India dan China.
Tetapi, seperti dikemukakan Armstrong dalam pengantarnya,
karya ini berfokus terutama pada agama-agama Ibrahim
(Abrahamic religions); Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Ketiga
agama ini tengah dalam sorotan sekarang. Selain itu, karena
1
http://www.facebook.com/riniecom
ada anggapan, monotheisme—kepercayaan kepada Tuhan Yang
Tunggal—paling rentan terhadap kekerasan dan intoleransi.
Armstrong bercerita bahwa dia selalu mendengar pernyataan
orang tentang agama yang agresif dan kejam. Ada orang yang
menyatakan misalnya; agama telah menjadi penyebab dari
semua perang besar dalam sejarah. Kalimat seperti ini dia
dengar berulang-ulang, menjadi semacam mantra, oleh para
komentator dan psikiatris Amerika, sopir taksi London, dan
akademisi Oxford. Pernyataan yang ganjil dan gegabah karena
kedua perang dunia pada abad 20 jelas bukan disebabkan
agama, juga bukan untuk mencapai kepentingan dan tujuan
agama.
Penulis Resonansi ini juga sering mengalami hal yang sama,
baik dalam konferensi dan seminar di AS dan Eropa
khususnya maupun ketika wawancara dengan wartawan asing.
Pernyataan atau pertanyaan yang bernada memojokkan
agama—khususnya Islam sejak Peristiwa 9/11 (2001), Taliban,
dan sepanjang 2014, ISIS—selalu muncul. Meski sudah
dijelaskan berulang-ulang, tetap saja pandangan stereotipikal
tentang Islam dan para penganutnya yang gemar melakukan
kekerasan atas agama monotheis ini bertahan.
Persepsi semacam itu menguat ketika krisis ekonomi belum
sepenuhnya pulih di Amerika dan bahkan kian menjadi-jadi di
sejumlah negara Eropa. Kaum imigran yang banyak di antara
mereka pemeluk Islam menjadi sasaran kebencian kelompok
ultra sayap kanan yang ‘xenophobic’—anti segala sesuatu
berbau asing.
Tetapi, Karen Amstrong, penulis prolifik dan memiliki empati
yang kuat pada agama—termasuk Islam—mengingatkan, jika
ada orang-orang atau bangsa yang berperang, seperti
ditegaskan para ahli sejarah militer, itu disebabkan banyak
faktor semacam ideologi politik, sosial, dan material. Di antara
ketiga faktor ini, yang terpenting pertarungan dan perebutan
sumber-sumber alam yang kian langka.
Kesimpulan yang sama juga ditegaskan para ahli tentang
kekerasan politik atau terorisme. Mereka berulang kali
menegaskan, orang atau kelompok manusia melakukan
kekerasan karena berbagai alasan yang kompleks. Kesimpulan
yang sama juga dihasilkan Tim Ahli yang dibentuk Raja dan
Perdana Menteri Spanyol bekerjasama dengan Club de Madrid
2
http://www.facebook.com/riniecom
pasca-pemboman Madrid 2004—terkenal sebagai M-11), di
mana penulis Resonansi ini termasuk salah satu dari 15
anggota yang diketuai Profesor Mark Juergensmeyer dari
University of California Santa Barbara (lihat, Addressing the
Causes of Terrrorism: The Club de Madrid Series on Democracy
and Terrorism, Vol. 1—The International Summit on Democracy,
Terrorism and Security, Madrid: 8-11 March, 2005, hlm 26-33).
Secara gamblang, Tim Ahli ini menyimpulkan, agama dalam
masa sekarang jarang menjadi faktor tunggal kekerasan dan
terorisme. Ideologi, tujuan dan motivasi agama sering berjalinkelindan dengan faktor ekonomi, sosial dan politik. Keputusan
dan tindakan kelompok tertentu melakukan kekerasan dan
terorisme biasanya bersifat situasional dan jarang menjadi
endemi bagi tradisi agama dari mana kelompok tersebut
berasal.
Kesimpulan lain yang tak kurang pentingnya adalah: Islam
tidaklah penyebab terorisme. Begitu juga dengan agama-agama
lain yang tidak terkait dengan tindakan kekerasan dan
terorisme yang dilakukan kelompok yang memeluk agama
tersebut.
Jika agama Nabi Ibrahim yang monotheistik bagi sebagian
kalangan sekarang ini disebut sebagai ‘lebih rawan’ terhadap
kekerasan dan terorisme, bagaimana dengan agama-agama
lain? Apakah agama pra-agraris, pra-Masehi yang kemudian
sebagiannya berkembang menjadi Hindu, Budha, Tao, Shinto,
dan lainnya tidak rawan?
Menurut Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Fields of
Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley
Head, 2014), agama paling awal dalam sejarah berakar pada
pengakuan terhadap fakta tragis; kehidupan manusia sangat
tergantung pada penghancuran makhluk lain. Ritual yang
dipersembahkan kepada kekuatan yang dianggap dapat
memberikan perlindungan (tuhan) semata-mata untuk
menyelamatkan manusia dari berbagai bahaya dan bencana.
Dalam konteks itu, manusia pra-Masehi yang hidup dari
berburu merasakan kepuasan ekstatik dalam perburuannya—
membunuh makhluk lain. Pada saat yang sama merasakan
adanya kekuatan maha besar yang membantu mereka.
Namun penting dicatat, tulis Armstrong, mereka yang hidup
dari berburu tidak mampu mengorganisasi atau melakukan
3
http://www.facebook.com/riniecom
perang dalam skala besar. Memang ada beberapa arkeolog
yang mengklaim telah menemukan ‘kuburan massal’ manusia
yang hidup pada periode pra-Masehi, tetapi tidak ada bukti
meyakinkan manusia-manusia awal terlibat perang besar
dalam skala besar dan waktu panjang.
Kehidupan manusia berubah dramatis sejak 9000 SM
dengan bermulanya pertanian di daerah Levant (kini mencakup
wilayah terbentang di antara Turki-Mesir-Iraq). Masyarakat
manusia yang telah menetap ini tidak hanya berhasil
memproduksi makanan, tetapi juga membiakkan manusia
dalam jumlah besar. Hasilnya, sejak 8500 SM, mayoritas
masyarakat manusia telah bertransisi ke dalam kehidupan
pertanian. Lewat pertanian datanglah peradaban dan budaya
perang.
Jelas pertanian sangat rentan bencana. Karena itu
masyarakat petani berjuang dengan cara apapun untuk
melindungi tanaman mereka. Kembali di sini berlangsung
pencarian atas kekuatan maha pelindung (tuhan). Bumi—
tempat bercocok-tanam dipuja sebagai ‘tuhan ibu’ (mother
goddess), yang kemudian disebut Ishtar di Mesopotamia,
Demeter di Yunani, Dewi Isis di Mesir (bukan ISIS ekstrimis di
Syria dan Iraq sekarang) dan Anat di Syria. Tetapi pemujaan
terhadap sang dewi tuhan tidak menyejukkan, karena dia
ternyata sangat senang pada kekerasan—bahkan dia
digambarkan senang mencincang tuhan-tuhan lain yang
menyainginya sebagai pelindung masyarakat petani.
Dengan demikian, menurut argumen Armstrong, mitos
tentang tuhan dengan segera terwujud pula dalam realitas
politik masyarakat petani. Pada saat yang sama pertanian juga
menimbulkan agresi dalam bentuk lain, yaitu kekerasan
struktural di mana masyarakat tertentu membuat orang-orang
lain hidup dalam kenestapaan. Berbagai bentuk kekerasan
baik perang maupun struktural segera memasuki ranah agama
yang tidak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan,
khususnya politik.
Lebih lanjut, kekerasan sistemik yang mendapat dukungan
dan justifikasi agama—karena para pemimpinnya yang
bersekutu dengan kekuasaan politik—menjadi salah satu fitur
utama negara agraris. Hasilnya, peradaban pertanian membuat
kekerasan sistemik menjadi realitas untuk pertama kalinya
4
http://www.facebook.com/riniecom
dalam sejarah manusia, yang terus berlanjut dari masa ke
sama sampai sekarang.
Dalam perspektif itu, Armstrong berhujjah, agama-agama
India pra-Masehi telah selalu mengabsahkan dan mendorong
kekerasan senjata dan struktural dalam masyarakat.
Meninggalkan kehidupan duniawi (renunciation) bukanlah
seperti yang dikira banyak kalangan ahli dan masyarakat
dunia lainnya. Orang-orang yang menjauhi dunia (samnyasin)
memang mencerminkan kritik terhadap kekerasan yang
inheren dalam berbagai lapisan kehidupan. Tetapi, sepanjang
sejarah India, renunsiasi atau asketisme selalu mengandung
dimensi politik dan, karena itu, sering mendorong ide dan
praksis penataan ulang masyarakat secara radikal.
Kerawanan agama India terhadap kekerasan, menurut
Armstrong juga terkait dengan literatur yang sangat
berpengaruh dalam masyarakat India: Bhagavad Gita dan
Mahabrata. Armstrong menyebut Bhagavad Gita sebagai
‘India’s national gospel’ dan Mahabrata sebagai ‘the Indian
national saga and is the most popular of all India’s sacred texts,
familiar in every home’.
Dalam kajian Armstrong, pada abad 20, dalam masa
penggalangan kekuatan massa untuk berperang melawan
penjajah Inggris, Bhagavad Gita memainkan peran sentral
dalam pembicaraan dan diskusi tentang legitimasi memerangi
Inggris. Armstrong mencatat: “Its influence in forming attitudes
to violence and its relations to religion has, therefore, been
unparalled in India.” Pada pihak lain, Armstrong mencatat: “The
Mahabrata is not an anti-war epic: innumerable passages glorify
warfare and describe battles enthusiastically.”
Catatan Armstrong mungkin tidak menyenangkan bagi para
pemeluk agama asal India. Tetapi dia memberikan pernyataan
menyejukkan:
“Kedua
[kitab]
Gita
dan
Mahabrata
mengingatkan kita, tidak ada jawaban mudah terhadap
persoalan perang dan damai. Benar, mitologi dan ritual India
sering mengglorifikasi kerakusan dan perang, tetapi mereka
juga menolong orang-orang menghadapi tragedi dan
menemukan cara untuk mengusir agresi dari psike mereka,
merintis cara tertentu bagi orang-orang untuk hidup bersama
tanpa kekerasan. Kita semua adalah makhluk lemah dengan
hati yang keras tapi rindu pada kedamaian.”
5
http://www.facebook.com/riniecom
Jika agama-agama bumi (earthly religions) yang muncul
sejak masa agraris secara historis dan sosiologis memunculkan
teologi dan praksis kekerasan, bagaimana dengan agamaagama wahyu (revealed religions). Sekali lagi, ketiga agama
Nabi Ibrahim (Abrahami religions), Yahudi, Kristianitas, dan
Islam sering dipandang sebagian ahli dan awam ‘lebih rawan’
bagi kekerasan dan terorisme.
Seperti dicatat Karen Armstrong dalam buku terbarunya,
Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London:
The Bodley Head, 2014), kalangan pemeluk ketiga agama
Abrahamik sering menampilkan kekerasan yang mereka
artikulasikan secara keagamaan. Dalam sejarah kekerasan—
yang berlanjut sampai kini—misalnya paling menonjol adalah
‘perang suci Joshua’, penaklukan dan pembantaian kabilah
Kanaan oleh bangsa Israel, 1530-1420SM; penaklukan Eropa
Barat oleh Dinasti Umayyah, 710-756 dan Eropa Timur oleh
Dinasti Turki Usmani, 1453-1683; Perang Salib Kristen Eropa
terhadap kekuasaan Islam di Timur Tengah, 1096-1285;
inquisisi Spanyol terhadap umat Islam dan Yahudi, 1478-1501;
dan perang agama Eropa di antara para penganut denominasi
Kristiani 1524-1648).
Daftar ini bisa sangat panjang. Hingga detik ini dapat
ditemukan orang atau kelompok dalam ketiga agama Ibrahim
terlibat konflik dan kekerasan atas nama agama. Kenapa
demikian? Armstrong menjawab sejak awal munculnya agama
melintasi zaman kuno dan abad pertengahan agama merasuk
ke dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam agama
itu sendiri, tapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya dan
seterusnya. Setiap orang, apakah penguasa atau warga biasa
ingin menancapkan agama ke dalam setiap apa pun yang
mereka kerjakan.
Dalam konteks itu, setiap kerajaan yang berjaya mengklaim
sebagai memikul misi suci ketuhanan untuk manfaat
kemanusiaan. Sebaliknya, semua lawan negara adalah musuh
tuhan dan sesat, dan karena itu wajib diperangi. Jadi
kekuasaan politik yang membawa nama tuhan dibangun dan
dipertahankan dengan kekerasan; agama menjadi terimplikasi
dalam kekerasan. Namun, dalam pengalaman Eropa, agama
(Kristianitas) pada abad 17 dan 18 dikeluarkan atau sedikitnya
dimarginalisasikan dari kehidupan politik.
6
http://www.facebook.com/riniecom
Memandang pengalaman Eropa, tidak heran kalau filsuf
John Locke percaya, pemisahan ‘gereja’ (church) dan ‘negara’
(state) adalah kunci menuju perdamaian. Tetapi seperti juga
terlihat dalam sejarah selanjutnya, negara juga jauh dari
kekerasan dan perang. Setelah terjadinya pemisahan agama
dan negara, tetap saja kekerasan dan perang dilakukan
negara—meski kebanyakannya tidak lagi atas nama agama.
Karena itu, menurut Karen Armstrong, masalahnya terletak
bukan pada berbagai kegiatan atau ritual yang disebut atau
terkait dengan ‘agama’, tetapi pada kekerasan yang terdapat
dalam watak manusia dan negara.
Inilah ironinya. Bangsa Israel sejak masa kuno sampai
sekarang awalnya berusaha melepaskan diri dari negara
eksploitatif dan kejam, tetapi mereka tidak bisa hidup tanpa
negara dan kemudian juga bertingkah seperti semua negara
lain. Menurut keimanan Kristiani, Yesus Kristus mengajarkan
tentang Kerajaan yang penuh kasih dan inklusif, tetapi ia
sendiri kemudian disalib penguasa Romawi. Begitu juga umat
Muslim yang semula menjadi alternatif bagi ketidakadilan
jahiliyah masyarakat pedagang Mekkah, akhirnya menjadi
berbagai negara dinasti yang sering melakukan penindasan
dan ketidakadilan.
Mengingat hal ini, Armstrong menganjurkan agar orangorang beriman menjaga jarak dengan musuh, termasuk di
masa sekarang ketika agama kembali ke kancah politik.
Sekarang agama tidak jarang kembali menjadi isu sentral,
sehingga negara karena tekanan arus utama umat beragama
dengan cepat menyatakan kelompok penganut agama tertentu
sebagai sesat dan menyimpang yang dapat mengancam
tatanan kosmis, teologis dan bahkan politik.
Kebencian sektarian, salah satu sumber kekerasan agama,
sering disebut menjadi penyebab intoleransi agama secara
kronis. Perbedaan pemahaman dan praktik yang sebenarnya
muncul secara alamiah dalam agama manapun, sepanjang
sejarah sering sangat pahit, keras dan kejam. Apalagi
pertikaian dan kekerasan sektarian hampir selalu bermuatan
politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan
maupun dari segi negara.
Sekali lagi, negara penganut sekularisme—ideologi politik
pemisahan agama dan negara—juga tak menjamin tidak
7
http://www.facebook.com/riniecom
terlibatnya negara dalam kekerasan. Prancis revolusioner
bahkan menempuh penerapan sekularisme dengan pemaksaan
dan pertumpahan darah. Sekularismenya didorong agresi
terhadap agama. Sedangkan di Amerika Serikat yang
menerapkan sekularisme ‘jinak’, kelompok fundamentalis
Kristen menjadi anti asing (xenophobic) dan takut pada
modernitas.
Akhirnya, kekerasan (berbau dan bernuansa) agama masa
sekarang bukanlah jatuh dari langit, atau dibawa makhluk
asing (alien). Ia merupakan bagian integral dari lanskap
kehidupan, yang terkait satu sama lain—dengan ekonomi,
politik, sosial, budaya,
hubungan internasional
dan
seterusnya.
Maka, tulis Armstrong, kehidupan masa kini yang penuh
kekerasan atas nama agama, bisa membuat orang frustrasi
dan stress, dan bahkan kehilangan bagian terbaik dari
kemanusiaannya. “Kita harus membangun perasaan sebagai
masyarakat global, menumbuhkan sikap saling hormat dan
keseimbangan emosi (equanimity) bagi semua, dan mengambil
tanggungjawab atas berbagai penderitaan di muka bumi.”
Editor: Hussaini Rahman
8