PBB dan Efektivitas Upaya Kontra Teroris
Adhe Nuansa Wibisono
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI
NPM : 1206299023
Essai Ujian Akhir – Institusi Hukum Kontra Terorisme
Efektivitas Upaya Kontra-Terorisme PBB
Institusi internasional dalam pendapat saya tetap memiliki peran sentral dalam upaya
penanggulangan terorisme secara global. Tanpa adanya insitusi internasional yang legal dan memiliki
kekuatan hukum yang mengikat maka akan menjadi hal yang sulit untuk melaksanakan aturan perang
melawan terorisme di negara-negara di seluruh dunia. Dalam konteks aksi kontra-terorisme global, saya
melihat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki peran yang signifikan dalam membuat banyak
negara untuk meratifikasi dan mengesahkan undang-undang anti terorisme dan upaya kerjasama baik di
tingkat internasional, regional maupun bilateral dalam upaya penanganan terorisme. Tanpa adanya
insitusi dan aturan hukum yang sah dalam hal penanganan terorisme, akan sangat sulit bagi negaranegara untuk melakukan hal tersebut.
Institusi internasional menjadi katalisator bagi seluruh negara untuk menentukan satu aturan
umum yang disepakati secara bersama baik dalam level regulasi hingga implementasi dalam level praktis.
Apalagi dalam kondisi perpolitikan dunia yang asimetris, dimana terdapat perbedaan mendasar antara
negara adidaya dengan negara dunia ketiga, keberadaan institusi internasional seperti PBB, walaupun
tidak secara penuh dapat mengurangi kesenjangan tersebut dengan menjadikan institusi sebagai ruang
dalam pengaturan mekanisme bersama. Semua keputusan ditentukan dalam mekanisme-mekanisme
bersama yang telah diatur dalam PBB. Dalam tulisan di bawah ini kemudian akan dijelaskan bagaimana
PBB berfungsi penting untuk menjadi katalisator dan pendorong dalam upaya global penanganan
terorisme yang diwujudkan dalam promosi dan penyebaran norma-norma anti terorisme kepada negara
di seluruh dunia.
PBB telah memainkan peran sentral dalam kampaye global melawan Al Qaeda dan jaringan
terorisme yang terkait dengannya. Pada International Summit on Democracy, Terrorism and Security di
Madrid pada Maret 2005, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan menguraikan strategi umum melawan
terorisme yang mencakup lima poin, yaitu : (1) menghalangi kelompok-kelompok perlawanan untuk
mengambil jalan terorisme, (2) melakukan penolakan terhadap atas alasan terorisme untuk melakukan
serangan mereka, (3) melarang negara-negara dalam mendukung terorisme, (4) mengembangkan
kapasitas negara untuk mencegah terorisme dan (5) melindungi hak asasi manusia dalam perjuangan
melawan terorisme.1
Sesaat setelah perisitiwa serangan 9/11, Dewan Keamanan mengadopsi Resolusi 1373, yang
mengenakan kewajiban hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk mematuhi langkahlangkah yang dirancang untuk melawan pendanaan, perjalanan, rekrutmen dan dukungan terhadap
terorisme. Untuk memantau penegakan langkah-langkah ini Dewan Keamanan kemudian membentuk
Counter-Terrorism Committe (CTC). Pada bulan Maret 2004 Dewan Keamanan membentuk CounterTerrorism Executive Directorate (CTED) untuk berfungsi sebagai sekretariat profesional dalam
implementasi kontra-terorisme. Dewan Keamanan juga memperkuat sanksi terhadap Al Qaeda dan
Taliban yang awalnya telah diberlakukan pada tahun 1999, dan kemudian membentuk sebuah kelompok
pengawasan khusus untuk mengawal penegakan sanksi tersebut. Setekah itu UN Office on Drugs and
1
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 1
1
Crime dan Terrorism Prevention Branch (UNODC/TPB) memperluas upaya pengembangan kapasitas
hukum di negara-negara anggota PBB. Hal ini terkait upaya penempatan kontra-terorisme di pusat
agenda politik PBB.2
CTC adalah sebuah komite yang mencakup keseluruhan lima belas anggota Dewan Keamanna
PBB. Komite ini akan menjadi prioritas PBB dalam kontra-terorisme seperti yang digambarkan Koffi Annan
sebagai, “pusat usaha global dalam melawan terorisme”. Fungsi utama dari CTC adalah untuk
memperkuat kapasitas kontra-terorisme dari negara anggota PBB. Misinya adalah untuk meningkatkan
tingkat rata-rata performa pemerintahan melawan terorisme di seluruh dunia. Komite ini berfungsi
sebagai “switchboard”, membantu memfasilitasi pemberian bantuan teknis kepada negara-negara yang
membutuhkan bantuan untuk mengimplementasikan mandat kontra-terorisme. Hal ini juga sebagai usaha
untuk mengkoordinasikan upaya kontra-terorisme dari berbagai organisasi internasional, regional dan
subregional baik di dalam maupun di luar sistem PBB.3
Satu hal yang menarik dari aktivitas CTC adalah promosi akan adanya kemungkinan penerimaan
kerangka kerja internasional dari norma kontraterorisme. Terdapat hubungan antara CTC dan
perwujudan diantara negara-negara tentang pentingnya untuk menjadi bagian dari kerangka kerja
multilateral. Sejak September 2001, terdapat 700 ratifikasi instrumen yang berkaitan dengan hukum yang
diterapkan PBB yang berkaitan dengan tekanan terhadap tindakan terorisme dalam satu atau bentuk
lainnya. Bisa dikatakan 40 persen dari jumlah kesepakatan dan ratifikasi yang dilakukan dalam lima
dekade terakhir terjadi setelah CTC didirikan.4
Selain itu dibandingkan dengan sejumlah kecil kesepakatan dan ratifikasi hingga sebelum
September 2001 (hanya Bostwana, Inggris dan Uzbekistan yang bergabung dengan semua konvensi anti
terorisme pada saat itu), 75 negara telah memberikan piagam aksesi atau ratifikasi dari 12 konvensi yang
berkaitan dengan terorisme sejak September 2001. Secara lebih khusus, konvensi terhadap teror
pengeboman tahun 1997 dan konvensi melawan pendanaan terorisme tahun 1999 menerima ratifikasi
dari 135 negara. Hasil ini didapatkan karena promosi yang dilakukan oleh CTC. Sebagai konsekuensi
operasional, dana dalam rekening terorisme yang berjumlah sebesar 200 juta US $ akan berpotensi untuk
dibekukan.5
United Nations Global Counter-Terrorism Strategy , yang terdapat dalam Resolusi Majelis Umum
60/288 menyediakan kerangka kerja strategis dan pedoman kebijakan sebagai upaya kolektif dari sistem
PBB untuk melawan terorisme. Pada 8 September 2010, Majelis Umum PBB telah mengadakan tinjauan
kedua dari implementasi strategi yang diadopsi oleh Resolusi 64/297. Dalam resolusi itu, Majelis Umum
menegaskan kembali komitmennya atas strategi dan implementasinya, dan meminta Sekretaris Jenderal
untuk memasukkan itu ke dalam laporan kemajuan yang didapat dalam pelaksanaan strategi, yang
berisikan saran dan implementasi di masa mendatang dalam sistem PBB, sebagimana yang terdapat
dalam pelaksanaan resolusi.6
Selain itu juga terdapat Counter-Terrorism Implementation Task Force yang terdiri dari 31 entitas
dari dalam maupun di luar PBB. Mandat yang mereka miliki berkisar dari kontra terorisme kepada
pencegahan dan penyelesaian konflik, peningkatan kapasitas, hak asasi manusia, perlindungan pengungsi
dan suaka, non-proliferasi dan perlucutan senjata, pendidikan, dialog budaya dan antar-agama,
2
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 2
3
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 3
4
C.S.R. Murthy, The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism,
2007), hal 7
5
C.S.R. Murthy, The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism,
2007), hal 7
6
Report of the Secretary-General , United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 3
2
perdamaian, kesehatan dan pembangunan. Luasnya jangkauan yang terdapat pada Task Force ini sesuai
dengan kelengkapan dari strategi yang ada. Jangkauan dari berbagai keahlian ini juga memungkinkan
sisitem PBB dan badan relevan untuk berkontribusi bersama dalam mendukung negara-negara anggota
dalam pelaksanaan komprehensif dalam dari empat pilar strategi. 7
Di sisi lain Counter-Terrorism Committe Executive Directorate juga terus memainkan peran
penting dalam memantau dan mempromosikan pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan 1373 (2001)
melalui Preliminary Implementation Asssesment (PIA), yang melkukan dialog dengan negara-negara
anggota. Perkembangan yang ada adalah seluruh negara anggota (kecuali Republik Sudan Selatan) telah
menerima dan menyepakati PIA. Sejak Juli 2010, 38 negara anggota telah menyampaikan informasi
terkini tentang upaya pelaksanaannya, dan Direktorat Eksekutif telah melakukan kunjungan ke negaranegara anggota sehingga jumlah total negara yang dikunjungi berjumlah 65 negara. 8
PBB juga mendorong upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas prosedur untuk
menempatkan individu dan perusahaan yang terkait dengan Al Qaeda dan Thaliban dalam Daftar
Konsoliadsi dari Komite Dewan Keamanan yang dibentuk berdasarkan resolusi 1267 (1999) tentang Al
Qaeda dan Thaliban dan individu atau perusahaan yang terkait dengannya. Pada tanggal 17 Juni 2011,
Dewan Keamanan kemudian mengadopsi resolusi 1988 (2011) dan resolusi 1989 (2011) sebagai resolusi
yang menggantikan resolusi 1904 (2009), yang kemudian menjadikan sanksi terhadap rezim Thaliban
dan Al Qaeda menjadi dua sanksi yang terpisah. 9
Dari beberapa hal yang disebutkan di atas pada akhirnya kita dapat melihat bagaimana peran
penting institusi internasional seperti PBB dalam upaya penanganan terorisme secara global. Dengan
adanya berbagai institusi yang dibentuk PBB seperti Counter-Terrorism Committe (CTC), UN Office on
Drugs and Crime dan Terrorism Prevention Branch (UNODC/TPB), Counter-Terrorism Implementation
Task Force (CTITF), kita dapat melihat political will yang dimiliki oleh PBB dalam memerangi terorisme.
Selain itu juga keberhasilan PBB yang secara aktif melakukan promosi dan kampanye serta pengesahan
berbagai kesepakatan dan ratifikasi mengenai terorisme merupakan hal signifikan yang sangat
berpengaruh dalam upaya kontra-terorisme. Konvensi terhadap teror pengeboman tahun 1997 dan
konvensi melawan pendanaan terorisme tahun 1999 yang diratifikasi oleh 135 negara kemudian menjadi
bukti penting bahwa institusi internasional seperti PBB menjadi alat yang sangat efektif dalam upaya
penanganan terorisme global.
Referensi
Cortright, David, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments
and Challenges, (Transnational Institute : Armsterdam, 2005)
De Nevers, Renee, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement ,
International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007)
Murthy, C.S.R., The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing
Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism, 2007)
Report of the Secretary-General , United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities
Of The United Nations System In Implementing The Strategy, (United Nations : New York, 2012)
7
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 3
8
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 12
9
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 12
3
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI
NPM : 1206299023
Essai Ujian Akhir – Institusi Hukum Kontra Terorisme
Efektivitas Upaya Kontra-Terorisme PBB
Institusi internasional dalam pendapat saya tetap memiliki peran sentral dalam upaya
penanggulangan terorisme secara global. Tanpa adanya insitusi internasional yang legal dan memiliki
kekuatan hukum yang mengikat maka akan menjadi hal yang sulit untuk melaksanakan aturan perang
melawan terorisme di negara-negara di seluruh dunia. Dalam konteks aksi kontra-terorisme global, saya
melihat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki peran yang signifikan dalam membuat banyak
negara untuk meratifikasi dan mengesahkan undang-undang anti terorisme dan upaya kerjasama baik di
tingkat internasional, regional maupun bilateral dalam upaya penanganan terorisme. Tanpa adanya
insitusi dan aturan hukum yang sah dalam hal penanganan terorisme, akan sangat sulit bagi negaranegara untuk melakukan hal tersebut.
Institusi internasional menjadi katalisator bagi seluruh negara untuk menentukan satu aturan
umum yang disepakati secara bersama baik dalam level regulasi hingga implementasi dalam level praktis.
Apalagi dalam kondisi perpolitikan dunia yang asimetris, dimana terdapat perbedaan mendasar antara
negara adidaya dengan negara dunia ketiga, keberadaan institusi internasional seperti PBB, walaupun
tidak secara penuh dapat mengurangi kesenjangan tersebut dengan menjadikan institusi sebagai ruang
dalam pengaturan mekanisme bersama. Semua keputusan ditentukan dalam mekanisme-mekanisme
bersama yang telah diatur dalam PBB. Dalam tulisan di bawah ini kemudian akan dijelaskan bagaimana
PBB berfungsi penting untuk menjadi katalisator dan pendorong dalam upaya global penanganan
terorisme yang diwujudkan dalam promosi dan penyebaran norma-norma anti terorisme kepada negara
di seluruh dunia.
PBB telah memainkan peran sentral dalam kampaye global melawan Al Qaeda dan jaringan
terorisme yang terkait dengannya. Pada International Summit on Democracy, Terrorism and Security di
Madrid pada Maret 2005, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan menguraikan strategi umum melawan
terorisme yang mencakup lima poin, yaitu : (1) menghalangi kelompok-kelompok perlawanan untuk
mengambil jalan terorisme, (2) melakukan penolakan terhadap atas alasan terorisme untuk melakukan
serangan mereka, (3) melarang negara-negara dalam mendukung terorisme, (4) mengembangkan
kapasitas negara untuk mencegah terorisme dan (5) melindungi hak asasi manusia dalam perjuangan
melawan terorisme.1
Sesaat setelah perisitiwa serangan 9/11, Dewan Keamanan mengadopsi Resolusi 1373, yang
mengenakan kewajiban hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk mematuhi langkahlangkah yang dirancang untuk melawan pendanaan, perjalanan, rekrutmen dan dukungan terhadap
terorisme. Untuk memantau penegakan langkah-langkah ini Dewan Keamanan kemudian membentuk
Counter-Terrorism Committe (CTC). Pada bulan Maret 2004 Dewan Keamanan membentuk CounterTerrorism Executive Directorate (CTED) untuk berfungsi sebagai sekretariat profesional dalam
implementasi kontra-terorisme. Dewan Keamanan juga memperkuat sanksi terhadap Al Qaeda dan
Taliban yang awalnya telah diberlakukan pada tahun 1999, dan kemudian membentuk sebuah kelompok
pengawasan khusus untuk mengawal penegakan sanksi tersebut. Setekah itu UN Office on Drugs and
1
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 1
1
Crime dan Terrorism Prevention Branch (UNODC/TPB) memperluas upaya pengembangan kapasitas
hukum di negara-negara anggota PBB. Hal ini terkait upaya penempatan kontra-terorisme di pusat
agenda politik PBB.2
CTC adalah sebuah komite yang mencakup keseluruhan lima belas anggota Dewan Keamanna
PBB. Komite ini akan menjadi prioritas PBB dalam kontra-terorisme seperti yang digambarkan Koffi Annan
sebagai, “pusat usaha global dalam melawan terorisme”. Fungsi utama dari CTC adalah untuk
memperkuat kapasitas kontra-terorisme dari negara anggota PBB. Misinya adalah untuk meningkatkan
tingkat rata-rata performa pemerintahan melawan terorisme di seluruh dunia. Komite ini berfungsi
sebagai “switchboard”, membantu memfasilitasi pemberian bantuan teknis kepada negara-negara yang
membutuhkan bantuan untuk mengimplementasikan mandat kontra-terorisme. Hal ini juga sebagai usaha
untuk mengkoordinasikan upaya kontra-terorisme dari berbagai organisasi internasional, regional dan
subregional baik di dalam maupun di luar sistem PBB.3
Satu hal yang menarik dari aktivitas CTC adalah promosi akan adanya kemungkinan penerimaan
kerangka kerja internasional dari norma kontraterorisme. Terdapat hubungan antara CTC dan
perwujudan diantara negara-negara tentang pentingnya untuk menjadi bagian dari kerangka kerja
multilateral. Sejak September 2001, terdapat 700 ratifikasi instrumen yang berkaitan dengan hukum yang
diterapkan PBB yang berkaitan dengan tekanan terhadap tindakan terorisme dalam satu atau bentuk
lainnya. Bisa dikatakan 40 persen dari jumlah kesepakatan dan ratifikasi yang dilakukan dalam lima
dekade terakhir terjadi setelah CTC didirikan.4
Selain itu dibandingkan dengan sejumlah kecil kesepakatan dan ratifikasi hingga sebelum
September 2001 (hanya Bostwana, Inggris dan Uzbekistan yang bergabung dengan semua konvensi anti
terorisme pada saat itu), 75 negara telah memberikan piagam aksesi atau ratifikasi dari 12 konvensi yang
berkaitan dengan terorisme sejak September 2001. Secara lebih khusus, konvensi terhadap teror
pengeboman tahun 1997 dan konvensi melawan pendanaan terorisme tahun 1999 menerima ratifikasi
dari 135 negara. Hasil ini didapatkan karena promosi yang dilakukan oleh CTC. Sebagai konsekuensi
operasional, dana dalam rekening terorisme yang berjumlah sebesar 200 juta US $ akan berpotensi untuk
dibekukan.5
United Nations Global Counter-Terrorism Strategy , yang terdapat dalam Resolusi Majelis Umum
60/288 menyediakan kerangka kerja strategis dan pedoman kebijakan sebagai upaya kolektif dari sistem
PBB untuk melawan terorisme. Pada 8 September 2010, Majelis Umum PBB telah mengadakan tinjauan
kedua dari implementasi strategi yang diadopsi oleh Resolusi 64/297. Dalam resolusi itu, Majelis Umum
menegaskan kembali komitmennya atas strategi dan implementasinya, dan meminta Sekretaris Jenderal
untuk memasukkan itu ke dalam laporan kemajuan yang didapat dalam pelaksanaan strategi, yang
berisikan saran dan implementasi di masa mendatang dalam sistem PBB, sebagimana yang terdapat
dalam pelaksanaan resolusi.6
Selain itu juga terdapat Counter-Terrorism Implementation Task Force yang terdiri dari 31 entitas
dari dalam maupun di luar PBB. Mandat yang mereka miliki berkisar dari kontra terorisme kepada
pencegahan dan penyelesaian konflik, peningkatan kapasitas, hak asasi manusia, perlindungan pengungsi
dan suaka, non-proliferasi dan perlucutan senjata, pendidikan, dialog budaya dan antar-agama,
2
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 2
3
David Cortright, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments and Challenges , (Transnational Institute :
Armsterdam, 2005), hal 3
4
C.S.R. Murthy, The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism,
2007), hal 7
5
C.S.R. Murthy, The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism,
2007), hal 7
6
Report of the Secretary-General , United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 3
2
perdamaian, kesehatan dan pembangunan. Luasnya jangkauan yang terdapat pada Task Force ini sesuai
dengan kelengkapan dari strategi yang ada. Jangkauan dari berbagai keahlian ini juga memungkinkan
sisitem PBB dan badan relevan untuk berkontribusi bersama dalam mendukung negara-negara anggota
dalam pelaksanaan komprehensif dalam dari empat pilar strategi. 7
Di sisi lain Counter-Terrorism Committe Executive Directorate juga terus memainkan peran
penting dalam memantau dan mempromosikan pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan 1373 (2001)
melalui Preliminary Implementation Asssesment (PIA), yang melkukan dialog dengan negara-negara
anggota. Perkembangan yang ada adalah seluruh negara anggota (kecuali Republik Sudan Selatan) telah
menerima dan menyepakati PIA. Sejak Juli 2010, 38 negara anggota telah menyampaikan informasi
terkini tentang upaya pelaksanaannya, dan Direktorat Eksekutif telah melakukan kunjungan ke negaranegara anggota sehingga jumlah total negara yang dikunjungi berjumlah 65 negara. 8
PBB juga mendorong upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas prosedur untuk
menempatkan individu dan perusahaan yang terkait dengan Al Qaeda dan Thaliban dalam Daftar
Konsoliadsi dari Komite Dewan Keamanan yang dibentuk berdasarkan resolusi 1267 (1999) tentang Al
Qaeda dan Thaliban dan individu atau perusahaan yang terkait dengannya. Pada tanggal 17 Juni 2011,
Dewan Keamanan kemudian mengadopsi resolusi 1988 (2011) dan resolusi 1989 (2011) sebagai resolusi
yang menggantikan resolusi 1904 (2009), yang kemudian menjadikan sanksi terhadap rezim Thaliban
dan Al Qaeda menjadi dua sanksi yang terpisah. 9
Dari beberapa hal yang disebutkan di atas pada akhirnya kita dapat melihat bagaimana peran
penting institusi internasional seperti PBB dalam upaya penanganan terorisme secara global. Dengan
adanya berbagai institusi yang dibentuk PBB seperti Counter-Terrorism Committe (CTC), UN Office on
Drugs and Crime dan Terrorism Prevention Branch (UNODC/TPB), Counter-Terrorism Implementation
Task Force (CTITF), kita dapat melihat political will yang dimiliki oleh PBB dalam memerangi terorisme.
Selain itu juga keberhasilan PBB yang secara aktif melakukan promosi dan kampanye serta pengesahan
berbagai kesepakatan dan ratifikasi mengenai terorisme merupakan hal signifikan yang sangat
berpengaruh dalam upaya kontra-terorisme. Konvensi terhadap teror pengeboman tahun 1997 dan
konvensi melawan pendanaan terorisme tahun 1999 yang diratifikasi oleh 135 negara kemudian menjadi
bukti penting bahwa institusi internasional seperti PBB menjadi alat yang sangat efektif dalam upaya
penanganan terorisme global.
Referensi
Cortright, David, A Critical Evaluation of the UN Counter-Terrorism Program : Accomplishments
and Challenges, (Transnational Institute : Armsterdam, 2005)
De Nevers, Renee, Imposing International Norms : Great Powers and Norm Enforcement ,
International Studies Review 9, page 53-80, (Massachusetts : Blackwell Publishing, 2007)
Murthy, C.S.R., The U.N. Counter-Terrorism Committee : An Institutional Analysis , FES Briefing
Paper 15, (U.N. Committee On Counter-Terrorism, 2007)
Report of the Secretary-General , United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities
Of The United Nations System In Implementing The Strategy, (United Nations : New York, 2012)
7
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 3
8
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 12
9
Report of the Secretary-General, United Nations Global Counter-Terrorism Strategy : Activities Of The United Nations System In Implementing The
Strategy, (United Nations : New York, 2012), hal 12
3