KAJIAN TEKNIS STANDAR NASIONAL INDONESIA
Oleh
Hendra Wijaya, Nirwana Aprianita1
!
"
"
# $%
#
&%
#
& &%
'%
# %
(%
# ' )"*
# +&
*
+
#
*
!
# + +&
"
*
"
)
#
#
# +$
#
* &
# +$
*
%
,
# $+
*
# +
*
!
.
*
#
# +
#
#
# +*
/
1
Peneliti di Balai Besar Industri Agro, Kementerian Perindustrian
1
Biskuit adalah produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung
terigu dengan penambahan makanan lain dan dengan atau tanpa penambahan
bahan tambahan pangan yang diijinkan. SNI biskuit telah berumur 18 tahun sejak
ditetapkan pada tahun 1992 sehingga perlu dilakukan kajian apakah standar tersebut
masih sesuai untuk digunakan. Setiap standar yang sudah ada harus selalu ditinjau
kembali sekurang&kurangnya 1(satu) kali dalam 5 tahun. Hal ini disebabkan dalam
kurun waktu 5 tahun tersebut ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mengalami
perkembangan, demikian juga kebutuhan dan perilaku konsumen, peraturan
pemerintah, dan lain&lain.
SNI Biskuit pada prinsipnya ditetapkan secara sukarela kecuali untuk produk
dan jasa yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, keamanan dan
perlindungan lingkungan. Adanya perubahan standar tepung terigu sebagai bahan
baku utama pembuatan biskuit merupakan dasar pengkajian SNI biskuit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dan persyaratan mutu
biskuit, SNI 01&2973&1992 yang bisa diusulkan untuk bahan revisi Standar Nasional
Indonesia Biskuit.
Pengkajian dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis biskuit yang
beredar di pasar dengan standar nasional dan internasional produk sejenis.
Pengumpulan data juga dilakukan melalui survey ke Bandung, Bekasi, dan
Tanggerang. Dari perbandingan hasil analisis, survey dan diskusi maka diusulkan
parameter dan persyaratan mutu biskuit.
Menurut SNI 01&2973&1992, biskuit diklasifikasikan dalam empat jenis: biskuit keras,
dan
. Pengklasifikasian ini masih tetap digunakan untuk
standar berikutnya. Sebagai perbandingan, 0
mengklasifikasikan
biskuit:
1
dalam tiga standar yang berbeda. Masing&masing
nomor standar tersebut adalah: MS 476 : 1998, MS 1433 : 1998, dan MS 1434 :
1998. Dari hasil survey ternyata industri biskuit di Bekasi umumnya dilakukan oleh
industri besar atau Pemilik Modal Asing (PMA) sedangkan industri biskuit di
Tangerang banyak memproduksi biskuit jenis
.
2
!"!# #
Tabel 1 menunjukkan hasil analisis kadar air biskuit yang beredar di pasar. Hasil
analisis adalah antara 0,93% sampai dengan 7,89% dengan rata&rata 2,69%.
Dengan syarat kadar air pada SNI 01&2973&1992 sebesar maksimum 5% maka
hanya satu contoh uji (5%) yang tidak memenuhi standar. Ini sangat memungkinkan
apabila syarat mutu kadar air diperketat menjadi maksimum 4%. Dengan syarat mutu
kadar air 4%, maka jumlah yang tidak memenuhi adalah 2 contoh. Jika dibandingkan
dengan standar Malaysia, masing&masing mempersyaratkan kadar air
1
berturut&turut adalah 4,0%, 3,5%,
4,0% dan 4,0%. Kadar air yang rendah dihasilkan dari proses pemanggangan
adonan biskuit yang sempurna. Hal ini akan mencegah terjadinya pertumbuhan
mikroba yang nantinya bisa merusak biskuit.
!$%&
! & '!&
!"!#
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
#
(!')
%#%"!# "
! !#
!"!# # -./
2.86
4.33
1.69
0.93
2.37
2.77
7.89
1.03
1.80
3.83
2.82
1.87
2.87
3.29
2.13
3.09
1.85
2.47
2.18
1.74
2.69
!"!# $
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis kadar abu biskuit yang beredar di pasar dengan
nilai antara 0,54% sampai dengan 2,23% dan rata&rata 1,42%. SNI 01&2973&1992
mempersyaratkan kadar abu biskuit keras maksimum 1,5% dan
dan wafer masing&masing maksimum 2%. Standar Malaysia tidak mempersyaratkan
kadar abu. Berdasarkan Tabel 2, persyaratan abu untuk
dan wafer sebesar
maksimum 2% masih dapat dipenuhi oleh produsen (100%) sehingga masih dapat
3
digunakan untuk SNI berikutnya. Persyaratan
sebesar maksimum 2%
dipenuhi oleh 3 produk dari 4, hal ini cukup menyulitkan produsen sehingga
diusulkan kadar abu
pada SNI berikutnya adalah 2,5%. Persyaratan biskuit
keras sebesar maksimum 1,5% masih dapat dipenuhi oleh 5 produsen (71%) dari 7
produsen sehingga masih dapat digunakan untuk SNI berikutnya.
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan
mineral yang terdapat dalam biskuit dan berhubungan erat dengan kemurnian serta
kebersihan suatu bahan. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu
dalam biskuit maka proses pembuatan biskuit tersebut diduga kurang bersih
sehingga persyaratan kadar abu sangat penting untuk mengetahui tingkat
kebersihan atau kemurnian suatu bahan.
!$%&
! & '!&
*
!+,%&
1
2
3
4
5
8
9
10
11
14
15
16
17
20
21
22
23
24
25
26
!"!# $
%'
wafer
wafer
wafer
wafer
.
.
.
.
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
(!')
%#%"!# "
! !#
!"!# $ -./
1.72
1.62
1.76
1.16
0.92
0.54
1.48
1.16
0.98
2.23
2.13
1.46
2.06
1.44
1.28
1.02
1.23
1.56
1.54
1.21
0
!"!# #* % '
Tabel 3 menunjukkan kadar protein biskuit yang beredar di pasar dan
pengelompokannya:
dan biskuit keras. Menurut SNI 01&
2973&1992, biskuit diklasifikasikan menjadi: biskuit keras,
dan
4
masing&masing dengan kadar protein minimum 6,5%, min 8%, min 6% dan min
6%. .
adalah biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Tabel
3 menunjukkan hasil uji lab
dengan nilai antara 5,86% sampai dengan 12%
dan rata&rata 7,43%. Jika dibandingkan dengan SNI 01&2973&1992 (min 6%) maka
60% memenuhi standar. Dua contoh yang kurang memenuhi masing&masing adalah
5,86% dan 5,99% mendekati persyaratan minimum 6%. Ini menunjukkan bahwa
produk biskuit
yang beredar masih sanggup memenuhi persyaratan min. 6%.
Standar Malaysia untuk
lebih longgar yaitu hanya sebesar min. 4,5%.
2
adalah biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori&pori kasar, renyah
dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga&rongga. Tabel 3
menunjukkan hasil analisis protein
dengan nilai antara 3,21% sampai dengan
6,04% dan rata&rata 4,70%. Jumlah yang memenuhi SNI 01&2973&1992 hanya 1
(25%) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar min 6% cukup tinggi.
Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk wafer adalah minimum
5% sama dengan standar Malaysia.
!$%&
! & '!&
*
!+,%&
1
2
3
4
5
8
9
10
11
14
15
16
17
20
21
22
23
24
25
26
!"!# #* % '
%'
wafer
wafer
wafer
wafer
.
.
.
.
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
(!')
%#%"!# "
! !#
#* % ' -+)1 )/
5.86
5.99
6.80
6.52
12.00
3.21
5.09
4.48
6.04
6.43
7.00
7.60
16.80
7.52
6.40
5.92
5.60
5.40
6.74
5.42
.
adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebh mengarah keras
asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis&lapis. Tabel
3 menunjukkan hasil analisis protein
dengan nilai antara 6,43% sampai
5
dengan 16,8% dan rata&rata 9,46%. Jumlah yang memenuhi SNI 01&2973&1992
hanya 1 (25 %) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar minimum
8% cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan standar Malaysia yang hanya minimum
5,5%. Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk
adalah
minimum 6%.
Biskuit keras adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih,
bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak
tinggi atau rendah. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis protein biskuit keras dengan
nilai antara 5,4% sampai dengan 7,52% dan rata&rata 6,14%. Jumlah yang
memenuhi SNI 01&2973&1992 hanya 28% contoh uji. Ini menunjukkan bahwa
persyaratan sebesar min. 6,5% cukup tinggi. Jumlah yang memenuhi dengan
persyaratan 5,5% adalah 86% sehingga diusulkan untuk persyaratan SNI berikutnya
adalah minimum 5,5%. Standar Malaysia tidak mempunyai klasifikasi biskuit keras.
2
!"!# %+!
Kadar lemak belum dipersyaratkan pada SNI biskuit tahun 1992. Lemak merupakan
faktor penting yang harus diperhatikan dalam makanan karena dapat menyebabkan
perubahan sifat pada makanan tersebut. Perubahan bahkan dapat terjadi ke arah
yang tidak diinginkan seperti ketengikan. Tabel 4 menunjukkan hasil analisis kadar
lemak biskuit yang beredar di pasar. Hasil analisis adalah antara 8,6% sampai
dengan 27,4% dengan rata&rata 20,32%. Standar Malaysia mempersyaratkan lemak
pada
1
dan
masing&masing adalah 7% & 18% dan ≥ 18%
sedangkan pada
dan
kadar lemak tidak disyaratkan. Usulan untuk
persyaratan SNI berikutnya adalah minimum 7% sehingga semua contoh memenuhi
persyaratan. Bahan yang memberikan kontribusi terhadap kadar lemak dalam biskuit
diantaranya adalah: lemak nabati (minyak kelapa sawit dan minyak
), susu
bubuk, telur, coklat bubuk dan mentega.
!$%& 0
! & '!&
!"!# %+!
*
6
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
(!')
!"!# %+! -./
27.2
20.8
14.9
19.4
21.0
21.6
11.3
10.7
15.5
27.4
19.7
22.3
%#%"!# "
! !#
*
!+,%&
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
!"!# %+! -./
23.1
22.3
26.4
25.8
22.1
21.2
25.0
8.62
20.32
3
!+ %+!
%$!
Tabel 5 menunjukkan hasil analisis asam lemak bebas biskuit yang beredar di pasar.
Nilainya antara 0,07% sampai dengan 0,41%, dan nilai rata&rata 0,20%. Asam lemak
bebas pada biskuit dapat dihasilkan dari penambahan langsung bahan&bahan yang
memang telah mengandung asam lemak bebas dan dari hidrolisis lemak oleh air
atau oleh enzim. Bahan&bahan yang kemungkinan memang telah mengandung asam
lemak bebas yang ditambahkan ke biskuit adalah minyak kelapa sawit, susu dan
lain&lain. Jenis asam lemak yang paling tinggi dalam biskuit kemungkinannya adalah
asam lemak yang berasal dari terigu karena terigu merupakan bahan baku utama.
Menurut (Buckle,
1987) jenis asam lemak yang paling banyak dalam tepung
terigu adalah asam linoleat, asam palmitat, dan asam oleat. Standar malaysia untuk
1
masing&masing
mempersyaratkan asam lemak bebas sebesar maksimum 1% sehingga diusulkan
persyaratan asam lemak bebas untuk SNI biskuit adalah maksimum 1%.
!$%& 2
! & '!&
!+ %+!
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
%$!
(!')
%#%"!# "
! !#
!+ %+!
%$! -./
0.16
0.34
0.30
0.36
0.32
0.13
0.13
0.21
0.12
0.31
0.07
0.23
0.14
0.41
0.24
0.10
0.16
7
*
!+,%&
18
19
20
Rata&rata
!+ %+!
%$! -./
0.21
0.10
0.13
0.21
&!')!' %#* "!
Bilangan peroksida biskuit menunjukkan tingkat kerusakan lemak atau minyak yang
terdapat dalam biskuit. Kadar lemak biskuit untuk biskuit keras dan
masing&
masing diusulkan 7% & 8% dan min. 18% sehingga produsen akan berusaha
memenuhi kadar lemaknya. Tingginya kadar lemak ini, memungikinkan biskuit akan
rusak akibat rusaknya lemak yang ada di dalam biskuit. Kerusakan lemak dapat
terjadi karena udara dan aktivitas enzim. Tabel 6 menunjukkan hasil analisis
bilangan peroksida biskuit yang beredar di pasar. Bilangan peroksida terdeteksi pada
tiga contoh uji dengan nilai tertinggi 1,48 mEq/Kg. Komposisinya adalah tepung
terigu, gula, lemak nabati (minyak kelapa sawit, minyak rapeseed rendah erusic),
gula, pati jagung,garam, susu bubuk, bahan pengembang, kalsium karbonat, lesitin
kedelai, pecita rasa dan sayuran kering. Standar Malaysia untuk
1
masing&masing mempersyaratkan bilangan
peroksida sebesar maks. 6 mEq/kg sehingga diusulkan persyaratan untuk SNI
berikutnya adalah 6 mEq/kg.
!$%& 3
! & '!&
&!')!' %#*
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
8
"!
(!')
&!')!' %#* "! -+ 41 )/
0.36
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.30
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.23
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
%#%"!# "
! !#
5
6 !+ '
Vitamin B1 (tiamin) bertindak sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat dan
terdapat dalam semua jaringan makhluk hidup (J. M. deMan, 1997). Vitamin B1
dibutuhkan oleh manusia minimum 1 mg per 2000 k.kal. Peningkatan aktivitas
metabolisme seperti yang diakibatkan oleh kerja berat, kehamilan, atau penyakit
memerlukan konsumsi yang lebih tinggi. Beberapa hal yang dapat merusak tiamin
adalah panas, oksigen, belerang oksida, pelindian, dan pH netral atau basa. SNI 01&
2973&1992 belum mempersyaratkan tiamin sebagai syarat mutu. Alasan perlu
dilakukan kajian terhadap tiamin pada biskuit adalah disyaratkannya tiamin pada
tepung terigu sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit yaitu sebesar 2,5 mg/kg.
Tabel 7 menunjukkan hasil analisis vitamin B1 biskuit yang beredar di pasar. Rata&
rata hasil analisis adalah 7,35 mg/kg dengan nilai minimum
Hendra Wijaya, Nirwana Aprianita1
!
"
"
# $%
#
&%
#
& &%
'%
# %
(%
# ' )"*
# +&
*
+
#
*
!
# + +&
"
*
"
)
#
#
# +$
#
* &
# +$
*
%
,
# $+
*
# +
*
!
.
*
#
# +
#
#
# +*
/
1
Peneliti di Balai Besar Industri Agro, Kementerian Perindustrian
1
Biskuit adalah produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung
terigu dengan penambahan makanan lain dan dengan atau tanpa penambahan
bahan tambahan pangan yang diijinkan. SNI biskuit telah berumur 18 tahun sejak
ditetapkan pada tahun 1992 sehingga perlu dilakukan kajian apakah standar tersebut
masih sesuai untuk digunakan. Setiap standar yang sudah ada harus selalu ditinjau
kembali sekurang&kurangnya 1(satu) kali dalam 5 tahun. Hal ini disebabkan dalam
kurun waktu 5 tahun tersebut ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mengalami
perkembangan, demikian juga kebutuhan dan perilaku konsumen, peraturan
pemerintah, dan lain&lain.
SNI Biskuit pada prinsipnya ditetapkan secara sukarela kecuali untuk produk
dan jasa yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, keamanan dan
perlindungan lingkungan. Adanya perubahan standar tepung terigu sebagai bahan
baku utama pembuatan biskuit merupakan dasar pengkajian SNI biskuit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dan persyaratan mutu
biskuit, SNI 01&2973&1992 yang bisa diusulkan untuk bahan revisi Standar Nasional
Indonesia Biskuit.
Pengkajian dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis biskuit yang
beredar di pasar dengan standar nasional dan internasional produk sejenis.
Pengumpulan data juga dilakukan melalui survey ke Bandung, Bekasi, dan
Tanggerang. Dari perbandingan hasil analisis, survey dan diskusi maka diusulkan
parameter dan persyaratan mutu biskuit.
Menurut SNI 01&2973&1992, biskuit diklasifikasikan dalam empat jenis: biskuit keras,
dan
. Pengklasifikasian ini masih tetap digunakan untuk
standar berikutnya. Sebagai perbandingan, 0
mengklasifikasikan
biskuit:
1
dalam tiga standar yang berbeda. Masing&masing
nomor standar tersebut adalah: MS 476 : 1998, MS 1433 : 1998, dan MS 1434 :
1998. Dari hasil survey ternyata industri biskuit di Bekasi umumnya dilakukan oleh
industri besar atau Pemilik Modal Asing (PMA) sedangkan industri biskuit di
Tangerang banyak memproduksi biskuit jenis
.
2
!"!# #
Tabel 1 menunjukkan hasil analisis kadar air biskuit yang beredar di pasar. Hasil
analisis adalah antara 0,93% sampai dengan 7,89% dengan rata&rata 2,69%.
Dengan syarat kadar air pada SNI 01&2973&1992 sebesar maksimum 5% maka
hanya satu contoh uji (5%) yang tidak memenuhi standar. Ini sangat memungkinkan
apabila syarat mutu kadar air diperketat menjadi maksimum 4%. Dengan syarat mutu
kadar air 4%, maka jumlah yang tidak memenuhi adalah 2 contoh. Jika dibandingkan
dengan standar Malaysia, masing&masing mempersyaratkan kadar air
1
berturut&turut adalah 4,0%, 3,5%,
4,0% dan 4,0%. Kadar air yang rendah dihasilkan dari proses pemanggangan
adonan biskuit yang sempurna. Hal ini akan mencegah terjadinya pertumbuhan
mikroba yang nantinya bisa merusak biskuit.
!$%&
! & '!&
!"!#
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
#
(!')
%#%"!# "
! !#
!"!# # -./
2.86
4.33
1.69
0.93
2.37
2.77
7.89
1.03
1.80
3.83
2.82
1.87
2.87
3.29
2.13
3.09
1.85
2.47
2.18
1.74
2.69
!"!# $
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis kadar abu biskuit yang beredar di pasar dengan
nilai antara 0,54% sampai dengan 2,23% dan rata&rata 1,42%. SNI 01&2973&1992
mempersyaratkan kadar abu biskuit keras maksimum 1,5% dan
dan wafer masing&masing maksimum 2%. Standar Malaysia tidak mempersyaratkan
kadar abu. Berdasarkan Tabel 2, persyaratan abu untuk
dan wafer sebesar
maksimum 2% masih dapat dipenuhi oleh produsen (100%) sehingga masih dapat
3
digunakan untuk SNI berikutnya. Persyaratan
sebesar maksimum 2%
dipenuhi oleh 3 produk dari 4, hal ini cukup menyulitkan produsen sehingga
diusulkan kadar abu
pada SNI berikutnya adalah 2,5%. Persyaratan biskuit
keras sebesar maksimum 1,5% masih dapat dipenuhi oleh 5 produsen (71%) dari 7
produsen sehingga masih dapat digunakan untuk SNI berikutnya.
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan
mineral yang terdapat dalam biskuit dan berhubungan erat dengan kemurnian serta
kebersihan suatu bahan. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu
dalam biskuit maka proses pembuatan biskuit tersebut diduga kurang bersih
sehingga persyaratan kadar abu sangat penting untuk mengetahui tingkat
kebersihan atau kemurnian suatu bahan.
!$%&
! & '!&
*
!+,%&
1
2
3
4
5
8
9
10
11
14
15
16
17
20
21
22
23
24
25
26
!"!# $
%'
wafer
wafer
wafer
wafer
.
.
.
.
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
(!')
%#%"!# "
! !#
!"!# $ -./
1.72
1.62
1.76
1.16
0.92
0.54
1.48
1.16
0.98
2.23
2.13
1.46
2.06
1.44
1.28
1.02
1.23
1.56
1.54
1.21
0
!"!# #* % '
Tabel 3 menunjukkan kadar protein biskuit yang beredar di pasar dan
pengelompokannya:
dan biskuit keras. Menurut SNI 01&
2973&1992, biskuit diklasifikasikan menjadi: biskuit keras,
dan
4
masing&masing dengan kadar protein minimum 6,5%, min 8%, min 6% dan min
6%. .
adalah biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Tabel
3 menunjukkan hasil uji lab
dengan nilai antara 5,86% sampai dengan 12%
dan rata&rata 7,43%. Jika dibandingkan dengan SNI 01&2973&1992 (min 6%) maka
60% memenuhi standar. Dua contoh yang kurang memenuhi masing&masing adalah
5,86% dan 5,99% mendekati persyaratan minimum 6%. Ini menunjukkan bahwa
produk biskuit
yang beredar masih sanggup memenuhi persyaratan min. 6%.
Standar Malaysia untuk
lebih longgar yaitu hanya sebesar min. 4,5%.
2
adalah biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori&pori kasar, renyah
dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga&rongga. Tabel 3
menunjukkan hasil analisis protein
dengan nilai antara 3,21% sampai dengan
6,04% dan rata&rata 4,70%. Jumlah yang memenuhi SNI 01&2973&1992 hanya 1
(25%) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar min 6% cukup tinggi.
Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk wafer adalah minimum
5% sama dengan standar Malaysia.
!$%&
! & '!&
*
!+,%&
1
2
3
4
5
8
9
10
11
14
15
16
17
20
21
22
23
24
25
26
!"!# #* % '
%'
wafer
wafer
wafer
wafer
.
.
.
.
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
Biskuit keras
(!')
%#%"!# "
! !#
#* % ' -+)1 )/
5.86
5.99
6.80
6.52
12.00
3.21
5.09
4.48
6.04
6.43
7.00
7.60
16.80
7.52
6.40
5.92
5.60
5.40
6.74
5.42
.
adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebh mengarah keras
asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis&lapis. Tabel
3 menunjukkan hasil analisis protein
dengan nilai antara 6,43% sampai
5
dengan 16,8% dan rata&rata 9,46%. Jumlah yang memenuhi SNI 01&2973&1992
hanya 1 (25 %) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar minimum
8% cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan standar Malaysia yang hanya minimum
5,5%. Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk
adalah
minimum 6%.
Biskuit keras adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih,
bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak
tinggi atau rendah. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis protein biskuit keras dengan
nilai antara 5,4% sampai dengan 7,52% dan rata&rata 6,14%. Jumlah yang
memenuhi SNI 01&2973&1992 hanya 28% contoh uji. Ini menunjukkan bahwa
persyaratan sebesar min. 6,5% cukup tinggi. Jumlah yang memenuhi dengan
persyaratan 5,5% adalah 86% sehingga diusulkan untuk persyaratan SNI berikutnya
adalah minimum 5,5%. Standar Malaysia tidak mempunyai klasifikasi biskuit keras.
2
!"!# %+!
Kadar lemak belum dipersyaratkan pada SNI biskuit tahun 1992. Lemak merupakan
faktor penting yang harus diperhatikan dalam makanan karena dapat menyebabkan
perubahan sifat pada makanan tersebut. Perubahan bahkan dapat terjadi ke arah
yang tidak diinginkan seperti ketengikan. Tabel 4 menunjukkan hasil analisis kadar
lemak biskuit yang beredar di pasar. Hasil analisis adalah antara 8,6% sampai
dengan 27,4% dengan rata&rata 20,32%. Standar Malaysia mempersyaratkan lemak
pada
1
dan
masing&masing adalah 7% & 18% dan ≥ 18%
sedangkan pada
dan
kadar lemak tidak disyaratkan. Usulan untuk
persyaratan SNI berikutnya adalah minimum 7% sehingga semua contoh memenuhi
persyaratan. Bahan yang memberikan kontribusi terhadap kadar lemak dalam biskuit
diantaranya adalah: lemak nabati (minyak kelapa sawit dan minyak
), susu
bubuk, telur, coklat bubuk dan mentega.
!$%& 0
! & '!&
!"!# %+!
*
6
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
(!')
!"!# %+! -./
27.2
20.8
14.9
19.4
21.0
21.6
11.3
10.7
15.5
27.4
19.7
22.3
%#%"!# "
! !#
*
!+,%&
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
!"!# %+! -./
23.1
22.3
26.4
25.8
22.1
21.2
25.0
8.62
20.32
3
!+ %+!
%$!
Tabel 5 menunjukkan hasil analisis asam lemak bebas biskuit yang beredar di pasar.
Nilainya antara 0,07% sampai dengan 0,41%, dan nilai rata&rata 0,20%. Asam lemak
bebas pada biskuit dapat dihasilkan dari penambahan langsung bahan&bahan yang
memang telah mengandung asam lemak bebas dan dari hidrolisis lemak oleh air
atau oleh enzim. Bahan&bahan yang kemungkinan memang telah mengandung asam
lemak bebas yang ditambahkan ke biskuit adalah minyak kelapa sawit, susu dan
lain&lain. Jenis asam lemak yang paling tinggi dalam biskuit kemungkinannya adalah
asam lemak yang berasal dari terigu karena terigu merupakan bahan baku utama.
Menurut (Buckle,
1987) jenis asam lemak yang paling banyak dalam tepung
terigu adalah asam linoleat, asam palmitat, dan asam oleat. Standar malaysia untuk
1
masing&masing
mempersyaratkan asam lemak bebas sebesar maksimum 1% sehingga diusulkan
persyaratan asam lemak bebas untuk SNI biskuit adalah maksimum 1%.
!$%& 2
! & '!&
!+ %+!
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
%$!
(!')
%#%"!# "
! !#
!+ %+!
%$! -./
0.16
0.34
0.30
0.36
0.32
0.13
0.13
0.21
0.12
0.31
0.07
0.23
0.14
0.41
0.24
0.10
0.16
7
*
!+,%&
18
19
20
Rata&rata
!+ %+!
%$! -./
0.21
0.10
0.13
0.21
&!')!' %#* "!
Bilangan peroksida biskuit menunjukkan tingkat kerusakan lemak atau minyak yang
terdapat dalam biskuit. Kadar lemak biskuit untuk biskuit keras dan
masing&
masing diusulkan 7% & 8% dan min. 18% sehingga produsen akan berusaha
memenuhi kadar lemaknya. Tingginya kadar lemak ini, memungikinkan biskuit akan
rusak akibat rusaknya lemak yang ada di dalam biskuit. Kerusakan lemak dapat
terjadi karena udara dan aktivitas enzim. Tabel 6 menunjukkan hasil analisis
bilangan peroksida biskuit yang beredar di pasar. Bilangan peroksida terdeteksi pada
tiga contoh uji dengan nilai tertinggi 1,48 mEq/Kg. Komposisinya adalah tepung
terigu, gula, lemak nabati (minyak kelapa sawit, minyak rapeseed rendah erusic),
gula, pati jagung,garam, susu bubuk, bahan pengembang, kalsium karbonat, lesitin
kedelai, pecita rasa dan sayuran kering. Standar Malaysia untuk
1
masing&masing mempersyaratkan bilangan
peroksida sebesar maks. 6 mEq/kg sehingga diusulkan persyaratan untuk SNI
berikutnya adalah 6 mEq/kg.
!$%& 3
! & '!&
&!')!' %#*
*
!+,%&
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
! ! #! !
8
"!
(!')
&!')!' %#* "! -+ 41 )/
0.36
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.30
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.23
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
%#%"!# "
! !#
5
6 !+ '
Vitamin B1 (tiamin) bertindak sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat dan
terdapat dalam semua jaringan makhluk hidup (J. M. deMan, 1997). Vitamin B1
dibutuhkan oleh manusia minimum 1 mg per 2000 k.kal. Peningkatan aktivitas
metabolisme seperti yang diakibatkan oleh kerja berat, kehamilan, atau penyakit
memerlukan konsumsi yang lebih tinggi. Beberapa hal yang dapat merusak tiamin
adalah panas, oksigen, belerang oksida, pelindian, dan pH netral atau basa. SNI 01&
2973&1992 belum mempersyaratkan tiamin sebagai syarat mutu. Alasan perlu
dilakukan kajian terhadap tiamin pada biskuit adalah disyaratkannya tiamin pada
tepung terigu sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit yaitu sebesar 2,5 mg/kg.
Tabel 7 menunjukkan hasil analisis vitamin B1 biskuit yang beredar di pasar. Rata&
rata hasil analisis adalah 7,35 mg/kg dengan nilai minimum