Hak Dan Asasi dan Manusia

Hak Asasi Manusia
Sejak tahun 1998, isu mengenai HAM berkembang dengan pesat dan
seringkali menjadi objek kajian dan penelitian di berbagai perguruan
tinggi

dan

lembaga-lembaga

lainnya.

Kajian

dan

penelitian

HAM

senantiasa pnting dilakukan mengngat materi HAM ini akan menjadi
materi yang diajarkan diseluruh tingkat pendidikan formal di Indonesia.


A. Pengertian HAM
Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang
melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk
memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat
seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai
manusia akan hilang.1
Pernyataan awal Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikemukakan oleh
John Locke, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat
kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apa
pun

di

dunia

yang


dapat

mencabut

hak

asasi

setiap

manusia.

Menurut Prof.Miriam Budiardjo Hak Asasi Manusia adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.2
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar
dan inheren dengan jati diri manusia secara universal.
Hak Asasi Manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
1

A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM Dan Masyarakat Madani,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm.110
2
Prof.Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hlm.247

1

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.

B. Perkembangan HAM di Eropa
1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah HAM bermula dari
kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban Eropa

muncul, HAM telah populer di masa kejayaan Islam. Wacana awal HAM di
Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan
absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja, seperti
menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka
buat,

menjadi

dibatasi

dan

kekuasaan

mereka

harus

dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta pada
tahun 1215, raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan

mempertanggungjawabkan

kebijakan

pemerintahannya

di

hadapan

parlemen.
Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki
konstitusional. Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada
pasal 21 Magna Charta yang menyatakan bahwa “para Pangeran dan
Baron dihukum atau didenda berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukannya.” Sedangkan pada pasal 40
ditegaskan bahwa “tak seorang pun menghendaki kita mengingkari atau
menunda tegaknya hak atau keadilan.”3
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang
Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah

equality before the law, kesetaraan manusia di muka hukum. Menurut Bill
of Rights, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus diwujudkan
betapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan
maka hak kebebasan mustahi dapat terwujud. Untuk mewujudkan
kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara tersebut,
lahirlah

sejumlah

istilah

dan

teori

sosial

yang

identik


dengan

perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan selanjutnya Amerika:
3

A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM Dan Masyarakat Madani,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm.111

2

kontrak sosial (J.J.Rousseau), trias politica (Montesquieu), teori hukum
kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan
(Thomas Jefferson).
Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan
antara penguasa (raja) dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang
ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak.
Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi
kekuasaan pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintah
(eksekutif), parlemen (legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa didalam
masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat
dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara.
Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang
mengatakan bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka.
Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) selanjutnya ditandai oleh
munculnya wacana empat hak kebebasan manusia (the four freedoms) di
Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden
Theodore Roosevelt. Keempat hak itu adalah: hak kebebasan berbicara
dan

menyatakan

pendapat,

hak

kebebasan

memeluk


agama

dan

beribadah sesuai dengan ajaran agama sesuai yang dipeluknya, hak
bebas dari kemiskinan, dan hak bebas dari rasa takut.
Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Buruh Internasional di
Philadelphia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi
Philadephia 1994 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia
berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apa pun
ras, kepercayaan, dan jenis kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip
HAM yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan
kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta
jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak
tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) pada tahun 1948.
2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
3


Generasi pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya
berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak Perang Dunia II sangat
mewarnai pemikiran generasi ini, dimana totalitersme dan munculnya
keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib
hukum yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati
sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk
tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan
dan keadilan dalam proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan
sebagainya.
Generasi kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut
hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga
menyeruakan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi
kedua ini lahir dua konvensi HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya, serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil
(international covenant on economic, social, and cultural rights dan
international covenant on civil and political rights). Kedua konvensi
tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1996.
Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM
antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian

integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan
(the rights of development), sebagaimana dinyatakan oleh Komisi
Keadilan Internasional (International Comission of Justice). Pada era
generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis
HAM. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di
kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang
dikenal dengan Declaration of Basic Duties of Asia People and Goverment.
Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini tidak saja mencakup
tuntutan struktural, tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan sosial
yang lebih berkeadilan. Deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang
masalah kewajiban asasi yang harus dilakukan oleh setiap negara. Secara
positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan imperatif setiap negara
untuk memnuhi hak asasi rakyatnya.
4

3. Perkembangan HAM di Indonesia
a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran

HAM

dalam

periode

sebelum

kemerdekaan

dapat

dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional,
seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912),
Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan
Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional
itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelenggaran HAM yang dilakukan
oleh penguasa kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat
terjajah.
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo mewakili
organisasi pergerakan nasional mula-mula yang menyuarakan kesadaran
berserikat

dan

mengeluarkan

pendapat

melalui

petisi-petisi

yang

ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat
kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi
massa dan konsep perwailan rakyat.
Diskursus HAM terjadi pula di kalangan tokoh pergerakan Sarekat
Islam

(SI),

mereka

menyerukan

pentingnya

usaha-usaha

untuk

memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan
diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda dengan
pemikiran HAM dikalangan tokoh nasionalis sekuler.
b. Periode Setelah Kemerdekaan
 Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih
menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak kebebasan
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
 Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi perlementer.
Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat
kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Tercatat pada periode
ini Indonesia meratifkasi dua konvensi internasional HAM, yaitu: 1)
5

Konvensi Genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi
korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.
2) Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak
perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta
hak perempuan untuk menempati jabatan publik.
 Periode 1959-1966
Periode
digantikan

ini

oleh

merupakan
sistem

masa

Demokrasi

berakhirnya
Terpimpin

Demokrasi

yang

Liberal,

terpusat

pada

kekuasaan Presiden Soekarno. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin
kekuasaan terpusat ditangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh
parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan
Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden
RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemeritahan yang sangat
individual ini adalah pemasangan hak-hak asasi warga negara. Semua
pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang otoriter.
 Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi
penegakan HAM di Indonesia. Namun pada kenyataannya, Orde Baru
telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji
Orde

Baru

tentang

pelaksanaan

HAM

di

Indonesia

mengalami

kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Sama
halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi
sebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan
prinsip gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa
Indonesia.

C. Konseptualisasi Hak Asasi Manusia
1. HAM Perspektif Barat
Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumsbuh dari konsep
hak (right) pada Yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika via
teori hukum alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan
sebagai berikut: the concept of right arose in Roman Jurisprudence and
6

was extended to ethics via natural law theori. Just as positive lawmakers,
confers legal rights, so the natural confers natural rights.4
Secara ringkas, uraian berikut akan menggambarkan kronologis
konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara yuridis-formal.
Pertama, dimulai yang paling dini, oleh munculnya “Perjanjian Agung”
(Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari
pemberontakan para baron terhadap raja John (saudara Raja Richard
berhati singa, seorang pemimpin tentara salib). Isi pokok dokumen itu
ialah hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak miliki dan
kebebasan pribadi seorang pun, dari rakyat (sebenarnya cukup ironis
bahwa pendorong pemberontakan para baron itu sendiri antara lain ialah
dikenakannya pajak yang sangat besar, dan dipaksakannya para baron
untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat
biasa).5 Kedua, keluarnya Bill of Rights pada 1628 yang berisi penegasan
tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk
melaksanakan kekuasaan terhadap siapa pun, atau untuk memenjarakan,
menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapa pun, tanpa dasar
hukum.
Ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776,
yang

memuat

penegasan

bahwa

setiap

orang

dilahirkan

dalam

persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar
kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut. Keempat, Deklarasi
Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de
L’Homme et du Citoyen / Declaration of the Rights of Man and of the
Citizen) dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan titik berat kepada
lima hak asasi pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan
(egalite), keamanan (securite) dan perlawanan terhadap penindasan
(resistence a l’oppression). Kelima, Deklarasi Universal tentang Hak-Hak
4

Majda El-Muhtaj, M.Hum, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm.50
5
Majda El-Muhtaj, M.Hum, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm.51

7

Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR), pada 10
Desember

1948

yang

memuat

pokok-pokok

tentang

kebebasan,

persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak
kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama).
Dari perkembangan historis diatas, dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan flosofs yang tajam, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di
Inggris

menekankan

mengutamakan

pada

kebebasan

pembatasan

raja,

individu,

Perancis

di

di

Amerika

Serikat

memprioritaskan

egalitarianisme persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before
the law), di Rusia tidak diperkenalkan hak individu, tetapi hanya mengakui
hak sosial dan kolektif.
Setiap kali kita menyebut hak-hak asasi, dengan sendirinya rujukan
paling baku ialah UDHR/DUHAM. Ini wajar dan merupakan keharusan,
karena UDHR merupakan puncak konseptualisasi manusia sejagat yang
menyatakan dukungan dan pengakuan yang tegas tentang hak asasi
manusia.

Begitu

pun

UDHR/DUHAM

dipandang

sebagai

puncak

konseptualisasi HAM sejagat, apa yang tertuang didalamnya dilihat dari
perspektif perkembangan generasi HAM adalah termasuk kedalam
generasi pertama dari empat generasi HAM yang ada. Cirinya yang
terpenting adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang
hukum dan politik. Sangat wajar dikarenakan beberapa hal, yakni realitas
politik global pasca-Perang Dunia II, dan adanya keinginan kuat negaranegara baru untuk menciptakan tertib hukum dan politik yang baru.
2. HAM Perspektif Islam
Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting
HAM dewasa ini, persoalan tentang universalitas HAM dan hubunganny
dengan berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat
perhatian dalam perbincangan wacana HAM kontemporer. Harus diakui
bahwa agama berperan memberikan landasan etik kehidupan manusia.6

6

Majda El-Muhtaj, M.Hum, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm.56

8

Perkembangan wacana global tentang HAM memberikan penilaian
tersendiri bagi posisi Islam. Menurut Supriyanto Abdi, setidaknya terdapat
tiga varian pandangan tentang hubungan Islam dengan HAM, baik yang
dikemukakan oleh para sarjana Barat atau pemikir Muslim sendiri, yakni:
pertama, menegaskan bahwa Islam tidak sesuai dengan gagasan dan
konsepsi HAM modern. Kedua, menyatakan bahwa Islam menerima
semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi pada saat yang sama
menolak landasan sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami.
Ketiga, menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusiaan
universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan normatif
yang sangat kuat terhadapnya.
3. HAM Perspektif Konstitusi Indonesia UUD 1945
a. UUD 1945
UUD 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan
demikian karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara
Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Fakta
sejarah

menunjukkan

pengaturan

HAM

bahwa

dalam

pergulatan

konstitusi

begitu

pemikiran,
intens

khususnya

terjadi

dalam

persidangan-persidangan BPUPKI dan PPKI. Satu hal menarik bahwa
meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang didalamnya
memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban
yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri
sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan,
Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah HAM,
tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW).
b. Konstitusi RIS 1949
UUD RIS sering disebut dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS) tahun 1949. Dalam Konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapat
dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak Kebebasan-kebebasan Dasar
Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal dari mulai pasal 7
sampai dengan pasal 33. Eksistensi manusia secara tegas dinyatakan
9

pada pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang diakui sebagai
manusia”. Selain itu, hak atas perlindungan hukum juga termuat pada
pasal 13 ayat (1), “Setiap orang berhak, dalam persamaan jang tak
memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannja
dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman jang
dimadjukan terhadapnja beralasan atau tidak”.
c. UUDS 1950
UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan 43 pasal. Dari tiga UUD yang
berlaku sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, menurut Adnan
Buyung Nasution, negara ini pernah memiliki UUD yang memuat pasalpasal tentang HAM yang lebih lengkap daripada UUDR/DURHAM, yaitu
UUDS 1950. Ketentuan HAM diatur pada bagian V (Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) dari mulai pasal 7 sampai pasal 33.
Menariknya, pemerintah juga memiliki kewajiban dasar konstitusional
yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada bagian IV (Azasazas Dasar), pasal 35 sampai dengan pasal 43. Kewajiban dasar ini dapat
dilihat, misalnya pada pasal 36 yang berbunyi: “Penguasa memadjukan
kepastian dan djaminan sosial, teristimewa pemastian dan pendjaminan
sjarat-sjarat perburuhan yang baik, pentjegahan dan pemberantasan
pengangguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari tua dan
pemeliharaan djanda-djanda dan anak djatim-piatu.”
d. Kembali Kepada UUD 1945
Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis hukum dasar
ketatanegaraan

Indonesia

mengalami

suasana

setback.

Dikatakan

setback karena apa yang dirumuskan oleh Majelis Konstituante melalui
“Persidangan Marathon” sejak 1956-1959, praktis dianggap deadlock. Dan
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan
kembali Uud 1945. Dekrit tersebut menjadi dasar hukum berlakunya
kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD 1945. Karena itu,
pengaturan HAM adalah sama dengan apa yang tertuang dalam UUD
1945.
10

e. Amandemen UUD 1945
Terdapat empat kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan
sejak tahun 1999 sampai dengan 2002. Khususnya mengenai pengaturan
HAM, dapat dilihat pada Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000.
Perubahan dan kemajuan signifkan adalah dengan dicantumkannya
persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA
(Hak Asasi Manusia) dari mulai pasal 28A sampai dengan 28J. Penegasan
HAM kelihatan menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada
pasal 28A yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Kemajuan lain dapat juga
dilihat pada pasal 28J yang berbunyi, “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di
Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah
mengalami proses dialektika yang serius dan panjang.

D. Jaminan Konstitusi Atas Hak Asasi Manusia
Menurut Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, UUD
berisi tiga pokok materi muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia dan warga negara; kedua, ditetapkannya susunan
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.7
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti
penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum
sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara
amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas
7

Majda El-Muhtaj, M.Hum, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm.93

11

HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas
tegaknya supremasi hukum.
Konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah
bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan
konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan
atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu,
jaminan jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan
dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.

E. Materi Muatan HAM Dalam UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangan yang
beragam. Setidaknya, ada tiga kelompok pandangan, yakni: pertama,
mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan
atas HAM secara komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan UUD
1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; dan ketiga,
berpandangan bahwa

UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok

jaminan atas HAM.
Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD dan Bambang
Sutiyoso. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara
eksplisit didalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya.
Justru,

menurut

Sutiyoso,

didalam

UUD

1945

hanya

ditemukan

pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara,
dan hak-hak DPR. Menurut Mahfud, tidak sedikit orang yang berpendapat
bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak banyak memberi perhatian pada
HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apa pun tentang HAM universal
kecuali dalam dua hal, yaitu Sila Keempat Pancasila yang meletakkan
asas “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan pasal 29 yang
menderivasikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk
agama dan beribadah.”
Pandangan kedua didukung oleh Soedjono Sumobroto dan Marwoto,
Azhary, dan Dahlan Thaib. Sumobroto dan Marwoto mengatakan, UUD
1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup dikalangan masyarakat.
12

Atas dasar itu, HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber dari
falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Dengan kata
lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian
bangsa. Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji dalam Pembukaan, Batang
Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas)
prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai berikut: (1) hak untuk
menentukan nasib sendiri, (2) hak akan warga negara, (3) hak akan
persamaan dan kesamaan di hadapan hukum, (4) hak untuk bekerja, (5)
hak akan hidup layak, (6) hak untuk berserikat, (7) hak untuk menyatakan
pendapat, (8) hak untuk beragama, (9) hak untuk membela negara, (10)
hak untuk mendapatkan pengajaran, (11) hak akan kesejahteraaan sosial,
(12) hak akan jaminan sosial, (13) hak akan kebebasan dan kemandirian
peradilan,

(14)

hak

mempertahankan

tradisi

budaya,

(15)

hak

mempertahankan tradisi budaya. Hal yang sama ditegaskan Azhary, kalau
ada yang beranggapan bahwa UUD 1945 tidak atau kurang menjamin
HAM, itu adalah suatu anggapan yang keliru.
Pandangan

ketiga

didukung

oleh

Kuntjoro

Purbopranoto,

G.J.Wolhoff, dan M.Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminanUUD 1945
jaminan terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuanketentuannya UUD 1945 mencantumkannya secara tidak sistematis.
Selengkapnya beliau mengatakan sebagai berikut: “Perumusan hak-hak
asasi

dan

kebebasan-kebebasan

asasi

manusia

dalam

UUD

1945

belumlah tersusun secara sistematis. Hanya empat pasal yang memuat
ketentuan-ketentuan hak-hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29, dan 31.
Sebabnya, tidaklah karena nilai-nilai hukum dari hak-hak asasi itu kurang
mendapat perhatian, akan tetapi karena susunan pertama UUD 1945 itu
adalah inti-inti dasar kenegaraan, yang dapat dirumuskan sebagai hasil
perundingan antara para pemimpin kita dari seluruh aliran masyarakat,
yang diadakan pada masa berakhirnya pemerintahan pendudukan bala
tentara Jepang di Indonesia.” Begitu pun Solly Lubis berpandangan bahwa
UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas
mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secara redaksional
formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.
13

F. Perkembangan Pengaturan Hak Asasi Manusia
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk
hukum yang dapat menampung rincian HAM itu.8
Pertama, menjadikannya bagian yang integral dari UUD 1945, yaitu
dengan cara melakukan amandemen-amandemen pada UUD 1945,
sebagai yang ditempuh dengan Piagam Hak-Hak Warganegara (The Bill of
Rights), yang merupakan Amandemen I-X pada Konstitusi Amerika
Serikat. Cara semacam ini akan menjamin tetap terpeliharanya UUD 1945
sebagai naskah historis dimana dalam the body of the Constitution tidak
diadakan

perubahan-perubahan,

tetapi

hanya

tambahan-tambahan.

Prosedurnya menurut hukum konstitusi diatur dalam pasal37.
Kedua, menetapkan dalam Ketetapan MPR. Keberadaannya, suatu
Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi
pelanggarnya dalam precise detail, tetapi hanya garis-garis besar haluan
negara, sekedar ‘a declaration of general principles’, tanpa akibat hukum
sama sekali.
Ketiga, mengundangkannya dalam suatu undang-undang berikut
sanksi hukuman terhadap pelanggarnya.
UUD 1945 yang pada awalnya hanya memuat enam pasal yang
mengatur tentang HAM, kemudian mengalami perubahan-perubahan yang
sangat signifkan yang kemudian dituangkan dalam Perubahan Kedua
UUD 1945 pada bulan Agustus tahun 2000. Sebenarnya, sebelum
Perubahan

Kedua

dilakukan,

telah

terdapat

beberapa

peraturan

perundang-undangan yang dapat dikatakan sebagai pembuka terjadinya
Perubahan.

Ketentuan

itu

antara

lain

Ketetapan

MPR

Nomor

XVII/MPR/1998 tentang HAM, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang
GBHN,

serta

UU

Nomor

39

Tahun

1999

tentang

HAM.

Perubahan Kedua UUD 1945. Pada pembahasan Rancangan UUD
yang dilakukan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno sebagai
8

Prof.Dr.Bagir Manan,S.H.,MCL.,dkk, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia, P.T.Alumni, Bandung, 2006, hlm.80

14

Ketua Panitian Perancang UUD telah menyatakan kehendak bahwa
dikemudian hari akan dibuat suatu UUD baru, karena UUD yang dibuat
adalah UUD sementara atau yang ia namakan sebagai UUD kilat. Dari hal
itu, tampak kearifan dari para pembentuk UUD 1945 yang menyadari
bahwa UUD tersebut tidak lengkap sehingga membuka peluang untuk
diadakan perubahan atau penyempurnaan yang kemudian diatur dalam
pasal 37. Salah satu ketidakberhasilan UUD 1945 sebagai dasar pelaksana
prinsip-prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum antara lain
disebabkan adanya kekosongan materi muatan, misalnya tentang HAM.
Wacana

tentang

perlunya

HAM

dimasukkan

ke

dalam

UUD

berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan
HAM semakin meningkat menyusul tumbangnya rejim otoriter. Walaupun
telah ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang didasari oleh TAP MPR
No. XVII Tahun 1998, namun dimasukkannya HAM kedalam konstitusi
diharapkan akan semakin memperkuat komitmen untuk pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia, karena akan menjadikannya sebagai hak
yang dilindungi secara konstitusional (constitutional rights). Pesan ini
kemudian ditangkap oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I dan direkomendasikan
kepada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 agar dimasukkan ke dalam
Amandemen ke-2 UUD 1945. Pasal-pasal tentang HAM dimasukkan
kedalam Bab XA dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Beberapa ahli
hukum bahkan berpendapat bahwa pasal 28I Perubahan Kedua ini
merupakan constitutional constraint bagi penegakan HAM di Indonesia.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada
tanggal 13 November 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan
mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM
yang lebih rinci mengemuka lebih kuat. Ketetapan ini terdiri atas tujuh
pasal dimana naskah HAM yang berupa Pandangan dan Sikap Bangsa
Indonesia terhadap HAM serta Piagam HAM merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Ketetapan.

15

Ketentuan yang terdapat dalam Ketetapan No. XVII/MPR/1998
menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparat
pemerintah untuk menghormati dan menegakkan serta menyebarluaskan
pemahaman HAM kepada seluruh masyarakat. Selain itu kepada Presiden
dan

DPR

juga

ditugaskan

untuk

meratifkasi

berbagai

instrumen

internasional sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Ketetapan ini sekaligus menegaskan peningkatan dasar hukum
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang semula berupa Keppres menjadi
UU dan Komisi ini berfungsi untuk melakukan penyuluhan, pengkajian,
pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM.
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU yang
diundangkan pada tanggal 23 September 1999 dipandang sebagai salah
satu peraturan pelaksana dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal
ini ternyata dalam satu dasar hukumnya yang mencantumkan Ketetapan
tersebut.
Pada saat UU ini sedang didiskusikan terdapat beberapa pendapat
yang terbagi dalam dua kategori besar, yakni pendapat yang menyatakan
bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai
UU, dan oleh karena itu tidak perlu dibuat satu UU khusus tentang HAM.
Pendapat lain mengatakan bahwa pembentukan UU materi khusus
tentang HAM perlu dilakukan mengingat Ketetapan MPR tidak berlaku
operasional dab berbagai UU yang ada belum seluruhnya menampung
materi HAM.
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang

Republik

Indonesia

Nomor

26

Tahun

2000

dapat

dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakkan HAM dalam
level Undang-Undang setelah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan penggantu
dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1999 yang mengatur ha yang sama, yang telah ditolak oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumya. UU Nomor 26 Tahun 2000 pada
dasarnya memuat IX Bab dab 51 Pasal.
16

G. Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia
Pertama, Hak Personal, Hak Legal, Hak Sipil dan Politik dalam
DUHAM pasal 3 terdiri dari:
1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.
2. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan.
3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang
kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat
kemanusiaan.
4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara
pribadi.
5. Hak untuk memperoleh pengampunan hukum secara efektif.
6. Hak

bebas

dari

penangkapan,

penahanan

atau

pembuangan

sewenang-wenang.
7. Hak untuk peradilan yang interpenden dan tidak memihak.
8. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.
9. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap
kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat.
10.

Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama

baik.
11.

Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam

itu.
12.

Hak bergerak.

13.

Hak memperoleh suaka.

14.

Hak atas satu kebangsaan.

15.

Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

16.

Hak untuk mempunyai hak milik.

17.

Hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama.

18.

Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat.

19.

Hak untuk berhimpun dan berserikat.

20.

Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak

atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

17

Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam DUHAM terdiri dari:
1. Hak atas jaminan sosial.
2. Hak untuk bekerja.
3. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
4. Hak untuk bergabung kedalam serikat-serikat buruh.
5. Hak atas istirahat dan waktu senggang.
6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan
kesejahteraan.
7. Hak atas pendidikan.
8. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari
masyarakat.
Kemudian, bentuk-bentuk HAM di Indonesia terdapat dalam UUD
1945 (hasil amandemen I-IV), yakni terdiri dari:
1. Hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
2. Hak kedudukan yang sama di dalam hukum.
3. Hak kebebasan berkumpul.
4. Hak kebebasan beragama.
5. Hak penghidupan yang layak.
6. Hak kebebasan berserikat.
7. Hak memperoleh pendidikan atau pengajaran.
Sementara itu secara operasional lagi bentuk-bentuk HAM terdapat
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yakni:
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak mengembangkan diri.
4. Hak memperoleh keadilan.
5. Hak atas kebebasan pribadi.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita.

18

10.

Hak anak.9

H. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Tatalaksana Peradilan
Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral
dalam pelaksanaan yang benar dari setiap sistem peradilan kejahatan.
Promosi dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan asasi sudah merupakan bagian integral dari missi PBB sejak
pendiriannya

pada

tahun

1945.10

Prinsip

ini

termanifestasi

dalam

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang disahkan oleh Sidang
Umum pada tahun 1948, yang pada kalimat pertama Mukadimahnya
menyatakan: “Sedang pengakuan terhadap martabat yang melekat dan
terhadap hak-hak yang sepadan dan tidak dapat diganggu gugat dari
semua manusia adalah dasar untuk kebebasan, keadilan dan kedamaian
dunia.”11 Deklarasi itu menyerukan adanya perlindungan hukum terhadap
campur

tangan

sewenang-wenang

atas

kehidupan

pribadi

orang,

keluarga, rumah tangga dan surat menyurat dari semua orang. Sejak
diterimanya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1948,
Sidang Umum telah mensahkan banyak rekomendasi dan konvensi
mengenai hak-hak asasi manusia. Masalah-masalahnya menyangkut soal
pembunuhan
manusia

suku

tanpa

bangsa,

diskriminasi

kewarganegaraan,

ras,

hak-hak

apartheid,
wanita,

pengungsi,
perbudakan,

perkawinan, anak-anak, remaja, (aliens), (asylum), kaum cacat fsik dan
mental, penyiksaan, pembangunan dan kemajuan sosial.
Pada umumnya hal-hal yang berkaitan dengan permasalahanpermasalahan tadi dirujuk kepada Komisi Ketiga dari Sidang Umum, yang
memperbincangkan

masalah-masalah

sosial,

kemanusiaan,

dan

kebudayaan. Untuk menerapkan instrumen-instrumen hak asasi manusia
PBB itu telah didirikan pelbagai lembaga khusus. Diantaranya ada dua
yang paling langsung terkait dengan penyalahgunaan hak-hak asasi
9

Prof.Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hlm.323
10
Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M.Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006,hlm.100
11
Jendral.Pol (Purn) Drs.Kumanto, Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum, PT.Cipta
Manunggal, Jakarta, 1996, hlm.41

19

manusia dalam tatalaksana peradilan kejahatan. Komisi Anti Penyiksaan
dibentuk pada tahun 1987 sebagai realisasi dari pasal 17 dari konvensi
Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman lain yang Kejam, tidak
manusiawi , atau melecehkan martabat manusia. Kelompok tiga yang
menindaklanjuti Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman
dari Kejahatan Apartheid, terdiri dari tiga anggota Komisi Hak-Hak Asasi.
Mereka ini setiap tahun ditunjuk oleh Ketua Komisi. Dalam menyusun
draft proposal untuk suatu Konvensi Hak-Hak Anak Pusat ini bekerja sama
dengan dana PBB untuk anak-anak (UNICEF). Konvensi ini disahkan oleh
Sidang Umum pada tahun 1989.
Di antara pasal-pasalnya terdapat beberapa pasal yang menyangkut
tatalaksana peradilan untuk perkara-perkara kecil, yang menyatakan
bahwa dalam pengadilan anak, maka pengadilan harus memberikan
pertimbangan utama terhadap apa yang terbaik bagi anak dan pendapat
anak-anak supaya diperhatikan. Negara-negara harus melindungi anakanak agar tidak dirugikan ataupun ditelantarkan baik secara fsik maupun
mental, termasuk diantaranya penyalahgunaan atau pemerasan seksual.
Negara-negara harus melindungi anak-anak dari penggunaan obat bius
secara tidak sah dan keterlibatan mereka dalam pembuatan ataupun
pengedarannya, segala upaya untuk menghapuskan (abduction) dan
pengedaran obat bius diantara anak-anak harus dilakukan. Anak dibawah
umur 18 tahun tidak oleh dijatuhi hukuman berat atau seumur hidup atas
kejahatan yang dilakukannya, dan anak-anak yang ditahan harus
dipisahkan dari orang-orang dewasa dan tidak boleh disiksa atau
diperlakukan secara kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan.12
Akhirnya Komisi Tinggi PBB untuk para pengungsi dan empat badan
khusus dalam sistem PBB melibatkan diri secara aktif dalam masalahmasalah hak-hak asasi manusia. Badan-badan itu adalah Organisasi
Pekerja Internasional (ILO), Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO), Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), dan Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO). Semenjak
tahun 1988, Program Global WHO untuk AIDS telah mempelajari keadaan
12

Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan, Grasindo, Jakarta, 2007, hlm.52

20

penyakit

infeksi

HIV

dilingkungan

penjara

dan

mempersiapkan

rekomendasi untuk perawatan individual bagi para narapidana yang
terinfeksi HIV, UNESCO bekerja sama dengan Institut PBB di Amerika latin
untuk Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar (ILANUD)
telah menyiapkan draft model perjanjian bilateral untuk penanggulangan
kejahatan dalam bidang warisan budaya, sebagai bahan pertimbangan
bagi Komisi Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan.

I. Pengadilan HAM
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan
Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM adalah pengadilan
khusus

terhadap

pelanggaran

HAM

yang

berat.

Jika apa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM seperti yang
ditentukan didalam pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan pasal 2 yang
menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang
berada dilingkungan Peradilan Umum, dan pasal 4 yang menentukan
bahwa

Pengadilan

HAM

bertugas

dan

berwenang memeriksa

dan

memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas
bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan yang
ada di lingkungan Peradilan Umum yang hanya bertugas dan berwenang
untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
saja.13
Yang dimaksud dengan kalimat “di lingkungan Peradilan Umum”
dalam pasal 2 tersebut adalah di lingkungan Peradilan Umum seperti yang
dimaksud oleh pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970. Seperti diketahui pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970

menentukan

bahwa

kekuasaan

kehakiman

dilakukan

oleh

pengadilan dalam lingkungan: a) Peradilan Umum, b) Peradilan Agama, c)
Peradilan Militer, d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Apa sebab untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat sampai perlu dibentuk Pengadilan HAM, didalam
13

R.Wiyono,S.H, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006,
hlm.9

21

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan
bahwa

dibentuknya

Pengadilan

HAM

tersebut

dilaksanakan

atas

pertimbangan sebagai berikut:
1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan
berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur
dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun
immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap
perseorangan

maupun

masyarakat,

sehingga

perlu

segera

dipulihkan dalam mewujudkan supramasi hukum untuk mencapai
kedamaian ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkahlangkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
yang bersifat khusus, yaitu:
a. Diperlukan

penyelidikan

dengan

membentuk

tim

ad

hoc,

penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan haki ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan, hanya dilakukan oleh
Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima
laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHP.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan

penyidikan,

penuntutan

dan

pemeriksaan

di

pengadilan.
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa
bagi pelanggaran HAM yang berat.14

J. Lingkup Kewenangan
1. Lingkup Kewenangan Absolut
Mengenai lingkup kewenangan absolut atau kompetensi absolut dari
Pengadilan HAM, oleh pasal 4 ditentukan bahwa Pengadilan HAM
mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara
14

Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005, hlm.30

22

pelanggaran HAM yang berat dan sudah tentu yang dimaksud dengan
perkara pelanggaran HAM yang berat ini adalah perkara pelanggaran HAM
yang berat yang terjadi sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000, yaitu pelanggaran HAM
yang berat meliputi: a) kejahatan genosida, b) kejahatan terhadap
kemanusiaan.15
Tidak semua perkara pelanggaran HAM yang berat menjadi lingkup
kewenangan absolut atau kompetensi absolut dari Pengadilan HAM,
karena pasal 6 menentukan bahwa Pengadilan HAM tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan, yaitu suatu ketentuan yang sama
dengan ketentuan

yang terdapat dalam pasal 26

Statuta

Roma.

Sedangkan yang dimaksud dengan memerikas dan memutus dalam pasal
4 disebutkan, menyelesaikan perkara yang menyangkut kompetensi,
restitusi dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Lingkup Kewenangan Relatif
Disamping menentukan tentang tempat kedudukan dari Pengadilan
HAM, pasal 3 ayat 1 juga menentukan tentang lingkup kewenangan relatif
atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM, yaitu daerah hukum
Pengadilan

HAM

meliputi

daerah

hukum

Pengadilan

Negeri

yang

bersangkutan.
Jika diingat bahwa Pengadilan HAM adalah merupakan pengadilan
pada Pengadilan Negeri, maka sebenarnya lingkup kewenangan relatif
atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM dengan sendirinya sama
dengan

lingkup

kewenangan

relatif

atau

kompetensi

relatif

dari

Pengadilan Negeri, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ketentuan
bahwa daerah hukum Pengadilan HAM meliputi daerah hukum Pengadilan
Negeri yang bersangkutan seperti yang ditentukan oleh pasal 3 ayat 1.

15

Prof.H.Rozali Abdullah,S.H dan Syamsir,S.H, Perkembangan HAM Dan Keberadaan
Peradilan HAM di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.23

23

Daftar Pustaka
Abdullah,

Rozali,

dan

Syamsir,

2004.

Perkembangan

HAM

Dan

Keberadaan Peradilan HAM Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama
Buyung Nasution, Adnan, dan M.Zen, Patra, 2006. Instrumen Internasional
Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
El-Muhtaj, Majda, 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
24

Kumanto, 1996. Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum. Jakarta:
PT.Cipta Manunggal
Manan, Bagir, 2006. Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia. Bandung: P.T Alumni
Mulya Lubis, Todung, 2005. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Rahayu, Minto, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Grasindo
Ubaedillah, A, dan Abdul Rozak, 2011. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Wiyono, R, 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta:
Kencana

25