Pendidikan Dekonstruksi dan Utopia negara

Pendidikan: Dekonstruksi dan Utopia
Oleh Mirza Ahmad
Pendidikan mau tak mau hari ini merupakan sebuah alat untuk melegitimasi sebuah
kekuasaan, menjadi bagian dari sebuah rezim yang meninggalkan kompleksitas esensi mulia
yang terkandung didalamnya. Menjadi sebuah ironi ketika segelintir teoritisi dan praktisi
seperti Paulo Freire dan Ivan Illich menguliti hidup-hidup institusi pendidikan yang terbilang
keramat.
Pendidikan tak ubahnya sebuah mesin yang mencetak robot-robot yang siap
dipekerjakan di dalam tungku-tungku panas rezim neo-liberalisme yang telah memberikan
perspektif kepada pendidikan bahwa ia haruslah sejalan dengan kepemilikan modal raksasa.
Seorang sarjana teknik akan berurusan dengan perakitan mesin motor yang dikemudian hari
belum tentu sang sarjana mampu membeli motor itu sendiri dengan uang gajinya.
Kekuatan suprastruktur akan mempengaruhi secara kuat terhadap kegiatan produksi,
hubungan produksi dan segalanya yang koheren dengan basis infrastruktur sosial. Sehingga
manusia, sebagian manusia, atau hampir seluruh manusia dengan segera kehilangan
kesadarannya tentang apa substansi dunia kehidupan termasuk sosial budaya dan
pendidikan. Hal ini menjadikan suprastruktur sangat hegemonik ketika mampu menguasai
kesadaran kolektif masyarakat, seakan-akan masyarakat tengah dibuai dalam ayunan neoliberalisme yang dikemudian hari akan memeras keringat mereka hingga tak mampu lagi
berkeringat.
Institusi pendidikan menjadi sasaran utama suprastruktur yang hegemonik, dimana
ia merupakan alat yang menyebarluaskan ide-ide dan kesadaran kolektif masyarakat yang

pada nantinya akan menyokong keberlangsungan tatanan hidup status quo. Pendidikan
dijadikan alat bius total kepada setiap peri-peri kehidupan manusia sehingga mengkonstruksi
tatanan kehidupan versi penguasa yang tentu sejalan dengan pemilik modal raksasa.
Sebagaimana pula negara Indonesia yang memiliki hampir 280 juta penduduk,
sebuah kekayaan akan jumlah jiwa manusia ini dijadikan sebagai piranti penting dalam
membangun sebuah koloni tenaga kerja yang siap ditransfer kesana kemari demi
pertumbuhan ekonomi nasional dan dunia, betapa pentingnya jumlah 280 juta jiwa
Indonesia dalam perspektif ekonomi. Tenaga-tenaga kerja ini sebelum ditransfer akan dididik
dengan pendidikan yang terbaik hingga dilahirkanlah para profesional dan lex specialis yang
tak lagi mampu menghayati betapa mengerikannya proses dan tujuan akhir pendidikan yang
ia alami, ini semua karena ia dididik dalam sebuah habitus yang berisikan obat bius.
UU Sisdiknas dan Dekonstruksi
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.

Potongan diatas merupakan isi dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang

termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Bahasa yang mbingungi ala undangundang inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam penyelenggaraan pendidikan kita hari
ini. Isi dari fungsi dan tujuan ini menekankan pada titik kemampuan dan potensi individu
warga negara. Individu atau perorangan dari warga negara menjadi penting untuk
dikembangkan potensinya agar juga mampu menjadi warga negara negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Setiap undang-undang yang dibentuk oleh pemerintah maka landasan utamanya
adalah Pancasila dan UUD 1945 secara berurutan. Maka perlu kita pertanyakan apakah UU
Sisdiknas ini telah berlandaskan Pancasila atau tidak. Tujuan pendidikan memang
mengembangkan potensi diri individu namun meninggalkan prinsip sila ke-2, 3, 4, dan 5,
yaitu nilai-nilai kemanusiaan, persatuan bangsa, demokrasi ala Indonesia dan keadilan sosial.
Pengembangan individu pada akhirnya akan berujung pada kompetisi antar individu,
kompetisi ini akan melupakan apa makna persatuan bangsa, kompetisi ini juga akan
melupakan bagaimana keadilan sosial bisa terwujud jika free fight competition diterapkan
dan dipundak individu pula demokrasi diletakkan dalam konsep one man one vote.
Fenomena sosial mungkin akan luput dari perhatian kita ketika kesadaran kolektif
telah dibekukan oleh kekuatan suprastruktur yang hegemonik. Bahkan kesadaran kita
dengan mudah “diarahkan” pada persoalan-persoalan tertentu, dalam titik yang paling nadir
yaitu ketika kesadaran manusia berhenti dalam lingkaran urusan perut. Begitu juga dengan
tujuan pendidikan ini, kita semua akan diarahkan untuk kembali menjadi individu-individu
yang berkutat pada urusan perut, sehingga semua orang akan berlomba-lomba menafkahi

perutnya masing-masing. Belum lagi logika link and match yang berusaha menawarkan
konsepsi perselingkuhan pemodal raksasa, pendidikan dan perusahaan dimana pendidikan
akan berfungsi sebagai bagian utuh dari perusahaan yaitu sebagai unit produksi tenaga kerja
dengan spesifikasi tertentu atau yang kita kenal hari ini sebagai nilai-nilai profesionalitas lex
specialis.
Pancasila juga ditanamkan dalam pendidikan dengan konsep yang tidak jauh berbeda
dengan PMP ala orde baru, lewat PPKn atau Kewarganegaraan. Menjadi hal yang lumrah kita
ketahui bersama bahwa motif utama dari kebijakan ini adalah desoekarnoisasi dan
depolitisasi pancasila itu sendiri. Negara yang seharusnya memiliki karakter Pancasila dalam
setiap kebijakannya kini telah berusaha membunuh Pancasila dengan tangannya sendiri
untuk bisa menggantinya dengan asas yang lebih bebas dan lebih demokratis ala Amerika.
Sebab itu pula tersemat klise “menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab” di dalam UU Sisdiknas dimana konsep one man one vote akan dipelintir
sebagai penyelamat demokrasi.
Alternatif Solusi Utopis
Tidak ada suatu pergerakan revolusioner tanpa adanya teori yang revolusioner,
ungkap Lenin dalam sebuah pergerakan massa di zaman Uni Soviet. Ungkapan tersebut ingin
mengatakan bahwa keadaan sosial akan ditentukan oleh dasar filosofi dan pandangan hidup.
Keadaan sosial ini akan berubah apabila masyarakat secara bersama melakukan dekonstruksi
atas pemahamannya sendiri, mendefinisikan ulang struktur tatanan kehidupan yang


pointless. Masyarakat pun harus seia-sekata tentang fondasi kehidupan berikut tatanan
struktur yang akan menjadi representasi konsensus mereka.
Begitu juga dengan pendidikan, ia harus didekonstruksi dan di-redefining point,
perangkat undang-undang harus dirombak, agar sesuai dengan konsensus utama yang
menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Dalam upaya dekonstruksi
dalam pendidikan, Pancasila juga mampu berdiri sebagai ideologi kritis untuk
mempertanyakan kembali bahkan menjadi sebuah pisau analisa yang sangat tajam dimana
struktur bangunan dunia kehidupan Indonesia yang dikelola oleh negara tidak lagi
memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Aliran (mazhab) pendidikan juga harus diselaraskan dengan praksis yang berkorelasi
dengan perubahan sosial secara mendasar baik secara kuantitatif dan kualitatif. Teori
pendidikan dan kebudayaan harus digali ulang demi menemukan identitas diri dan bangsa
yang telah lama terkubur dibawah ketiak rezim neo-colonialism dan neo-imperialism. Tidak
ada lagi ruang untuk rasa inferioritas dan temukan kembali humanitas nasionalisme lewat
karya anak bangsa seperti apa yang Founding Fathers kita ajarkan agar tidak melupakan
sejarah, pendidikan Indonesia telah melalui sejarah yang panjang baik sebelum merdeka
hingga hari ini. Teori pendidikan indonesia juga harus diperkaya dengan teori yang
mendukung perubahan sosial secara radikal dan mengembalikan identitas diri.
Mungkinkah semua itu terjadi? Halah, kita mempunyai ahli pendidikan seperti Ki

Hadjar Dewantara saja- yang pemikirannya melampaui Pavlov, Bruner, Dewey, Illich, Freire
sekalipun- kita remehkan ajarannya. Maka pantaslas di Indonesia tersemat anecdote bahwa
Tuhan menciptakan dunia ini dengan penuh keseimbangan- dimana bangsa barat memiliki
otak encer namun miskin sumber daya alam dan bangsa Indonesia memiliki otak beku dan
bergelimang sumber daya alam.

***Tulisan ini telah dimuat dalam majalah triwulan Liberdade edisi November 2014, dimuat
ulang disini untuk keperluan edukasi.