Kesiapan belajar mandiri mahasiswa dan c
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASISWA DAN CALON POTENSIAL
MAHASISWA PADA PENDIDIKAN JARAK JAUH DI INDONESIA
Kristanti Ambar Puspitasari & Samsul Islam
(Universitas Terbuka)
This article discusses selfdirected learning readiness of facetoface and openanddistance
learning (ODL) students. Serving as facetoface samples were third grade senior high school
students and ODL�s samples were Universitas Terbuka (UT) students. Samples of faceto
face students (as UT prospective students) were students from two high schools in Bogor and
one in Depok. Selfdirected learning readiness was measured with the Indonesian Version of
SelfDirected Learning Readiness Scale (SDLRS) translated by Darmayanti (1993).The results
showed that prospective students had significantly lower readiness for selfdirected learning
than UT students. SDLRS scores indicated that both prospective and UT students had average
readiness for selfdirected learning. It meant that students were likely to be successful in
independent learning situations. However they were not completely comfortable being
responsible for the entire process of identifying their learning needs and planning,
imnplementing, and evaluating their learning. Thus, UT has to provide student support for
improving students skills in selfdirected learning.
Pendidikan jarak jauh (PJJ) seringkali dikaitkan dengan istilah belajar mandiri. Perkembangan
konsep belajar mandiri di bidang PJJ merupakan konsekuensi salah satu karakteristik PJJ yang
menuntut kemampuan belajar mandiri yang lebih tinggi dibandingkan bentuk pendidikan tatap
muka. Hal ini mengingat lebih terbatasnya interaksi antara mahasiswa dengan instruktur dan
dengan sesama mahasiswa. Paul (1990), seorang ahli PJJ, bahkan mengemukakan bahwa
kesuksesan institusi PJJ tergantung pada kemampuan mahasiswanya untuk belajar mandiri.
Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai kemandirian belajarlah
yang akan berhasil menempuh pendidikan dalam sistem PJJ (Long, 1991; Moore, 1983; Paul,
1990). Oleh karena itu, calon mahasiswa dalam sistem PJJ seharusnya sudah mempunyai
kesiapan yang memadai untuk belajar mandiri.
Menurut Sugilar (1999), kesiapan belajar mandiri berkaitan dengan kesiapan individu untuk
melaksanakan kegiatan belajar atas inisiatif sendiri, dengan atau tanpa dukungan pihak lain.
Pendapat ini senada dengan definisi Hiemstra (1994) yang mengemukakan bahwa seseorang
yang mampu belajar secara mandiri artinya mampu merencanakan belajarnya sendiri,
melaksanakan proses belajar, dan mengevaluasi belajarnya sendiri. Secara lebih spesifik,
Knowles (1975) mendefinisikan belajar mandiri sebagai suatu proses di mana seseorang
mempunyai inisiatif (baik dengan atau tanpa bantuan orang lain) dalam mendiagnosis
kebutuhankebutuhan belajar mereka, merumuskan tujuantujuan belajar, mengidentifikasi
sumbersumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai, serta
mengevaluasi hasil belajar mereka sendiri. Siswa yang memiliki kemandirian yang tinggi dalam
belajar digambarkan sebagai orang yang mampu mengontrol proses belajar, mempergunakan
bermacammacam sumber belajar, mempunyai motivasi internal, dan memiliki kemampuan
mengatur waktu (Guglielmino & Guglielmino, 1991) serta memiliki konsep diri yang positif
dibandingkan dengan mereka yang kemandirian belajarnya rendah (Sabbaghian, 1980).
Singkatnya, pelajar yang mampu belajar mandiri diartikan sebagai individu yang mempunyai
tanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri (Hiemstra, 1994).
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
1/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Penelitian Guglielmino & Guglielmino (1991) menunjukkan bahwa siswa yang mempunyai
kemampuan belajar mandiri dicirikan oleh beberapa faktor. Siswa yang kemampuan belajar
mandirinya tinggi menunjukkan ciriciri:
(1) mempunyai inisiatif, kemandirian, dan persistensi dalam belajar;
(2) menerima tanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan memandang masalah
sebagai tantangan, bukan hambatan;
(3) mempunyai disiplin dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar;
(4) mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar atau mengadakan perubahan serta
mempunyai rasa percaya diri;
(5) mampu mengorganisasi waktu, mengatur kecepatan belajar yang tepat, dan
mengembangkan rencana untuk penyelesaian tugas;
(6) senang belajar dan mempunyai kecenderungan untuk memenuhi target yang telah
direncanakan.
Secara singkat, menurut Guglielmino & Guglielmino (1991), orang yang mampu belajar secara
mandiri adalah orang yang mampu bertindak, bertanggung jawab, dan tidak takut menghadapi
masalah.
Proses belajar mandiri dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Evaluasi terhadap situasi
belajar dapat mengungkapkan bahwa beberapa kebutuhan belajar tidak terpenuhi atau disadari
adanya kebutuhankebutuhan belajar yang baru. Pada prakteknya, proses belajar mandiri tidak
selalu berlangsung secara berurutan seperti pada Gambar 1. Dalam setiap kegiatan belajar
mandiri dapat terjadi kendalakendala belajar, seperti kurangnya sumberdaya atau kurangnya
waktu untuk belajar (Guglielmino & Guglielmino, 1991), yang dapat menyebabkan
terganggunya proses belajar mandiri siswa. Menurut Lowry (1989), banyak orang dewasa yang
tidak mampu melaksanakan belajar mandiri karena kurangnya kemandirian, kepercayaan diri,
dan sumberdaya.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
2/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Gambar 1. Proses Belajar Mandiri menurut Guglielmino & Guglielmino (1991)
Alat ukur kesiapan belajar mandiri yang banyak digunakan pada umumnya dikembangkan
berdasarkan konsep kemandirian di negara Barat. Belum banyak diketahui apakah perbedaan
budaya di berbagai negara akan berpengaruh terhadap belajar mandiri. Penelitian tentang
kesiapan belajar mandiri yang dilakukan oleh Darmayanti (1993) menemukan bahwa pada
salah satu butir kuesioner yang diadaptasi dari kuesioner SelfDirected Learning Readiness
Scale (SDLRS) dari Guglielmino, terdapat bias budaya. Butir tersebut menunjukkan nilai
kesiapan belajar mandiri yang tinggi pada budaya Barat, tetapi justru menunjukkan nilai
kesiapan belajar mandiri yang rendah pada budaya Indonesia. Oleh karena itu, pengukuran
ulang dengan alat ukur yang sama perlu dilakukan. Dengan demikian, kita dapat melihat secara
akurat perbedaan karakteristik mahasiswa PJJ di Indonesia dengan mahasiswa PJJ di negara
Barat.
Artikel ini menyajikan hasil penelitian tentang kesiapan belajar mandiri calon potensial
mahasiswa dan mahasiswa PJJ yang diukur dengan menggunakan instrumen SDLRS versi
Bahasa Indonesia. Populasi penelitian adalah siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) kelas III
yang dianggap sebagai calon potensial mahasiswa PJJ dan mahasiswa Universitas Terbuka
(UT). Daerah penelitian untuk sampel calon mahasiswa dipilih secara purposif, yaitu 2 SMU di
daerah Bogor yang terletak di daerah perkotaan dan di pinggiran kota, serta 1 SMU di pinggiran
kota Depok. Sampel SMU dipilih dari daerah Bogor dan Depok dengan alasan untuk
meningkatkan kemungkinan menggeneralisasi hasil penelitian dan untuk mempercepat proses
pengumpulan data. Kota Bogor merupakan daerah kotamadya cukup maju yang dianggap dapat
mewakili daerah perkotaan di Indonesia. Sedangkan pinggiran kota Bogor dan pinggiran kota
Depok dipilih karena dianggap dapat mewakili daerah kabupaten yang cukup maju di
Indonesia.
Daerah penelitian ditentukan daerah yang cukup maju karena lulusan SMU di daerah tersebut
diasumsikan lebih tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Selain
itu, daerah Bogor dan Depok juga relatif dekat dengan Jakarta sehingga akan mempermudah
dan mempercepat proses pengumpulan data. Sedangkan SMU di Jakarta tidak dipilih karena
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
3/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tingginya tingkat kompetisi di Jakarta sebagai kota metropolitan mungkin dapat menyebabkan
perbedaan tingkat kematangan berpikir siswa SMU di Jakarta dibandingkan dengan siswa SMU
di kota lain, yang tentunya akan mempengaruhi tingkat kesiapan belajar mandiri mereka.
Sampel mahasiswa dipilih secara acak dari seluruh Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di
UT dan dari seluruh fakultas. Kriteria untuk sampel mahasiswa baru adalah mahasiswa yang
melakukan registrasi pertama di UT pada masa registrasi 2000.2 (semester 2 tahun 2000)
dengan IPK minimal 1.75. Dari data mahasiswa yang terjaring dengan menggunakan kriteria
tersebut, diambil 500 mahasiswa secara acak proporsional per program studi per UPBJJ.
Kriteria untuk sampel mahasiswa lama adalah mahasiswa yang melakukan registrasi pertama
sebelum masa registrasi 2000.2 (atau yang setidaknya telah menempuh kuliah di UT selama 4
semester pada saat penelitian ini dilakukan) dengan IPK minimal 1.75. Setelah terseleksi,
secara acak proporsional per program studi per UPBJJ diambil sebanyak 500 mahasiswa.
Sampel mahasiswa dipilih yang mempunyai IPK minimal 1.75 (padahal IPK minimal untuk
kelulusan mahasiswa adalah 2.00) dengan tujuan untuk menjaring jumlah mahasiswa yang
cukup banyak. Hal ini dilakukan mengingat penelitian ini merupakan bagian dari satu
penelitian besar mengenai mahasiswa PJJ di Indonesia sehingga setiap mahasiswa hanya
terpilih untuk menjadi sampel satu penelitian saja.
Tingkat kesiapan belajar mandiri diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh
Guglielmino, yaitu SelfDirected Learning Readiness Scale (SDLRS). Penelitian ini
menggunakan isntrumen SDLRS versi Bahasa Indonesia hasil adaptasi yang telah digunakan
pada penelitian Darmayanti (1993). Untuk mendapatkan data kesiapan belajar siswa SMU,
pada setiap kelas di SMU sampel dipilih sekitar 1015 siswa secara acak untuk mengisi
instrumen SDLRS. Untuk mendapatkan data kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT,
instrumen dikirimkan melalui pos kepada mahasiswa sampel yang telah terpilih.
Keterangan:
� Orang dengan skor tinggi biasanya dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya
dan mampu bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan belajarnya.
Mereka dapat menentukan berbagai pendekatan dan sumber untuk mencukupi kebutuhan
belajarnya dan dapat mengevaluasi kemajuan belajarnya sendiri.
� Orang dengan skor ratarata umumnya dapat belajar secara mandiri dengan sukses
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
4/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tetapi mereka kurang senang bila harus bertanggung jawab secara penuh dalam
menentukan kebutuhan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajarnya
sendiri.
� Orang dengan skor di bawah ratarata mungkin sukar mengenali kebutuhan belajarnya
sendiri. Mereka lebih menyukai suasana belajar di kelas dimana guru menentukan apa
yang harus dipelajari, kapan dan bagaimana harus mempelajarinya. Mereka umumnya
tidak terbiasa belajar secara mandiri.
Data dianalisis dengan program SPSS Windows Release 7.5.1 tahun 1996. Kesiapan belajar
mandiri diterjemahkan dengan menggunakan interpretasi skor SDLRS yang diterapkan oleh
Guglielmino dan Guglielmino (1991) seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Kesiapan belajar
mandiri calon mahasiswa dan mahasiswa diketahui dari nilai total yang diperoleh sebagai hasil
pengisian instrumen SDLRS.
HASIL PENELITIAN
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Calon Mahasiswa dan Mahasiswa
Baik siswa SMU (sebagai calon potensial mahasiswa PJJ) maupun mahasiswa UT (sebagai
mahasiswa PJJ) semuanya mempunyai skor total SDLRS ratarata, yang berarti bahwa
responden penelitian ini telah mempunyai kesiapan belajar mandiri ratarata. Skor paling
rendah diperoleh oleh siswa SMU (207.74).
Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara skor SDLRS yang diperoleh
antara kelompok siswa (F = 57.599; Sig. = .000). Berdasarkan tabulasi silang diketahui bahwa
skor SDLRS siswa SMU secara nyata lebih rendah daripada skor mahasiswa UT, baik dengan
mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
skor SDLRS mahasiswa baru dan mahasiswa lama.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
5/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Siswa SMU
Dari tiga SMU yang siswanya diteliti, satu SMU terletak di daerah kotamadya dan dua SMU
terletak di daerah kabupaten, hasil analisis tidak menunjukkan perbedaan nyata skor SDLRS
ratarata yang diperoleh siswa dari ketiga SMU sampel. Hal ini menunjukkan bahwa siswa di
ketiga SMU tersebut mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang sama. Ditinjau dari skor
ratarata SDLRS yang diperoleh, siswa SMU sudah mempunyai potensi atau mempunyai
kesiapan untuk belajar secara mandiri. Namun, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik,
siswa SMU di Depok cenderung mempunyai kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi
dibandingkan siswa di Bogor.
Pada Tabel 5 dapat dilihat skor SDLRS untuk siswa SMU berdasarkan jurusan (IPA dan IPS).
Skor SDLRS siswa SMU dari jurusan IPA secara statistik lebih tinggi dari siswa dari jurusan
IPS (F = 6.026; Sig. = .015), yang berarti bahwa siswa dari jurusan IPA secara signifikan
mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi daripada siswa IPS. Mata
pelajaran pada jurusan IPA mungkin lebih menuntut siswa untuk melakukan belajar secara
mandiri, sehingga siswa SMU dari jurusan IPA cenderung lebih siap belajar secara mandiri
dibandingkan siswa IPS. Kemungkinan lain, siswa yang memilih jurusan IPA memang pada
dasarnya sudah mempunyai kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
6/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Siswa perempuan secara statistik mempunyai skor SDLRS ratarata yang lebih tinggi dari siswa
lakilaki (F = 7.890; Sig. = .005). Keadaan ini menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih siap
untuk belajar secara mandiri daripada siswa lakilaki. Hal ini mungkin ada hubungannya
dengan pandangan stereotipe yang menganggap anak perempuan memang �diharapkan�
lebih cepat dewasa dibandingkan dengan anak lakilaki (Penulis belum dapat menemukan
literature yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih cepat dewasa daripada anak laki
laki). Pendidikan di lingkungan keluarga umumnya mendukung pandangan stereotipe ini,
dimana anak perempuan diserahi tanggung jawab yang lebih besar dalam membantu
orangtuanya (baca: ibu) dalam mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk membersihkan
rumah, memasak dan menjaga adik. Karena tugastugas domestik tersebut, anak perempuan
dapat cepat menjadi dewasa sehingga mereka pun lebih cepat mandiri daripada anak lakilaki,
termasuk lebih mandiri dalam belajar. Dalam hal ini, anak perempuan mungkin lebih
mempunyai kesadaran dan ketekunan belajar dibandingkan dengan anak lakilaki.
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Mahasiswa
Baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama semuanya mempunyai skor total SDLRS rata
rata (Lihat Tabel 1). Skor mahasiswa UT yang menjadi responden penelitian ini lebih tinggi
dari skor ratarata yang dilaporkan oleh Darmayanti (1993), yaitu sebesar 215.5 dan lebih tinggi
dari skor ratarata tingkat kesiapan belajar mandiri mahasiswa dewasa yang mengisi instrumen
SDLRS di Georgia, Virginia dan Canada yang dilaporkan Guglielmino (1978, dalam
Darmayanti, 1993), yaitu sebesar 214. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesiapan
belajar mandiri mahasiswa UT hampir sama dengan kesiapan belajar mandiri mahasiswa di
negara Barat. Namun, harus diingat bahwa mahasiswa sampel dalam penelitian Guglielmino
bukan mahasiswa PJJ, melainkan mahasiswa tatap muka.
Mahasiswa baru sebagai mahasiswa tingkat awal dapat dikatakan telah mempunyai kesiapan
belajar yang relatif sama dengan mahasiswa yang sudah lebih lama belajar di lembaga PJJ
seperti UT. Hal ini terlihat dari hampir sama tingginya skor ratarata SDLRS yang diperoleh
kedua kelompok mahasiswa tersebut. Berarti, dalam kasus UT tidak terdapat perbedaan
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
7/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
kesiapan belajar antara mahasiswa yang sudah lama belajar dalam sistem PJJ maupun
mahasiswa yang relatif baru belajar dalam sistem PJJ.
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa mahasiswa UT umumnya mempunyai kesiapan belajar
mandiri ratarata. Padahal sistem PJJ menuntut mahasiswa untuk mengambil beberapa peran
pengajar agar dapat berprestasi dalam belajar. Peran tersebut antara lain adalah peran pengajar
dalam mengingatkan waktu belajar, waktu untuk mengerjakan tugas dan latihan, waktu ujian,
dan sebagainya (Darmayanti, 2003, komunikasi pribadi). Dengan demikian, mahasiswa PJJ
seharusnya memiliki kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi dari mahasiswa yang belajar
dalam sistem pendidikan tatap muka. Hal ini berarti, kesiapan belajar mandiri ratarata kurang
ideal bagi mahasiswa UT, yang seharusnya memiliki kemampuan belajar mandiri di atas rata
rata.
Keadaan ini (kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT yang tidak di atas ratarata) mungkin
yang menyebabkan rendahnya keberhasilan studi mahasiswa. Darmayanti (1993) melaporkan
bahwa hanya sedikit mahasiswa UT yang memiliki IPK di atas 2.5 dan hanya 25% mahasiswa
yang memiliki kesiapan belajar mandiri di atas ratarata. Hasil studi ini juga menunjukkan
sedikitnya jumlah mahasiswa UT yang memiliki kesiapan belajar mandiri di atas ratarata
(lebih dari 226), yaitu kurang dari 10%.
Mahasiswa UT mempunyai latar belakang yang sangat heterogen, terutama dari segi latar
belakang pendidikan dan usia. Oleh karena itu, akan menarik untuk diketahui apakah
mahasiswa yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda atau yang usianya
berbeda mempunyai skor SDLRS yang berbeda pula.
Meskipun tidak berbeda nyata secara statistik, skor SDLRS mahasiswa lama yang
berpendidikan S1 terpaut jauh dari skor mahasiswa lainnya. Tingginya tingkat kesiapan belajar
mandiri mereka mungkin disebabkan karena sudah terbiasa belajar di tingkat perguruan tinggi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fitts (dalam Brockett & Hiemstra, 1991), yang
menyatakan bahwa individu yang lebih tinggi pendidikannya cenderung menunjukkan kesiapan
belajar mandiri yang lebih tinggi. Demikian juga, Adenuga (dalam Darmayanti, 1993)
melaporkan bahwa mahasiswa pasca sarjana memiliki kesiapan belajar mandiri yang lebih
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
8/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tinggi dibandingkan mahasiswa tingkat sarjana. Adenuga menemukan bahwa terdapat
perbedaan skor SDLRS yang nyata antara mahasiswa tingkat master (n = 102, skor ratarata =
226.76) dan mahasiswa tingkat doktoral (n = 71, skor ratarata = 236.21) di Iowa State
University.
Dalam kasus UT, mahasiswa lama (sudah menempuh pendidikan selama lebih dari empat
semester di UT) yang sudah mempunyai pendidikan S1 telah mempunyai pengalaman belajar di
atas tingkat sarjana meskipun belum dapat dikatakan mempunyai kemampuan setingkat pasca
sarjana. Dengan demikian, mereka memang diharapkan memiliki tingkat kesiapan belajar
mandiri yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
Secara umum, ada kecenderungan bahwa semakin dewasa mahasiswa semakin tinggi pula skor
SDLRSnya (Tabel 9). Mahasiswa yang berusia antara 1625 tahun mempunyai skor yang
paling rendah (220.78). Sedangkan mahasiswa yang berusia 4155 tahun mempunyai skor di
atas ratarata (232.43), yang berarti kesiapan belajar mandirinya di atas ratarata.
Tabel 10 menunjukkan adanya perbedaan skor SDLRS yang nyata diantara kelompok usia
mahasiswa (df = 3, F = 3.402, Sig. = .018). Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa secara
keseluruhan mahasiswa yang berusia lebih dari 55 tahun mempunyai tingkat kesiapan belajar
mandiri (ditunjukkan dengan skor SDLRS ratarata) yang lebih tinggi dari skor yang diperoleh
kelompok mahasiswa yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Curry (dalam Brockett &
Hiemstra, 1991), yang mengungkapkan bahwa kelompok siswa yang lebih dewasa mempunyai
skor SDLRS yang lebih tinggi. Long & Agyekum (dalam Brockett & Hiemstra, 1991) dan
McCarthy (dalam Brockett & Hiemstra, 1991) juga menyatakan bahwa usia secara nyata
berhubungan dengan bertambahnya skor SDLRS.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
9/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Mahasiswa lama yang berjenis kelamin perempuan mempunyai skor SDLRS ratarata yang
lebih tinggi daripada mahasiswa lakilaki (Tabel 11). Temuan ini mendukung temuan
Darmayanti (1993), yang menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan lebih tinggi skor
SDLRSnya dibanding mahasiswa lakilaki. Sebaliknya, mahasiswa baru perempuan
mempunyai skor yang lebih rendah dibandingkan skor mahasiswa lakilaki. Meskipun
demikian, Tabel 12 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara skor SDLRS
mahasiswa lakilaki dan mahasiswa perempuan. (df = 1, F = .146, Sig. = .703)
Mahasiswa baru sebagian besar baru mengambil kredit mata kuliah sampai 24 sks. Sedangkan
mahasiswa lama umumnya sudah mengambil mata kuliah lebih dari 35 sks. Secara statistik,
skor SDLRS mahasiswa yang baru sedikit (ditunjukkan dengan jumlah sks) dan yang sudah
banyak mengambil kredit mata kuliah tidak berbeda nyata (df = 3, F = 1.564, Sig. = .197). Hal
ini dapat terjadi karena UT tidak membatasi jumlah sks yang diambil mahasiswa per
semesternya. Ada mahasiswa yang langsung mengambil 30 sks pada semester I, tetapi ada yang
hanya mengambil 10 sks pada semester I.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
10/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Tabel 12 menunjukkan bahwa ada mahasiswa lama (telah 4 semester kuliah di UT) baru
mengambil 59 sks. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang telah mengambil kredit lebih
banyak tidak berarti telah lebih terbiasa dengan sistem belajar mandiri.
Tampaknya lama studi di UT tidak mengakibatkan terjadi peningkatan skor SDLRS
mahasiswa. Dengan kata lain, skor SDLRS yang diperoleh oleh mahasiswa yang sudah lebih
lama belajar di UT tidak lebih baik dari skor SDLRS mahasiswa baru. Bahkan, skor ratarata
SDLRS yang diperoleh mahasiswa baru yang mengambil jumlah sks yang sama justru lebih
baik dari mahasiswa lama UT. Sebagai contoh, skor SDLRS mahasiswa baru yang telah
menempuh 3659 sks menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesiapan belajar mandiri di
atas ratarata.
Seperti halnya jumlah sks, mahasiswa yang indeks prestasi kumulatif (IPK) nya tinggi tidak
selalu memperoleh skor ratarata SDLRS yang tinggi. Hal yang menarik adalah bahwa
mahasiswa yang IPK nya rendah pun (
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASISWA DAN CALON POTENSIAL
MAHASISWA PADA PENDIDIKAN JARAK JAUH DI INDONESIA
Kristanti Ambar Puspitasari & Samsul Islam
(Universitas Terbuka)
This article discusses selfdirected learning readiness of facetoface and openanddistance
learning (ODL) students. Serving as facetoface samples were third grade senior high school
students and ODL�s samples were Universitas Terbuka (UT) students. Samples of faceto
face students (as UT prospective students) were students from two high schools in Bogor and
one in Depok. Selfdirected learning readiness was measured with the Indonesian Version of
SelfDirected Learning Readiness Scale (SDLRS) translated by Darmayanti (1993).The results
showed that prospective students had significantly lower readiness for selfdirected learning
than UT students. SDLRS scores indicated that both prospective and UT students had average
readiness for selfdirected learning. It meant that students were likely to be successful in
independent learning situations. However they were not completely comfortable being
responsible for the entire process of identifying their learning needs and planning,
imnplementing, and evaluating their learning. Thus, UT has to provide student support for
improving students skills in selfdirected learning.
Pendidikan jarak jauh (PJJ) seringkali dikaitkan dengan istilah belajar mandiri. Perkembangan
konsep belajar mandiri di bidang PJJ merupakan konsekuensi salah satu karakteristik PJJ yang
menuntut kemampuan belajar mandiri yang lebih tinggi dibandingkan bentuk pendidikan tatap
muka. Hal ini mengingat lebih terbatasnya interaksi antara mahasiswa dengan instruktur dan
dengan sesama mahasiswa. Paul (1990), seorang ahli PJJ, bahkan mengemukakan bahwa
kesuksesan institusi PJJ tergantung pada kemampuan mahasiswanya untuk belajar mandiri.
Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai kemandirian belajarlah
yang akan berhasil menempuh pendidikan dalam sistem PJJ (Long, 1991; Moore, 1983; Paul,
1990). Oleh karena itu, calon mahasiswa dalam sistem PJJ seharusnya sudah mempunyai
kesiapan yang memadai untuk belajar mandiri.
Menurut Sugilar (1999), kesiapan belajar mandiri berkaitan dengan kesiapan individu untuk
melaksanakan kegiatan belajar atas inisiatif sendiri, dengan atau tanpa dukungan pihak lain.
Pendapat ini senada dengan definisi Hiemstra (1994) yang mengemukakan bahwa seseorang
yang mampu belajar secara mandiri artinya mampu merencanakan belajarnya sendiri,
melaksanakan proses belajar, dan mengevaluasi belajarnya sendiri. Secara lebih spesifik,
Knowles (1975) mendefinisikan belajar mandiri sebagai suatu proses di mana seseorang
mempunyai inisiatif (baik dengan atau tanpa bantuan orang lain) dalam mendiagnosis
kebutuhankebutuhan belajar mereka, merumuskan tujuantujuan belajar, mengidentifikasi
sumbersumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai, serta
mengevaluasi hasil belajar mereka sendiri. Siswa yang memiliki kemandirian yang tinggi dalam
belajar digambarkan sebagai orang yang mampu mengontrol proses belajar, mempergunakan
bermacammacam sumber belajar, mempunyai motivasi internal, dan memiliki kemampuan
mengatur waktu (Guglielmino & Guglielmino, 1991) serta memiliki konsep diri yang positif
dibandingkan dengan mereka yang kemandirian belajarnya rendah (Sabbaghian, 1980).
Singkatnya, pelajar yang mampu belajar mandiri diartikan sebagai individu yang mempunyai
tanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri (Hiemstra, 1994).
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
1/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Penelitian Guglielmino & Guglielmino (1991) menunjukkan bahwa siswa yang mempunyai
kemampuan belajar mandiri dicirikan oleh beberapa faktor. Siswa yang kemampuan belajar
mandirinya tinggi menunjukkan ciriciri:
(1) mempunyai inisiatif, kemandirian, dan persistensi dalam belajar;
(2) menerima tanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan memandang masalah
sebagai tantangan, bukan hambatan;
(3) mempunyai disiplin dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar;
(4) mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar atau mengadakan perubahan serta
mempunyai rasa percaya diri;
(5) mampu mengorganisasi waktu, mengatur kecepatan belajar yang tepat, dan
mengembangkan rencana untuk penyelesaian tugas;
(6) senang belajar dan mempunyai kecenderungan untuk memenuhi target yang telah
direncanakan.
Secara singkat, menurut Guglielmino & Guglielmino (1991), orang yang mampu belajar secara
mandiri adalah orang yang mampu bertindak, bertanggung jawab, dan tidak takut menghadapi
masalah.
Proses belajar mandiri dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Evaluasi terhadap situasi
belajar dapat mengungkapkan bahwa beberapa kebutuhan belajar tidak terpenuhi atau disadari
adanya kebutuhankebutuhan belajar yang baru. Pada prakteknya, proses belajar mandiri tidak
selalu berlangsung secara berurutan seperti pada Gambar 1. Dalam setiap kegiatan belajar
mandiri dapat terjadi kendalakendala belajar, seperti kurangnya sumberdaya atau kurangnya
waktu untuk belajar (Guglielmino & Guglielmino, 1991), yang dapat menyebabkan
terganggunya proses belajar mandiri siswa. Menurut Lowry (1989), banyak orang dewasa yang
tidak mampu melaksanakan belajar mandiri karena kurangnya kemandirian, kepercayaan diri,
dan sumberdaya.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
2/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Gambar 1. Proses Belajar Mandiri menurut Guglielmino & Guglielmino (1991)
Alat ukur kesiapan belajar mandiri yang banyak digunakan pada umumnya dikembangkan
berdasarkan konsep kemandirian di negara Barat. Belum banyak diketahui apakah perbedaan
budaya di berbagai negara akan berpengaruh terhadap belajar mandiri. Penelitian tentang
kesiapan belajar mandiri yang dilakukan oleh Darmayanti (1993) menemukan bahwa pada
salah satu butir kuesioner yang diadaptasi dari kuesioner SelfDirected Learning Readiness
Scale (SDLRS) dari Guglielmino, terdapat bias budaya. Butir tersebut menunjukkan nilai
kesiapan belajar mandiri yang tinggi pada budaya Barat, tetapi justru menunjukkan nilai
kesiapan belajar mandiri yang rendah pada budaya Indonesia. Oleh karena itu, pengukuran
ulang dengan alat ukur yang sama perlu dilakukan. Dengan demikian, kita dapat melihat secara
akurat perbedaan karakteristik mahasiswa PJJ di Indonesia dengan mahasiswa PJJ di negara
Barat.
Artikel ini menyajikan hasil penelitian tentang kesiapan belajar mandiri calon potensial
mahasiswa dan mahasiswa PJJ yang diukur dengan menggunakan instrumen SDLRS versi
Bahasa Indonesia. Populasi penelitian adalah siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) kelas III
yang dianggap sebagai calon potensial mahasiswa PJJ dan mahasiswa Universitas Terbuka
(UT). Daerah penelitian untuk sampel calon mahasiswa dipilih secara purposif, yaitu 2 SMU di
daerah Bogor yang terletak di daerah perkotaan dan di pinggiran kota, serta 1 SMU di pinggiran
kota Depok. Sampel SMU dipilih dari daerah Bogor dan Depok dengan alasan untuk
meningkatkan kemungkinan menggeneralisasi hasil penelitian dan untuk mempercepat proses
pengumpulan data. Kota Bogor merupakan daerah kotamadya cukup maju yang dianggap dapat
mewakili daerah perkotaan di Indonesia. Sedangkan pinggiran kota Bogor dan pinggiran kota
Depok dipilih karena dianggap dapat mewakili daerah kabupaten yang cukup maju di
Indonesia.
Daerah penelitian ditentukan daerah yang cukup maju karena lulusan SMU di daerah tersebut
diasumsikan lebih tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Selain
itu, daerah Bogor dan Depok juga relatif dekat dengan Jakarta sehingga akan mempermudah
dan mempercepat proses pengumpulan data. Sedangkan SMU di Jakarta tidak dipilih karena
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
3/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tingginya tingkat kompetisi di Jakarta sebagai kota metropolitan mungkin dapat menyebabkan
perbedaan tingkat kematangan berpikir siswa SMU di Jakarta dibandingkan dengan siswa SMU
di kota lain, yang tentunya akan mempengaruhi tingkat kesiapan belajar mandiri mereka.
Sampel mahasiswa dipilih secara acak dari seluruh Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di
UT dan dari seluruh fakultas. Kriteria untuk sampel mahasiswa baru adalah mahasiswa yang
melakukan registrasi pertama di UT pada masa registrasi 2000.2 (semester 2 tahun 2000)
dengan IPK minimal 1.75. Dari data mahasiswa yang terjaring dengan menggunakan kriteria
tersebut, diambil 500 mahasiswa secara acak proporsional per program studi per UPBJJ.
Kriteria untuk sampel mahasiswa lama adalah mahasiswa yang melakukan registrasi pertama
sebelum masa registrasi 2000.2 (atau yang setidaknya telah menempuh kuliah di UT selama 4
semester pada saat penelitian ini dilakukan) dengan IPK minimal 1.75. Setelah terseleksi,
secara acak proporsional per program studi per UPBJJ diambil sebanyak 500 mahasiswa.
Sampel mahasiswa dipilih yang mempunyai IPK minimal 1.75 (padahal IPK minimal untuk
kelulusan mahasiswa adalah 2.00) dengan tujuan untuk menjaring jumlah mahasiswa yang
cukup banyak. Hal ini dilakukan mengingat penelitian ini merupakan bagian dari satu
penelitian besar mengenai mahasiswa PJJ di Indonesia sehingga setiap mahasiswa hanya
terpilih untuk menjadi sampel satu penelitian saja.
Tingkat kesiapan belajar mandiri diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh
Guglielmino, yaitu SelfDirected Learning Readiness Scale (SDLRS). Penelitian ini
menggunakan isntrumen SDLRS versi Bahasa Indonesia hasil adaptasi yang telah digunakan
pada penelitian Darmayanti (1993). Untuk mendapatkan data kesiapan belajar siswa SMU,
pada setiap kelas di SMU sampel dipilih sekitar 1015 siswa secara acak untuk mengisi
instrumen SDLRS. Untuk mendapatkan data kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT,
instrumen dikirimkan melalui pos kepada mahasiswa sampel yang telah terpilih.
Keterangan:
� Orang dengan skor tinggi biasanya dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya
dan mampu bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan belajarnya.
Mereka dapat menentukan berbagai pendekatan dan sumber untuk mencukupi kebutuhan
belajarnya dan dapat mengevaluasi kemajuan belajarnya sendiri.
� Orang dengan skor ratarata umumnya dapat belajar secara mandiri dengan sukses
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
4/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tetapi mereka kurang senang bila harus bertanggung jawab secara penuh dalam
menentukan kebutuhan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajarnya
sendiri.
� Orang dengan skor di bawah ratarata mungkin sukar mengenali kebutuhan belajarnya
sendiri. Mereka lebih menyukai suasana belajar di kelas dimana guru menentukan apa
yang harus dipelajari, kapan dan bagaimana harus mempelajarinya. Mereka umumnya
tidak terbiasa belajar secara mandiri.
Data dianalisis dengan program SPSS Windows Release 7.5.1 tahun 1996. Kesiapan belajar
mandiri diterjemahkan dengan menggunakan interpretasi skor SDLRS yang diterapkan oleh
Guglielmino dan Guglielmino (1991) seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Kesiapan belajar
mandiri calon mahasiswa dan mahasiswa diketahui dari nilai total yang diperoleh sebagai hasil
pengisian instrumen SDLRS.
HASIL PENELITIAN
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Calon Mahasiswa dan Mahasiswa
Baik siswa SMU (sebagai calon potensial mahasiswa PJJ) maupun mahasiswa UT (sebagai
mahasiswa PJJ) semuanya mempunyai skor total SDLRS ratarata, yang berarti bahwa
responden penelitian ini telah mempunyai kesiapan belajar mandiri ratarata. Skor paling
rendah diperoleh oleh siswa SMU (207.74).
Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara skor SDLRS yang diperoleh
antara kelompok siswa (F = 57.599; Sig. = .000). Berdasarkan tabulasi silang diketahui bahwa
skor SDLRS siswa SMU secara nyata lebih rendah daripada skor mahasiswa UT, baik dengan
mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
skor SDLRS mahasiswa baru dan mahasiswa lama.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
5/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Siswa SMU
Dari tiga SMU yang siswanya diteliti, satu SMU terletak di daerah kotamadya dan dua SMU
terletak di daerah kabupaten, hasil analisis tidak menunjukkan perbedaan nyata skor SDLRS
ratarata yang diperoleh siswa dari ketiga SMU sampel. Hal ini menunjukkan bahwa siswa di
ketiga SMU tersebut mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang sama. Ditinjau dari skor
ratarata SDLRS yang diperoleh, siswa SMU sudah mempunyai potensi atau mempunyai
kesiapan untuk belajar secara mandiri. Namun, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik,
siswa SMU di Depok cenderung mempunyai kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi
dibandingkan siswa di Bogor.
Pada Tabel 5 dapat dilihat skor SDLRS untuk siswa SMU berdasarkan jurusan (IPA dan IPS).
Skor SDLRS siswa SMU dari jurusan IPA secara statistik lebih tinggi dari siswa dari jurusan
IPS (F = 6.026; Sig. = .015), yang berarti bahwa siswa dari jurusan IPA secara signifikan
mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi daripada siswa IPS. Mata
pelajaran pada jurusan IPA mungkin lebih menuntut siswa untuk melakukan belajar secara
mandiri, sehingga siswa SMU dari jurusan IPA cenderung lebih siap belajar secara mandiri
dibandingkan siswa IPS. Kemungkinan lain, siswa yang memilih jurusan IPA memang pada
dasarnya sudah mempunyai kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
6/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Siswa perempuan secara statistik mempunyai skor SDLRS ratarata yang lebih tinggi dari siswa
lakilaki (F = 7.890; Sig. = .005). Keadaan ini menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih siap
untuk belajar secara mandiri daripada siswa lakilaki. Hal ini mungkin ada hubungannya
dengan pandangan stereotipe yang menganggap anak perempuan memang �diharapkan�
lebih cepat dewasa dibandingkan dengan anak lakilaki (Penulis belum dapat menemukan
literature yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih cepat dewasa daripada anak laki
laki). Pendidikan di lingkungan keluarga umumnya mendukung pandangan stereotipe ini,
dimana anak perempuan diserahi tanggung jawab yang lebih besar dalam membantu
orangtuanya (baca: ibu) dalam mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk membersihkan
rumah, memasak dan menjaga adik. Karena tugastugas domestik tersebut, anak perempuan
dapat cepat menjadi dewasa sehingga mereka pun lebih cepat mandiri daripada anak lakilaki,
termasuk lebih mandiri dalam belajar. Dalam hal ini, anak perempuan mungkin lebih
mempunyai kesadaran dan ketekunan belajar dibandingkan dengan anak lakilaki.
Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Mahasiswa
Baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama semuanya mempunyai skor total SDLRS rata
rata (Lihat Tabel 1). Skor mahasiswa UT yang menjadi responden penelitian ini lebih tinggi
dari skor ratarata yang dilaporkan oleh Darmayanti (1993), yaitu sebesar 215.5 dan lebih tinggi
dari skor ratarata tingkat kesiapan belajar mandiri mahasiswa dewasa yang mengisi instrumen
SDLRS di Georgia, Virginia dan Canada yang dilaporkan Guglielmino (1978, dalam
Darmayanti, 1993), yaitu sebesar 214. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesiapan
belajar mandiri mahasiswa UT hampir sama dengan kesiapan belajar mandiri mahasiswa di
negara Barat. Namun, harus diingat bahwa mahasiswa sampel dalam penelitian Guglielmino
bukan mahasiswa PJJ, melainkan mahasiswa tatap muka.
Mahasiswa baru sebagai mahasiswa tingkat awal dapat dikatakan telah mempunyai kesiapan
belajar yang relatif sama dengan mahasiswa yang sudah lebih lama belajar di lembaga PJJ
seperti UT. Hal ini terlihat dari hampir sama tingginya skor ratarata SDLRS yang diperoleh
kedua kelompok mahasiswa tersebut. Berarti, dalam kasus UT tidak terdapat perbedaan
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
7/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
kesiapan belajar antara mahasiswa yang sudah lama belajar dalam sistem PJJ maupun
mahasiswa yang relatif baru belajar dalam sistem PJJ.
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa mahasiswa UT umumnya mempunyai kesiapan belajar
mandiri ratarata. Padahal sistem PJJ menuntut mahasiswa untuk mengambil beberapa peran
pengajar agar dapat berprestasi dalam belajar. Peran tersebut antara lain adalah peran pengajar
dalam mengingatkan waktu belajar, waktu untuk mengerjakan tugas dan latihan, waktu ujian,
dan sebagainya (Darmayanti, 2003, komunikasi pribadi). Dengan demikian, mahasiswa PJJ
seharusnya memiliki kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi dari mahasiswa yang belajar
dalam sistem pendidikan tatap muka. Hal ini berarti, kesiapan belajar mandiri ratarata kurang
ideal bagi mahasiswa UT, yang seharusnya memiliki kemampuan belajar mandiri di atas rata
rata.
Keadaan ini (kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT yang tidak di atas ratarata) mungkin
yang menyebabkan rendahnya keberhasilan studi mahasiswa. Darmayanti (1993) melaporkan
bahwa hanya sedikit mahasiswa UT yang memiliki IPK di atas 2.5 dan hanya 25% mahasiswa
yang memiliki kesiapan belajar mandiri di atas ratarata. Hasil studi ini juga menunjukkan
sedikitnya jumlah mahasiswa UT yang memiliki kesiapan belajar mandiri di atas ratarata
(lebih dari 226), yaitu kurang dari 10%.
Mahasiswa UT mempunyai latar belakang yang sangat heterogen, terutama dari segi latar
belakang pendidikan dan usia. Oleh karena itu, akan menarik untuk diketahui apakah
mahasiswa yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda atau yang usianya
berbeda mempunyai skor SDLRS yang berbeda pula.
Meskipun tidak berbeda nyata secara statistik, skor SDLRS mahasiswa lama yang
berpendidikan S1 terpaut jauh dari skor mahasiswa lainnya. Tingginya tingkat kesiapan belajar
mandiri mereka mungkin disebabkan karena sudah terbiasa belajar di tingkat perguruan tinggi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fitts (dalam Brockett & Hiemstra, 1991), yang
menyatakan bahwa individu yang lebih tinggi pendidikannya cenderung menunjukkan kesiapan
belajar mandiri yang lebih tinggi. Demikian juga, Adenuga (dalam Darmayanti, 1993)
melaporkan bahwa mahasiswa pasca sarjana memiliki kesiapan belajar mandiri yang lebih
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
8/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
tinggi dibandingkan mahasiswa tingkat sarjana. Adenuga menemukan bahwa terdapat
perbedaan skor SDLRS yang nyata antara mahasiswa tingkat master (n = 102, skor ratarata =
226.76) dan mahasiswa tingkat doktoral (n = 71, skor ratarata = 236.21) di Iowa State
University.
Dalam kasus UT, mahasiswa lama (sudah menempuh pendidikan selama lebih dari empat
semester di UT) yang sudah mempunyai pendidikan S1 telah mempunyai pengalaman belajar di
atas tingkat sarjana meskipun belum dapat dikatakan mempunyai kemampuan setingkat pasca
sarjana. Dengan demikian, mereka memang diharapkan memiliki tingkat kesiapan belajar
mandiri yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
Secara umum, ada kecenderungan bahwa semakin dewasa mahasiswa semakin tinggi pula skor
SDLRSnya (Tabel 9). Mahasiswa yang berusia antara 1625 tahun mempunyai skor yang
paling rendah (220.78). Sedangkan mahasiswa yang berusia 4155 tahun mempunyai skor di
atas ratarata (232.43), yang berarti kesiapan belajar mandirinya di atas ratarata.
Tabel 10 menunjukkan adanya perbedaan skor SDLRS yang nyata diantara kelompok usia
mahasiswa (df = 3, F = 3.402, Sig. = .018). Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa secara
keseluruhan mahasiswa yang berusia lebih dari 55 tahun mempunyai tingkat kesiapan belajar
mandiri (ditunjukkan dengan skor SDLRS ratarata) yang lebih tinggi dari skor yang diperoleh
kelompok mahasiswa yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Curry (dalam Brockett &
Hiemstra, 1991), yang mengungkapkan bahwa kelompok siswa yang lebih dewasa mempunyai
skor SDLRS yang lebih tinggi. Long & Agyekum (dalam Brockett & Hiemstra, 1991) dan
McCarthy (dalam Brockett & Hiemstra, 1991) juga menyatakan bahwa usia secara nyata
berhubungan dengan bertambahnya skor SDLRS.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
9/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Mahasiswa lama yang berjenis kelamin perempuan mempunyai skor SDLRS ratarata yang
lebih tinggi daripada mahasiswa lakilaki (Tabel 11). Temuan ini mendukung temuan
Darmayanti (1993), yang menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan lebih tinggi skor
SDLRSnya dibanding mahasiswa lakilaki. Sebaliknya, mahasiswa baru perempuan
mempunyai skor yang lebih rendah dibandingkan skor mahasiswa lakilaki. Meskipun
demikian, Tabel 12 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara skor SDLRS
mahasiswa lakilaki dan mahasiswa perempuan. (df = 1, F = .146, Sig. = .703)
Mahasiswa baru sebagian besar baru mengambil kredit mata kuliah sampai 24 sks. Sedangkan
mahasiswa lama umumnya sudah mengambil mata kuliah lebih dari 35 sks. Secara statistik,
skor SDLRS mahasiswa yang baru sedikit (ditunjukkan dengan jumlah sks) dan yang sudah
banyak mengambil kredit mata kuliah tidak berbeda nyata (df = 3, F = 1.564, Sig. = .197). Hal
ini dapat terjadi karena UT tidak membatasi jumlah sks yang diambil mahasiswa per
semesternya. Ada mahasiswa yang langsung mengambil 30 sks pada semester I, tetapi ada yang
hanya mengambil 10 sks pada semester I.
http://simpen.lppm.ut.ac.id/ptjj/PTJJ%20Vol%204.1%20maret%202003/41kristanti.htm
10/13
3/4/2016
KESIAPAN BELAJAR MANDIRI MAHASIS
Tabel 12 menunjukkan bahwa ada mahasiswa lama (telah 4 semester kuliah di UT) baru
mengambil 59 sks. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang telah mengambil kredit lebih
banyak tidak berarti telah lebih terbiasa dengan sistem belajar mandiri.
Tampaknya lama studi di UT tidak mengakibatkan terjadi peningkatan skor SDLRS
mahasiswa. Dengan kata lain, skor SDLRS yang diperoleh oleh mahasiswa yang sudah lebih
lama belajar di UT tidak lebih baik dari skor SDLRS mahasiswa baru. Bahkan, skor ratarata
SDLRS yang diperoleh mahasiswa baru yang mengambil jumlah sks yang sama justru lebih
baik dari mahasiswa lama UT. Sebagai contoh, skor SDLRS mahasiswa baru yang telah
menempuh 3659 sks menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesiapan belajar mandiri di
atas ratarata.
Seperti halnya jumlah sks, mahasiswa yang indeks prestasi kumulatif (IPK) nya tinggi tidak
selalu memperoleh skor ratarata SDLRS yang tinggi. Hal yang menarik adalah bahwa
mahasiswa yang IPK nya rendah pun (