KONSEP ALAM SEMESTA dan pendidikan (1)

MAKALAH
KONSEP ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF FALSAFAH PENDIDIKAN
ISLAM

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
ASYRIL MAHDI
KHOLIDATUL HASANAH HASIBUAN
MUHAMMAD DZAKY HILMY LUBIS
RIZKI UTAMI PRATIWI
PAI-6

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Sumatra Utara

2016-2017

KATA PENGANTAR

‫م‬

‫بسم‬

Puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam tak lupa kami hadiahkan kepada junjungan alam semesta, Rasulullah Saw
yang telah membawa ajaran agama yang benar sehingga kita tidak menjadi
manusia yang buta huruf saat ini.
Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen pembimbing kami atas
arahan yang telah diberikan dan ucapan terima kasih juga kami ucapkan
kepada

teman-teman

yang


telah

memberikan

dukungannya

sehingga

makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini kami selesaikan hanya semata-mata untuk membantu
teman-teman dan para pembaca agar lebih mudah memahami tentang
“Konsep Alam Semesta Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam.”
Kemudian bermanfaat di kalangan ramai.
Akhirul

kalam,

semoga


dengan

adanya

makalah

ini

dapat

membantu dan memperbanyak ilmu para pembacanya.

Medan, 16 Oktober 2017

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................ i
Daftar Isi.................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan ................................................................................ 4
BAB II Pembahasan
A. Terminologi Alam Semesta ................................................................ 5
B. Proses Penciptaan Alam Semesta ....................................................... 7
C. Tujuan Penciptaan Alam Semesta ...................................................... 10
D. Implikasi Terhadap Pendidikan Islami ............................................... 12
BAB III Penutup
A. Simpulan ............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 15

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam al-Qur‟an, terma alam hanya di temukan dalam bentuk
plural yaitu alamin. Kata ini terulang sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30
surah. Penggunaan bentuk plural mengindikasikan bahwa alam semesta ini

banyak atau beraneka ragam. Pemaknaan ini konsisten dengan konsepsi Islam
bahwa hanya Allah swt, yang Ahad Maha Tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi.
Hal ini juga merupakan penegasan terhadap konsep Islam tentang alam semesta,

yaitu segala sesuatu selain Allah swt. dari sisi ini, penalaran kita mengharuskan
eksisnya pluralitas atau kejamakan pada alam semesta ini. Karenanya, dari satu
sisi, alam semsta bisa di definisakan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari
maddah (materi) dan shurah (bentuk) yang bisa di klasifikasikan ke dalam wujud

kongkret (syahadah) dan wujud abstrak (ghaib). Kemudian, dari sisi lain, alam
semsta bisa pula di bagi-bagi kedalam beberapa jenis, seperti benda-benda padat
(jamadat), tumbuh-tumbuhan (nabatat), hewan (hayyawanat) dan manusia.
Dikalangan masyarakat muslim, terdapat pemahaman bahwa alam
semesta adalah segala sesuatu selain Allah swt, tetapi dengan mengkecualikan
manusia. Pengecualian itu disebabkan oleh pemikiran bahwa: (a) kepada manusia
Allah swt, mengaamanahkan alam semsta ini untuk dikelola dan di manfaatkan
bagi kemaslahatan seluruh makhluk, (b) bentuk berkemampuan mengelola dan
memanfaatkan alam semesta, kepada manusia, Allah swt, menganugerahkan aql
dan aql ini tidak di berikan-Nya, kecuali hanya kepada manusia. Karena itu,
manusia dikeluarkan dari definisi alam semesta. Dengan demikian, penggunaan
terma alam semesta hanya merujuk kepada pengertian alam semesta dalam
pengertian jagad raya.

BAB II

PEMBAHASAN

KONSEP ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM

A. TERMINOLOGI ALAM SEMESTA

Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain
Allah swt.1 karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi
segala sesuatu yang ada dan berada di antara keduanya. Tidak hanya itu dalam
perspektif Islam, alam semesta tidak hanya mencakup hal-hal yang kongkrit atau
dapat di amati melalui pengindraan manusia, tetapi mencakup juga segala sesuatu
yang tidak dapat diamati oleh penginderaan manusia. Dalam Islam, segala sesuatu
selain Allah swt, yang dapat di dekati melalui penginderaan manusia disebut
sebagai alam syahadah. Ia merupakan fenomena. Sementara itu, segala sesutu
selain Allah swt, yang tidak dapat di amati atau di dekati melalui penginderaan
manusia disebut sebagai alam ghaib. Karenanya ia adalah noumena.
Dalam al-Qur‟an, terma alam hanya di temukan dalam bentuk plural
yaitu alamin. Kata ini terulang sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30 surah.
Penggunaan bentuk plural mengindikasikan bahwa alam semesta ini banyak atau

beraneka ragam. Pemaknaan ini konsisten dengan konsepsi Islam bahwa hanya
Allah swt, yang Ahad Maha Tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi. Hal ini juga
merupakan penegasan terhadap konsep Islam tentang alam semesta, yaitu segala
sesuatu selain Allah swt. dari sisi ini, penalaran kita mengharuskan eksisnya
pluralitas atau kejamakan pada alam semesta ini. Karenanya, dari satu sisi, alam
semsta bisa di definisakan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah
(materi) dan shurah (bentuk) yang bisa di klasifikasikan ke dalam wujud kongkret
1

Mohd. Al-Thoumy al-Syaibany, falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1979),

h.58.

(syahadah) dan wujud abstrak (ghaib). Kemudian, dari sisi lain, alam semsta bisa
pula di bagi-bagi kedalam beberapa jenis, seperti benda-benda padat (jamadat),
tumbuh-tumbuhan (nabatat), hewan (hayyawanat) dan manusia.
Dikalangan masyarakat muslim, terdapat pemahaman bahwa alam
semesta adalah segala sesuatu selain Allah swt, tetapi dengan mengkecualikan
manusia. Pengecualian itu disebabkan oleh pemikiran bahwa: (a) kepada manusia
Allah swt, mengaamanahkan alam semsta ini untuk dikelola dan di manfaatkan

bagi kemaslahatan seluruh makhluk, (b) bentuk berkemampuan mengelola dan
memanfaatkan alam semesta, kepada manusia, Allah swt, menganugerahkan aql
dan aql ini tidak di berikan-Nya, kecuali hanya kepada manusia. Karena itu,
manusia dikeluarkan dari definisi alam semesta. Dengan demikian, penggunaan
terma alam semesta hanya merujuk kepada pengertian alam semesta dalam
pengertian jagad raya.
Dalam al-Qur‟an, pengertian alam semesta dalam arti jagad raya bisa
di pahami dari terma al-samawat wa al-ard wa ma baynahuma. Ungkapan ini
berulang sebanyak 20 kali dan tersebar pada 15 surah. berkenaan dengan terma
ini Sirajuddin Zar2 menyatakan makna al-samawat wa al-ard wa ma baynahuma
tidak hanya menunjuk pada pengertian kumpulan alam fisik ataupun empirik saja,
tetapi juga mencakup seluruh alam fisik maupun non fisik. Namun, penggunaan
terma tersebut lebih memadai untuk di paralelkan dengan pengertian alam semesta
atau Universe.
Quraish Shihab3 menyatakan bahwa semua yang maujud selain Allah
swt, baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui manusia, disebut
alam. Kata alam terambil dari akar kata yang sama dengan ilm dan alamah, yaitu
sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya. Karenanya, dalam konteks ini, alam
semesta adalah alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui wujud
tuhan, pencipta yang Maha Esa, Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui. Dari sisi ini

dapat di pahami bahwa keberadaan alam semesta merupakan tanda-tanda (Ayah)

2

Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-Qur’a
(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999), h. 26-28.
3
M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’a (Jakarta:
Lentera hati, 2004), h.32.

yang menjadi alat atau sarana bagi manusia untuk mengetahui wujud dan
membuktikan keberadaan serta ke-Maha Kuasaan Allah swt.
Al-Qur‟an secara jelas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam
semesta ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda (Ayah)
keberadaan dan kekuasaan Allah swt, dalam al-Qur‟an, secara eksplisit
dinyatakan:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan
dan kekuasaan) Kami disegenap ufuk (alam makro) dan pada diri mereka sendiri
(alam mikro), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Ia adalah Al-Haq.”4


Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan alam semesta.
Untuk itu manusia harus mengenal alam semesta berikut karakter atau waktunya.
Secara umum, alam itu bisa dibedakan kedalam dua jenis: (1) Alam Syahadah dan
(2) Alam Ghaib. Alam Syahadah adalah wujud yang kongkret dan karenanya
dapat di indera. Alam syahadah tunduk kepada hukum evolusi, dalam arti
berkembang dan berubah-ubah. Karenanya, Ia adalah fenomena. Sedangkan Alam
Ghaib adalah wujud yang tidak tampak pada indera dan karenanya ia adalah

noumena. Dari sisi ini, karakternya hampir sama dengan manusia, yaitu materi
dan non materi. Keduanya merupakan wilayah pengkajian atau penyelidikan
manusia. Karenanya, pengetahuan itu tidak hanya menyangkut hal-hal yang
empirik, tetapi juga supra empirik.

B. PROSES PENCIPTAAN ALAM SEMSTA

Terdapat perbedaan pandangan dikalangan muslim tentang asal mula
penciptaan alam semesta. Ada yang menyatakan bahwa alam semesta ini di
ciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Sementara itu, ada pula yang berpendapat
bahwa alam semesta ini di ciptakan dari materi atau sesuatu yang sudah ada.
Pendapat pertama ini selalu didasarkan pada penggunaan kata khalaqa yang

digunakan dalam penciptaan alam semesta. Mereka berpendapat bahwa
penggunaan kata khalaqa memiliki arti menciptakan sesuatu dari bahan yang
belum ada menjadi ada. Sementara itu, pendapat kedua di dasarkan informasi al4

Q.S, Fushsillat [41]: 53.

Qur‟an yang mengindikasikan bahwa alam semesta ini diciptakan dari suatu
materi yang sudah ada. Informasi seperti ini misalnya ditemukan dalam dua
surah. Pertama, Q.S, Fushillat [41] :11 yang menyatakan bahwa Allah swt.

„menuju‟ langit, sedangkan langit ketika itu masih merupakan dukhan (asap).
Kedua, Q.S, al-Anbiya‟ [21] : 30 yang meninformasikan bahwa langit dan bumi

itu dahulunya adalah kanata ratqa, yaitu suatu yang padu, lalu Allah Swt,
memisahkan antara keduanya. Pandangan kedua ini memiliki kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan para pakar alam semesta ini pada awalnya adalah satu
massa yang besar (kabut angkasa utama). Kemudian terjadi Big Bang (pemisahan
skunder) kemudian terbagi-bagi dalam bentuk bintang-bintang, planet-planet,
matahari, bulan, dan lain-lain.5
Terlepas

dari

perbedaan

pandangan

di

atas,

al-Qur‟an

menginformasikan bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan tidak secara
sekaligus atau „sekali jadi‟, tetapi melalui serangkaian tahapan, masa, atau proses.
Dalam sejumlah surah al-Qur‟an selalu menggunakan istilah Fi Sittatti Ayyam
yang bisa di terjemahkan dalam arti enam hari, enam masa, atau mungkin enam
periode. Selain itu, dalam al-Qur‟an, di temukan ayat yang menyatakan bahwa
Allah Swt, menciptakan bumi dalam dua hari atau dua masa (Yaumain) dan
menentukan kadar makanan penghuni nya dalam empat hari atau empat masa
(Arba‟ Ayyam), dan menjadikan tujuh langit dalam dua hari (Yaumaini).
Ketika menjelaskan Iradah Allah Swt, dalam kaitannya dengan
penciptaan sesuatu pun, Al-Qur‟an menggunakan ungkapan: Kun Fa Yakun
(‫)ك ْن فيك ْون‬

yang sering kali di terjemahkan dalam arti: “jadi maka jadilah”.

Dalam ungkapan ini, kata kerja yang digunakan adalah Fi‟il Mudhari. Dalam
gramatika bahasa arab, bila suatu perbuatan di ungkapkan dalam bentuk Mudhari,
maka itu berarti bahwa suatu perbuatan yang di lakukan itu adalah perbuatan yang
sedang dan akan terus dilakukan di masa mendatang. Artinya, kata kerja Fi‟il
Mudhari mengandung makna bahwa terjadi kontinuitas dalam melakukan
pekerjaan itu. Karenanya dari sisi ini, dapat di pahami penciptaan sesuatu itu,
termasuk alam semesta, terjadi melalui tahapan atau proses, dan proses itu

Zakir Naik dan Gary Miller, Keajaiban Al-Qur’a dala
(Yogyakarta: Media Ilmu, 2008), h.55-56.
5

Tela’ah Sains Modre,

berlangsung secara kontinum atau sepanjang masa. Itu berarti bahwa, sebagai
Khaliq atau Maha Pencipta, dalam tiap masa, tiap deti, bahkan tiap detik nafas

manusia, Allah Swt. senantiasa mencipta. Tidak ada kondisi dimana Allah Swt.
sedang dalam keaadaan mencipta, istirahat, atau berhenti mencipta, atau memulia
kembali perbuatan mencipta. Mustahil Allah Swt. seperti itu, sebab kondisi seperti
itu hanya mungkin terjadi pada makhluk atau ciptaan. Hal ini lah yang di tegaskan
Allah Swt. “Allah menambah dalam suatu ciptaan apa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesua tu”.

Dalam konteks proses penciptaan alam semesta Al-farabi adalah
filosof muslim pertama yang menyatakan bahwa proses penciptaan alam semesta
terjadi melalui proses emanasi atau pelimpahan. Menurut Al-farabi tuhan adalah
„Aql dan karenanya dia berfikir. Yang menjadi objek pemikirannya (ma‟qul)
adalah dzat nya sendiri, sebab dia tidak memerlukan suatu benda untuk menjadi
objek pemikirannya. Karena „Aql itu Esa adanya maka Dia hanya berisi suatu
pemikiran, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Dengan Ta‟Aqqul inilah
bermula ciptaan Tuhan.
Dalam pemikiran Al-Farabi alam semesta ini terjadi karena limpahan
dari „Aql atau yang Esa. Wujud Tuhanlah (Al- Wujud Al- Awwal) yang
melimpahkan wujud alam semesta pelimpahan ini terjadi melalui Ta‟Aqqul Tuhan
tentang dzat-Nya.6 Dalam prosesnya al-Wujud al-Awwal yang melimpah adalah
satu yakni akal pertama. Kemudian, „Aql pertama yang disebut juga dengan alWujud al-Tsani, bertaaqqul memikirkan wujud pertama dan diri-Nya sendiri.

Ta‟Aqqul dalam wujud pertama melimpahkan „Aql kedua dan Ta‟Aqul terhadap
diri-Nya sendiri melipahkan langit pertama (Al-Falaq al-A‟la). Akal kedua (alWujud at-Tsalist) ber-ta‟aqul tentang wujud pertama melimpahkan akal ke-tiga,

dan

ta‟aqul

terhadap

diri-Nya

melimpahkan

bintang-bintang.

Demikian

seterusnya, ta‟aqul melimpahkan akal ke-empat hingga sampai akal ke sepuluh.
C. TUJUAN PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

Secara

eksplisit,

Allah

Swt,

menegaskan

bahwa

Dia

tidak

menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya secara main-main,
Al-Farabi, Al-Da’awi al Qalbiyah (Haidrabat: Dar al- Ma’arif Uts a iyah, 1

6

9h), h. -4.

kecuali dengan al-Haqq.7 Itu berati tidak ada ciptaan Allah Swt, sekecil apapun
ciptaan itu yang tidak memiliki arti dan makna. Apalagi alam semesta yang
terbentang luas ini.
Dala perspektif Islam, tujuan penciptaan alam semesta ini pada
dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusai pada pengetahuan dalam
pembuktian tentang keberadaan dan ke Maha Kuasaan Allah Swt. secara
Ontologis, adanya alam semesta ini mewajibkan adanya dzat yang mewujudkanNya keberadaan langit dan bumi mewajibkan adanya sang pencipta yang
menciptakan keduanya. Yang menciptakan langit dan bumi ini bukanlah manusia,
tetapi pastilah yang Maha Pencipta. Sebab, bila manusia yang menciptakan langit
dan bumi akal kita mewajibkan pastilah sudah banyak langit dan bumi. Namun
dari dahulu sampai sekarang penyelidikan kita menemukan kenyataannya tidak
demikian. Karena itu akal mewajibkan penciptaan bahwa langit dan bumi ini
pastilah sang Maha Pencipta yang ciptaannya tidak bisa di duplikasi apalagi di
tandangi oleh manusia. Dalam konteks ini, keberadaan alam semesta berupa
petunjuk yang sangat jelas tentang keberadaan Allah Swt. sebagai tuhan Maha
Pencipta. Karenanya, dengan mempelajari alam semesta, manusia akan sampai
pada pengetahuan bahwa Allah Swt. adalah dzat penciptaan alam semesta. AlQur‟an, dalam beberapa tempat memotifisir manusia untuk melakukan eksplorasi,
pengamatan, dan perenungan terhadap fenomena yang terbentang di alam semesta
ini, mengenal Allah Swt.8 dalam konteks ini, Ghulsyani menyatakan bahwa
terdapat lebih dari 750 ayat yang menunujukkan pada fenomena alam dan
meminta manusia untuk memikirkan serta merenungkannya agar mengenal tuhan
melalui tanda-tanda kekuasaannya.
Al-Qur‟an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam
semesta ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda (Ayah)
keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. perhatikan redaksi ayat Al-Qur‟an yang
terjemahaannya sebagai berikut:

7

Dalam ungkapan lain, Asy-Syarqawi mengatakan bahwa alam adalah sarana untuk
mengenal Allah Swt, dan semua bukti atas kemampuan dan kebijaksanaan-Nya sebagai Tuhan.
Lihat Effat Asy-Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Bandung: Pustaka, 1985), h. 222.
8
Sahirul Alim et. Al., Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1995), h. 65-67.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan
dan kekuasaan) Kami di segenap ufuk alam makro dan pada diri mereka sendiri
alam mikro sehingga jelas bagi mereka bahwa Ia adalah al-Haqq.”

Disamping sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan
keberadaan dan ke Maha kuasaan Allah Swt. dalam perspektif Islam, alam
semesta beserta sesuatu yang ada di dalamnya di ciptakan untuk manusia. Alam
semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya lebih dahulu ada sebelum
keberadaan manusia. Setelah alam sementara ini sempurna penciptaannya, baru
kemudian Allah Swt, menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di dalamnya.
Karenanya, selalu implikasi dari tugas kekhalifaan manusia di alam semesta ini
adalah sebagai pemakmur alam dan kehidupan di dalamnya bukan membuat
kerusakan dan melakukan pertumpahan darah di dalamnya.
Meskipun alam semesta ini diciptaan untuk manusia, namun bukan
berarti manusia dapat berbuat sekehendak hati di dalamnya. Hal ini bermakna
bahwa kekuasaan manusia pada alam semesta ini bersifat terbatas. Manusia hanya
boleh mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan Iradah atau
keinginan tuhan yang telah mengamanahkan alam semesta ini kepada manusia.
Memang, sebagai „khalifah‟ Allah Swt, telah memberikan pendapat kepada
manusia untuk mengatur bumi dan segala isinya. Demikianpun, kekuasaan
seorang khalifah tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasaannya dibatasi oleh
pemberi amanah kekhalifahan itu, yakni Allah Swt.9

D. IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Dalam Islam, esensi alam semesta adalah selain dari Allah Swt. Dia
adalah al-Rabb, yaitu Tuhan Maha Pencipta (Khaliq), yang menciptakan seluruh
makhluq, makro dan mikro kosmos. Karenanya Ia disebut al-Rabb al-„alamin,

9

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1994), h.48.

Tuhan Pencipta alam semesta. Sebagai pencipta, Dia juga yang memelihara dan
„mendidik‟ seluruh alam.10
Proses pendidikan itu menurut al-Syaibany adalah menyampaikan
sesuatu kepada titik kesempurnaanya secara berangsur-angsur. Karenanya,
implikasi filosofi terhadap pendidikan islami adalah bahwa, pendidikan islami itu
merupakan suatu proses atau tahapan dimana peserta didik diberi bntuan
kemudahan untuk mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga
fungsional untuk melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya dalam kehidupan di
alam semesta. Karena merupakan proses atau tahapan, maka pendidikan islami
berlangsung kontinum sepanjang masa, sepanjang kehidupan manusia di muka
bumi.
Meskipun telah di tunduhkan untuk manusia dan dirancang sesuai
dengan hukum-hukum Allah (sunnah Allah) sehinggsa memungkinkan untuk
diketahui manusia, namun Allah Swt, tetap memerintahkan manusia untuk
mempelajari alam semesta dengan semua fenomena dan noumenanya. Alam
semesta harus dipelajari sebagai objek studi atau ilmu pengetahuan. Untuk itu,
pendidikan islami merupakan instrumen kunci guna menemukan, menangkap, dan
memahami alam dengan seluruh fenomena dan noumenanya. Upaya itu pada
akhirnya akan mengantarkan manusia pada kesakisan akan keberadaan dan
Kemahakuasaan Allah Swt. karenannya, dalam konteks ini, melalui proses
pendidikan islami, manusia dihantarkan pada pengakuan (syahadah ) akan
keberadaan Allah Swt, sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik alam semesta.
Dalam perspektif Islam, manusia harus merelasiasikan tujuan
kemanuisaannya di alam semesta, baik sebagai syahid Allah, „abd Allah, maupun
khalifah Allah. Dalam konteks ini, Allah Swt, menjadikan alam semesta sebagai

wahana bagi manusia untuk ber- syahadah akan keberadaan dan KemahakuasaanNya. Wujud nyata yang menandai syahadah itu adalah penuaian fungsi sebagai
makhluk „ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah. Dalam hal ini,
alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat dimana manusia
dididik, dibina, dilatih, dan dibimbing agar berekemampuan merealisasikan atau

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’a , Volume I
(Jakarta : Lentera Hati, 2004), h.32.
10

mewujudkan fungsi dan tugasnya sebagai „abd Allah dan khalifah („amal „ibadah
dan „amal shalih). Melalui proses pendidikan di alam semesta inilah, kelak Allah
Swt, akan menilai siapa diantara hamba-Nya yang mampu meraih „markah‟ atau
prestasi terbaik (ahsan „amal).
Pendidikan

Islami,

dalam

penyusunan

dan

pengembangan

kurikulumnya, harus mengacu kepada konsepsi Islam tentang alam semesta.
Dalam konteks ini, selain sebagai institusi pendidikan, alam semesta ini juga
merupakan wilayah studi yang menjadi objek telaah atau kajian pendidikan
islami. Karena alam semesta ini terdiri dari alam syahadah dan alam ghai, maka
sebagai wilayah studi, objek telaah pendidikan islami tidak hanya berkaitan
dengan gejala-gejala yang dapat diamati indera manusia (fenomena), tetapi juga
mencakup segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh indera (noumena). Karena
menyangkut hal-hal yang kongkrit, maka keberadaan alam syahadah sebagai
objek kajian pendidikan islami mengkehendaki aktivitas pengamatan inderawi,
penalaran rasional, dan eksperimentasi ilmiah. Sementara itu, untuk memahami
dan meraih pengetahuan tentang alam ghaib, maka dibutuhkan aktivitas supra
inderawi dan supra rasional. Karennya, dalam pendidikan islami, ilmu-ilmu
pengetahuan yang akan ditransformasikan ke dalam diri peserta didik tidak hanya
terbatas pada pengetahuan inderawi dan rasional, tetapi juga ilmu-ilmu laduny,
isyraqi, iluminasi, dan kewahyuan.11

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

A. Terminologi Alam Semesta

11

Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, epistemologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2017), h. 12.

Dalam perspektif islam, alam semesta adalah segala sesuatu selai Allah
SWT, karenanya alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi
segala sesuatu yang ada dan berada diantara keduanya. Dalam al qur‟an terna
„alam hnya ditemukan dalam bentuk plural, yaitu „alamin. Kata ini tersebar
sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30 surah. Dari satu sisi alam semesta bisa
didefenisikan sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddah (materi) dan
shurah (bentuk), yang bisa diklasifikasikan dalam wujud konkrit (syahaddah) dan
wujud abstrak (ghaib). Kemudian dari sisi lain alam semesta bisa pula dibagi-bagi
kedalam beberapa jenis, seperti benda-benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan
(nabatat), hewan (hayyawanat), dan manusia.
Dalam al qur‟an pengertian alam semesta dalam arti jagat rayambisa
dipahami dari terma al-samawat wa al ardl wa ma baynahuma. Ungakapan ini
berulang sebanyak 30 kali dan tersebar pada 15 surah. Berkenaan dengan terma
ini, Sirajuddin Zar menyatakan bahwa makna al-samawat wa al ardl wa ma
baynahuma tidak hanya menunjuk pada kumpulan alam fisik ataupun empirik
saja, tetapi juga mencakup seluruh alam fisik maupun non fisik.
Shihab menyatakan bahwa semua yang maujud selain allah baik yang telah
diketahiu maupun yang belum diketahui manusia, disebut alam. Kata „alam
terambil dari kata yang sama dengan „ilm, dan „alamah, yaitu sesuatu yang
menjelaskan sesuatu selainnya. Karenanya, dalam konteks ini, alam semesta
adalah alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui wujud tuhan,
pencipta yang maha esa, maha kuasa, lagi maha mengetahui.
Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan alam semesta. Untuk
itu manusia harus mengenal alam semesta berikut karakter atau wataknya. Secara
umum, alam itu bisa dibedakan menjadi dua jenis : 1. Alam syahadah, dan 2.
Alam ghaib.
Alam syahadah adalah wujud yang konkrit dan karenanya dapat diindera.
Alam syahadah tunduk kepada hukum evolusi, dalam arti berkembang dan
berubah-ubah. Karenanya ia adalah fenomena. Sedangkan alam ghaib adalah
wujud yang tidak tampak pada indera dan karenanya ia adalan noumena. Dari sisi

lain karakternya hampir sama dengan manusia yaitu materi dan non materi.
Keduanya

merupakan

wilayah

pengkajian

atau

penyelidikan

manusia.

Pengetahuan itu tidak hanya menyangkut hal-hal yang empirik, tetapi juga supra
empirik.

B. Proses Penciptaan Alam Semesta
Terdapat bnyak pebedaan pendapat tentang proses penciptaan alam
semesta. Namun terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, al qur‟an
menginformasikan bahwa alam semesta ini diciptakan tuhan tidak secara
sekaligus atau sekali jadi. Tetapi melalui serangkaian tahapan, masa, atau proses.
Dalam sejumlah surah, al qur‟an selalu menggunakan istilah fisittah ayyam, yang
bisa diterjemahkan dalam arti 6 hari, 6 masa, atau mungkin 6 priode. Selain itu,
dalam al qur‟an, ditemukan pula ayat yang menyatakan bahwa allah swt
menciptakan bumi dalam dua hari atau dua masa (yaumayn), dan menentukan
kadar makanan dalam empat hari atau empat masa (arba‟a ayyam), dan
menjadikan tujuh langit dalam dua hari (yaumayn).
Dalam konteks proses penciptaan alam semesta, Al-Farabi adalah filosof
muslim pertama yang menyatakan bahwa proses penciptaan alam semesta terjadi
melalui emanasi atau pelimpahan. Menurutnya, tuhan adalah „Aql, dan dia
berpikir . yang menjadi objek pemikiran-Nya (ma‟qul) adalah Zat Nya sendiri,
sebab Dia tidak memerlukan suatu benda untuk menjadi objek pemikiran-Nya.
Karena „Aql itu Esa adanya, maka ia hanya berisi suatu pemikiran, yakni
senantiasa memikirkan diri-Nya sendiri. Dengan ta‟aqqul inilah bermulanya
ciptaan tuhan.

C. Tujuan Penciptaan Alam Semesta
Dalam perspektif islam, tujuan penciptaan alam semesta ini, pada dasarnya
adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian
tentang keberadaan dan kemahakuasaan allah.

Al qur‟an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam semesta
ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda (Ayah) Keberadaan
dan Kekuasaan Allah SWT. seperti firman Allah dalam Q.S. Fushshilat[41]:53 :
kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (keberadaan dan
kekuasaan) kami di segenap ufuk (alam makro) dan pada diri mereka sendiri
(alam mikro), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ia adalah al-haq.
Dalam perspektif islam alam semesta beserta segala sesuatu yang ada
didalamnya diciptakan untuk manusia. Agar manusia mudah memahami alam
semesta maka allah menciptakan ukuran atau ketentuan yang pasti (sunnah allah)
pada alam semesta, sehingga dia bersifat predictable. Kemudian, agar manusia
mudah memahami dan berinteraksi dengan alam semesta ini, maka allah
menciptakannya dengan drajat yang lebih rendah dibanding manusia. Untuk itu
manusia tidak boleh tunduk kepada alam semesta, tetapi harus tunduk kepada
allah, tuhan yang menciptakan dan menundukkan alam ini.

D. Implikasi terhadap Pendidikan Islami
Proses pendidikan itu menurut al-Syaibany adalah menyampaikan sesuatu
kepada titik kesempurnaannya secara berangsur-angsur. Implikasi filosofi
terhadap pendidika islami adalah bahwa, pendidikan islami itu merupakan suatu
proses atau tahapan dimana peserta didik diberi bantuan untuk mengembangkan
potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga fungsional untuk melaksanakan fungsi
dan tugas-tugasnya dalam kehidupan alam semesta.
Allah memerintahkan manusia untuk mempelajari alam semesta dengan
semua fenomena dan noumenanya. Pendidikan islami merupakan instrumen kuci
guna menemukan, menangkap, dan memahami alam dengan seluruh fenomena
dan noumenanya. Melalui proses pendidikan islami, manusia dihantarkan pada
pengakuan (syahaddah) akan keberadaan allah sebagai tuhan pencipta,
pemelihara, dan pendidik alam semesta.
Manusia harus merealisasikan tujuan kemanusiaannya di alam semesta,
baik sebagai syahid allah, „abd allah, maupun khalifah allah. Dalam konteks ini,

allah menjadikan alam semesta sebagai wahana bagi manusia untuk bersyahadah
akan keberadaan dan kekuasaan-Nya. Wujud nyatanya adalah penunaian fungsi
sebagai makhluk ibadah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah. Dalam hal
ini alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat dimana manusia
dididik, dilatih, dibina, dan dibimbing agar berkemampuan mewujudkan fungsi
dan tugasnya, dan allah akan menilai siapa diantara hamba-Nya yang mampu
meraih “markah” atau prestasi terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Sahirul et. Al., Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi
Jakarta: Departemen Agama RI, 1995.
Al-Farabi, Al-Da‟awi al Qalbiyah (Haidrabat: Dar al- Ma‟arif Utsmaniyah, 1349
H.

Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi,
epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami Medan: Citapustaka Media

Perintis, 2017.

Al-Syaibany Mohd. Al-Thoumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang,1979.

Asy-Syarqawi Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1985.

Azhar Basyir,Ahmad,

Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan,

1994.
Naik,Zakir,Miller Garry, Keajaiban Al-Qur‟an dalam Tela‟ah Sains Modren,
Yogyakarta: Media Ilmu, 2008.
Sihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an
Jakarta: Lentera hati, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume I, Jakarta : Lentera Hati, 2004.

Zar Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan AlQur‟an , Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999.