Peristiwa 1965 Kontradiksi Kelas dan Sej
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Thursday, April 14, 2016
Latest: Menggagahi Alam
MEDITASI
METODE
REVIEW
JURNAL
KIRIM TULISAN
Tema
Budaya Charles Darwin
Cogito Dekadensi
Descartes 谂lsafat
ilmu Filsafat
Manusia Globalisasi Ibn
Buku
Review
‘Arabî Ilmu
Peristiwa 1965, Kontradiksi
Kelas, dan Sejarah Alternatif
10/02/2016
M. Najib Yuliantoro
1 Comment
Indonesia, Kapitalisme, Materialisme, sejarah
218
G30S 1965,
Indonesia
Jawa
Kapitalisme
Kebenaran Konsensus
Korupsi Kritik Kuntowijoyo
logika
Manusia Indonesia
Materialisme Media Metode
Mimesis Minoritas Mukhtar Lubis
Nazi Noam Chomsky Paulo Freire
Pembebasan
Pendidikan Platon Politik
Pop Culture Pragmatis
Quentin
Meillassoux Ramadhan
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
1/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Rohingya
Sains Schindlers list
sejarah Su谂sme
Teknologi The Self USA
Facebook Page
LSF Cogito
647 likes
Like Page
Be the first of your friends to like this
Judul Buku : Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30
September 1965
Penulis : Harsa Permata
Timeline
Penerbit : Elpueblo Tritama Mandiri, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Halaman : vi + 95
ISBN : 978-602-14327-5-4
Bagaimana bentuk-bentuk kontradiksi kelas sebelum, saat, dan
setelah Peristiwa G30S 1965? Pertanyaan sederhana ini perlu
diajukan setidaknya karena dua alasan. Pertama, berbagai versi
penulisan sejarah peristiwa 1965, selama ini, selalu dilepaskan
dari konteks pandangan utama Marxisme, yakni teori analisis
kelas,
di
mana
bertolak
dari
pandangan
inilah
paham
komunisme di Indonesia bergerak.[1] Padahal, ini alasan kedua,
penggunaan analisis kelas sesungguhnya akan cukup membantu
memberikan pemetaan secara gamblang atas realitas sosial yang
tengah bekerja dalam masyarakat Indonesia, sehingga dari sini,
proyeksi sejarah Indonesia ke depan jauh lebih mudah untuk
ditentukan.
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
2/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Buku karya Harsa Permata, Materialisme Sejarah Peristiwa
Gerakan 30 September 1965, adalah pengecualian dari berbagai
Tweets by
@jurnal_cogito
model penulisan Peristiwa 1965 yang sudah ada.[2] Buku ini
LSF Cogito
@jurnal_cogito
patut untuk dipertimbangkan, sebab sependek pengetahuan
penulis, merupakan hasil penelitian pertama yang ditulis oleh
Gerakan 30 September 1965 berdasarkan sudut pandang 谂lsafat
Sila baca tulisan terbaru dari
Fathul Purnomo berjudul
Menggagahi Alam di laman
sejarah Marxisme. Buku ini menarik bukan hanya karena
lsfcogito.org/9152/
sarjana
Indonesia,
yang
berusaha
memaparkan
Peristiwa
rigoritas kajian yang disuguhkan, melainkan juga berhasil
menutupi lubang kajian yang mengabaikan analisis kelas dalam
10 Apr
LSF Cogito
@jurnal_cogito
menelaah Peristiwa 1965.
Gerak Sejarah Marxisme
Yuk, sempatkan.
Bagaimanakah sejarah masyarakat bergerak menurut Marxisme?
Informasi lebih lanjut boleh
tambahkan akun ini,
@lln9629h, di Line sobat.
Terima kasih :)
Jawaban atas pertanyaan tersebut teringkas dalam kalimat
berikut: bahwa seluruh pemikiran Marxisme, termasuk tentang
谂lsafat sejarah Marxisme, bertolak dari dasar pemikiran
materialisme historis. Secara genesis, pandangan tersebut
muncul sebagai kritik terhadap, sekaligus terinspirasi dari,
pandangan Hegel dan Feuerbach.
Hegel
berpandangan
bahwa
sejarah
bergerak
ke
arah
rasionalitas dan kebebasan. Semua yang nyata adalah rasional,
demikian kata Hegel, dan semua yang rasional adalah nyata.
Seluruh realitas sejarah berada dalam Ide Absolut; suatu
identitas murni yang homogen, abadi, dan tak terbatas. Ide
Absolut adalah pikiran murni (pure thought) yang mampu
berpikir tentang dirinya sendiri, sehingga seluruh kontradiksi
antara ide objektif dan ide subjektif, antara rasionalisme dan
LSF Cogito
@jurnal_cogito
empirisme, melebur dan menyintesis ke dalam Ide Absolut.
Pergerakan sejarah, dengan demikian, adalah suatu dialektika
dunia Ide; suatu keseluruhan realitas yang tak terpisahkan, yang
menghimpun keseluruhan ide-ide.[3]
Karl Marx mengambil logika dialektika Hegel, namun membuang
konsep Ide Absolut. Sebab, bagi Marx, esensi dari gerak sejarah
adalah kontradiksi yang bersifat material. Pendapat ini muncul
31 Mar
ini masuk problem minbody
interconnections
twitter.com/bpmfpijar/stat…
Embed
26 Mar
View on Twitter
dari konsep materialisme Feuerbach, yang berpandangan bahwa
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
3/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
seluruh realitas, termasuk di dalamnya adalah agama dan
Tuhan, merupakan proyeksi dari imajinasi manusia. Manusia
yang material, bagi Feuerbach, adalah pusat dari seluruh realitas;
berseberangan dengan Hegel yang berpandangan bahwa
seluruh realitas berpusat dan berada pada dunia Ide Absolut.
Meski menerima istilah materialisme, namun Marx, terutama
dalam Theses on Feuerbach, menolak pengertian materialisme
Feuerbach, yang menurutnya terlalu abstrak, subjektif, dan tidak
berwatak revolusioner.[4]
Realitas transenden, bagi Marx, hanyalah ungkapan keterasingan
manusia akibat ketertindasannya dalam masyarakat. Agama dan
Tuhan
adalah
produk
ekspresi
manusia
atas
realitas
ketidakadilan dalam masyarakat, dan atas dasar itulah Marx
menyebut agama sebagai candu (opium of the people), karena
dalam waktu cukup singkat mampu menyebabkan manusia
untuk
melupakan
ketidakadilan
yang
dialaminya
dalam
masyarakat.[5] Persis, berdasarkan logika semacam inilah Marx
kemudian
menggeser
pengertian
kritik
materialisme
atas
manusia Feuerbach kepada kritik materialisme atas masyarakat.
Sasaran kritik Marx atas masyarakat tertuju pada relasi produksi
ekonomi yang timpang. Relasi produksi ekonomi merupakan
unsur esensial “bangunan bawah”, yang mendasari “bangunan
atas”, yakni struktur ekonomi, politik, dan tatanan sosial
masyarakat.[6]
Relasi produksi ditentukan oleh adanya kekuatan produktif,
yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja manusia yang
menciptakan nilai lebih. Tanpa sokongan kekuatan produksi,
relasi produksi tidak mungkin menghasilkan nilai lebih, sebab
itulah peran dan posisi kekuatan produktif dalam relasi produksi,
bagi Marx, cukup menentukan dalam produksi kapital. Nilai lebih
itulah yang oleh Marx disebut sebagai “eksploitasi” oleh pemilik
produksi atas kekuatan produktif.[7] Pada titik ini, Marx
menunjukkan kontradiksi-kontradiksi yang masuk akal dalam
kapitalisme, seperti nilai lebih dan kepemilikan alat produksi,
yang semua itu pada akhirnya membuka mata kita tentang arti
pentingnya melakukan analisis kelas atas logika produksi
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
4/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
kapitalisme yang timpang dan serampangan.
Pada masyarakat kapitalisme, kontradiksi kelas terjadi antara
kaum proletariat dan borjuis.[8] Borjuis adalah kelas pemilik
modal dan alat-alat produksi. Sedangkan proletariat adalah kelas
yang tidak memiliki modal dan hanya menjalankan alat-alat
produksi. Proletariat, yang menjadi lokus utama Marx, adalah
kekuatan produktif, yang diperas tenaganya untuk menciptakan
nilai lebih pada relasi produksi yang menguntungkan kaum
borjuis. Jadi, pengertian modal, yang dipahami sebagai uang,
mesin, alat-alat produksi, tidak akan menjadi kapital tanpa
adanya tenaga manusia yang menciptakan nilai lebih.[9]
Ringkasnya, tanpa keringat kaum proletariat yang terperas, kaum
borjuis tidak akan memiliki kapital.
Karena pentingnya posisi produksi ekonomi dalam sejarah
masyarakat, maka pengertian materialisme historis dalam
pemikiran 谂lsafat sejarah Marxisme, tidak dapat dipisahkan dari
konteks relasi produksi dan kekuatan produktif, yang kemudian
menjadi muara dari segala proses reproduksi ekonomi dan
reproduksi sosial. Dialektika materialisme, dalam pandangan
Marxisme, adalah terjadinya kontradiksi secara revolusioner
antara
relasi
produksi
dan
kekuatan
produktif.
Watak
revolusioner ini diperlukan agar masyarakat bergerak ke fase di
mana segala kontradiksi kelas dapat melebur, melenyap, dan
menjadi fase komunisme (common, universal), suatu kondisi
masyarakat tanpa kelas, tanpa kontradiksi.[10] Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa hakikat sejarah, dalam pandangan
Marxisme, adalah dialektika. Isinya adalah kontradiksi antarkelas,
yakni antara masyarakat kelas borjuis dan kelas proletariat, yang
apabila disintesiskan akan melahirkan masyarakat komunisme,
masyarakat tanpa kelas dan tanpa kontradiksi.
Peristiwa 1965
Peristiwa G30S 1965, dalam tesis Harsa, dipandang sebagai
puncak adanya pertentangan kelas antara kaum borjuis yang
diwakili oleh borjuis militer dan kaum proletariat yang diwakili
oleh Partai Komunis Indonesia. Pandangan ini mengandaikan
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
5/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
bahwa sebelum meletusnya Peristiwa 1965, sesungguhnya
sudah muncul kelas-kelas sosial yang bertarung, baik melalui
wacana, agitasi politik, maupun kekerasan 谂sik. Sementara
sintesis dari puncak kontradiksi antarkelas tersebut, menurut
Harsa, ditandai dengan munculnya Soeharto dan perangkat
kelasnya yakni Orde Baru.[11]
Apabila
hendak
konsisten
dengan
analisis
kelas
dalam
pandangan Marxisme, maka perlu diketahui bahwa kontradiksi
kelas terjadi dalam konteks perebutan sumberdaya produksi
ekonomi. Harsa menunjukkan hal ini dengan cukup baik di
dalam bukunya. Bahwa sebelum 1965, tepatnya pada 13
Desember 1957, terjadi nasionalisasi aset perusahaan yang
sebelumnya dikuasai Belanda. Pengelolaan aset sektor industri
Indonesia, berdasarkan Hukum Darurat Militer 1957, dikuasai
sepenuhnya oleh pihak militer. Kepemilikan atas alat-alat
produksi oleh militer inilah yang kemudian oleh Harsa dianggap
sebagai awal terjadinya “borjuisasi” di tubuh militer, sehingga
melahirkan kontradiksi kelas baik di dalam internal militer
sendiri maupun dalam relasinya dengan kelas ekonomi di
bawahnya, yakni para buruh dan petani, yang secara ekonomipolitik direpresentasikan oleh PKI.[12]
Biarpun, secara institutif, produk sintesa tersebut berbeda dari
kedua tesa dan antitesa sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa
corak representasi dari sintesa, yakni Soeharto dan rezimnya,
sesungguhnya lebih condong dan mewakili kelas borjuis militer.
Artinya, bayangan gerak sejarah Marxisme bahwa hasil sintesa
adalah masyarakat tanpa kelas, dalam kasus Peristiwa 1965,
belum benar-benar nampak. Justru, 1965 adalah puncak dari
segala eksploitasi ekonomi-politik oleh kaum borjuis atas kaum
proletariat. Sebab, nyatanya, setelah 1965, yang berkuasa adalah
kaum borjouis militer, yang secara ekonomi, tetap menghamba
—bahkan
dalam
tingkat
yang
lebih
matang—terhadap
kapitalisme.
Pendapat ini sedikit berbeda dari hipotesa Harsa, yang
menganggap bahwa Soeharto dan Orde Baru (SOB) adalah
produk sintesa dari kontradiksi kelas proletariat (PKI) dan borjuis
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
6/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
militer. Kenyataanya, SOB justru mewakili dari salah satu kelas
kontradiksi, yakni kelas borjuis pada tingkat yang lebih matang.
Selama hampir 32 tahun, SOB dalam bidang ekonomi menggelar
karpet merah kepada kapitalisme. Bahkan melalui kekuatan
kapitalisme juga, SOB melakukan pengerdilan secara sistematis
terhadap esensi demokrasi.[13] Ringkasnya, pada masa SOB,
kelas yang berkuasa adalah kelas borjuis dan kelas proletariat
masih tetap tertindas dan bahkan dilakukan secara transparan,
biar pun secara politik tidak lagi direpresentasikan oleh PKI.
Pada era Reformasi, kontradiksi kelas belum dapat dikatakan
lenyap. Liberalisasi ekonomi semakin matang beriringinan
dengan
liberalisasi
politik.
Melalui
corak
ekonomi-politik
semacam ini, cengkeraman kapitalisme pada saat ini jauh lebih
dahsyat daripada kapitalisme model SOB. Jika pada masa Orde
Lama kapitalisme disebut Harsa belum matang karena negara
masih memberi ruang yang cukup terhadap kelas proletariat,
kemudian pada masa SOB kelas borjuis, terutama penganut
kapitalisme
monopoli,
semakin
sempurna
karena
kelas
proletariat dihabisi secara ekonomi dan politik[14], maka pada
masa Reformasi, borjuisasi berbasis kapitalisme justru semakin
kokoh, karena didukung oleh liberalisme politik dan ekonomi
yang cukup sistematis, terstruktur, dan masif. Monopoli ekonomi
dan politik mulai mencair, tak lagi dikuasai oleh lingkaran
kekuasaan, namun justru dikuasai oleh siapa saja yang memiliki
modal besar, baik yang berada di pusat kekuasaan nasional
maupun daerah-daerah.
Pada Era Reformasi, siapapun bisa menjadi kapitalis baru.
Mereka yang dahulu di zaman SOB dikenal sebagai kaum
proletariat, dengan sistem liberalisasi ekonomi-politik di era
Reformasi, dapat saja berpindah kelas menjadi kaum borjuis
baru, melakukan eksploitasi yang sama dengan kaum yang
dahulu dikritiknya. Proses perpindahan dan benturan antarkelas
semakin lentur. Ia tak lagi mudah disederhanakan pada
kategorisasi institusional. Bahkan, dugaan penulis, boleh jadi
mereka yang mendaku dirinya mewakili kaum proletariat secara
esensial bukanlah kaum proletariat; boleh jadi mereka adalah
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
7/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
kaum borjuis baru yang menggunakan isu-isu ala proletariat
untuk mengokohkan proses borjuisasi yang tengah dinikmatinya.
Jadi, hal yang perlu kita sadari adalah, bahwa pada saat ini, wajah
kontradiksi antarkelas dalam masyarakat Indonesia belum
sepenuhnya
punah.
Logika
kontradiksi
antarkelas,
bagaimanapun, masih eksis dan secara bergantian diwakili oleh
berbagai institusi yang berbeda. Sejarah masyarakat bergerak
tak lagi ditentukan oleh kehendak tokoh tertentu seperti dalam
Orba atau SOB, tetapi secara terbuka dimungkinkan untuk
digerakkan oleh agen kolektif. Sehingga yang perlu dikritik dalam
masyarakat kita hari ini, pada akhirnya, bukan lagi tokoh
tertentu, melainkan—sebagaimana disarankan Marx—watak
ekonomi-politik yang bekerja dalam kehidupan masyarakat kita.
Perlu Sejarah Alternatif
Apabila
logika
kontradiksi
kelas
itu
pada
kenyataannya,
setidaknya belajar dari Peristiwa 1965, tidak melahirkan apa yang
disebut
kaum
Marxisme
sebagai
komunisme,
maka
pertanyaannya adalah: mungkinkah komunisme itu mungkin?
Berbagai sejarah perjuangan kelas berbasis cita-cita baik
masyarakat komunisme maupun kapitalisme umumnya selalu
problematik dari sisi kemanusiaan. Sejarah Peristiwa 1965
menunjukkan
anatomi
pergerakan
sejarah
yang
tak
lagi
menghargai darah manusia sebagai sesuatu yang berharga.
Berdasarkan kelemahan yang cukup esensial tersebut, kiranya
perlu mulai dipikirkan “sejarah alternatif” Indonesia yang, dalam
pandangan penulis, dapat ditempuh tanpa mengabaikan sisi
humanisme pergerakan, meskipun, harus diakui, cukup sulit
menanggalkan
logika
analisis
kelas
dalam
memahami
masyarakat kapitalistis sebagaimana yang terjadi di Indonesia
saat ini.
Penulisan “sejarah alternatif” dapat dimulai dari, belajar dari
Bourdieu misalnya, tidak menganggap bahwa esensi dari segala
realitas sosial semata-mata bersifat material. Melalui konsep
kapital yang ia perkenalkan, Bourdieu berusaha mengubah
pengertian kapital dalam pandangan Marxisme yang hanya
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
8/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
dipahami bersifat material ke dalam pengertian yang imaterial.
[15] Strategi ini, penulis kira, dapat cukup efektif untuk
menggerogoti sistem kapitalisme yang secara esensial hanya
mendasarkan dirinya pada segala sesuatu yang bersifat material.
Sehingga perlawanan terhadap kapitalisme ditempuh tidak lagi
dengan cara revolusioner, melainkan evolusioner.
Tentu terdapat setumpuk gagasan alternatif lainnya yang bisa
diringkus untuk mengatasi problem gerak sejarah dalam logika
marxisme dan kapitalisme. Namun, pada konteks sejarah
Peristiwa 1965, gagasan penulisan sejarah berbasis analisis
kelas, sebagaimana mulai dirintis oleh Harsa dalam buku ini,
sudah sewajarnya untuk diteruskan dengan penerbitan bukubuku lanjutan. Besarnya kontradiksi penulisan sejarah, baik oleh
versi pemerintah, ilmuwan, maupun pelaku, masih menyisakan
ruang
bagi
penyelidikan
para
penulis
sejarah
hari
Peristiwa
ini
untuk
1965,
mengupayakan
sampai
betul-betul
melahirkan suatu karya yang utuh, otentik, dan membuka
wawasan pembacanya.[]
[1] Minimnya kajian analisis kelas di Indonesia dipaparkan secara
menarik oleh Hilmar Farid, 2005, “The Class Question in
Indonesian Social Sciences”, dalam Vedi R. Hadiz & Daniel
Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia, Jakarta &
Singapore: Equinox Publishing.
[2] Sekurang-kurangnya terdapat enam versi penulisan peristiwa
1965 dalam perspektif sejarah yang, menurut Harsa, belum
melibatkan analisis kelas di dalamnya, yakni versi Orde Baru dan
TNI, versi Ben Anderson dan Ruth McVey, versi Harold Crouch,
versi Wertheim, versi John Rossa, dan versi Rex Mortimer. Lihat
Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 21-46.
[3] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 9http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
9/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
11.
[4] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 1213.
[5] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 13.
[6] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 6-7.
[7] Lihat Richard Wolﱂ, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam
http://rdwolﱂ.com/content/alternatives-capitalism.
[8] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 17.
[9] Hilmar Farid, 2005, “The Class Question…”, hlm. 182.
[10] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 18.
[11] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 64.
[12] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 53.
Tidak bisa diabaikan para pengikut Partai Nasional Indonesia,
Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama, yang oleh Soekarno
dirangkum sebagai NASAKOM. Penulis kira sebagian besar
mereka bisa disebut sebagai kelas proletariat sebab rata-rata
pekerjaan mereka adalah petani dan buruh pabrik; tidak
memiliki modal dan alat produksi seperti kelas borjuis.
[13] Lihat Richard Wolﱂ, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam
http://rdwolﱂ.com/content/alternatives-capitalism.
[14] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 70,
80
[15] Lihat M. Najib Yuliantoro, 2016, Ilmu dan Kapital: Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 10
83
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
10/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
← LGBT, Paranoid, dan Otak Mesum Kelas Menengah
Humor dan Keseharian →
M. Najib Yuliantoro
Peneliti di Jurusan Filsafat dan Etika, Vrije Universiteit
Brussel, Belgia. Menulis buku "Ilmu dan Kapital:
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu" (Kanisius,
2016).
One thought on “Peristiwa 1965,
Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif”
Pingback: Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif |
M. Najib Yuliantoro
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required 谂elds are marked
*
Comment
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
11/13
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Thursday, April 14, 2016
Latest: Menggagahi Alam
MEDITASI
METODE
REVIEW
JURNAL
KIRIM TULISAN
Tema
Budaya Charles Darwin
Cogito Dekadensi
Descartes 谂lsafat
ilmu Filsafat
Manusia Globalisasi Ibn
Buku
Review
‘Arabî Ilmu
Peristiwa 1965, Kontradiksi
Kelas, dan Sejarah Alternatif
10/02/2016
M. Najib Yuliantoro
1 Comment
Indonesia, Kapitalisme, Materialisme, sejarah
218
G30S 1965,
Indonesia
Jawa
Kapitalisme
Kebenaran Konsensus
Korupsi Kritik Kuntowijoyo
logika
Manusia Indonesia
Materialisme Media Metode
Mimesis Minoritas Mukhtar Lubis
Nazi Noam Chomsky Paulo Freire
Pembebasan
Pendidikan Platon Politik
Pop Culture Pragmatis
Quentin
Meillassoux Ramadhan
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
1/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Rohingya
Sains Schindlers list
sejarah Su谂sme
Teknologi The Self USA
Facebook Page
LSF Cogito
647 likes
Like Page
Be the first of your friends to like this
Judul Buku : Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30
September 1965
Penulis : Harsa Permata
Timeline
Penerbit : Elpueblo Tritama Mandiri, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Halaman : vi + 95
ISBN : 978-602-14327-5-4
Bagaimana bentuk-bentuk kontradiksi kelas sebelum, saat, dan
setelah Peristiwa G30S 1965? Pertanyaan sederhana ini perlu
diajukan setidaknya karena dua alasan. Pertama, berbagai versi
penulisan sejarah peristiwa 1965, selama ini, selalu dilepaskan
dari konteks pandangan utama Marxisme, yakni teori analisis
kelas,
di
mana
bertolak
dari
pandangan
inilah
paham
komunisme di Indonesia bergerak.[1] Padahal, ini alasan kedua,
penggunaan analisis kelas sesungguhnya akan cukup membantu
memberikan pemetaan secara gamblang atas realitas sosial yang
tengah bekerja dalam masyarakat Indonesia, sehingga dari sini,
proyeksi sejarah Indonesia ke depan jauh lebih mudah untuk
ditentukan.
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
2/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
Buku karya Harsa Permata, Materialisme Sejarah Peristiwa
Gerakan 30 September 1965, adalah pengecualian dari berbagai
Tweets by
@jurnal_cogito
model penulisan Peristiwa 1965 yang sudah ada.[2] Buku ini
LSF Cogito
@jurnal_cogito
patut untuk dipertimbangkan, sebab sependek pengetahuan
penulis, merupakan hasil penelitian pertama yang ditulis oleh
Gerakan 30 September 1965 berdasarkan sudut pandang 谂lsafat
Sila baca tulisan terbaru dari
Fathul Purnomo berjudul
Menggagahi Alam di laman
sejarah Marxisme. Buku ini menarik bukan hanya karena
lsfcogito.org/9152/
sarjana
Indonesia,
yang
berusaha
memaparkan
Peristiwa
rigoritas kajian yang disuguhkan, melainkan juga berhasil
menutupi lubang kajian yang mengabaikan analisis kelas dalam
10 Apr
LSF Cogito
@jurnal_cogito
menelaah Peristiwa 1965.
Gerak Sejarah Marxisme
Yuk, sempatkan.
Bagaimanakah sejarah masyarakat bergerak menurut Marxisme?
Informasi lebih lanjut boleh
tambahkan akun ini,
@lln9629h, di Line sobat.
Terima kasih :)
Jawaban atas pertanyaan tersebut teringkas dalam kalimat
berikut: bahwa seluruh pemikiran Marxisme, termasuk tentang
谂lsafat sejarah Marxisme, bertolak dari dasar pemikiran
materialisme historis. Secara genesis, pandangan tersebut
muncul sebagai kritik terhadap, sekaligus terinspirasi dari,
pandangan Hegel dan Feuerbach.
Hegel
berpandangan
bahwa
sejarah
bergerak
ke
arah
rasionalitas dan kebebasan. Semua yang nyata adalah rasional,
demikian kata Hegel, dan semua yang rasional adalah nyata.
Seluruh realitas sejarah berada dalam Ide Absolut; suatu
identitas murni yang homogen, abadi, dan tak terbatas. Ide
Absolut adalah pikiran murni (pure thought) yang mampu
berpikir tentang dirinya sendiri, sehingga seluruh kontradiksi
antara ide objektif dan ide subjektif, antara rasionalisme dan
LSF Cogito
@jurnal_cogito
empirisme, melebur dan menyintesis ke dalam Ide Absolut.
Pergerakan sejarah, dengan demikian, adalah suatu dialektika
dunia Ide; suatu keseluruhan realitas yang tak terpisahkan, yang
menghimpun keseluruhan ide-ide.[3]
Karl Marx mengambil logika dialektika Hegel, namun membuang
konsep Ide Absolut. Sebab, bagi Marx, esensi dari gerak sejarah
adalah kontradiksi yang bersifat material. Pendapat ini muncul
31 Mar
ini masuk problem minbody
interconnections
twitter.com/bpmfpijar/stat…
Embed
26 Mar
View on Twitter
dari konsep materialisme Feuerbach, yang berpandangan bahwa
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
3/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
seluruh realitas, termasuk di dalamnya adalah agama dan
Tuhan, merupakan proyeksi dari imajinasi manusia. Manusia
yang material, bagi Feuerbach, adalah pusat dari seluruh realitas;
berseberangan dengan Hegel yang berpandangan bahwa
seluruh realitas berpusat dan berada pada dunia Ide Absolut.
Meski menerima istilah materialisme, namun Marx, terutama
dalam Theses on Feuerbach, menolak pengertian materialisme
Feuerbach, yang menurutnya terlalu abstrak, subjektif, dan tidak
berwatak revolusioner.[4]
Realitas transenden, bagi Marx, hanyalah ungkapan keterasingan
manusia akibat ketertindasannya dalam masyarakat. Agama dan
Tuhan
adalah
produk
ekspresi
manusia
atas
realitas
ketidakadilan dalam masyarakat, dan atas dasar itulah Marx
menyebut agama sebagai candu (opium of the people), karena
dalam waktu cukup singkat mampu menyebabkan manusia
untuk
melupakan
ketidakadilan
yang
dialaminya
dalam
masyarakat.[5] Persis, berdasarkan logika semacam inilah Marx
kemudian
menggeser
pengertian
kritik
materialisme
atas
manusia Feuerbach kepada kritik materialisme atas masyarakat.
Sasaran kritik Marx atas masyarakat tertuju pada relasi produksi
ekonomi yang timpang. Relasi produksi ekonomi merupakan
unsur esensial “bangunan bawah”, yang mendasari “bangunan
atas”, yakni struktur ekonomi, politik, dan tatanan sosial
masyarakat.[6]
Relasi produksi ditentukan oleh adanya kekuatan produktif,
yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja manusia yang
menciptakan nilai lebih. Tanpa sokongan kekuatan produksi,
relasi produksi tidak mungkin menghasilkan nilai lebih, sebab
itulah peran dan posisi kekuatan produktif dalam relasi produksi,
bagi Marx, cukup menentukan dalam produksi kapital. Nilai lebih
itulah yang oleh Marx disebut sebagai “eksploitasi” oleh pemilik
produksi atas kekuatan produktif.[7] Pada titik ini, Marx
menunjukkan kontradiksi-kontradiksi yang masuk akal dalam
kapitalisme, seperti nilai lebih dan kepemilikan alat produksi,
yang semua itu pada akhirnya membuka mata kita tentang arti
pentingnya melakukan analisis kelas atas logika produksi
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
4/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
kapitalisme yang timpang dan serampangan.
Pada masyarakat kapitalisme, kontradiksi kelas terjadi antara
kaum proletariat dan borjuis.[8] Borjuis adalah kelas pemilik
modal dan alat-alat produksi. Sedangkan proletariat adalah kelas
yang tidak memiliki modal dan hanya menjalankan alat-alat
produksi. Proletariat, yang menjadi lokus utama Marx, adalah
kekuatan produktif, yang diperas tenaganya untuk menciptakan
nilai lebih pada relasi produksi yang menguntungkan kaum
borjuis. Jadi, pengertian modal, yang dipahami sebagai uang,
mesin, alat-alat produksi, tidak akan menjadi kapital tanpa
adanya tenaga manusia yang menciptakan nilai lebih.[9]
Ringkasnya, tanpa keringat kaum proletariat yang terperas, kaum
borjuis tidak akan memiliki kapital.
Karena pentingnya posisi produksi ekonomi dalam sejarah
masyarakat, maka pengertian materialisme historis dalam
pemikiran 谂lsafat sejarah Marxisme, tidak dapat dipisahkan dari
konteks relasi produksi dan kekuatan produktif, yang kemudian
menjadi muara dari segala proses reproduksi ekonomi dan
reproduksi sosial. Dialektika materialisme, dalam pandangan
Marxisme, adalah terjadinya kontradiksi secara revolusioner
antara
relasi
produksi
dan
kekuatan
produktif.
Watak
revolusioner ini diperlukan agar masyarakat bergerak ke fase di
mana segala kontradiksi kelas dapat melebur, melenyap, dan
menjadi fase komunisme (common, universal), suatu kondisi
masyarakat tanpa kelas, tanpa kontradiksi.[10] Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa hakikat sejarah, dalam pandangan
Marxisme, adalah dialektika. Isinya adalah kontradiksi antarkelas,
yakni antara masyarakat kelas borjuis dan kelas proletariat, yang
apabila disintesiskan akan melahirkan masyarakat komunisme,
masyarakat tanpa kelas dan tanpa kontradiksi.
Peristiwa 1965
Peristiwa G30S 1965, dalam tesis Harsa, dipandang sebagai
puncak adanya pertentangan kelas antara kaum borjuis yang
diwakili oleh borjuis militer dan kaum proletariat yang diwakili
oleh Partai Komunis Indonesia. Pandangan ini mengandaikan
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
5/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
bahwa sebelum meletusnya Peristiwa 1965, sesungguhnya
sudah muncul kelas-kelas sosial yang bertarung, baik melalui
wacana, agitasi politik, maupun kekerasan 谂sik. Sementara
sintesis dari puncak kontradiksi antarkelas tersebut, menurut
Harsa, ditandai dengan munculnya Soeharto dan perangkat
kelasnya yakni Orde Baru.[11]
Apabila
hendak
konsisten
dengan
analisis
kelas
dalam
pandangan Marxisme, maka perlu diketahui bahwa kontradiksi
kelas terjadi dalam konteks perebutan sumberdaya produksi
ekonomi. Harsa menunjukkan hal ini dengan cukup baik di
dalam bukunya. Bahwa sebelum 1965, tepatnya pada 13
Desember 1957, terjadi nasionalisasi aset perusahaan yang
sebelumnya dikuasai Belanda. Pengelolaan aset sektor industri
Indonesia, berdasarkan Hukum Darurat Militer 1957, dikuasai
sepenuhnya oleh pihak militer. Kepemilikan atas alat-alat
produksi oleh militer inilah yang kemudian oleh Harsa dianggap
sebagai awal terjadinya “borjuisasi” di tubuh militer, sehingga
melahirkan kontradiksi kelas baik di dalam internal militer
sendiri maupun dalam relasinya dengan kelas ekonomi di
bawahnya, yakni para buruh dan petani, yang secara ekonomipolitik direpresentasikan oleh PKI.[12]
Biarpun, secara institutif, produk sintesa tersebut berbeda dari
kedua tesa dan antitesa sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa
corak representasi dari sintesa, yakni Soeharto dan rezimnya,
sesungguhnya lebih condong dan mewakili kelas borjuis militer.
Artinya, bayangan gerak sejarah Marxisme bahwa hasil sintesa
adalah masyarakat tanpa kelas, dalam kasus Peristiwa 1965,
belum benar-benar nampak. Justru, 1965 adalah puncak dari
segala eksploitasi ekonomi-politik oleh kaum borjuis atas kaum
proletariat. Sebab, nyatanya, setelah 1965, yang berkuasa adalah
kaum borjouis militer, yang secara ekonomi, tetap menghamba
—bahkan
dalam
tingkat
yang
lebih
matang—terhadap
kapitalisme.
Pendapat ini sedikit berbeda dari hipotesa Harsa, yang
menganggap bahwa Soeharto dan Orde Baru (SOB) adalah
produk sintesa dari kontradiksi kelas proletariat (PKI) dan borjuis
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
6/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
militer. Kenyataanya, SOB justru mewakili dari salah satu kelas
kontradiksi, yakni kelas borjuis pada tingkat yang lebih matang.
Selama hampir 32 tahun, SOB dalam bidang ekonomi menggelar
karpet merah kepada kapitalisme. Bahkan melalui kekuatan
kapitalisme juga, SOB melakukan pengerdilan secara sistematis
terhadap esensi demokrasi.[13] Ringkasnya, pada masa SOB,
kelas yang berkuasa adalah kelas borjuis dan kelas proletariat
masih tetap tertindas dan bahkan dilakukan secara transparan,
biar pun secara politik tidak lagi direpresentasikan oleh PKI.
Pada era Reformasi, kontradiksi kelas belum dapat dikatakan
lenyap. Liberalisasi ekonomi semakin matang beriringinan
dengan
liberalisasi
politik.
Melalui
corak
ekonomi-politik
semacam ini, cengkeraman kapitalisme pada saat ini jauh lebih
dahsyat daripada kapitalisme model SOB. Jika pada masa Orde
Lama kapitalisme disebut Harsa belum matang karena negara
masih memberi ruang yang cukup terhadap kelas proletariat,
kemudian pada masa SOB kelas borjuis, terutama penganut
kapitalisme
monopoli,
semakin
sempurna
karena
kelas
proletariat dihabisi secara ekonomi dan politik[14], maka pada
masa Reformasi, borjuisasi berbasis kapitalisme justru semakin
kokoh, karena didukung oleh liberalisme politik dan ekonomi
yang cukup sistematis, terstruktur, dan masif. Monopoli ekonomi
dan politik mulai mencair, tak lagi dikuasai oleh lingkaran
kekuasaan, namun justru dikuasai oleh siapa saja yang memiliki
modal besar, baik yang berada di pusat kekuasaan nasional
maupun daerah-daerah.
Pada Era Reformasi, siapapun bisa menjadi kapitalis baru.
Mereka yang dahulu di zaman SOB dikenal sebagai kaum
proletariat, dengan sistem liberalisasi ekonomi-politik di era
Reformasi, dapat saja berpindah kelas menjadi kaum borjuis
baru, melakukan eksploitasi yang sama dengan kaum yang
dahulu dikritiknya. Proses perpindahan dan benturan antarkelas
semakin lentur. Ia tak lagi mudah disederhanakan pada
kategorisasi institusional. Bahkan, dugaan penulis, boleh jadi
mereka yang mendaku dirinya mewakili kaum proletariat secara
esensial bukanlah kaum proletariat; boleh jadi mereka adalah
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
7/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
kaum borjuis baru yang menggunakan isu-isu ala proletariat
untuk mengokohkan proses borjuisasi yang tengah dinikmatinya.
Jadi, hal yang perlu kita sadari adalah, bahwa pada saat ini, wajah
kontradiksi antarkelas dalam masyarakat Indonesia belum
sepenuhnya
punah.
Logika
kontradiksi
antarkelas,
bagaimanapun, masih eksis dan secara bergantian diwakili oleh
berbagai institusi yang berbeda. Sejarah masyarakat bergerak
tak lagi ditentukan oleh kehendak tokoh tertentu seperti dalam
Orba atau SOB, tetapi secara terbuka dimungkinkan untuk
digerakkan oleh agen kolektif. Sehingga yang perlu dikritik dalam
masyarakat kita hari ini, pada akhirnya, bukan lagi tokoh
tertentu, melainkan—sebagaimana disarankan Marx—watak
ekonomi-politik yang bekerja dalam kehidupan masyarakat kita.
Perlu Sejarah Alternatif
Apabila
logika
kontradiksi
kelas
itu
pada
kenyataannya,
setidaknya belajar dari Peristiwa 1965, tidak melahirkan apa yang
disebut
kaum
Marxisme
sebagai
komunisme,
maka
pertanyaannya adalah: mungkinkah komunisme itu mungkin?
Berbagai sejarah perjuangan kelas berbasis cita-cita baik
masyarakat komunisme maupun kapitalisme umumnya selalu
problematik dari sisi kemanusiaan. Sejarah Peristiwa 1965
menunjukkan
anatomi
pergerakan
sejarah
yang
tak
lagi
menghargai darah manusia sebagai sesuatu yang berharga.
Berdasarkan kelemahan yang cukup esensial tersebut, kiranya
perlu mulai dipikirkan “sejarah alternatif” Indonesia yang, dalam
pandangan penulis, dapat ditempuh tanpa mengabaikan sisi
humanisme pergerakan, meskipun, harus diakui, cukup sulit
menanggalkan
logika
analisis
kelas
dalam
memahami
masyarakat kapitalistis sebagaimana yang terjadi di Indonesia
saat ini.
Penulisan “sejarah alternatif” dapat dimulai dari, belajar dari
Bourdieu misalnya, tidak menganggap bahwa esensi dari segala
realitas sosial semata-mata bersifat material. Melalui konsep
kapital yang ia perkenalkan, Bourdieu berusaha mengubah
pengertian kapital dalam pandangan Marxisme yang hanya
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
8/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
dipahami bersifat material ke dalam pengertian yang imaterial.
[15] Strategi ini, penulis kira, dapat cukup efektif untuk
menggerogoti sistem kapitalisme yang secara esensial hanya
mendasarkan dirinya pada segala sesuatu yang bersifat material.
Sehingga perlawanan terhadap kapitalisme ditempuh tidak lagi
dengan cara revolusioner, melainkan evolusioner.
Tentu terdapat setumpuk gagasan alternatif lainnya yang bisa
diringkus untuk mengatasi problem gerak sejarah dalam logika
marxisme dan kapitalisme. Namun, pada konteks sejarah
Peristiwa 1965, gagasan penulisan sejarah berbasis analisis
kelas, sebagaimana mulai dirintis oleh Harsa dalam buku ini,
sudah sewajarnya untuk diteruskan dengan penerbitan bukubuku lanjutan. Besarnya kontradiksi penulisan sejarah, baik oleh
versi pemerintah, ilmuwan, maupun pelaku, masih menyisakan
ruang
bagi
penyelidikan
para
penulis
sejarah
hari
Peristiwa
ini
untuk
1965,
mengupayakan
sampai
betul-betul
melahirkan suatu karya yang utuh, otentik, dan membuka
wawasan pembacanya.[]
[1] Minimnya kajian analisis kelas di Indonesia dipaparkan secara
menarik oleh Hilmar Farid, 2005, “The Class Question in
Indonesian Social Sciences”, dalam Vedi R. Hadiz & Daniel
Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia, Jakarta &
Singapore: Equinox Publishing.
[2] Sekurang-kurangnya terdapat enam versi penulisan peristiwa
1965 dalam perspektif sejarah yang, menurut Harsa, belum
melibatkan analisis kelas di dalamnya, yakni versi Orde Baru dan
TNI, versi Ben Anderson dan Ruth McVey, versi Harold Crouch,
versi Wertheim, versi John Rossa, dan versi Rex Mortimer. Lihat
Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 21-46.
[3] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 9http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
9/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
11.
[4] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 1213.
[5] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 13.
[6] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 6-7.
[7] Lihat Richard Wolﱂ, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam
http://rdwolﱂ.com/content/alternatives-capitalism.
[8] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 17.
[9] Hilmar Farid, 2005, “The Class Question…”, hlm. 182.
[10] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 18.
[11] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 64.
[12] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 53.
Tidak bisa diabaikan para pengikut Partai Nasional Indonesia,
Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama, yang oleh Soekarno
dirangkum sebagai NASAKOM. Penulis kira sebagian besar
mereka bisa disebut sebagai kelas proletariat sebab rata-rata
pekerjaan mereka adalah petani dan buruh pabrik; tidak
memiliki modal dan alat produksi seperti kelas borjuis.
[13] Lihat Richard Wolﱂ, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam
http://rdwolﱂ.com/content/alternatives-capitalism.
[14] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 70,
80
[15] Lihat M. Najib Yuliantoro, 2016, Ilmu dan Kapital: Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 10
83
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
10/13
4/14/2016
Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif LSF COGITO
← LGBT, Paranoid, dan Otak Mesum Kelas Menengah
Humor dan Keseharian →
M. Najib Yuliantoro
Peneliti di Jurusan Filsafat dan Etika, Vrije Universiteit
Brussel, Belgia. Menulis buku "Ilmu dan Kapital:
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu" (Kanisius,
2016).
One thought on “Peristiwa 1965,
Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif”
Pingback: Peristiwa 1965, Kontradiksi Kelas, dan Sejarah Alternatif |
M. Najib Yuliantoro
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required 谂elds are marked
*
Comment
http://lsfcogito.org/peristiwa1965kontradiksikelasdansejarahalternatif/
11/13