Budi daya dan rasa nugget

Budi, Daya dan Rasa
Manusia, manusia, manusia. Secara epistimologi manusia didefinisikan ke dalam berbagai
sudut pandang. Saya tidak akan menyebutkan satu persatunya, saya hanya akan
menyebutkan salah satunya yang saya pinjam dari epistimologinya orang Jawa tentang
manusia; yaitu terdiri dari tiga suku kata; "Menus-menus kakean dosa" yang kurang lebih
berarti “elok dipandang, kelihatan sempurna dan indah tetapi tidak akan pernah lepas dari
yang namanya dosa”. Benar atau salah epistimologi tersebut bukan hal yang perlu kita
ketahui jawabannya sekarang dan tidak perlu kita perbincangkan panjang lebar, yang jelas
Alloh Swt. sang Pencipta memberi tiga paket lengkap kepada makhluq-Nya yang bernama
manusia yaitu budi, daya dan rasa.
Budi bisa diterjemahkan sebagai pergolakan akal manusia untuk mencapai apa yang dia
inginkan; keinginan ragawi, keinginan rohani bahkan sampai keinginan hewani sekalipun
ditentukan oleh yang namanya budi. Sedangkan daya bisa dideskripsikan secara singkat
sebagai usaha aktif yang melibatkan olah badaniyah berbentuk tenaga yang keluar lewat
gerak tubuh manusia berupa pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang
dicita-citakan oleh budi. Berbeda dengan budi dan daya, rasa lebih melibatkan hal-hal yang
tidak tampak secara inderawi tetapi mempunyai peranan yang luar biasa pentingnya dalam
menentukan arah terlaksananya budi dan daya. Bahkan secara medis sering terungkap
bahwa rasa-lah yang menyebabkan seonggok tubuh manusia menjadi sehat atau sakit
hingga mencapai 75 %. Sungguh sebuah paket yang luar biasa lengkap, sungguh sempurna
seperti titah-Nya dalam surat At-Tiin ayat 4, “Sesungguhnya kami Telah menciptakan

manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Ketiga paket yang telah diintegrasikan kepada manusia tersebut akan hilang
kesempurnaannya jika ketiganya tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Tidak sempurna
jika digunakan tidak sesuai dengan aturan baku yang juga telah ditetapkan oleh penciptaNya. Tidak sempurna jika hanya digunakan secara parsial meninggalkan penerapan holistik
yang diinginkan sebagian manusia yang sadar betul bahwa untuk mencapai kesempurnaan
menghamba kepada Alloh Swt. maka secara mutlak ketiga anugerah tersebut harus bersatu
padu seiring sejalan. Bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan, sebaliknya bukan hal yang
berat untuk diupayakan mati-matian jika manusia tidak ingin seperti surat At-Tiin ayat 5,
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”.
Manusia akan kembali menjadi rendah jika dalam tindakannya hanya menggunakan budi
dan daya, meninggalkan rasa. Ketika perilaku manusia seperti itu maka sesungguhnya
perbuatan baik yang dilakukannya menjadi bukan kebaikan yang hakiki. Sebaliknya ketika
budi, daya dan rasa berjalan sinergi bahkan perbuatan burukpun akan mendatangkan
kebaikan hakiki. Bukan berarti manusia harus berbuat buruk untuk mendapatkan kebaikan
hakiki, yang berbuat baik saja belum mendatangkan kebaikan ketika rasa yang timbul dalam
dirinya justru rasa sombong, menghina bahkan merendahkan orang lain. Parahnya lagi
timbulnya perasaan bahwa perbuatan baiknya atas prestasi diri sendiri, olah maksimal budi

dan daya diri manusia itu sendiri, sebagai ujungnya semua diukur atas dasar logika.
Hubungan keluarga, hubungan pertemanan dan bahkan hubungan manusia dengan

Tuhannya-pun terukur secara logis dan meninggalkan rasa.
Sebaliknya perbuatan “buruk” yang mendatangkan kebaikan yang hakiki akan terjadi jika
manusia mampu memaksa dirinya sendiri untuk mengompakkan ketiga potensinya diiringi
rasa bahwa dirinya belum bisa berbuat baik yang baik menurut Tuhannya tanpa
meninggalkan usaha budi dan dayanya untuk menjadi baik. Dia sadar sesadar-sadarnya
bahwa dia merasa hina dihadapan-Nya atas perbuatan buruknya, dia hormat sehormathormatnya kepada orang yang dia anggap sudah sempurna tindakannya. Sebagai hasilnya
manusia dengan tipologi ini benar-benar menyandarkan dirinya kepada Tuhannya agar dia
selalu mendapat bimbingan dan pertolongan-Nya untuk bisa dan senantiasa berbuat baik
yang sesuai dengan kriteria yang Tuhan ridloi. Memakai istilah Imam Ibnu ‘Athoillah orang
seperti ini masuk kategori orang yang iltija’ ila Alloh, dan manusia seperti inilah manusia
yang berupaya mati-matian untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Dia mengetahui
bahwa dirinya banyak berbuat dosa tetapi sadar akan dosanya dan selalu mau
memperbaikinya.
Akhirnya bukanlah berlebihan dan sangat presisi jika Imam Ibnu ‘Athoillah mengajarkan
kepada kita semua bahwa perbuatan “maksiat” tetapi memunculkan rasa hina dan rasa
sangat butuh kepada Alloh Swt. akan jauh lebih baik ketimbang perbuatan baik tetapi
bersanding bercengkrama dengan perasaan terhormat, sombong, menghina dan
merendahkan orang lain. Mengembalikan rasa kepada fungsi dasarnya yaitu merasakan dan
rumongso kepada Alloh adalah mutlak dan wajib dilakukan manusia. Tidak hanya itu saja,
menjadikan rasa sebagai panglima besar dalam memimpin budi dan daya adalah sebuah

keharusan dalam upaya memaksimalkan potensi yang diberikan Alloh kepada manusia
supaya manusia menjadi benar-benar sempurna dalam bentuk ahsani taqwiim. Wallohu
‘alamu bis showab