Perwalian Pemeliharaan Anak dan Status A

MAKALAH PERWALIAN PEMELIHARAAN ANAK DAN
STATUS ANAK
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tarikh Tasyri'
Dosen Pengampu:
Ali Kadarisman, M.HI.

Oleh Kelompok: 10 (Sepuluh)
Romadhon Nugroho

(NIM. 13210109)

Apap Lubis

(NIM. 13210125)

Amalia Dewi Agustin (NIM. 13210127)

KELAS D
JURUSAN AL-AKHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2015

1

PEMBAHASAN
A. Perwalian
1. Pengertian Perwalian
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali,
dan jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman",
"klien", "sanak","pelindung". Umumnya kata tersebut menunjukkan arti
"sahabat Allah" dalam frase walīyullah.
Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian
perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf
(h) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian
adalah “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua,
orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”1
Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus

diperhatikan, yaitu : kewenangan, bertindak sebagai wakil, kepentingan
anak, tidak mempunyai orang tua, orang tua tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan kewenagan dalam definisi
tersebut adalah kewenagan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan

perwalian

berdasarkan

penetapan

pengadilan

yang

mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam definisi tersebut
ada kata bertindak sebagai wakil, artinya wali tersebut merupakan
sebagai pengganti dari orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya
dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan anak. Lalu dalam

definisi terdapat kata “Tidak mempunyai orang tua atau tidak cakap
melakukan perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya meninggal
dunia atau hilang dan boleh jadi pergi tanpa kabar apapun kepada
anaknya, sehingga dapat menelantarkan anak. Yang dimaksud dengan
tidak cakap hukum adalah orang tidak berhak dalam melakukan
1 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal 205

2

perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap hukum antara lain : orang
gila, anak-anak dan orang dibawah pengampuan.
Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni sebagai
berikut:
a.
b.
c.

Perwalian jiwa (diri pribadi)
Perwalian harta
Perwalian jiwa dan harta


Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak
dalam hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini
artinya si wali berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta
orang di bawah perwaliannya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh
Hasyim2 yaitu perwalian terhadap anak menurut hukum Islam meliputi
perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap
harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam
bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh,
memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.
Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan
kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi
tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta
bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara
baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian,
mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta
menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa
perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri
sendiri.
2. Landasan Hukum Perwalian

Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan hukum
perwalian telah diatur dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan telah diatur dalam pasal 50 ayat (1-2) dinyatakan bahwa:
2 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.

3

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya.
Kemudian dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB XV
mengenai perwalian Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa:
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan
atau belum pernah melangsungkan perkawinan
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas

perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut,
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik,
atau badan hukum.
Sedangkan Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai
perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai
pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan
terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta
mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan
jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan
menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.3
Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim
yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana
dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan
perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam
pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak-anak yatim tersebut belum
3 QS.An-Nisa; ayat 2


4

cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan
dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada
ayat berikutnya.Allah berfirman:
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.
Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya)
sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu)
mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu
menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta
itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan
cukuplah Allah sebagai pengawas”.4
Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik
dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga
penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang

yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta
tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya orangorang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka
itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala (neraka)”.5
Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan
mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian. Nabi saw
bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan,
para sahabat bertanya, “Apa sajakah dosa-dosa itu ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Mempersekutukan Allah, Sihir, Membunuh Jiwa
yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan

4 QS. An-Nisa; Ayat 6
5 QS. An-Nisa; Ayat 10

5

riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh
berzina wanita mukmin yang memelihara kehormatannya”.6
3. Wewenang dan Larangan Bagi Wali
Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab

yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang
diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang
dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110-112
KHI7, yaitu:
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban
memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta
orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan
tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya
yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51
ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali
tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap
satu tahun satu kali.

Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21
tahun atau telah menikah.

6 HR Abu Hurairah, dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim Jilid III, 2008.
7 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal 209

6

(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama
berwenang mengadili perselisihanantara wali dan orang yang berada di
bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
Sementara dalam Pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
menyatakan bahwa:
(1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan

harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan
anak itu
(2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru
bahan-perubahan harta benda anak tersebut
(3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan
kelalaiannya
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di
bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
atau kelalaiannya.
Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di dalam Pasal. 52 UU
No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki
anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat

7

terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan
atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim.
4. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah
Susunan

wali

menurut

Kompilasi

Hukum

Islam

(KHI)

sebagaimana dalam Pasal 21 KHI terdapat empat kelompok wali, yaitu:
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara lakilaki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Pemindahan hak wali dari wali yang paling dekat kekerabatannya
dengan calon mempelai perempuan kepada wali berikutnya, menurut
ketentuan Pasal 22 KHI adalah karena wali yang paling dekat itu tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah, yaitu tidak memilki kebebasan
untuk bertindak, tidak berakal sehat, belum baligh dan bukan seorang
muslim, atau wali nikah yang paling dekat itu menderita tuna wicara,
tuna rungu dan atau sudah udzur.
Ketentuan Pasal 23 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib atau enggan (adhal). Ketentuan ini menunjukan
bahwa wali hakim belum dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila
seluruh kelompok wali masih ada dan diketahui tempat tinggalnya,
kecuali dalam hal adlalnya wali.
B. Pemeliharaan Anak Dan Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi
Perceraian
1. Pemeliharaan Anak

8

Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan
primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu
pendidikan, biaya hidup, ketentraman, kesehatan, dan segala aspek yang
berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam agama Islam diungkapkan
bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala
rumah tangga, dan tidak menutup kemungkinan tanggung jawab itu
berarih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu
melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan
kerja sama dan saling membantu antara suami dan istri dalam
memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya
adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. KHI
menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 98 KHI
(1)

Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsung perkawinan.
(2)
Orantuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
(3)
Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya meninggal.
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua
orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik,
membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka dihari
dewasanya. Secara khusus al-Qur’an mengajari kepada ibu untuk
menyusui anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun). Namun, alQur’an

juga

mengisyaratkan

kepada

ayah

atau

ibu

suapaya

melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan al-Qur’an
sama sekali tidak menginginkan ayah dan ibunya menderita karena
anaknya. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab
terhadap anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada

9

keluarganya, hal ini sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat
233.
Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat
pendidikan, baik menulis maupan membaca, pendidikan keterampilan,
dan mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
SAW. Sebagai berikut:
(‫حق الولد علي والد ان يعلمه الكتابة وتاسباحة والرماية وان ليرزقه ال طيبا )رواه البيحقي‬
Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah menulis, berenang,
memanah, dan mendapat rezeki yang halal. (Riwayat Baihaki)
Berdasarkan hadits tersebut, pasal 45, 46, dan 47 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkwinan memuat garis hukum sebagai
berikut.
Pasal 45
(1)

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-

anak mereka sebaik-baiknya
(2)
Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46
(1)

Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak

mereka yang baik.
(2)
Jika anak lebih dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas,
bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1)

Anak yang belum mencaoai umur 18 (delapan belas) atau

belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
(2)
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan
hukum didalam dan diluar pengadilan

10

Selain kewajiban kewajiban di atas, kewajiban lain yang menjadi
tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI
mengungkapkan garis hukum sebagai berikut.
Pasal 106 KHI
(1)

Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan

harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan
tidak diperbolehkan memindahkan atau mengadaikan kecuali
karena keperluan yang mendesak

jika kepentingan dan

kemaslahatan sang anak itu menghendaki atau kenyataan yang
tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)
Orang tua bertanggung jawab atas

kerugian yang

ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut
pada ayat (1)
Selain KHI tersebut, pasal 48 Undang-Undang perkawinan
menegaskan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kalau

seorang

bayi

disusukan

oleh

orang

yang

bukan

melahirkannya, maka perempuan yang menyuusui bai tersebut
ditanggung oleh ayah dari bayi yang disusuinya itu. Hal ini diatur oleh
Pasal 104 KHI sebagai berikut.
Pasal 104 KHI
(1)

Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan

kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka
biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya
(2)
Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan
dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan
persetujuan ayah ibunya.

11

Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak dan batasbatasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah selaku
kepala rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anaknya.
2. Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan
anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun ataupun sudah dalam
keadaan bercerai.
Pemeliharaan anak bisa disebut hadanah dalam kajian fiqh.
Hadanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup
mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan
baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari
sesuatu yang dapat merusaknya. Hal ini dirumuskan garis hukumnya
dalam pasal 41 Undang-Undang perkawunan sebagai berikut.
Pasal 41 UUP
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
a.

Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberikan keputusannya
b.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana
bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Garis hukum yang terkandung dalam pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab
pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab
pengasuhan anak yang mengandung nilai nonmateriil atau yang
mengandung

nilai

kasih

sayang.

Undang-Undang

perkawinan

12

penekanannya berpokuskan kepada nilai materiilnya, sedangkan pasal
105 Kompilasi Hukum Islam yang penekanannya meliputi kedua aspek
tersebut, yakni sebagai berikut.
Pasal 105 KHI
Dalam hal ini terjadi perceraian
a.

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaanya.
c.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang
ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah cerai dengan
istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami ketika anak itu
masih kecil (belum baligh) maka pemeliharaannya merupakan hak ibu,
namun biaya ditanggung oleh ayahnya. Selain itu, anak yang belum
mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuh anaknya.
Apabila anak sudah mumayyiz maka anak dapat memilih apakah ia
memilih ayahnya atau ibunya untuk memeliharanya. Lain halnya bila
orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung jawab, baik dalam
merawat dan mengembangkan harta anaknya. Orang tua tersebut dapat
ducabut atau dialihkan kekuasannya bila ada alasan-alasan yang
menuntut pengadilan tersebut. Hal ini berdasarkan pada pasal 49
Undang-Undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 49 UUP
(1)

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut

kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang sudah dewasa atau
pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
b. Ia berkelakuan buruk sekali

13

(2)

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih

tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada
anak tersebut.
Kalau perceraian dilakukan olleh pegawai negeri, orang tua terikat
dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini ditur oleh
pemerintah

melalui

surat

Edaran

Kepala

Badan

Adminidtrasi

Kepegawaian Negara (BAKN) Nonor 08/SE/1983 pada poin 19 yang
menyatakan.
Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria,
maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas
istri dan anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut.
a.

Apabila anak mengikuti bekas itri, maka pembagian gaji

ditetapkan sebagai berikut.
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada
bekas istrinya
b.
Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji
dibagi dua, yaitu setengah untuk pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan dan setengah untuk istrinya
c.
Apabila anak mengikuti pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut.
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada
d.

pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang

bersangkutan dan dan sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka 1/3
(sepertiga) gaji yang menjadi hak anak itu dibagi menurut jumlah
anak. Umpamanya seorang pegawai negeri sipil bercerai dengan
istrinya, pada waktu perceraian terjadi mereka mempunyai 3 (tiga)
orang anak, yang seorang mengikuti pegawai negeri sipil yang

14

bersangkutan dan yang 2 (dua) orang mengikuti bekas istri. Dalam
hal ini demikian, maka gaji yang menjadi hak anak itu dibagi
sebagai berikut
(1) 1/3 (sepertiga)

dari

1/3

(sepertiga)

gaji

=

1/9

(sepersembilan) gaji diterimakan kepada pegawai nengeri sipil
yang bersangkutan
(2) 2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 2/9 (dua
persembilan) gaji diterimakan kepada bekas istrinya
Ketentuan diatas tidak berlaku apabila perceraian terjadi atas
kehendak istri yang bersangkutan, kecuali istri meminta cerai karena
dimadu maka sesudah perceraian terjadi bekas istri tersebut berhak atas
bagian gaji tersebut. Selain itu, apabila bekas itri yang bersangkutan
kawin lagi, pebayaran bagian gaji dihentikan terhitung mulai bulan
berikutnya bekas istri yang dimaksud kawin lagi. Demikian juga bekas
istri yang bersangkutan kawin lagi, sedangkan semua anak ikut kepada
kepada bekas istri tersebut, maka 1/3 gaji tetap menjadi hak anak yang
diterimakan kepada bekas istri yang bersangkutan. Lain halnya, pada
waktu perceraian sebagian nak mengikuti pegawai negeri sipil dan
sebagian lagi mengikuti bekas istri dan bekas istri kawin lagi dan anak
tetap mengikutinya, maka bagian gaji yang hak anak itu tetap
diterimakan kepada bekas istri yang dimaksud.
Aturan diatas diberlakukan kepada pegawai negeri sipil, muatan
ketentuannya dapat juga diberlakukan kepada suami istri yang bercerai
bila mereka mempunyai anak. Karena masa depan anak adalah tanggung
jawab dari kedua orang ruanya.
C. Asal Usul Anak
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqh
Sunni. Para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya
mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Berbeda
dengan pemahaman ulama syi’ah bahwa anak zina tidak mempunyai

15

hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina
tidak bisa mewarisi keduanya8
Di dalam Fikh Islam, tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas
berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak
yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut
sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya.
Secara Implisit Al-Qur’an, Surat Al-Mu’minun ayat 5-6 menyatakan :
“ Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela”. Selanjutnya didalam surat al-isyra’ayat 32 juga
dijelaskan: “Jangan kamu dekati zina,sesungguhnya zina adalah perbuatan
yang keji dan seburuk- buruk jalan”.
Larangan-Larangan Al-Qur’an di atas, tidak saja dimaksudkan saja
agar setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih
penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu.
Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran laranganlarangan Allah tersebut.9 Selanjutnya, fiqh Islam tidak memberikan defini
yang tegas tentang anak yang sah, namun para ulama ada mendefinisikan
anak zina sebagai kontra anak yang sah.” Anak zina adalah anak yang
dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak li’an adalah anak
anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami
isrti saling meli’an dengan sifat tuduhan yang jelas”. Definisi di atas
membicarakan anak zina dan anak li’an. Jika ada seorang laki-laki menikah
dengan seorang perempuan. Dan perkawinan tersebut dengan perkawinan
yang sah. Lalu si istri mengandung anak. Suami dapat mengingkari bahwa
anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh istrinya bukanlah anak yang
sah nya itu apabila istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan
8 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal177
9 Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di
Indonesia,Kencana,2006:Jakarta,hal.277

16

maksudnya, istri melahirkan anak yang masa kehamilannya kurang dari
minimal usia kandungan kalau dihitung dari awal pernikahan dan atau
apabila jika si istri melahirkan anak setelah lewat batas batas maksimal masa
kehamilan dari perceraian.10
Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari
saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan itu diambil dari firman Allah
dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15 yanga artinya “mengandung dan
menyapihnya adalah tiga puluh bulan (dua setengah tahun)”. Berarti bahwa
menyusui lalu mnyapihnya itu selama 2 tahun atau 24 bulan. 30 bulan- 24
bulan = 6 bulan. Maka 6 bulan itu adalah masa minimal bayi dalam
kandungan. Penduduk yang mayoritas merndiami negara Republik
Indonesia beragama islam yang bermadzhab Imam Syafi’i, sehingga pasal
42,43,44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal – usul anak
berdasarkan hukum Islam Madzhab Syafi’i. Sebagai mana bunyi dari Pasal
42 menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah “.
Memperhatikan pasal tersebut, didalamnya memberi toleransi hukum
kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara
perkawinan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimum usia
kandungan. Jadi, selama bayi yang dikandung itu lahir pada saat ibunya
dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak itu adalah anak yang sah.
Undang undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam
pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya.
Adapun Pasal 43 yang berbunyi:
1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 44:

10 Ibid,hal.278

17

1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya atas
permintaan pihak yang bersangkutan.
Kalau memperhatikan pasal-pasal di atas, dapat dipahami bahwa anak
yang lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang
sah. Namun tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung dari
akibat perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai
wanita itu hamil. Anak yang lahir sesudah dilangsungkannya akad nikah
maka status anak itu adalah anak yang sah. Demikian pula status anak
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.11
Pasal 99 KHI
Anak yang sah adalah :
1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut.
Pada pasal 99 KHI ini mengandung pembaharuan mana kala ada
kemungkinan bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar
rahim, melalui tabung yang disiapakn untuk itu kemudian dimasukkan
lagi kedalam rahim istri, dan dilahirkan pula oleh rahim istri tersebut .
jadi tetap dibatasi antara suami dan istri yang terikat oleh perkawinan
yang sah.
Pasal 100 KHI
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 KHI
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkannya dengan li’an.
Pasal 102 KHI
11 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Sinar Grafinda,2014:Jakarta,hal.63

18

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari
isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam
jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah
putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia
mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu terebut tidak
dapat diterima
Dalam pasal 101 dan 102 diatas membahas tentang li’an suami kepada
istri, atau bisa disebut juga bahwa istri telah berzina, dan menyangkal bahwa
anak yang dikandung oleh istri bukan lah anak sah nya. Akan tetapi, anak
tersebut adalah hasil zina istri dengan laki-laki lain. Dan tidak dijelaskan
batas umur bayi dalam kandungan si istri dalam hal suami menyangkal sah
tidaknya anak tersebut. Cuma dijelaskan bahwa, jika suami ingin
menyangkal anak tersebut batas waktu untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama adalah 180 hari sesdudah lahirnya atau 360 hari. Itu tidak
menunjukan batasan usia kandungan si istri tetapi batas suami bisa
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Mengenai masalah anak li’an terkadung di dalam Al-Qur’an Surat AnNur ayat 6 dan 7. Demikian juga jika si Istri menolak tuduhan dari
suaminyadijelaskan oleh Allah tata cara penolakan tuduhan didalam Surat
An-Nur ayat 8 dan 9. Hal inilah yang dijadikan dasar Pasal 125, 126, 127,
128 KHI.
Pasal 125 KHI
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri selama
untuk selama-lamanya.
Pasal 126 KHI
Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari
istrinya. Sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.

19

Pasal 127 KHI
Tata Cara Li’an diatur sebagai berikut:
1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
”laknat atas dirinya atas tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
2) Istri menolak tuduhanj dan atau pengingkaran tersebut dengan
sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut tidak benar”. diikuti dengan sumpak kelima dengan kata-kata
murka Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut
benar”.
3) Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu-kesatuan
yang tak terputuskan.
4) Apabila tata cara yang a tidak diikuti dengan tata cara huruf b,
maka diangkap tidak terjadi li’an.
Pasal 128 KHI
Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan
Agama.
Menurut pasal 128 tersebut menjelakan bahwa Li’an harus di hadapan
pengadilan

ini

untuk

mewujudkan

adanya

kemaslahatan.dan

Kemaslahatannya itu sangat besar baik yang bersangkutan maupun bagi
kepentingan pembinaan kesadaran hukum masyarakat maka upaya tersebut
ditempuh. Mengapa KHI memiliki tata cara tersebut ? karena secara teknis
hukum islam tidak menjelaskan secara konkret bahwa tata cara li’an harus di
depan Pengadilan Agama.
Adapun status anak Li’an adalah sama dengan anak zina yaitu
dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya demikian kesepakatan para
ulama’.Dan ini merujuk kepada suatu hadits yakni:12
‫عن ابن عمر رضي الله عنه اين رجل ل عن امراته في زمن الينبيي صلمم والحق الولد‬
(‫بالمرأة )روه البخاري وابو داود‬
“Riwayat dari Ibn Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli’an
istrinya pada zaman Nabi SAW. Dan beliau menafikan anak istrinya
12 Ahmad Rofiq,op.cit,hal.186

20

tersebut.

Maka

Nabi

SAW.

Menceraikan

antara

keduanya

dan

mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya”. (Riwayat Al-Bukhori dan
Abu Dawud)
Adapun pembuktian asal-usul anak diatur didalam Pasal 55 UUP
Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
1) Asal-Usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, Pengadilan
dalam mengeluarkan penetapan asal–usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan

mengeluarkan

akte

kelahiran

bagi

anak

yang

bersangkutan.
Ketentuan hukum tentang perlunya akta kelahiran sebagai bukti
autentik asal usul anak, meski sudah diupayakan sejak lama. Didalam
hukum islam, asal usul anak dibuktikan dengan adanya ikatan perkawinan
yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim usia
janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal, kendati ini bersifat
administratif, asal-usul anak dengan akta kelahiran atau surat kelahiran.
Penentuan perlunya akta kelahiran tersebut didasarkan atas prinsip
maslahah mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain
anak tersebut bisa mengetahui secara persis siapa kedua orang tuanya, dan
juga jika ada permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat
melakukan upaya hukum.
Manfaat lain dari akta kelahiran atau yang sejenis, adalah sebagai
identitas resmi yang akan digunakan, misalnya untuk keperluan sekolah,
pengurusan paspor, dan lain-lain. Jadi secara internal, akta kelahiran
merupakan identitas dan asal usul anak, secara eksternal ia merupakan
identitas dari diri yang bersangkutan.

21

22

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat kita ambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa dalam konteks
hukum dan kajian perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal
1 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian
adalah “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup,
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer
dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya
hidup, ketentraman, kesehatan, dan segala aspek yang berkaitan dengan
kebutuhannya. Dalam agama Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi
berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak menutup
kemungkinan tanggung jawab itu berarih kepada istri untuk membantu suaminya
bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya.
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqh Sunni.
Para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan
nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Berbeda dengan pemahaman ulama syi’ah
bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak
zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa mewarisi keduanya.

23

DAFTAR PUSTAKA
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Al Qur’an dan Hadist
Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download
dari http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010 Diakses pada 20 april
2015
Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo
Persada,2013:Jakarta
Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di
Indonesia,Kencana,2006:Jakarta
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Sinar Grafinda,2014:Jakarta

24