AYODHYA Perang Suci dan Tanah Perjanjian

AYODHYĂ, Perang

Suci dan Tanah Perjanjian*

Abdul ‘Dubbun’ Hakim

Perang Suci
Di dalam pengantarnya, Bakker menegaskan bahwa gagasan mengenai
‘Perang Suci’ dalam tradisi Hindu India modern memiliki basisnya dalam
pandangan keagamaan, terutama konsep mengenai

Ramā sebagai inkarnasi

dewa Visnu, sehingga pertarungan merebut Ayodhā sebagai tempat suci
kelahiran Ramā berlanjut hingga kini, meski pandangan mengenai ‘Perang Suci’
sesuatu yang khas pada tradisi monoteisme semitik agama Abraham. Motif yang
melatari kaum Hindu dalam mengokupasi kembali Ayodhyā paralel dengan
upaya membebaskan Jerusalem di masa Perang Salib. Pada awalnya, tradisi
keagamaan Hindu tidak mempunyai pandangan mengenai ‘Perang Suci, namun
perkembangan modern konflik okupasi atas Ayodhyā menunjukkan tensi dan
konflik antara Hindu dan Muslim semakin menguat diwarnai oleh konsep

‘perang suci’.
Di awal abad

ke-18 dan abad ke-19, kebudayaan dan masyrakat India

dikenal luas dengan keutamaan moral dan menjunjung tinggi perdamaian.
Kenyataan ini digambarkan dengan baik oleh filsuf kebudayaan Jerman di masa
lalu, Johann Gottfried Herder (1744-1803) para

Brahmin adalah ‘kelompok

manusia yang paling santun’, ‘domba-domba yang bahagia’, dinaungi
pandangan mengenai ‘Dewa yang Agung dan lembut’. Dalam sejarah modern
India, frase yang diungkapkan Herder mengenai kelembutan, keagungan, dan
damai itu juga bergema dalam gerakan antikekerasan yang dikumandangkan

*

Makalah ini bertolak dari tulisan Hans Bakker, AYODHYĂ: A HINDU JERUSALEM, An
Investigation of ‘Holy War’ as a Religious Idea in the Light of Communal Unrest in India .

Sumber: Numen, Vol. 38. Fasc. (Jun.,1991.) hal.80-109. Publish by: BRILL.

1

oleh Mahatma Gandhi ketika bersama pengikutnya dalam rangka membebaskan
India dari kolonialisme Inggris.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kontradiksi yang menandai Hindu
India modern ini dapat dijelaskan? Salah satu jawaban sekurang-kurangnya
dapat diajukan dengan menelusuri karakter ambivalen dalam kebudayaan India
terhadap kekerasan. Ambivalensi merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan
dari ketegangan nilai-nilai tradisional, terutama konflik yang melibatkan
kekuatan militer meskipun Hinduisme tidak pernah terlibat secara langsung
dalam konflik dan perang di masa awal. Karena itu, tidak mengejutkan apabila
para ahli tidak melihat India sebagai kajian dalam rangka subjek mengenai
‘perang suci’. Para ahli menganggap bahwa gagasan perang suci khas dalam
tradisi agama monoteis semitik sebagai legitimasi untuk menggunakan
kekerasan demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pandangan mengenai ‘Perang Suci’ dalam tradisi Islam dilekatkan dengan
istilah jihād, secara sempit sering dimaknai perang orang-orang beriman
terhadap kaum murtad atau pandangan St. Agustine mengenai bellum justum

(perang untuk keadilan) dapat juga digunakan sebagai legitimasi atas tindakan
yang menamakan diri ‘perang suci, dalam Kristiantisme. Ajakan untuk
melakukan ‘perang suci’ terhadap mereka yang murtad seringkali merupakan
motivasi untuk memobilisasi kekuatan dan semangat perang para tentara,
menepis bayang-bayang ketakutan dalam perang, dan meneguhkan keberanian.
Himbauan ‘perang suci’ sebenarnya lebih merupakan propaganda perang untuk
meningkatkan semangat dan moral para tentara.
Hylke Tromp, seorang polemologist, alih-alih menegaskan perang suci,
menurutnya, para tentara yang pergi ke medan perang karena tidak memiliki
alternatif kecuali mempertahankan rasa hormat yang diperoleh dari orang lain,
dan harga dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam kasus perang dengan motivasi
keagamaan, perang suci sangat berbeda dengan perang biasa yang digambarkan
oleh Tromp. Definisi yang sempit mengenai perang suci adalah ‘perang atas

2

nama Tuhan yang dilakukan kaum beriman untuk memenuhi kehendak-Nya
dan melaksnakan rencana-Nya’. Di dalam tradisi Judaisme juga dalam tradisi
Kalvin pada propaganda perang Belanda-Spanyol selama 80 tahun, misalnya,
pandangan mengenai ‘umat terpilih’ sangat dominan. Suatu pandangan yang

memprivelese keyakinan kelompok tertentu dalam status yang paling istimewa
di antara kelompok-kelompok lain di muka bumi. Konsekuensinya, mereka yang
melawan ‘kebajikan’ didemonisasi, sebagai kejahatan yang mengancam. Dalam
level tertentu, sikap ini juga diderivasikan dari sejenis teodisi mengenai
perlawanan terhadap eksistensi kejahatan di dunia dan usaha mewujudkan
kebajikan.
Di dalam keyakinan keagamaan seperti di atas, citra-diri sebagai umat
terpilih hanya mungkin bila setiap anggota mengambil peran dalam rangka
mewujudkan summum bonum yang mentransendensikan individualitas, yaitu
rasa utuh dalam komunitas keagamaan. Dalam situasi krisis, anggota komunitas
keagamaan dapat saja menyerahkan hidupnya demi terwujudnya kebajikan.
Kesyahidan (martyrdom) selalu bertumpu pada perasaan keterpautan dengan
komunitas ini.

Hindu dan Perang di India
Bakker menelusuri secara kronologis kemunculan kekerasan kolektif atas
nama agama dalam sejarah Asia-Selatan terutama Hinduisme. Hinduisme awal,
sebelum dominasi kaum Muslim di India Utara (1200-M), mengajarkan bahwa
‘kebenaran absolut’ menaungi semesta dan tujuan akhir bagi setiap makhluk
hidup di dalamnya. Keyakinan ini kemudian bersifat inklusif, pervasif, dan

meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada tempat bagi pandangan yang
eksklusif. Tuhan (baca: Dewa) transenden sekaligus mahahadir di dalamnya.
Dalam pandangan ini tidak ada oposisi antara kebajikan dan kejahatan. Tidak
adanya oposisi antara kebajikan dan kejahatan ini tergambar dengan baik dalam

3

Upanishad 3.1. Sebuah pandangan yang sangat berbeda dengan tradisi
keagamaan semitik.
Di dalam Hinduisme ini, waktu diandaikan tidak berhingga, sebuah siklus
tanpa akhir, serta gagasan mengenai kehendak ilahi yang diwujudkan di akhir
zaman di mana sejarah manusia menuju kerajaan Tuhan pun menjadi tidak
mungkin. Dari sudut pandang ini pula, aktivitas di dunia merupakan sebuah
drama yang dimungkinkan para Dewa, tidak ada tempat bagi kesyahidan
altruistik, termasuk pengorbanan-diri untuk tujuan meraih karunia tertinggi
yang Ilahi. Hinduisme, dengan demikian, lebih berorientasi pada pembebasan
individual tidak sebagaimana tradisi agama semitik yang menyatukan kaum
beriman dalam komunitas tunggal. Kenyataan ini juga didukung oleh fakta
pluralitas dewa yang disembah.
Di hari kini, menurut Bakker, terdapat pergeseran signifikan, di mana

masyarakat Hindu India mendefinisikan diri sebagai satu komunitas, pergeseran
ini menghasilkan aspek monoteistik pada Hinduisme. Pergeseran ini

dapat

dilacak konteks historis-empirisnya dalam sejarah perjumpaan Hinduisme
dengan kaum Muslim di India yang ditandai dengan ketegangan dan konflik
meski pada awalnya tidak secara langsung melahirkan pandangan mengenai
‘perang suci’. Hinduisme merasa terancam dengan kehadiran kaum Muslim di
India Utara. Dominasi kaum Muslim di India Utara ini juga mengancam
keberlangsungan eksistensi dan kelanjutan sistem pendidikan bagi para pendeta
Hindu. Pada 1024-1025-M, penguasa Muslim Mahmud Ghazni menghancurkan
kuil terbesar di Gujarat. Saat itu, Mahmud menaklukkan beberapa benteng dan
kota di India, lalu menghancurkan sebuah patung besar bernama Somnāt,
patung yang terbesar yang pernah ada di India kala itu. Sejak peristiwa ini pula
beberapa abad kemudian kaum Hindu di India membangun pasukan untuk
melindungi kepentingan-kepentingan keagamaan di India.
Di dalam sejarah Hindu India, mengorganisasikan pasukan dalam rangka
perang


untuk

melindungi

ancaman

4

terhadap

kepentingan-kepentingan

keagamaan bukan hanya menghadapi kaum Muslim, tetapi juga kelompokkelompok sesama umat Hindu di India mengingat lemahnya kohesi
antarkelompok dalam masyarakat Hindu India. Pada tahun 1567 M, sejarah
India ditandai oleh perang antara ordo Hindu yang dimotivasi untuk
mengamankan kepentingan salah satu ordo atas klaim lawannya, yaitu perang
antara ordo Kur dan ordo Pûrî.

Segregasi Hindu dan Muslim India
Di India Utara terdapat


kota Ayodhyā. Kota ini dianggap suci oleh

komunitas Hindu India karena di tempat ini Dewa Visnu lahir sebagai putra
raja Daśaratha. Ramā merupakan inkarnasi Visnu. Kisah Ramā sebagai inkarnasi
Visnu terungkap dalam kisah epos Rāmayāna. Figur Rāma berkembang sebagai
arketif mengenai raja yang adil dalam kebudayaan India, pemimpin yang
membawa kebahagiaan, menegakkan keadilan, dan menciptakan kemakmuran
untuk seluruh negeri. Pemerintahan yang ideal ini kemudian disebut dengan
Ramā rajyā, sebuah gambaran mengenai ‘masyarakat ideal’. Di sini, Ramā
merupakan keseluruhan personifikasi yang mewakili raja dan dewa yang ideal
dalam kebudayaan Hindu India.
Hingga akhir pemerintahan Moghul di India di awal abad kesembilan
belas, Ayodhyā merupakan salah satu ibu kota di bawah kekuasaan kaum
Muslim di India Utara. Sebagai akibatnya, kaum Hindu merasa hak-hak mereka
telah dirampas, atau sekurang-kurangnya dibatasi oleh penguasa Muslim atas
kota Ayodhyā. Para peziarah tetap dibiarkan datang ke kota Ayodhyā tetapi
aliran keuntungan dari para peziarah dinikmati penguasa Muslim dengan cara
mengutip pajak. Tidak diperbolehkan mendirikan kuil kecuali di tempat-tempat
tertentu yang diizinkan oleh penguasa, beberapa kuil mengalami kerusakan dan

akhirnya digantikan oleh masjid, tidak terkecuali kuil di mana dalam keyakinan

5

Hindu India tempat suci lahirnya Ramā diambil alih oleh penguasa Muslim
menjadi Masjid Babri pada tahun 1512 M.
Setelah kematian Aurangzeb pada tahun 1707, kontrol penguasa Muslim
atas India Utara melemah sehingga memerlukan dukungan aristokrasi Hindu,
bahkan kontrol atas India Utara sampai ke titik nadirnya ketika Inggris menjajah
ke India. Penguasa Muslim Wajid Ali Shah tidak lebih sebagai boneka Inggris di
India, penguasa Muslim tidak mampu lagi menghadapi desakan kaum Sunni
India untuk mendirikan masjid di situs Hanumangarhi. Desakan untuk
mendirikan masjid di situs suci ini memancing konflik para pendeta Hindu.
Kemarahan kaum Hindu ini diekspresikan dengan membakar masjid dan 70
orang Muslim terbunuh, setelah itu eskalasi konflik meluas ke kaum Muslim di
kota-kota.
Pertarungan mengokupasi Masjid Babri

di Ayodhyā


melahirkan

kelompok fanatik Sunni dan kelompok Hindu yang terlatih, dan berkembangnya
kesadaran sebagai kelompok yang saling berhadap-hadapan antara kelompok
Muslim dan Hindu selama abad ke-19 dan abad ke-20. Dengan kata lain, perasan
berpaut dengan komunitas tumbuh subur dalam masyarakat Hindu India secara
simultan akibat konflik memperebutkan Masjid Babri yang dianggap tempat
kelahiran Ramā. Di sisi lain, perasaan itu didukung oleh kebijakan penjajah
Inggris di India yang mempraktikkan politik

segregasi dengan menegaskan

batas-batas antara kaum Hindu dan kaum Muslim India. Situasi ini membuat
kaum Hindu dari semua kasta merefleksikan apa yang menjadikan mereka
Hindu dan membedakan mereka dengan komunitas Muslim India.

Ayodhyā: Tanah Perjanjian
Dewasa ini, India merupakan negara sekular yang ditandai oleh
disintegrasi masyarakat ke dalam pemilahan identitas terutama berdasarkan
keyakinan keagamaan. Secara umum pemilahan ini dapat dibandingkan dengan

apa yang terjadi di Belanda abad 20. Bersamaan dengan itu, fundamentalisme
6

juga menguat di kalangan masyakat Muslim India. Beragam tuduhan yang
ditujukan terhadap kelompok Muslim oleh kaum Hindu, bahwa organisasiorganisasi Islam di India disokong secara finansial oleh negara-negara Arab yang
kaya

minyak.

Ancaman

juga

datang

dari

Pakistan

dengan

semakin

berkembangnya penduduk Muslim; khususnya kekerasan dengan Sikh di
Punjab dan beberapa kerusuhan di Kashmir. Faktor-faktor geopolitik ini juga
menguatkan kesadaran penganut Hindu untuk merapatkan diri dalam satu
komunitas. Suatu kesadaran kolektif yang akan menghimpun masyarakat Hindu
India dengan ragam fragmentasi di bawah payung mitologi Rāmāyana.
Rāmāyana menjadi ideologi bersama, Rāma diyakini sebagai Dewa yang
menciptakan dan memerintah negara ideal di atas bumi. Meski dunia ideal yang
dibayangkan tersebut berasal dari masa lalu, masyakat Hindu masih meyakini
ideal itu bisa diwujudkan di masa depan. Kerajaan utopia Rāma rājya masih
kuat dalam keyakinan kaum Hindu India yang dapat dibandingkan dengan
ideal eskatalogis civitas dei dalam rangka menaklukkan kembali Jerusalem. Bagi
sebagian masyarakat Hindu dewasa ini, tanah suci seperti Ayodhyā atau Braj
(diasosiasikan dengan inkarnasi dewa Visnu dalam bentuk Krisna) lebih dari
sekedar

ingatan

masa

lalu;

sebuah

hierofani

aktual

mengenai

surga

Visnu/Rāma. Ayodhyā sebagai tempat suci mewakili bentuk nyata (prakata)
akan arketif transenden (aprakata) di surga Vaikuntha sehingga okupasi atas situs
suci ini oleh kaum Muslim India adalah bentuk penistaan atas yang suci atau
yang ilahi itu sendiri. Dalam perspektif ini, usaha untuk mengambil alih tempat
kelahiran Rāma dianggap sebagai tugas suci dari yang Ilahi. Pada titik ini, ideal
historis religius ditranformasikan menjadi program politik.
Ideologi yang bertujuan untuk mengambil alih tempat kelahiran Rāma
dalam bentuknya yang murni dengan mengusir kekuasaan profan telah menjadi
faktor politik yang penting khususnya di India Utara, di mana oposisi antara
Hindu, Muslim dan Sikh semakin menguat. Sebuah perkembangan historis yang
memberi kontribusi pada kohesivitas komunitas Hindu. Menguatnya ideologi

7

religius ini ditandai dengan munculnya kelompok fundamentalis Hindu seperti
Rastriya Svayamsevak Sangh (RSS), kelompok yang mencita-citakan India
sebagai negara nasional Hindu (Hindû Rāstra) sebagaimana Negara Islam
Pakistan dan Khalistan sebagai negara Sikh. Di sisi lain, pada level religius,
ideologi

ini

mengartikulasikan

aspek

monoteistik

Hinduisme,

serta

menubuhkannya dalam bentuk lebih personal pada figur Rāma. Sebagaimana
ideologi perang salib yang menempatkan Jerusalem sebagi tema sentral,
mengambil alih tanah suci kelahiran Rāma, Rāmajanmabhûmi secara perlahan
menjadi sentral dalam perkembangan terbaru ideologi kaum Hindu India.
Di masa lalu, penguasa Inggris menganeksasi Avadh dan mendirikan
pagar di sekitar Masjid Babri untuk mencegah penganut Hindu dan Muslim
memperebutkan tanah suci tersebut. Kebijakan Inggris ini berlanjut hingga
terbentuknya pemerintahan India merdeka yang melarang baik penganut Hindu
maupun Muslim memasuki Masjid Babri. Setelah terpisahnya India dan Pakistan
sekitar tahun 1949, pemuka Hindu telah berhasil mengangkat citra Rāma dan
istrinya Sîtā di Masjid Babri. Kenyataan ini diikuti oleh sejumlah kerusuhan
antara

kaum

Hindu

dan

Muslim,

termasuk

di

dalamnya

upaya

memperjuangkannnya melalui jalur hukum, meski kemudian pengadilan
memutuskan masjid harus ditutup dalam proses hukum. Keadaan ini hanya
bertahan sampai tahun 1984.
Di tahun-tahun setelahnya organisasi fundamentalis Hindu Visva Hindu
Parisad (VHP), organisasi sayap RSS, memulai kampanye untuk membebaskan
tanah kelahiran Rāma, yaitu mengganti Masjid Babri dengan Kuil Hindu.
Gerakan ini menuai hasil di sekitar tahun 1986 melalui seorang pengacara piawai
dari kota Faizabad untuk menutup Masjid Babri atas nama hukum. Gerbang
pagar yang didirikan sejak Inggris menjajah India kemudian dibuka kembali
untuk kaum Hindu, ribuan penganut Hindu mengalir deras ke dalam Masjid
Babri untuk beribadah pada patung Rāma yang masih tetap ada di sana.
Kesuksean VHP mendapatkan simpati luas dari kalangan Hindu India termasuk

8

sejumlah politisi berusaha mempertautkan diri dengan gerakan ini. Sayap kanan
politik Hindu yang tergabung dalam Partai Rakyat India (BJP) berhasil meraih
kekuasaan politik dengan menggunakan gerakan massa yang menghendaki
pengambilalihan Masjid Babri. Di sisi lain, kaum Muslim India melalui sebuah
Komite Nasional berupaya melindungi Masjid Babri, sehingga polarisasi politik
semakin menguat seiring dengan perebutan Masjid Babri oleh komunitas Hindu
dan Muslim.
Kesaksian Bakker pada musim gugur 1989 menunjukkan bahwa
perdebatan mengenai Masjid Babri menjadi tema dominan dalam pemilu India.
Pemilu di akhir November 1989 telah membuat Partai Kongres kalah, khususnya
di India Utara ketika gerakan fundamentalis Hindu menguat dan meraih sukses
hingga mengalahkan partai yang dipimpin Rajiv Gandhi tersebut. Partai Rakyat
India (BJP) mendulang kemenangan dari sebelumnya hanya 2 kursi di parlemen
menjadi 88 kursi, trend ini terus berlangsung bahkan pada pemilu awal Maret
1990; BJP meraih suara mayoritas suara di parlemen negara.
Penutup dan Catatan
Kesadaran kolektif kaum Hindu sebagai komunitas semakin menguat
dalam proses perjumpaannya dengan kaum Muslim India, khususnya di India
Utara. Kesadaran kolektif yang disokong oleh mitologi Rāmāyana, di mana
Rāma adalah dewa tertinggi, personal, dewa yang semakin dipuja kaum Hindu
India. Kaum Hindu dari beragam sekte turut ambil bagian dalam gerakan ini,
sehingga pergeseran ini menegaskan aspek-aspek monoteistik Hinduisme. Di
sisi lain, perasaan memiliki komunitas keagamaan yang tunggal dan kohesif
menyebar sepanjang abad ke-19 dan abad ke-20 meliputi kelompok pendeta
Hindu militan hingga jumlah besar penduduk Hindu India. Mitos Rāma telah
melahirkan utopia baru mengenai summum bonum di atas bumi; Rāma rājya.
Langkah pertama mewujudkan ideal tersebut dapat dilihat melalui tindakan
nyata, yaitu pembebasan tanah suci kelahiran Rāma. Utopia baru ini bukan

9

hanya berhasil menyatukan semua kasta Hindu India, lebih jauh menjadi
instrumen yang efektif untuk melawan kaum Muslim India sebagai penghalang
terwujudnya utopia baru dan telah merendahkan tatanan suci. Perseteruan
antara kaum Hindu dan Muslim India hanya mungkin dihentikan oleh otoritas
negara dan pemerintah pusat yang kuat di Delhi untuk menghindari meluasnya
perang saudara.
Sejarah India ditandai oleh sejumlah perang namun tidak satu pun dapat
disebut sebagai ‘perang suci’

sebagaimana didefinisikan di sini. Peristiwa

perebutan Ayodhyā telah menjadikan gagasan ‘perang suci’ bagian dari
Hinduisme. Fakta ini didukung oleh; pertama, formasi komunitas Hindu yang
eksklusif yang secara kolektif merindukan kebajikan bersama; kedua, pergeseran
keyakinan ke arah Rāma yang tunggal dan personal; ketiga; kecenderungan
untuk menganggap Islam dan para penganutnya sebagai agen kejahatan dengan
melakukan demonisasi terhadap musuh; keempat, mereka yang menjadi korban
selama pertikaian dengan kaum Muslim sebagai pengurbanan untuk dan demi
tujuan suci. Apakah Hindu berkembang ke arah agama monoteistik, menurut
Bakker belum tersedia jawaban yang meyakinkan mengenai hal ini, tetapi
meskipun Hinduisme di masa awal tidak mengenal sama sekali ide ‘perang
suci’, pertikaian Hindu dan Muslim India memperkuat kenyataan bahwa ide
‘perang suci’ semakin nyata dan tidak dapat dipungkiri menandai Hinduisme
India setelah peristiwa panjang perebutan ‘tanah yang dijanjikan’, yaitu Ayodhā,
sebuah Jerusalem bagi Hindu India hingga kini.

10

PUSTAKA
1. Hans Bakker, AYODHYĂ: A HINDU JERUSALEM, An Investigation of ‘Holy
War’ as a Religious Idea in the Light of Communal Unrest in India. Sumber:
Numen, Vol. 38. Fasc. (Jun.,1991.) hal.80-109. Publish by: BRILL
2. Shereen Ratnagar, Archeology at the Heart of a Political Confrontation: The
Case of Ayodhya, Current Anthropology, Vol.45.No.2. (Apr.2004). The
University of Chicago Press.
3. Reinhard Bernbeck and Susan Pollock, Ayodhya, Archeology and Identity,
Current

Anthropology,

Vol.37.No.1.pp.S138-S142.Feb.1996.

University of Chicago Press.

11

The