Asia Timur dan Dinamika Ekonominya

MBP Asia Timur Week 3
Reza Akbar Felayati - 071311233075
Asia Timur dan Dinamika Ekonominya
Kawasan Asia Timur yang sebelumnya tertutup dari interaksi dengan dunia luar, kemudian dapat berubah
dengan drastis menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang besar, tidak hanya di Asia saja, bahkan hingga ke
seluruh dunia. Adalah Jepang, Korea Selatan dan Cina (saat ini disebut sebagai Tiongkok) yang disebut –
sebut sebagai negara paling maju di kawasan Asia Timur. Meskipun di masa lalu Jepang, Tiongkok dan Korea
Selatan mengalami keterpurukan, namun ketiga negara tersebut mampu bangkit dan disebut sebagai NICs
atau New Industrializing Countries. Ketiga negara tersebut memiliki strateginya masing-masing dalam
membangkitkan ekonominya.
Kebangkitan Jepang terjadi setelah Perang Dunia II. Ketika seluruh ekonomi dan keadaan negara Jepang kacau
akibat kekalahan di Perang Dunia II, dengan cepat negara tersebut bangkit dari keterpurukan. Adalah Amerika
Serikat yang berada di balik kebangkitan Jepang yang drastis tersebut. Allinson (1997) menuturkan bahwa
Amerika Serikat menggunakan tiga tahap dalam menangani Jepang pasca perang, yaitu: upaya awal untuk
menghukum dan mereformasi Jepang, menghidupkan kembali ekonomi Jepang, dan pembuatan perjanjian
perdamaian formal dan aliansi sebagai tahap akhir. Dipimpin oleh Jendral Douglas MacArthur, Amerika
Serikat melalui Supreme Commander of Allied Powers (SCAP) membangun kembali Jepang di berbagai aspek,
terutama ekonomi agar Jepang dapat kembali bangkit dan di saat yang sama, Amerika menanamkan
kepentingan preventif agar Jepang tidak jatuh ke tangan komunisme Uni Soviet (Allinson, 1997). Keadaan
Jepang yang kacau dianggap dapat membuat paham komunisme menyebar dengan cepat. Jepang juga bagian
dari Marshall Plan Amerika Serikat dan menerima 2.44 triliun dolar Amerika. Ketika Perang Korea

berlangsung, SCAP pun akhirnya keluar dari Jepang dan Perjanjian San Francisco yang ditandatangani
Amerika Serikat dan Jepang mengembalikan kedaulatan kepada pemerintah Jepang.
Reformasi di dalam pemerintahan Jepang sendiri juga merupakan faktor penting dibalik bangkitnya Jepang.
Menurut Chalmers Johnson (dalam Wang, 1994: 99), keberhasilan perekonomian Jepang adalah adanya peran
unik pemerintah yang memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dan industri di Jepang.
Perubahan sistem perekonomian Jepang yang kemudian menerapkan pasar ekonomi bebas dan kapitalisme
model Inggris dan Amerika Serikat setelah Restorasi Meiji merupakan faktor penting. Banyak yang
berpendapat bahwa kesuksesan ekonomi Jepang disebabkan terutama oleh penerapan kapitalisme secara penuh
dibawah kondisi demokrasi di Jepang (Wang, 1994: 99). Produk ekspor unggulan Jepang seperti alat
transportasi, kendaraan bermotor, elektronik, mesin-mesin listrik menjadi terkenal karena kualitasnya dan
diterima di banyak negara di dunia. Pemerintah Japang saat itu menggunakan Kebijakan Alokasi Devisa
(Foreign Exchange Policy System), yaitu sistem kontrol impor yang dirancang untuk mencegah pasar Jepang
dibanjiri dengan barang dari asing (Wang, 1994: 105). Pemerintah menggunakan alokasi devisa untuk
merangsang ekonomi dengan mempromosikan ekspor, mengelola investasi dan pemantauan kapasitas
produksi, serta praktek dumping.

Salah satu ciri khas dari kapitalisme model Jepang adalah ketika Pada tahun 1954, Perdana Menteri Hayato
Ikeda menerapkan kebijakan industrialisasi berat. Ini memunculkan Keiretsu yang merupakan korporasi bisnis
yang berisi perusahaan yang saling bekerja sama dalam hal bisnis dan kepemilikan saham. Di Jepang grup usaha
memainkan peran penting dalam suksesnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi dunia, dengan lintas jaringan

ratusan kepemilikan saham yang kompleks seperti saham industri yang saling terkait, dan perusahaan keuangan
dan komersial (Wang, 1994: 102). Periode pertumbuhan ekonomi yang pesat antara tahun 1955 dan 1961
membuka jalan bagi "Golden Sixties," sebuah sebutan untuk dekade keajaiban ekonomi Jepang. Pada tahun
1965, PDB nominal Jepang diperkirakan lebih dari $ 91 miliar. Lima belas tahun kemudian, pada tahun 1980,
PDB nominal telah melonjak ke rekor $ 1,065 triliun (Allinson, 1997)
Pemerintah Jepang dengan cepat mengembangkan investasi pemerintah di bidang infrastruktur Jepang:
membangun jalan raya, kereta api kecepatan tinggi, kereta bawah tanah, bandara, fasilitas pelabuhan, dan
bendungan. Pemerintah juga memperluas investasi pemerintah di sektor komunikasi ekonomi Jepang yang
sebelumnya diabaikan (Wang, 1994: 103). Selain intervensi pasar dan regulasi ekonomi, pemerintah Jepang juga
mendorong liberalisasi perdagangan. Pada April 1960, impor perdagangan telah 41 persen diliberalisasi
(dibandingkan dengan 22 persen pada tahun 1956). Dan kemudian berhasil meliberalisasi perdagangan 80 persen
dalam waktu tiga tahun (Wang, 1994: 123).
Tiongkok juga merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, dan konon berhasil
menyaingi bahkan melebihi Amerika Serikat sebagai negara dengan tingkat ekonomi tertinggi. Ekonomi
Tiongkok bertumbuh dilevel 8,3% tahun ini, dibandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya sekitar 3% per
tahun (Wang, 1994: 92). Tiongkok yang awalnya menganut ekonomi ala Soviet, atau disebut Stalinis berubah
haluan ketika Deng Xiaoping memimpin perubahan ekonomi di Tiongkok. Dibawah Deng, Tiongkok membuka
diri kepada negara – negara luar dan melakukan kunjungan – kunjungan kenegaraan. Ini merupakan momen
penting yang mengubah citra Tiongkok yang komunis dan isolasionis.
Mulai tahun 1979, reformasi ekonomi diimpelementasikan di pasar. Sistem komunis secara bertahap dibongkar

dan para petani mulai memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengelola tanah yang mereka dibudidayakan dan
menjual produk mereka di pasaran. Pada saat yang sama, ekonomi China dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pada tanggal 1 Januari 1979, Amerika Serikat mengakui Republik Rakyat China dan kontak bisnis antara Cina
dan Barat mulai tumbuh (Eckstein, 2006). Pada akhir 1978, perusahaan Boeing mengumumkan penjualan
Boeing 747 untuk berbagai maskapai penerbangan di Tiongkok, dan perusahaan minuman Coca-Cola pun
kemudian membuka pabrik produksi di Shanghai.
Reformasi Deng termasuk pengenalan manajemen terencana dan terpusat dalam sistem makro-ekonomi dengan
birokrat ahli teknis, meninggalkan gaya kampanye massa Mao pembangunan ekonomi. Namun, tidak seperti
model era Mao Zedong, manajemen adalah tidak langsung melalui mekanisme pasar. Deng melanjutkan warisan
Mao dengan tetap menekankan keutamaan hasil pertanian dan mendorong desentralisasi yang signifikan dalam
proses pengambilan keputusan (Baum, 1994). Di tingkat lokal, Deng berhasil memotivasi tenaga kerja, termasuk

memungkinkan petani untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual hasil pribadi mereka di pasar
bebas .Tiongkok memutuskan untuk mempercepat proses modernisasi oleh meningkatkan volume perdagangan
luar negeri, terutama pembelian alat - alat berat dari Jepang dan Barat. Dengan berpartisipasi dalam pertumbuhan
yang dipicu ekspor tersebut, China mampu mencapai modernisasi tingkat tinggi di ranah pasar, teknologi dan
pengalaman manajemen, sehingga mempercepat pembangunan ekonomi (Alon, 2008). Deng menarik perusahaan
asing untuk mendorong investasi asing dan liberalisasi pasar.
Di Korea Selatan, perkembangan ekonomi bangkit setelah Perang Korea berakhir. Korea Selatan merupakan
salah satu negara termiskin di dunia selama lebih dari satu dekade. Pada tahun 1960 produk domestik bruto per

kapita adalah $ 79, lebih rendah dari beberapa pertumbuhan negara – negara di Afrika. Sektor industri adalah
stimulus utama untuk pembangunan ekonomi. Pada tahun 1986, industri manufaktur menyumbang sekitar 30
persen dari produk domestik bruto (PDB) dan 25 persen dari angkatan kerja. Manfaat dari dorongan domestik
yang kuat dan bantuan luar negeri, terutama Amerika Serikat, Korea Selatan mulai memperkenalkan teknologi
modern yang dengan cepat meningkatkan produksi komoditas (Haggard, 2003). Kesuksesan ekonomi Korea
Selatan sebagian disebabkan oleh pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan raksasa milik keluarga yang
mengoperasikan manufaktur dan perdagangan yang lebih dikenal dengan chaebol (Wang, 1994:145). Korsel juga
memanfaatkan keunggulan komparatif yang memfokuskan perekonomian Korsel pada ekspor. Dalam hal ini
pemerintah Korsel memiliki peran dalam pembebasan pajak, akses terhadap valuta asing dan bea cukai yang
dapat mendorong produk domestik bersaing secara internasional (Haggard, 2003).
Konon, Konfusianisme sebagai paham memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi Asia Timur.
Konfusianisme yang telah menjadi budaya masyarakat Asia Timur dianggap sebagai faktor penting dari
kesuksesan ekonomi mereka. Konfusianisme tidak hanya kondusif untuk pertumbuhan ekonomi di Asia Timur,
namun juga memungkinkan menciptakan jenis kapitalisme dan modernitas baru yang berbeda daripada apa yang
telah dilakukan oleh Barat (Keedon, 2007:56). Konfusianisme di Asia Timur membuat Kapitalisme Asia Timur
cenderung tidak individualistik dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi. Konfusianisme mengajarkan etika
umum yang menjadi dasar dari kerja keras, sikap hemat, edukasi, dan rasa hormat terhadap pemimpin. Ada pula
yang tidak setuju dan melihat bahwa etika-etika pekerja keras seperti itu merupakan produk dari dorongan sosial
budaya negara Jepang dan Korea Selatan untuk memajukan ekonomi mereka (Keedon, 2007:57).
Dapat disimpulkan bahwa Asia Timur merupakan kawasan di Asia Timur yang berkembang pesat karena adanya

pengaruh kapitalisme dari Barat. Jepang bangkit setelah menerima bantuan dan revitalisasi dari Amerika Serikat
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Jepang dengan semangat kapitalisme dan kebersamaan ala Jepang berhasil
membuat Jepang bangkit, bahkan melebihi Jepang di era Perang Dunia II. Begitu pula dengan di Tiongkok dan
Korea Selatan yang berhasil bangkit menjadi kekuatan ekonomi yang besar di dunia setelah menyesuaikan
ekonomi mereka ke arah kapitalisme dan mengubah etos kerja rakyatnya yang berlandaskan konfusianisme yang
mengajarkan kesederhanaan dan kerja keras

Penulis berpendapat bahwa di kebangkitan negara – negara di Asia Timur tidak lepas dari campur tangan Barat,
terutama Amerika Serikat. Ini dilihat dari fakta bahwa tiga kekuatan ekonomi besar di Asia Timur; Jepang, Korea
Selatan dan Tiongkok bangkit setelah melakukan kontak dengan Barat di era Perang Dingin. Ini dapat dikatakan
sebagai langkah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menghalau komunisme, terutama di Jepang dan
Korea Selatan. Amerika Serikat mengucurkan dana untuk modernisasi di kedua negara tersebut, agar Amerika
Serikat dapat menanamkan sebagian pengaruh dan kepentingan mereka dan menghalau komunisme yang telah
ada Tiongkok pada saat itu. Amerika Serikat memainkan peran vital di dalam dinamika ekonomi negara – negara
Asia Timur.
Referensi:
Allinson, Gary. Japan’s Postwar History Ithaca: Cornell University Press, 1997.
Alon, Ilan and John McIntyre, eds. (2008), The Globalization of Chinese Enterprises, New York: Palgrave
McMillan.
Baum, R (1994). Burying Mao: Chinese Politics in the Age of Deng Xiaoping. Princeton, N.J.: Princeton

University Press.
Eckstein, A (2006). China’s Economic Development: The Interplay of Scarcity and Ideology. University of
Michigan Press
Haggard, S Wonhyuk Lim, and Euysung Kim, ed. (2003). Economic Crisis and Corporate Restructuring in
Korea. Cambridge, UK: Cambridge University Press
Keedon Kwon. 2007. “Economic Development in East Asia and a Critique of the Post-Confucian Thesis”.
Theory and Society. Vol. 36, no. 1, pp. 55-83.
Meisner, Maurice J. (1996). The Deng Xiaoping Era: An Inquiry into the Fate of Chinese Socialism, 1978-1994.
New York: Hill and Wang.
Wang, James C. F. 1997. “China and Japan : Modernization, Industrialization, and Contrast in
Development”, dalam Comparative Asian Politics: Power, Polity, and Change. University of Hawaii
at Hilo: Prentice-Hall International, Inc.